• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ensiklopedi Nurcholish Madjid: Pemikiran Islam di Kanvas Peradaban

Dalam dokumen ENSIKLOPEDI NURCHOLISH MADJID (Halaman 185-190)

D. KEISLAMAN DALAM TANTANGAN MODERNITAS 1. Pendahuluan: Tugas Suci sebagai Saksi Tuhan di Bumi

1. Ensiklopedi Nurcholish Madjid: Pemikiran Islam di Kanvas Peradaban

“Bagi setiap kelompok mempunyai tujuan, ke sanalah mengarahnya; maka berlombalah kamu dalam mengejar kebaikan. Di mana pun kamu berada, Allah akan menghimpun kamu karena Allah berkuasa atas segalanya.”273

Setelah kita melihat agak detail deskripsi pandangan-pandangan her-meneutis Cak Nur mengenai Islam dan berbagai persoalannya, yang me-rupakan inti dari isi ensiklopedi ini, pada tempatnyalah di sini kita akan menutup karangan panjang ini dengan membuat sedikit ringkasan. Ringkasan pokok perlu dibuat di sini sebagai titik tolak untuk melihat arti dan peranan pemikirannya dalam wacana Islam di Indonesia dewasa ini, khususnya menyangkut tafsir islâm-nya yang telah membuat kontro-versi wacana pemikiran Islam di Indonesia, khususnya dengan kalangan revivalis.274 Padahal pemikirannya sangat “ensiklopedis” dalam arti penuh pertimbangan holistik, dan dibangun di atas kanvas peradaban Islam yang ia bayangkan.

Kalau boleh meringkasnya, maka sebenarnya persoalan besar yang di-hadapi Cak Nur dalam menafsirkan Islam, adalah bagaimana umat Islam

tidak mengalami stigma terhadap modernitas—dalam hal ini, tentu saja yang

sekarang mengejawantah dalam peradaban Barat. Di samping bahwa segala bentuk respons Islam terhadap Barat itu juga harus genuine, dalam arti mempunyai akar dalam tradisi Islam sendiri yang panjang. Usaha atas dua agenda itu, disebut dengan paham neo-modernisme, seperti sudah dising-gung sedikit dalam Pasal 1 dan Pasal 4, yang menurut Cak Nur, haruslah berakar dari keinsafan makna dan tujuan hidup sebagai seorang Muslim— tema yang disebut di muka sebagai Neo-Sufisme, seperti diuraikan dalam Pasal 2 dan 3.

Paham Neo-Sufisme dan Neo-Modernisme Islam—yang terelaborasi da-lam banyak entri dada-lam ensiklopedi ini—adalah paham yang ingin mengetengahkan etika sebagai inti dari pemikiran keislaman. Dan re-konstruksi etika ini justru harus dilakukan dari Kitab Suci sendiri. “Suatu pembicaraan [tentang etika] yang sempurna tidak akan dapat dilakukan, kecuali kalau kita bersedia berakhir dengan pengungkapan seluruh isi Kitab Suci itu sendiri … Dan itu tidak mungkin, kecuali dalam bentuk membaca Al-Quran itu sendiri, dan membiarkan Kitab Suci itu bicara sendiri” [tekanan dari saya, BMR].275

Cak Nur adalah orang yang percaya bahwa Al-Quran pada dirinya sudah memuat paham-paham etis. Tugas seorang cendekiawan adalah mencoba

menggalinya, merumuskan, dan mensistematisasikannya dalam kaidah-kaidah yang relevan dengan persoalan-persoalan yang dihadapi umat Islam zaman itu. Dan cara yang paling tepat untuk itu adalah memahami Al-Quran seliteral mungkin pertama kali,276 baru menafsirkannya pada tingkat selanjutnya.

Fazlur Rahman—salah seorang profesor, di mana Cak Nur banyak me-nimba metodologi pemikiran Islam, dan selanjutnya mengembangkannya dalam konteks Indonesia—mencanangkan neo-modernisme Islam itu sebagai suatu pergulatan serius tiga bidang utama yang antara satu dan lainnya terjalin hubungan yang organik, koheren, dan sekuensial. Ketiga hal tersebut adalah: (1) Usaha perumusan pandangan dunia, atau teologi yang setia kepada matriks Al-Quran, dan dapat dipahami kaum Muslim kontemporer; (2) Usaha sistematisasi etika Al-Quran yang merupakan penghubung antara teologi dan hukum; dan (3) usaha reformasi hukum dan pranata Islam modern yang ditarik dari etika Al-Quran itu, dengan mempertimbangkan secara cermat situasi kekinian.277

Apa yang dilakukan oleh Cak Nur mengenai metodologi dan isi tafsir Neo-Sufisme dan Neo-Modernismenya itu—seperti sudah kita lihat dalam Pasal 2, 3 dan 4—menghasilkan noktah-noktah yang, menurutnya, meru-pakan wawasan asasi Islam sebagai Agama Kemanusiaan, berdasarkan paham universalisme dan kosmopolitanisme ajaran Islam. Wawasan inilah—seperti dapat kita teliti dari isi entri-entri ensiklopedi ini—yang diperlukan untuk mempersiapkan umat Islam memasuki dunia modern dan tantangan-tantangan zaman dewasa ini.

… Dalam titik perkembangan zaman sekarang, yang menuju era globalisasi ini, kaum Muslim harus dengan sadar menggali dan mengembangkan kembali asas-asas yang menjadi landasan kosmopolitan [Islam], sebagaimana dulu kaum Muslim klasik telah melakukannya dengan konsistensi yang tinggi. Asas-asas itu banyak sekali dalam sumber-sumber suci agama Islam (Kitab Suci dan Sunnah Nabi).

Beberapa pokok yang ditulis Cak Nur, berkaitan dengan wawasan-wawasan yang diperlukan tersebut, yang sekarang bisa kita katakan sebagai inti dari pikiran Cak Nur yang termuat dalam entri-entri ensiklopedi ini:

1. Konsep Kemanusiaan Universal Islam mengajarkan: bahwa umat ma-nusia itu pada asal mulanya adalah satu. Perselisihan terjadi disebabkan oleh timbulnya vested interest masing-masing kelompok umat manusia, yang antara lain muncul dalam usaha mereka menafsirkan ajaran Kebenaran, menurut pertimbangan vested interest itu.

2. Tapi meskipun asal manusia itu tunggal, namun pola hidupnya menganut hukum (sunnatullâh) tentang kemajemukan (pluralitas), antara lain karena Allah menetapkan jalan dan pedoman hidup (syir‘ah dan minhâj) yang berbeda-beda untuk berbagai golongan manusia. Perbedaan itu seharusnya tidak menjadi sebab perselisihan dan per-musuhan, melainkan pangkal tolak bagi perlombaan ke arah berbagai kebaikan (al-khayrât).

3. Manusia memang akan selalu berselisih sesamanya, kecuali mereka yang mendapat rahmat Allah (antara lain karena paham akan grand design Allah tentang kemajemukan manusia itu). Maka Nabi Muhammad Saw. yang ditegaskan sebagai suri teladan umat manusia itu adalah seorang pribadi yang sangat toleran kepada sesama manusia, khususnya para sahabat, karena adanya rahmat Allah itu.

4. Kepada semua golongan umat manusia telah didatangkan oleh Allah, utusan-Nya, guna mengajari mereka jalan hidup yang benar. Karena itu ada kesatuan asasi antara semua agama yang benar, dan umat semua nabi itu adalah umat yang tunggal.

5. Berdasarkan itu, maka umat Islam harus menyiapkan diri dan meman-dang ke depan dengan penuh keyakinan tentang adanya sebuah agama universal, yaitu Islam, yang di antara banyak inti ajarannya ialah peng-akuan akan keabsahan semua nabi—tanpa membeda-bedakan salah satu pun antara mereka—dan ajaran-ajaran yang mereka bawa dari Tuhan, betapapun perbedaan syir‘ah dan minhâj yang mereka ketengahkan. 6. Betapapun perbuatan yang terjadi pada kehidupan manusia di bumi,

namun hakikat kemanusiaan akan tetap dan tidak bakal berubah, yaitu fitrahnya yang hanif, sebagai wujud perjanjian primordial (azali) antara Tuhan dan manusia sendiri. Responsi manusia kepada ajaran tentang kemanusiaan universal adalah kelanjutan dan eksternalisasi dari perjanjian primordial itu dalam hidup di dunia ini.

Apa yang dikatakan Cak Nur di atas pada dasarnya adalah cita-cita ke-islaman yang sangat diharapkannya tumbuh dalam masyarakat Indonesia. Sebagaimana telah diuraikan, responsi umat Islam terhadap tantangan modernitas, harus bersifat genuine, dalam arti berakar pada pandangan du-nia Islam sendiri, dan melalui pendekatan hermeneutis Neo-Modernis ini-lah Cak Nur ingin mengetengahkan bagaimana Islam bisa menyambut modernitas itu, tanpa harus kehilangan jati diri sebagai seorang Muslim. Dan keberhasilan soal ini, menurut Cak Nur, akan menentukan reputasi bagi umat Islam itu sendiri. “Maju atau mundurnya bangsa ini tentu akan mempunyai dampak positif atau negatif kepada Islam dan umat Islam. Kemajuan bangsa Indonesia akan berdampak ‘kredit’ kepada umat Islam Indonesia … dan kemunduran bangsa Indonesia akan berdampak ‘diskredit’ bagi umat Islam….”278

Sehingga di sinilah perlunya mengembangkan pemahaman agama Islam sebagai sumber kesadaran makna hidup yang tangguh bagi masyarakat yang sedang mengalami perubahan pesat, dan menjadi suatu masyarakat industri. Perubahan dari masyarakat agraris yang berpola paguyuban (gemeinschaft), menuju masyarakat industri yang patembayan (gezellschaft) tidak boleh menimbulkan masalah sosial yang kritis. Peralihan ini, menurut Cak Nur, memerlukan perhatian yang besar. Dan dalam konteks tersebut, diperlukanlah pengembangan prasarana sosio-kultural guna mendukung proses pembangunan masyarakat industri yang maju. Menurutnya, suatu pemahaman keagamaan yang akan datang mau tidak mau akan dihadapkan kepada tantangan ini, yang katanya, jika tantangan ini berhasil dijawab, maka secara timbal balik akan menghasilkan proses saling menguatkan antara agama dan masyarakat.279

Bagaimana isi dan elaborasi hal tersebut, sebagian telah kita lihat dalam bagian-bagian sebelumnya. Tetapi untuk melihat konteks permasalahan teologis, filosofis, dan sosial dari pemikiran Cak Nur, dan selanjutnya evaluasi atas pemikiran tersebut, ada baiknya kita menyinggung terlebih dahulu bentuk-bentuk responsi dalam beragama yang bisa muncul¯tapi menurut Cak Nur tidak menguntungkan—akibat perubahan sosial yang

sedang terjadi dalam masyarakat. Dalam soal inilah, Cak Nur berbicara mengenai fenomena kultus dan fundamentalisme yang, menurutnya, bukan merupakan masa depan agama.

Dalam dokumen ENSIKLOPEDI NURCHOLISH MADJID (Halaman 185-190)