• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sebagai salah satu negara yang ikut menandatangani deklarasi Millenium Development Goals (MDGs), Indonesia mempunyai komitmen untuk melaksanakannya serta menjadikannya bagian yang tak terpisahkan dari program pembangunan nasional. Salah satu dari delapan tujuan MDGs yang juga menjadi tujuan utama program pembangunan nasional adalah memerangi berbagai penyakit menular berbahaya seperti HIV/AIDS, malaria dan penyakit menular lainnya. Pemerintah sampai saat ini terus melaksanakan program kesehatan untuk mengendalikan penyebaran penyakit menular berbahaya di Indonesia (Bappenas, 2010).

Penyakit malaria merupakan salah satu penyakit menular yang upaya pengendalian dan penurunan kasusnya merupakan komitmen internasional dalam MDGs. Target yang disepakati secara internasional oleh 189 negara adalah mengusahakan terkendalinya penyakit malaria dan mulai menurunnya jumlah kasus malaria pada tahun 2015 dengan indikator prevalensi malaria per 1.000 penduduk. Penyakit malaria juga dapat membawa dampak kerusakan ekonomi yang signifikan. Penyakit malaria dapat menghabiskan sekitar 40% biaya anggaran belanja kesehatan masyarakat dan menurunkan sebesar 1,3% Produk Domestik Bruto (PDB) khususnya di negara-negara dengan tingkat penularan tinggi. Pada tahun 2011, case fatality rate

(CFR) malaria di dunia sebesar 3,03 ‰ (655 ribu kematian dari 216 juta kasus malaria) (WHO, 2012a).

World Health Organization (WHO) (2012b) menyatakan dalam beberapa tahun terakhir, penanggulangan malaria (diagnostikdan pengobatan)telah menunjukkankemajuan yang signifikandi negara-negaradi luar Afrika. Namun, penyakit yang ditularkan melalui gigitan nyamukAnopheles ini terusmenyebabkan bebanbesar padasistemkesehatan nasional karenamemerlukanstrategi pengendalian yangdisesuaikan untukwilayah geografis yang berbedaantarnegara. Pada tahun 2010 terdapat 51negaraendemis malariadi luar wilayah Afrikadengan34 jutakasusdan sekitar46ribu kematian akibat penyakit ini.Laporan initerfokus padanegara-negaradi Asia, Asia Pasifik, Amerika, Timur Tengah, dan Eropa seperti terlihat pada Gambar 1.1 di bawah ini:

Laporan WHO (2012c) menyebutkan bahwa pada tahun 2011 malaria menyebabkan sekitar 2.414 kematian per hari dimana lebih dari 90% di antaranya terjadi di wilayah Afrika. Malaria yang terjadi di daerah endemik merupakan penyakit akibat kemiskinan sekaligus penyebab kemiskinan yang memperlambat pertumbuhan ekonomi sebesar 1,3% per tahun. WHO juga memperkirakan secara global 33,96 jutahari kerja hilang akibat malaria dan Asia Tenggara menyumbang sekitar 1,34 juta hari kerja. Afrika menempati urutan pertama persentase kasus malaria di dunia tahun 2011 (74,5% kasus klinis dan CFR 95,1%), kemudian diikuti oleh Amerika (32% kasus klinis dan CFR 0,1%), Asia Tenggara (15,2% kasus klinis dan CFR 2,7%) dan daerah lainnya seperti Eropa, Mediterania dan Asia Pasifik (74,5% kasus klinis dan CFR 95,1%).

Departemen Kesehatan RI menyatakan bahwa malaria merupakan salah satu penyakit menular yang menjadi masalah kesehatan masyarakat utama di dunia termasuk Indonesia. Morbiditas dan mortalitas akibat malaria di Indonesia sendiri juga masih menunjukkan angka yang cukup tinggi. Penyakit malaria menjadi salah satu perhatian global karena kasus malaria yang tinggi dapat berdampak luas terhadap kualitas hidup dan ekonomi melalui hilangnya produktivitas kerja bahkan mengancam keselamatan jiwa manusia. Dalam jangka panjang, akan menimbulkan efek menurunnya mutu Sumber Daya Manusia (SDM) masyarakat Indonesia (Depkes RI, 2011a dan Trihono, 2009).

Data Departemen Kesehatan RI tahun 2011 menunjukkan bahwa ada sekitar 146,98 juta penduduk Indonesia merupakan populasi yang berisiko terkena malaria.

Dari jumlah tersebut, ada 1,32 juta kasus malaria klinis dan sekitar 256 ribu dinyatakan positif malaria dengan pemeriksaan sediaan darah. Angka Annual Parasite Incidence (API) malaria tahun 2011 adalah 1,7 per 1.000 penduduk. Artinya, setiap 1.000 penduduk di Indonesia tahun 2011, terdapat sekitar 2 orang yang menderita malaria (Depkes RI, 2012).

Tahun 2006 – 2009, Kejadian Luar Biasa (KLB) selalu terjadi di pulau Kalimantan walaupun kabupaten/kota yang terjangkit berbeda-beda tiap tahunnya. Pada tahun 2009 KLB dilaporkan terjadi di Pulau Jawa (Jawa Tengah, Jawa Timur dan Banten), Kalimantan (Kalimantan Selatan), Sulawesi (Sulawesi Barat), NAD dan Sumatera (Sumatera Barat dan Lampung), dengan total jumlah penderita 1.869 orang, dan meninggal sebanyak 11 orang (Depkes RI, 2011b). KLB malaria yang terjadi di Indonesia tahun 2009 dapat dilihat pada Gambar 1.2 di bawah ini:

Indonesia terletak di daerah tropis dengan iklim yang menguntungkan bagi perkembangan nyamuk penular malaria. Sekitar 400 spesies nyamuk Anopheles telah ditemukan, 67 dapat menularkan malaria dan 24 spesies diantaranya ditemukan di Indonesia. Walaupun angka kesakitan dan kematian akibat malaria di Indonesia dalam kurun waktu 5 tahun terakhir cenderung menunjukkan trend menurun, namun kemungkinan besar penyakit ini meningkat bahkan bisa mewabah, sehingga pemerintah memandang malaria masih sebagai ancaman terhadap status kesehatan masyarakat terutama pada rakyat miskin yang hidup di daerah terpencil (Depkes RI dalam Abdullah, 2008).

Departemen Kesehatan RI (2011b) menyebutkan sampai saat ini, beberapa wilayah di Indonesia masih menjadi daerah endemis malaria. Peta endemisitas malaria di Indonesia dapat dilihat pada Gambar 1.3 berikut ini:

Gambar 1.3 Peta Endemisitas Malaria di Indonesia Tahun 2011 Peta Endemisitas Malaria di Indonesia

Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007 menunjukkan bahwa penyakit malaria tersebar merata di semua kelompok umur. Prevalensi malaria klinis di pedesaan dua kali lebih besar bila dibandingkan prevalensi di perkotaan. Prevalensi malaria klinis juga cenderung tinggi pada masyarakat dengan pendidikan rendah, kelompok petani, nelayan, buruh dan kelompok dengan tingkat pengeluaran rumah tangga per kapita rendah. Prevalensi malaria berdasarkan Riskesdas tahun 2010 diperoleh dalam bentuk point prevalence yang menunjukkan proporsi orang yang menderita penyakit malaria pada waktu tertentu. Data malaria dikumpulkan dengan wawancara terstruktur dan pemeriksaan darah menggunakan dipstick (Rapid Diagnostic Test/RDT). Besarnya sampel yang diperiksa dengan RDT adalah 75.192 orang. Hasilnya menunjukkan bahwa point prevalence malaria sebesar 0,6%, namun hasil ini tidak menunjukkan kondisi malaria secara keseluruhan dalam satu tahun, karena setiap wilayah dapat mempunyai masa-masa puncak (pola epidemiologi) kasus yang berbeda-beda. Spesies parasit yang paling banyak ditemukan adalah

Plasmodium falciparum (86,4%), sedangkan sisanya adalah Plasmodium vivax dan campuran antara Plasmodium falciparum dan Plasmodium vivax. Namun data sebaran parasit per wilayah tidak diperoleh sehingga tidak dapat diketahui jenis parasit yang dominan per suatu wilayah (Depkes RI, 2011b).

Upaya penanggulangan penyakit malaria di Indonesia sejak tahun 2007 dapat dipantau dengan menggunakan Annual Parasite Incidence (API). Hal ini sehubungan dengan kebijakan Departemen Kesehatan RI mengenai penggunaan satu indikator untuk mengukur angka kejadian malaria, yaitu dengan API. Pada tahun 2007

kebijakan ini mensyaratkan bahwa setiap kasus malaria harus dibuktikan dengan hasil pemeriksaan sediaan darah dan semua kasus positif harus diobati dengan pengobatan kombinasi berbasis artemisinin atau ACT (Artemisinin-based Combination Therapies) (Depkes RI, 2011c).

Prevalensi nasional malaria berdasarkan data Departemen Kesehatan RI adalah sebesar 2,85%. Provinsi Sumatera Utara merupakan salah satu dari 15 provinsi dengan prevalensi malaria di atas prevalensi nasional. Berdasarkan data yang diperoleh dari Departemen Kesehatan RI, ada 76,6 ribu kasus malaria klinis terjadi di Sumatera Utara selama tahun 2011 dan 6.358 dinyatakan positif malaria dengan pemeriksaan sediaan darah. Angka Annual Parasite Incidence (API) malaria di Sumatera Utara tahun 2011 adalah 0,5 per 1.000 penduduk. Beberapa kabupaten endemis malaria di Sumatera Utara di antaranya: Kabupaten Asahan, Karo, Labuhan Batu, Langkat, Tapanuli Selatan, Mandailing Natal, Nias dan Nias Selatan (Depkes RI, 2012).

Secara historis, dalam beberapa tahun terakhir jumlah kasus malaria di Sumatera Utara menunjukkan angka yang relatif menurun. Tahun 2006 terdapat 64.116 kasus klinis malaria dengan 16.525 kasus positif malaria yang dibuktikan dengan pemeriksaan sediaan darah. Tahun 2007 kasus positif malaria mengalami penurunan menjadi 15.493 kasus dan terus menurun menjadi 8.796 kasus pada tahun 2010. Walaupun kasus malaria cenderung menurun, namun masih ada wilayah di Sumatera Utara yang merupakan daerah endemis malaria, sehingga membutuhkan penanganan yang intensif (Dinkes Sumut, 2011).

Kabupaten Asahan merupakan salah satu kabupaten endemis malaria di Provinsi Sumatera Utara. Berdasarkan data Dinas Kesehatan Kabupaten Asahan tahun 2008-2010, jumlah kasus malaria di Kabupaten Asahan selama 2 tahun terakhir menunjukkan peningkatan. Pada tahun 2010, terdapat 2.416 kasus klinis malaria dengan 241 kasus positif dan pada tahun 2011 naik menjadi 4.056 kasus klinis dengan 687 kasus positif. API malaria di Kabupaten Asahan tahun 2011 mencapai 1,03 per 1.000 penduduk. Angka ini lebih tinggi dibandingkan tahun sebelumnya yang hanya mencapai 1,01 per 1.000 penduduk. Data dari Dinas Kesehatan Kabupaten Asahan selama tahun 2012 menunjukkan masih tingginya angka kesakitan akibat malaria. Mulai Bulan Januari sampai Bulan Desember 2012 terdapat 313 kasus positif malaria (Dinkes Asahan, 2012).

Banyak faktor yang berpengaruh terhadap kejadian malaria. Faktor-faktor tersebut dapat dikelompokkan menjadi faktor internal dan eksternal. Faktor internal adalah faktor-faktor yang yang berasal dari dalam diri individu yang mampu mengendalikan perilaku manusia sehingga berpengaruh terhadap kejadian penyakit seperti malaria. Faktor internal mempengaruhi tindakan-tindakan masyarakat yang merupakan faktor risiko kejadian malaria. Faktor internal tersebut misalnya karakteristik individu (umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, status perkawinan dan penghasilan) dan perilaku individu untuk mencegah penularan malaria. Faktor eksternal adalah faktor-faktor yang yang berasal dari luar diri individu yang mampu mengendalikan perilaku manusia sehingga berpengaruh terhadap kejadian penyakit seperti malaria. Faktor eksternal tersebut misalnya lingkungan fisik rumah tempat

tinggal, perilaku petugas kesehatan, sarana dan prasarana pelayanan kesehatan dan sumber informasi yang diperoleh individu dari media-media yang ada (Depkes RI, 2009b; Friarayatini, 2006; Sarumpaet, 2007 dan Suhardiono, 2005).

Berdasarkan hasil survei pendahuluan, diketahui bahwa wilayah kerja Puskesmas Binjai Serbangan, Sei Kepayang Barat, Sei Apung, Bagan Asahan dan Aek Songsongan merupakan wilayah dengan insidensi malaria endemis. Hasil wawancara terhadap beberapa petugas pengendalian penyakit menular di puskesmas tersebut menunjukkan masih rendahnya kesadaran masyarakat akan bahaya yang ditimbulkan oleh malaria. Hal ini ditunjukkan masih banyaknya rumah warga di sekitar rawa-rawa dan kolam (genangan air). Selain itu perilaku masyarakat yang tidak waspada dengan gigitan vektor nyamuk Anopheles yang ditandai dengan malasnya mereka menggunakan kelambu saat tidur dan kebiasaan sering keluar di malam hari juga menjadi faktor lain masih tingginya angka kasus malaria di Kabupaten Asahan.

Penelitian yang dilakukan oleh Muslimin (2011) menunjukkan kondisi rumah, kebiasaan keluar rumah di malam hari dan penggunaan kelambu berhubungan erat dengan kejadian malaria di Kabupaten Pangkep tahun 2011. Selain itu pola spasial menunjukkan kedekatan antara tempat perindukan nyamuk (berupa kolam dan sawah) dengan tempat tinggal penderita malaria di kabupaten ini.

Menurut Daulay (2006), faktor perilaku sangat berkontribusi terhadap terjadinya penyakit malaria. Tingkat pengetahuan yang rendah, kebiasaan tidur tidak memakai kelambu, sikap yang kurang mendukung dalam penanggulangan penyakit

malaria, tidak menggunakan alat atau bahan pelindung bila keluar rumah pada malam hari merupakan perilaku yang memiliki risiko terbesar terhadap terjadinya penyakit malaria. Faktor-faktor lain yang berkontribusi terhadap terjadinya penyakit malaria adalah dukungan petugas kesehatan dan faktor lingkungan.

Berdasarkan hasil penelitian Kasnodihardjo (2008), tentang pola kebiasaan masyarakat dalam kaitannya dengan masalah malaria di daerah Sihepeng Kabupaten Tapanuli Selatan, menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat mengetahui bahwa malaria adalah penyakit menular dan nyamuk sebagai vektor penular. Mereka bahkan menganggap penyakit malaria berbahaya, namun kebanyakan mereka kurang mengetahui bagaimana cara penularan penyakit malaria. Hal ini memengaruhi tindakan masyarakat dalam pencegahan penyakit malaria.

WHO dalam Abdullah (2008) menetapkan bahwa, program pengendalian malaria harus menggunakan suatu pengembangan mekanisme yang tepat untuk meramalkan transmisi malaria. Melihat karakteristik dan sifat - sifat biologik nyamuk

Anopheles maka studi epidemiologi lingkungan sangat penting bagi upaya perencanaan dan pemberantasan penyakit malaria. Dalam program malaria, pemantauan biologik vektor nyamuk Anopheles dibutuhkan suatu sistem informasi geografi yang berguna untuk:

a. Menolong setiap petugas untuk mengenal daerah, bahkan letak rumah penduduk yang terjangkit malaria, sehingga memudahkan dalam melakukan penyelidikan epidemiologi, supervisi dan operasi pemberantasan.

c. Merencanakan tempat-tempat terbaik sebagai pusat kegiatan di lapangan.

d. Memikirkan kemungkinan tindakan anti larva misalnya oiling, pengeringan, irigasi, dan penyebaran ikan pemakan jentik.

Kemajuan teknologi saat ini telah merambah ke berbagai bidang termasuk kesehatan dan juga merupakan integrasi dari berbagai bidang salah satunya bidang kesehatan dengan bidang geografi. Geographic Information System (GIS) atau Sistem Informasi Geografis (SIG) merupakan sistem informasi yang digunakan untuk memasukkan, menyimpan, memanggil kembali, mengolah, menganalisis dan menghasilkan data bereferensi geografis atau data geospatial. Data dalam kesehatan masyarakat memiliki komponen spasial (lokasi), lalu SIG menambahkan dimensi grafis dan memunculkan analisis yang kuat dengan menggunakan dasar segitiga epidemiologi, yaitu orang, waktu dan tempat yang sering terabaikan. SIG bermanfaat juga dalam mendukung pengambilan keputusan dalam perencanaan dan pengelolaan penggunaan lahan, sumber daya alam, lingkungan transportasi, fasilitas kota, dan pelayanan umum lainnya termasuk dalam bidang kesehatan untuk mendukung sistem surveilans (Wade et al, 2006).

Wade (2006) juga menyebutkan bahwa analisis spasial adalah salah satu cara pendataan dalam upaya untuk manajemen lingkungan dan merupakan bagian dari pengelolaan (manajemen) penyakit berbasis wilayah, merupakan suatu analisis dan uraian tentang data penyakit secara geografis berkenaan dengan kependudukan, persebaran, lingkungan, perilaku, sosial, ekonomi, kasus kejadian penyakit dan

hubungan antar variabel tersebut dimana masing-masing variabel dapat menjadi faktor risiko terjadinya penyakit malaria.

Sampai saat ini belum ada pola spasial yang terinci mengenai distribusi kasus malaria di Kabupaten Asahan. Padahal pola pemetaan kasus malaria penting sebagai salah satu upaya untuk mengatasi masalah yang ditimbulkan oleh penyakit malaria. Penelitian ini mencoba menganalisis pola spasial yang terinci dari kasus malaria yang terjadi di Kabupaten Asahan sehingga diharapkan dapat memberikan kontribusi untuk mengatasi masalah malaria di kabupaten ini.

1.2 Permasalahan

Berdasarkan latar belakang di atas, permasalahan dalam penelitian ini adalah belum adanya distribusi spasial kasus malaria endemik di Kabupaten Asahan serta besaran kasus dan risiko penyakit malaria berdasarkan faktor internal dan eksternal di Kabupaten Asahan tahun 2012. Selain itu, permasalahan lain adalah belum diketahuinya faktor utama dari faktor internal (karakteristik individu dan perilaku pencegahan malaria) dan eksternal (lingkungan fisik rumah, perilaku petugas kesehatan, sarana dan prasarana pelayanan kesehatan dan sumber informasi) yang menjadi penyebab masih endemisnya penyakit malaria di Kabupaten Asahan tahun 2012.

Dokumen terkait