• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Provinsi Sumatera Utara dikenal dengan keberagaman sukunya Setiap suku mempunyai bahasa dan sastra. Tiada masyarakat tanpa sastra (Teeuw, 1982:7). Ada delapan suku bangsa yang menghuni daerah Provinsi Sumatera Utara, yaitu suku Batak Toba, Karo, Simalungun, Angkola/Mandailing, Pakpak/Dairi, Melayu, Nias, dan suku Pesisir yang mendiami daerah Tapanuli Tengah dan Sibolga. Kedelapan suku bangsa ini masing-masing memiliki budaya dan juga perbedaan (Siregar, 2004:125). Keberagaman suku bangsa di Provinsi Sumatera Utara mencerminkan kekayaan khazanah sastra Sumatera Utara. Menurut Irwansyah (dalam Sinar dan Nasution, 2011:31) sebutir di antara kekayaan itu adalah berupa cerita rakyat seperti mite, legenda, ataupun dongeng.

Salah satu suku bangsa yang tinggal di Provinsi Sumatera Utara adalah suku Simalungun.

Suku Simalungun menetap di daerah Kabupaten Simalungun dan sekitarnya. Suku ini memiliki marga (nama keluarga) yang terbagi menjadi empat marga besar, yaitu Damanik, Saragih, Sinaga, dan Purba (Purba dan Purba, 1995:4-5). Setiap suku memiliki sastra, begitu pula dengan suku Simalungun. Suku Simalungun memiliki sastra lisan dan sastra tulisan. Cerita rakyat merupakan bagian dari sastra lisan yang pernah hidup dan menjadi milik masyarakat.

Cerita rakyat Simalungun sebagai bagian dari kebudayaan daerah Sumatera Utara sangat beragam jenis dan isinya. Isinya menunjukkan kekayaan budaya dalam bentuk nilai-nilai, gagasan, cita-cita, dan pedoman hidup masyarakat Simalungun pada masa lampau baik tentang manusia secara pribadi maupun manusia dalam hubungannya dengan alam dan lingkungan

hidupnya. Jadi, bagaimana para leluhur suku Simalungun di Provinsi Sumatera Utara zaman dahulu memperlakukan lingkungan hidupnya, dapat tercerminkan dalam cerita rakyat. Dalam cerita rakyat terdapat buah pikiran warisan leluhur bangsa yang mengandung bermacam-macam pesan. Cerita rakyat sebagai bagian dari kebudayaan mengandung berbagai gagasan dan nilai-nilai yang bermanfaat bagi pengembangan karakter bangsa.

Salah satu nilai tersebut adalah nilai budaya. Menurut Koentjaraningrat (2002:40), nilai budaya berfungsi sebagai pedoman tertinggi bagi kelakuan manusia. Melalui cerita rakyat, masyarakat Indonesia masa kini akan mengenal nilai-nilai budaya nenek moyang mereka. Sudah menjadi anggapan umum bahwa cerita rakyat mengandung nilai-nilai budaya. Banyak di antara cerita rakyat mengandung ide yang besar, buah pikiran yang luhur, pengalaman jiwa yang berharga, dan pertimbangan-pertimbangan yang luhur tentang sifat-sifat baik dan buruk. Nilai-nilai budaya tersebut banyak memberikan teladan bagi masyarakat.

Cerita rakyat Ratting Bunga (selanjutnya RB) merupakan cerita rakyat Simalungun yang sudah ditulis dalam bentuk buku. Cerita rakyat ini memenangkan juara tiga dalam lomba penulisan cerita rakyat Sumatera Utara yang dilaksanakan oleh Badan Perpustakaan Arsip dan Dokumentasi Provinsi Sumatera Utara (BAPERDASU) pada tahun 2010. Cerita rakyat RB menceritakan kisah raja-raja Simalungun dari beberapa nagori (nagari/desa/kelurahan), yaitu Raja Dugur Dunia dari Nagori Purba dan Raja Saritoulela dari Nagori Saritoulela. Pada mulanya, kedua raja tersebut hidup rukun dengan masyarakatnya sampai konflik muncul ketika Raja Saritoulela ingin menguasai Nagori Purba. Dia mengajak Raja Dugur Dunia bertanding untuk memperebutkan Nagori Purba. Adapun pertandingan yang dilakukan adalah lomba teka-teki, pacuan kuda dan lomba layang-layang. Raja Dugur Dunia memenangkan pertandingan ini, maka

Raja Saritoulela kalah dalam pertandingan dan memutuskan untuk pergi dari nagorinya dan tinggal di sebuah gua dalam hutan, di sana dia mendekatkan diri dengan sang pencipta dan menjadikan dirinya seorang datu.

Beberapa tahun kemudian, ketika muncul masalah karena putri Raja Dugur Dunia, Ratting Bunga, diperebutkan oleh tujuh putra raja untuk menjadi istri mereka. Raja Saritoulela yang mengatasi masalah ini, dengan kesaktian yang dimiliki Raja Saritoulela sebagai seorang datu. Maka, Ratting Bunga diciptakan menjadi tujuh orang. Tidak diketahui yang mana Ratting Bunga yang asli. Pada akhirnya yang hanya mengetahui Ratting Bunga yang asli adalah ayahnya sendiri, Raja Dugur Dunia dan Raja Saritoulela.

Nilai budaya dalam cerita RB ini tercermin dalam tokoh-tokoh yang terdapat di dalam cerita tersebut, nilai budaya itu seperti nilai kerukunan yang ditunjukkan oleh tujuh putra raja, nilai musyawarah yang dilakukan oleh masyarakat Simalungun untuk mencapai kesepakatan tertentu, dan nilai kebijaksanaan yang dicerminkan oleh Raja Dugur Dunia. Nilai-nilai tersebut dapat membantu pengembangan karakter bangsa terkhususnya karakter suku Simalungun dan karakter bangsa Indonesia pada umumnya.

Menurut Baroroh dkk. (dalam Irwansyah 1989:8), bagi bangsa Indonesia yang tengah giat membangun, usaha menggali nilai-nilai luhur dari karya-karya sastra lama perlu digalakkan karena banyak nilai-nilai yang dapat diangkat dari dalamnya. Dalam karya-karya sastra itu terkandung sesuatu yang penting dan berharga, yaitu sebagian warisan rohani bangsa Indonesia berupa perbendaharaan pikiran dan cita-cita para leluhur kita. Dengan mempelajari sastra itu dapat dipahami dan dihayati pikiran dan cita-cita itu, di samping sastra lama juga merupakan sumber ilham yang sangat dibutuhkan bagi pengembangan kebudayaan.

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, nilai budaya yang terdapat dalam cerita rakyat RB menarik diteliti meskipun kejadiannya sudah terjadi di masa lampau. Nilai budaya dalam cerita RB akan dikaji dengan pendekatan antropologi sastra sebagai studi karya sastra dengan relevansi manusia. Cerita RB banyak mengisahkan mengenai budaya suku Simalungun.

Oleh karena itu, perlu diadakan satu penelitian mendalam terhadap cerita tersebut. Sehubungan dengan itu penelitian ini dibuat untuk menganalisis sejauh mana nilai budaya yang terdapat dalam cerita rakyat RB.

1.1 Batasan Masalah

Penelitian ini dibatasi agar penelitian terarah dan terfokus pada masalah yang telah dibatasi sehingga tidak terjadi pembahasan yang terlalu luas. Peneliti membuat batasan masalah sesuai dengan judul dan latar belakang masalah. Fokus penelitian ini hanya tertuju kepada nilai budaya dalam hubungan manusia dengan masyarakat pada cerita rakyat Ratting Bunga.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang dan batasan masalah, rumusan masalah penelitian ini adalah, bagaimanakah nilai budaya dalam hubungan manusia dengan masyarakat yang terdapat dalam cerita rakyat Ratting Bunga?

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.3.1 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan nilai budaya dalam hubungan manusia dengan masyarakat yang terdapat dalam cerita rakyat Ratting Bunga.

1.3.2 Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut.

1.3.3 Manfaat Teoretis

1. Hasil penelitian ini dapat digunakan untuk memahami nilai budaya pada cerita rakyat Ratting Bunga.

2. Penelitian ini dapat memberi manfaat kepada pembaca untuk memahami teori antropologi sastra untuk menganalisis karya sastra.

3. Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat menambah wawasan bagi pembaca untuk penelitian selanjutnya.

1.3.4 Manfaat Praktis

1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu masyarakat untuk lebih menghargai, menjaga, dan melestarikan nilai budaya yang dimiliki oleh setiap suku yang ada di Indonesia.

2. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khasanah kebudayaan daerah dan kesusastraan Indonesia.

3. Memberikan informasi kepada pembaca tentang nilai budaya yang terdapat dalam cerita rakyat Ratting Bunga.

BAB II

KONSEP, TINJAUAN PUSTAKA, DAN LANDASAN TEORI 2.1 Konsep

2.1.1 Cerita Rakyat

Cerita rakyat adalah cerita yang pendek tentang orang-orang atau peristiwa-peristiwa suatu kelompok suku atau bangsa yang diwariskan secara turun-menurun, biasanya secara lisan (Sumardjo dkk, 1986:36). Pada umumnya cerita rakyat mengisahkan suatu kejadian di suatu tempat atau asal muasal suatu tempat. Cerita rakyat dapat diartikan sebagai ekspresi budaya suatu masyarakat melalui bahasa tutur yang berhubungan langsung dengan berbagai aspek budaya dan susunan nilai-nilai dalam suatu masyarakat.

Cerita rakyat merupakan tradisi lisan yang secara turun-temurun diwariskan dalam kehidupan masyarakat. Cerita rakyat biasanya berbentuk tuturan yang berfungsi sebagai media pengungkapan perilaku tentang nilai-nilai kehidupan yang melekat dalam kehidupan masyarakat (Bunanta, 1998:21). Cerita rakyat adalah cerita yang bersifat khayalan, tetapi erat kaitannya dengan keadaan dan situasi kehidupan masyarakat sehari-hari. Cerita rakyat mengandung nilai-nilai, pendidikan dan pelajaran moral maupun intelektual.

Cerita rakyat merupakan bagian dari folklor. Menurut Alan Dundes, folk adalah sekelompok orang yang memiliki ciri-ciri pengenal fisik, sosial, dan kebudayaan sehingga dapat dibedakan dengan kelompok-kelompok lainnya. Istilah lore ditilik dari segi isinya dan anggapan masyarakat terhadap tokoh-tokoh maupun ceritanya, maka cerita merupakan tradisi folk.

Menurut Dananjaja, folklor adalah sebagian kebudayaan suatu kolektif yang tersebar dan diwariskan secara turun-temurun, di antara kolektif macam apa saja, secara tradisional dalam

versi yang berbeda, baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat (Danandjaja, 1984:1).

Brunvand membedakan folklor menjadi tiga macam, yaitu: 1) Folklor lisan (verbal folklore), 2) folklor setengah lisan (partly verbal folklore), dan 3) folklor bukan lisan (nonverbal folklore). Secara prktis ketiganya dapat dikenali dari bentuk masing-masing, yaitu oral (mentifact), social (sociafact), dan material (artifact). Folklor lisan terdiri atas: a) ungkapan tradisional (pepatah, peribahasa, semboyan), b) nyanyian rakyat (nyanyian untuk menidurkan anak seperti nina bobok), c) bahasa rakyat (dialek, julukan, sindiran, bahasa rahasia, bahasa remaja, dan sebagainya), d) teka-teki (berbagai bentuk tanya jawab pada umumnya untuk mengasah pikiran), e) cerita rakyat (mite, legende, sage). Folklor setengah lisan, di antaranya: a) drama rakyat (ketoprak, ludruk, wayang kulit, legendria, arja), b) tari (serimpi, maengket, pendet), c) upacara (kelahiran, perkawinan, kematian), d) permainan dan hiburan rakyat (sembunyi-sembunyian, teka-teki), e) adat kebiasaan (gotong royong, menjenguk orang mati), f) pesta rakyat (sekaten, pesta kesenian Bali). Folklor nonlisan di antaranya” a) material (mainan, makanan, arsitektur, alat-alat, musik, pakaian, perhiasan, obat-obatan, dan sebagainya), b) bukan material (bunyi musik, bunyi gemelan, bahasa isyarat) (Ratna, 2011: 102).

Ciri-ciri pengenal utama folklor adalah: (1) Penyebaran dan pewarisannya biasanya dilakukan secara lisan, yakni disebarkan melalui tutur kata dari mulut ke mulut dari satu (atau dengan suatu contoh yang disertai dengan gerak isyarat, dan alat pembantu pengingat) dari satu generasi ke generasi berikutnya, (2) Folklor bersifat tradisional, yaitu disebarkan dalam bentuk yang relatif tetap atau dalam bentuk standar. Disebarkan di antara kolektif tertentu dalam waktu yang cukup lama (paling sedikit dua generasi), (3) Folklor ada (exist) dalam versi yang berbeda-beda. Hal ini diakibatkan oleh cara penyebarannya yang secara lisan dari mulut ke mulut, dan

biasanya bukan melalui catatan atau rekaman, sehingga folklor dengan mudah dapat mengalami perubahan, walaupun demikian perbedaannya terletak pada bagian luarnya saja, sedangkan bentuk dasarnya tetap bertahan, (4) Folklor biasanya bersifat anonim, yaitu nama penciptanya sudah tidak diketahui orang lagi, (5) Folklor biasanya mempunyai bentuk berumus atau berpola, (6) Folklor mempunyai kegunaan (function) dalam kehidupan bersama suatu kolektif, (7) Folklor bersifat pralogis, yaitu mempunyai logika sendiri yang tidak sesuai dengan logika umum. Ciri pengenal ini terutama berlaku bagi folklor lisan dan sebagian lisan, (8) Folklor menjadi milik bersama (collective) dari kolektif tertentu. Hal ini sudah tentu diakibatkan karena penciptanya yang pertama sudah tidak diketahui lagi, sehingga setiap anggota kolektif yang bersangkutan merasa memilikinya, dan (9) Folklor pada umumnya bersifat polos dan lugu, sehingga seringkali kelihatannya kasar, terlalu spontan. Hal ini dapat dimengerti apabila mengingat bahwa banyak folklor merupakan proyeksi emosi manusia yang paling jujur manifestasinya (Danandjaja, 1984:3-4).

William R. Bascom menggolongkan cerita rakyat menjadi tiga golongan besar, yatu : (1) mite, (2) legenda, dan (3) dongeng. Mite adalah cerita prosa rakyat yang dianggap benar-benar terjadi serta dianggap suci oleh yang empunya cerita. Mite menggunakan tokoh para dewa atau makhluk setengah dewa. Peristiwanya terjadi di dunia lain atau dunia yang bukan seperti yang dikenal sekarang, dan terjadi pada masa lampau. Legenda adalah prosa rakyat yang mempunyai ciri-ciri yang mirip dengan mite, yaitu dianggap suci. Legenda menggunakan tokoh manusia walaupun adakalanya mempunyai sifat-sifat luar biasa, dan seringkali juga dibantu makhluk-makhluk ajaib. Tempat terjadinya adalah di dunia yang seperti kita kenal sekarang karena waktu terjadinya belum terlalu lama. Dongeng adalah cerita rakyat yang dianggap tidak

benar-benar terjadi, bersifat khayal dan tidak terikat waktu maupun tempat (Danandjaja, 1984:50).

2.1.2 Nilai Budaya

Nilai budaya merupakan konsep hidup di dalam pikiran sebagian besar warga masyarakat mengenai hal-hal yang harus dianggap sangat bernilai dalam kehidupan. Sistem kebudayaan terdiri atas nilai budaya berupa gagasan yang sangat berharga bagi proses kehidupan. Oleh karena itu, nilai budaya dapat menentukan karakteristik suatu lingkungan kebudayaan di mana nilai tersebut dianut. Nilai budaya secara langsung atau tidak langsung tentu akan diwarnai oleh tindakan-tindakan masyarakatnya serta produk kebudayaan yang bersifat materil (Koentjaraningrat, 2002:41).

Di dalam tradisi lisan terpancar nilai, gagasan, norma, kepercayaan dan keyakinan yang dimiliki baik oleh individu maupun masyarakat. Nilai adalah sesuatu yang sesuai dengan norma ideal menurut masyarakat pada masa tertentu. Misalnya, sesuatu yang benar, yang indah, atau yang baik menurut penilaian seseorang harus sesuai dengan masyarakat zamannya. Menurut Bertens, untuk memahami apa yang disebut nilai, perlu dilakukan perbandingan fakta. “Fakta ditemui dalam konteks deskripsi: semua unsurnya dapat dilukiskan satu demi satu dan uraian itu pada prinsipnya dapat diterima oleh semua orang. Nilai berperanan dalam suasana apresiasi atau penilaian dan akibatnya sering akan dinilai secara berbeda oleh pelbagai orang.” Bertens juga mengemukakan tiga ciri nilai, yaitu: 1) Nilai berkaitan dengan subjek; kalau tidak ada subjek yang menilai, maka tidak ada nilai juga, 2) Nilai tampil dalam suatu konteks praktis, di mana subjek ingin berbuat sesuatu, dan 3) Nilai menyangkut sifat-sifat yang “ditambah” oleh subyek pada sifat-sifat yang dimiliki objek (Pudentia, 2008:338).

Nilai budaya itu adalah tingkat pertama kebudayaan ideal atau adat. Nilai budaya adalah lapisan paling abstrak dan luas ruang lingkupnya. Tingkat ini adalah ide-ide yang mengonsepsikan hal-hal yang paling bernilai dalam kehidupan masyarakat (Koentjaraningrat, 2002:8-25).

Selanjutnya dikemukakan oleh Koentjaraningrat, suatu sistem nilai-nilai budaya terdiri atas konsepsi-konsepsi yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar warga masyarakat mengenai hal-hal yang harus mereka anggap amat bernilai dalam hidup. Oleh karena itu, suatu sistem nilai budaya biasanya berfungsi sebagai pedoman tertinggi bagi kelakuan manusia. Sistem tata kelakuan manusia yang tingkatnya lebih konkret, seperti aturan-aturan khusus, hukum, dan norma-norma, semuanya juga berpedoman kepada sistem nilai budaya itu.

Nilai budaya dikelompokkan berdasarkan lima kategori hubungan manusia, yaitu (1) nilai budaya dalam hubungan manusia dengan Tuhan, (2) nilai budaya dalam hubungan manusia dengan alam, (3) nilai budaya dalam hubungan manusia dengan masyarakat, (4) nilai budaya dalam hubungan manusia dengan orang lain, dan (5) nilai budaya dalam hubungan manusia dengan diri sendiri (Djamaris dkk, 1996:3).

Selanjutnya Djamaris dkk. menjelaskan nilai budaya tersebut, yaitu sebagai berikut:

1) Nilai budaya dalam hubungan manusia dengan Tuhan

Perwujudan hubungan manusia dengan Tuhan, sebagai Yang Suci, Yang Mahakuasa, adalah hubungan yang paling mendasar dalam hakikat keberadaan manusia di dunia ini.

Berbagai cara dan bentuk dilakukan manusia untuk menunjukkan cinta kasih mereka kepada Tuhan, karena mereka ingin kembali dan bersatu dengan Tuhan. Nilai yang menonjol dalam

2) Nilai budaya dalam hubungan manusia dengan alam

Alam merupakan kesatuan kehidupan manusia di mana pun dia berada. Lingkungan ini membentuk, mewarnai, atau pun menjadi objek timbulnya ide-ide dan pola pikir manusia.

Manusia memandang alam karena masing-masing kebudayaan memiliki persepsi yang berbeda tentang alam. Ada kebudayaan yang memandang alam sebagai sesuatu yang dahsyat, ada pula kebudayaan memandang alam untuk ditaklukkan manusia, dan ada kebudayaan lain yang menganggap manusia hanya bisa berusaha mencari keselarasan dengan alam. Nilai yang menonjol dalam hubungan manusia dengan alam adalah nilai penyatuan dan pemanfaatan alam.

3) Nilai budaya dalam hubungan manusia dengan masyarakat

Nilai budaya dalam hubungan manusia dengan masyarakat adalah nilai-nilai yang berhubungan dengan kepentingan para anggota masyarakat sebagai individu, sebagai pribadi.

Individu atau perseorangan berusaha mematuhi nilai-nilai yang ada dalam masyarakat karena dia berusaha mengelompokkan diri dengan anggota masyarakat yang ada, yang sangat mementingkan kepentingan bersama bukan kepentingan diri sendiri. Kepentingan yang diutamaakan dalam kelompok atau masyarakat adalah kebersamaan.

4) Nilai budaya dalam hubungan manusia dengan orang lain

Sebagaimana telah dinyatakan dalam nilai budaya dalam hubungan manusia dengan masyarakat bahwa manusia adalah makhluk sosial pada dasarnya hidup dalam kesatuan kolektif, manusia dipastikan selalu berhubungan dengan manusia lain. Nilai budaya dalam hubungan manusia dengan orang lain adalah nilai keramahan dan kesopanan, penyantun/kasih sayang, kesetiaan, dan kepatuhan kepada orang tua.

5) Nilai budaya dalam hubungan manusia dengan diri sendiri

Manusia adalah makhluk sosial yang membutuhkan kehadiran orang lain dalam hidupnya. Di samping itu, manusia juga merupakan makhluk individu yang mempunyai keinginan pribadi untuk meraih kepuasan dan ketenangan hidup, baik lahariah dan bataniah.

Nilai budaya dalam hubungan manusia dengan diri sendiri adalah harga diri, kerja keras, kerendahan hati, bertanggung jawab, dan menuntut ilmu.

Kelima masalah pokok yang terjadi dalam kehidupan manusia di atas membentuk suatu kebudayaan tersendiri dan melahirkan nilai-nilai secara tidak sengaja akan terbentuk dalam masyarakat dan nilai-nilai itu akan dijadikan anutan dari satu generasi ke generasi berikutnya sehingga dianggap suatu yang sangat bernilai. Hal itu terjadi karena nilai-nilai itu sudah menjadi konsep yang hidup dalam alam pikiran masyarakat akan segala hal yang dianggap amat bernilai dalam hidup.

Nilai budaya yang menjadi fokus penelitian ini adalah nilai budaya dalam hubungan manusia dengan masyarakat. masyarakat adalah suatu kelompok manusia, yang di antara para anggotanya terjadi komunikasi, pertalian dan akhirnya saling mempengaruhi antara satu dan yang lain. Hal ini dilakukan oleh para anggota masyarakat dalam suatu golongan karena manusia tidak dapat hidup menyendiri. Manusia dalam individu dalam masyarakat tidak terlihat perananya, yang lebih jelas tampak adalah kebersamaannya. Kebersamaan dapat diketahui dalam cerita rakyat, karena cerita rakyat adalah cerminan kehidupan masyarakat lama, baik berbentuk dongeng, mite, maupun legenda. Dalam masyarakat akan ditemukan hal-hal dan nilai-nilai tertentu yang dipandang baik dalam kehidupan bersama dengan masyarakat. Nilai yang dianggap

baik adalah nilai-nilai yang dapat menjadikan manusia dipandang sebagai manusia ideal dalam masyarakat (Djamaris dkk, 1996:5-6).

Nilai budaya yang termasuk dalam hubungan manusia dengan masyarakat adalah: 1) musyawarah, 2) kebijaksanaan, 3) kerukunan, 4) kepatuhan, 5) gotong royong, 6) keadilan, 7) cinta damai, 8) saling menghormati, 9) kewaspadaan, 10) kerelaan berkorban, dan 11) tanggung jawab.

2.2 Tinjauan Pustaka

Berdasarkan pengamatan peneliti, tidak ditemukan penelitian yang membahas nilai budaya dalam cerita rakyat RB dengan menggunakan teori antropologi sastra. Namun sudah dilakukan penelitian tentang sastra lisan di Simalungun dan nilai budaya pada karya sastra Nusantara serta beberapa penelitian dengan menggunakan pendekatan antropologi sastra.

Penelitian tentang sastra lisan di Kabupaten Simalungun sudah pernah dilakukan oleh Damanik dkk. dan hasil penelitian mereka telah dibukukan berjudul Sastra Lisan Simalungun (1986). Penelitian itu mengkhususkan pada sastra lisan Simalungun. Hasil penelitian Damanik dkk. menyatakan bahwa jenis sastra lisan yang ditemukan yang berbentuk prosa adalah mite, legenda, dan dongeng, sedangkan yang berbentuk puisi adalah umpasa (pantun) dan Hutinta (teka-teki). Adapun cerita rakyat (mite, legenda, dan dongeng) yang berhasil dicatat berjumlah 38 buah cerita dalam bahasa Indonesia dan puisi (umpasa (pantun) dan Hutinta (teka-teki) yang berhasil dicatat berjumlah enam buah dalam bahasa Simalungun yang kemudian cerita-cerita itu diterjemahkan dan ditranskripsikan.

Penelitian tentang nilai budaya sudah pernah dilakukan oleh Djamaris dkk. dan hasil penelitian mereka telah dibukukan berjudul Nilai Budaya dalam Beberapa Karya Sastra

Nusantara: Sastra Daerah di Sumatera (1993) dan Nilai Budaya dalam Beberapa Karya Sastra Nusantara: Sastra Daerah di Kalimantan (1996). Penelitian ini mengkhususkan meneliti karya sastra dengan menganalisis nilai budaya dalam karya-karya sastra di Nusantara seperti daerah Sumatera dan Kalimantan. Hasil penelitian Djamaris dkk. menyatakan bahwa nilai budaya terbagi menjadi lima kelompok besar yaitu, 1) Nilai budaya dalam hubungan manusia dengan Tuhan, 2) Nilai budaya dalam hubungannya dengan alam, 3) Nilai budaya dalam hubungan manusia dengan masyarakat, 4) Nilai budaya dalam hubungan manusia dengan manusia lain, dan 5) Nilai budaya dalam hubungan manusia dengan diri sendiri. Adapun nilai budaya diteliti dengan menggunakan karya-karya sastra dari daerah Sumatera yaitu dari daerah Sumatera Utara, Aceh, Riau, Jambi, Sumatera Barat, Bengkulu, Sumatera Selatan, dan Lampung. Kemudian dari Kalimantan yaitu dari daerah Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Selatan.

Ayuningtias (2015) mahasiswa Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta dalam tesisnya berjudul “Nilai Budaya Pada Novel Gugur Bunga Kedaton Karya Wahyu H.R:

Kajian Antropologi Sastra” mendeskripsikan nilai kebudayaan yang terdapat dalam novel Gugur Bunga Kedaton dengan menggunakan teori yang dipaparkan oleh Djamaris. Penelitian ini menggunakan metode heuristik dan hermeneutik. Hasil penelitian menyatakan bahwa dalam novel tersebut terdapat lima nilai budaya yaitu, nilai budaya dalam hubungan manusia dengan Tuhan yang terdiri dari nilai ketakwaan, iman kepada takdir, bersyukur, dan keridaan. Nilai budaya dalam hubungan manusia dengan orang lain yang terdiri dari nilai kasih sayang, kesetiaan, kepatuhan, dan kebijaksanaan. Nilai budaya dalam hubungan manusia dengan masyarakat yaitu nilai musyawarah, gotong-royong, keselarasan, dan solidaritas. Nilai budaya dalam hubungan manusia dengan alam yaitu nilai manusia yang bersatu dengan alam dan nilai

manusia yang menaklukkan alam. Nilai budaya dalam hubungan manusia dengan dirinya sendiri

manusia yang menaklukkan alam. Nilai budaya dalam hubungan manusia dengan dirinya sendiri

Dokumen terkait