• Tidak ada hasil yang ditemukan

NILAI BUDAYA DALAM CERITA RAKYAT RATTING BUNGA: TINJAUAN ANTROPOLOGI SASTRA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "NILAI BUDAYA DALAM CERITA RAKYAT RATTING BUNGA: TINJAUAN ANTROPOLOGI SASTRA"

Copied!
58
0
0

Teks penuh

(1)

NILAI BUDAYA DALAM CERITA RAKYAT RATTING BUNGA:

TINJAUAN ANTROPOLOGI SASTRA

SKRIPSI

OLEH JEANNE MERRIE

130701070

PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2017

(2)

Nilai Budaya dalam Cerita Rakyat Ratting Bunga:

Tinjauan Antropologi Sastra

Skripsi

Oleh Jeanne Merrie

130701070

Program Studi Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya

Universitas Sumatera Utara Medan

2017

(3)
(4)

Lembar Pengesahan

Nilai Budaya dalam Cerita Rakyat Ratting Bunga:

Tinjauan Antropologi Sastra

Oleh Jeanne Merrie

130701070

Skripsi ini Diterima oleh Panitia Ujian Program Studi Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana

Panitia Ujian

No. Nama Jabatan Tanda Tangan

1. Drs. Haris Sutan Lubis, M.S.P. Ketua 2. Drs. Amhar Kudadiri, M. Hum. Sekretaris 3. Drs. Hariadi Susilo, M.Si. Anggota

4. Drs. Irwansyah, M.S. Anggota

5. Prof. Dr. Ikhwanuddin Nasution, M.Si. Anggota 6. Drs. Nurhayati Harahap, M.Si. Anggota

7. Drs. Isma Tantawi, M.Si. Anggota

(5)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan pada suatu perguruan tinggi dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh pihak lain, kecuali yang saya kutip dalam naskah ini dan dituliskan di dalam daftar pustaka. Apabila pernyataan yang saya buat ini tidak benar, saya bersedia menerima sanksi berupa pembatalan gelar yang saya peroleh.

Medan, April 2017 Hormat saya,

Jeanne Merrie

(6)

NILAI BUDAYA DALAM CERITA RAKYAT RATTING BUNGA:

TINJAUAN ANTROPOLOGI SASTRA

OLEH JEANNE MERRIE

ABSTRAK

Penelitian ini membahas mengenai nilai budaya dalam hubungan manusia dengan masyarakat yang terdapat pada cerita rakyat Ratting Bunga. Nilai budaya adalah konsep yang hidup dalam pikiran sebagian besar warga masyarakat mengenai hal-hal yang dianggap berharga dalam kehidupan. Nilai budaya dianggap sebagai pedoman tertinggi dalam kehidupan bermasyarakat.

Penelitian ini menggunakan teori antropologi sastra yaitu teori yang membahas mengenai karya sastra dan hubungannya dengan kebudayaan. Dalam penelitian ini digunakan pendekatan nilai budaya oleh Djamaris yang mengelompokkan hubungan manusia menjadi lima bagian, salah satu diantaranya adalah hubungan manusia dengan masyarakat yang menjadi fokus penelitian ini.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif dengan studi pustaka dan teknik simak dan catat sebagai teknik pengumpulan data. Heuristik dan hermeneutik digunakan sebagai teknik dalam menganalisis data, serta digunakan teknik analisis deskriptif untuk mendeskripsikan data yang telah dikumpulkan dan diolah. Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa terdapat sebelas nilai budaya dalam hubungan manusia dengan masyarakat pada cerita rakyat Ratting Bunga yaitu: 1) musyawarah, 2) kebijaksanaan, 3) kerukunan, 4) kepatuhan, 5) gotong royong, 6) keadilan, 7) cinta damai, 8) saling menghormati, 9) kewaspadaan, 10) kerelaan berkorban, dan 11) tanggung jawab.

Kata Kunci: cerita rakyat, nilai budaya, dan masyarakat

(7)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis sampaikan kepada Allah SWT, karena berkat rahmat dan hidayah-Nya karya tulis yang berupa skripsi ini dapat juga terselesaikan. Skripsi yang diberi judul Nilai Budaya dalam Cerita Rakyat Ratting Bunga: Tinjauan Antropologi Sastra ini merupakan salah satu syarat untuk mencapai derajat sarjana S1 pada Program Studi Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

Proses dari awal sampai akhir penulisan skripsi ini sangat banyak kesulitan yang penulis alami, namun berkat saran dan dukungan dari semua pihak, semua hambatan dapat penulis atasi.

Terwujudnya skripsi ini tentunya setelah menempuh perjalanan panjang serta tidak terlepas dari bantuan banyak pihak. Pada tempatnyalah penulis mengucapkan rasa terima kasih dan penghargaan kepada beliau-beliau yang telah berjasa mengarahkan, membimbing, dan mendorong penulis sehingga dapat menyelesaikan studi yang ditempuh.

Kepada Bapak Drs. Hariadi Susilo, M.Si. sebagai pembimbing I yang dengan sepenuh hati beliau telah mencurahkan seluruh perhatiannya demi kemajuan penulisan skripsi yang penulis lakukan dan memberikan saran-saran perbaikan serta motivasi untuk tetap semangat dalam mengerjakan skripsi ini. Untuk semua itu penulis menyampaikan rasa terima kasih yang tiada terhingga dan penghargaan yang setinggi-tingginya.

Kepada Bapak Drs. Irwansyah, M.S. sebagai pembimbing II yang telah memberikan perhatiannya dan membantu penulis dengan meminjamkan buku-buku dari perpustakaan pribadi beliau serta memberikan petunjuk dan nasihat-nasihatnya yang terus memacu penulis untuk menyelesaikan penulisan skripsi ini. Untuk semua itu penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya serta penghargaan yang setinggi-tingginya.

Bapak Rektor Universitas Sumatera Utara dan Bapak Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara yang telah berkenaan menerima penulis untuk menempuh pendidikan di lembaga pendidikan tinggi yang beliau pimpin. Terima kasih atas kesempatan dan fasilitas-fasilitas yang telah penulis gunakan selama kuliah di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara, Medan.

(8)

Bapak Ketua dan Sekretaris Program Studi Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara. Terima kasih atas semua petunjuk yang telah diberikan kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan semua urusan administrasi di Program Studi Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara, Medan.

Bapak Slamet sebagai staf di Program Studi Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan hal-hal yang berhubungan dengan kelengkapan penyusunan skripsi dan telah memberikan saran-saran yang banyak membantu penulis dalam penyusunan skripsi ini. Untuk semua itu penulis menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya serta penghargaan yang sedalam- dalamnya.

Seluruh dosen yang telah membuka mata penulis akan kekayaan khazanah budaya bangsa dan menambah wawasan cakrawala ilmu pengetetahuan

Teman-teman angkatan 2013, sebagai teman senasib-sepenanggungan ikut memberi sumbangan pemikiran dan motivasi untuk menyelesaikan skripsi ini dengan cepat.

Ayahanda dan Ibunda yang senantiasa selalu berdoa untuk anaknya, sehingga ananda dapat meraih gelar sarjana pada Program Studi Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

Kakanda Shan Febrian yang selalu berdoa dan ikhlas berkurban dana demi adiknya serta selalu memberikan perhatiannya atas perkembangan skripsi ini. Adikku Stacia Aprilia yang sabar menemani penulis ketika penulis harus pergi mencari bahan-bahan untuk penulisan skripsi ini.

Keempat sahabat akrab penulis Adenisa, Chenny, Siti dan Mintauli yang selalu memberikan pandangan-pandangan, saran, motivasi atas perkembangan skripsi ini serta selalu menyemangati dan menghibur penulis ketika dalam kondisi yang membuat penulis merasa kurang bersemangat.

Semua pihak yang pernah membantu penulis. Terima kasih atas segala bentuk bantuannya. Walau penulis tidak sebutkan namanya satu per satu namun penulis tetap mengenangnya sampai akhir hayat.

(9)

Akhir kata, dalam usaha pengumpulan dan pengolahan data serta penulisan skripsi ini, penulis telah berusaha sungguh-sungguh. Namun demikian, jika ada kekurangan dan kelemahan, penulis bersedia menerima saran yang bersifat membina, demi sikap ilmiah dan perbaikan bagi penulis pada masa mendatang. Semoga skripsi ini ada manfaatnya bagi dunia Sastra Indonesia.

Medan, April 2017 Penulis,

Jeanne Merrie NIM 130701070

(10)

DAFTAR ISI

LEMBAR PERSETUJUAN LEMBAR PENGESAHAN

PERNYATAAN...i

ABSTRAK ...ii

PRAKATA ... iii

DAFTAR ISI... vi

BAB I PENDAHULUAN ...1

1.1 Latar Belakang ...5

1.2 Batasan Masalah ...5

1.3 Rumusan Masalah ...5

1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian ...6

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA ...8

2.1 Konsep ...8

2.1.1 Cerita Rakyat ...8

2.1.2 Nilai Budaya ... 11

2.2 Tinjauan Pustaka ... 17

2.3 Landasan Teori ... 20

2.3.1 Antropologi Sastra ... 20

BAB III METODE PENELITIAN ... 23

3.1 Metode Penelitian ... 23

3.2 Sumber Data ... 23

3.3 Teknik Pengumpulan Data ... 24

3.4 Teknik Pengolahan Data ... 25

3.5 Teknik Analisis Data ... 25

(11)

BAB IV NILAI BUDAYA DALAM HUBUNGAN MANUSIA

DENGAN MASYARAKAT... 27

4.1 Bagan Ringkasan Cerita Rakyat Ratting Bunga... 27

4.2 Nilai Budaya Dalam Hubungan Manusia dengan Masyarakat Pada Cerita Ratting Bunga ... 33

4.2.1 Nilai Musyawarah ... 33

4.2.2 Nilai Kebijaksanaan ... 35

4.2.3 Nilai Kerukunan ... 37

4.2.4 Nilai Kepatuhan ... 39

4.2.5 Nilai Gotong Royong ... 41

4.2.6 Nilai Keadilan ... 43

4.2.7 Nilai Cinta Damai ... 44

4.2.8 Nilai Saling Menghormati ... 46

4.2.9 Nilai Kewaspadaan ... 47

4.2.10 Nilai Kerelaan Berkorban ... 49

4.2.11 Nilai Tanggung Jawab ... 50

BAB V SIMPULAN DAN SARAN ... 53

5.1 Simpulan ... 53

5.2 Saran ... 53

DAFTAR PUSTAKA ... 55

(12)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Provinsi Sumatera Utara dikenal dengan keberagaman sukunya Setiap suku mempunyai bahasa dan sastra. Tiada masyarakat tanpa sastra (Teeuw, 1982:7). Ada delapan suku bangsa yang menghuni daerah Provinsi Sumatera Utara, yaitu suku Batak Toba, Karo, Simalungun, Angkola/Mandailing, Pakpak/Dairi, Melayu, Nias, dan suku Pesisir yang mendiami daerah Tapanuli Tengah dan Sibolga. Kedelapan suku bangsa ini masing-masing memiliki budaya dan juga perbedaan (Siregar, 2004:125). Keberagaman suku bangsa di Provinsi Sumatera Utara mencerminkan kekayaan khazanah sastra Sumatera Utara. Menurut Irwansyah (dalam Sinar dan Nasution, 2011:31) sebutir di antara kekayaan itu adalah berupa cerita rakyat seperti mite, legenda, ataupun dongeng.

Salah satu suku bangsa yang tinggal di Provinsi Sumatera Utara adalah suku Simalungun.

Suku Simalungun menetap di daerah Kabupaten Simalungun dan sekitarnya. Suku ini memiliki marga (nama keluarga) yang terbagi menjadi empat marga besar, yaitu Damanik, Saragih, Sinaga, dan Purba (Purba dan Purba, 1995:4-5). Setiap suku memiliki sastra, begitu pula dengan suku Simalungun. Suku Simalungun memiliki sastra lisan dan sastra tulisan. Cerita rakyat merupakan bagian dari sastra lisan yang pernah hidup dan menjadi milik masyarakat.

Cerita rakyat Simalungun sebagai bagian dari kebudayaan daerah Sumatera Utara sangat beragam jenis dan isinya. Isinya menunjukkan kekayaan budaya dalam bentuk nilai-nilai, gagasan, cita-cita, dan pedoman hidup masyarakat Simalungun pada masa lampau baik tentang manusia secara pribadi maupun manusia dalam hubungannya dengan alam dan lingkungan

(13)

hidupnya. Jadi, bagaimana para leluhur suku Simalungun di Provinsi Sumatera Utara zaman dahulu memperlakukan lingkungan hidupnya, dapat tercerminkan dalam cerita rakyat. Dalam cerita rakyat terdapat buah pikiran warisan leluhur bangsa yang mengandung bermacam-macam pesan. Cerita rakyat sebagai bagian dari kebudayaan mengandung berbagai gagasan dan nilai- nilai yang bermanfaat bagi pengembangan karakter bangsa.

Salah satu nilai tersebut adalah nilai budaya. Menurut Koentjaraningrat (2002:40), nilai budaya berfungsi sebagai pedoman tertinggi bagi kelakuan manusia. Melalui cerita rakyat, masyarakat Indonesia masa kini akan mengenal nilai-nilai budaya nenek moyang mereka. Sudah menjadi anggapan umum bahwa cerita rakyat mengandung nilai-nilai budaya. Banyak di antara cerita rakyat mengandung ide yang besar, buah pikiran yang luhur, pengalaman jiwa yang berharga, dan pertimbangan-pertimbangan yang luhur tentang sifat-sifat baik dan buruk. Nilai- nilai budaya tersebut banyak memberikan teladan bagi masyarakat.

Cerita rakyat Ratting Bunga (selanjutnya RB) merupakan cerita rakyat Simalungun yang sudah ditulis dalam bentuk buku. Cerita rakyat ini memenangkan juara tiga dalam lomba penulisan cerita rakyat Sumatera Utara yang dilaksanakan oleh Badan Perpustakaan Arsip dan Dokumentasi Provinsi Sumatera Utara (BAPERDASU) pada tahun 2010. Cerita rakyat RB menceritakan kisah raja-raja Simalungun dari beberapa nagori (nagari/desa/kelurahan), yaitu Raja Dugur Dunia dari Nagori Purba dan Raja Saritoulela dari Nagori Saritoulela. Pada mulanya, kedua raja tersebut hidup rukun dengan masyarakatnya sampai konflik muncul ketika Raja Saritoulela ingin menguasai Nagori Purba. Dia mengajak Raja Dugur Dunia bertanding untuk memperebutkan Nagori Purba. Adapun pertandingan yang dilakukan adalah lomba teka-teki, pacuan kuda dan lomba layang-layang. Raja Dugur Dunia memenangkan pertandingan ini, maka

(14)

Raja Saritoulela kalah dalam pertandingan dan memutuskan untuk pergi dari nagorinya dan tinggal di sebuah gua dalam hutan, di sana dia mendekatkan diri dengan sang pencipta dan menjadikan dirinya seorang datu.

Beberapa tahun kemudian, ketika muncul masalah karena putri Raja Dugur Dunia, Ratting Bunga, diperebutkan oleh tujuh putra raja untuk menjadi istri mereka. Raja Saritoulela yang mengatasi masalah ini, dengan kesaktian yang dimiliki Raja Saritoulela sebagai seorang datu. Maka, Ratting Bunga diciptakan menjadi tujuh orang. Tidak diketahui yang mana Ratting Bunga yang asli. Pada akhirnya yang hanya mengetahui Ratting Bunga yang asli adalah ayahnya sendiri, Raja Dugur Dunia dan Raja Saritoulela.

Nilai budaya dalam cerita RB ini tercermin dalam tokoh-tokoh yang terdapat di dalam cerita tersebut, nilai budaya itu seperti nilai kerukunan yang ditunjukkan oleh tujuh putra raja, nilai musyawarah yang dilakukan oleh masyarakat Simalungun untuk mencapai kesepakatan tertentu, dan nilai kebijaksanaan yang dicerminkan oleh Raja Dugur Dunia. Nilai-nilai tersebut dapat membantu pengembangan karakter bangsa terkhususnya karakter suku Simalungun dan karakter bangsa Indonesia pada umumnya.

Menurut Baroroh dkk. (dalam Irwansyah 1989:8), bagi bangsa Indonesia yang tengah giat membangun, usaha menggali nilai-nilai luhur dari karya-karya sastra lama perlu digalakkan karena banyak nilai-nilai yang dapat diangkat dari dalamnya. Dalam karya-karya sastra itu terkandung sesuatu yang penting dan berharga, yaitu sebagian warisan rohani bangsa Indonesia berupa perbendaharaan pikiran dan cita-cita para leluhur kita. Dengan mempelajari sastra itu dapat dipahami dan dihayati pikiran dan cita-cita itu, di samping sastra lama juga merupakan sumber ilham yang sangat dibutuhkan bagi pengembangan kebudayaan.

(15)

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, nilai budaya yang terdapat dalam cerita rakyat RB menarik diteliti meskipun kejadiannya sudah terjadi di masa lampau. Nilai budaya dalam cerita RB akan dikaji dengan pendekatan antropologi sastra sebagai studi karya sastra dengan relevansi manusia. Cerita RB banyak mengisahkan mengenai budaya suku Simalungun.

Oleh karena itu, perlu diadakan satu penelitian mendalam terhadap cerita tersebut. Sehubungan dengan itu penelitian ini dibuat untuk menganalisis sejauh mana nilai budaya yang terdapat dalam cerita rakyat RB.

1.1 Batasan Masalah

Penelitian ini dibatasi agar penelitian terarah dan terfokus pada masalah yang telah dibatasi sehingga tidak terjadi pembahasan yang terlalu luas. Peneliti membuat batasan masalah sesuai dengan judul dan latar belakang masalah. Fokus penelitian ini hanya tertuju kepada nilai budaya dalam hubungan manusia dengan masyarakat pada cerita rakyat Ratting Bunga.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang dan batasan masalah, rumusan masalah penelitian ini adalah, bagaimanakah nilai budaya dalam hubungan manusia dengan masyarakat yang terdapat dalam cerita rakyat Ratting Bunga?

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.3.1 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan nilai budaya dalam hubungan manusia dengan masyarakat yang terdapat dalam cerita rakyat Ratting Bunga.

(16)

1.3.2 Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut.

1.3.3 Manfaat Teoretis

1. Hasil penelitian ini dapat digunakan untuk memahami nilai budaya pada cerita rakyat Ratting Bunga.

2. Penelitian ini dapat memberi manfaat kepada pembaca untuk memahami teori antropologi sastra untuk menganalisis karya sastra.

3. Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat menambah wawasan bagi pembaca untuk penelitian selanjutnya.

1.3.4 Manfaat Praktis

1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu masyarakat untuk lebih menghargai, menjaga, dan melestarikan nilai budaya yang dimiliki oleh setiap suku yang ada di Indonesia.

2. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khasanah kebudayaan daerah dan kesusastraan Indonesia.

3. Memberikan informasi kepada pembaca tentang nilai budaya yang terdapat dalam cerita rakyat Ratting Bunga.

(17)

BAB II

KONSEP, TINJAUAN PUSTAKA, DAN LANDASAN TEORI 2.1 Konsep

2.1.1 Cerita Rakyat

Cerita rakyat adalah cerita yang pendek tentang orang-orang atau peristiwa-peristiwa suatu kelompok suku atau bangsa yang diwariskan secara turun-menurun, biasanya secara lisan (Sumardjo dkk, 1986:36). Pada umumnya cerita rakyat mengisahkan suatu kejadian di suatu tempat atau asal muasal suatu tempat. Cerita rakyat dapat diartikan sebagai ekspresi budaya suatu masyarakat melalui bahasa tutur yang berhubungan langsung dengan berbagai aspek budaya dan susunan nilai-nilai dalam suatu masyarakat.

Cerita rakyat merupakan tradisi lisan yang secara turun-temurun diwariskan dalam kehidupan masyarakat. Cerita rakyat biasanya berbentuk tuturan yang berfungsi sebagai media pengungkapan perilaku tentang nilai-nilai kehidupan yang melekat dalam kehidupan masyarakat (Bunanta, 1998:21). Cerita rakyat adalah cerita yang bersifat khayalan, tetapi erat kaitannya dengan keadaan dan situasi kehidupan masyarakat sehari-hari. Cerita rakyat mengandung nilai- nilai, pendidikan dan pelajaran moral maupun intelektual.

Cerita rakyat merupakan bagian dari folklor. Menurut Alan Dundes, folk adalah sekelompok orang yang memiliki ciri-ciri pengenal fisik, sosial, dan kebudayaan sehingga dapat dibedakan dengan kelompok-kelompok lainnya. Istilah lore ditilik dari segi isinya dan anggapan masyarakat terhadap tokoh-tokoh maupun ceritanya, maka cerita merupakan tradisi folk.

Menurut Dananjaja, folklor adalah sebagian kebudayaan suatu kolektif yang tersebar dan diwariskan secara turun-temurun, di antara kolektif macam apa saja, secara tradisional dalam

(18)

versi yang berbeda, baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat (Danandjaja, 1984:1).

Brunvand membedakan folklor menjadi tiga macam, yaitu: 1) Folklor lisan (verbal folklore), 2) folklor setengah lisan (partly verbal folklore), dan 3) folklor bukan lisan (nonverbal folklore). Secara prktis ketiganya dapat dikenali dari bentuk masing-masing, yaitu oral (mentifact), social (sociafact), dan material (artifact). Folklor lisan terdiri atas: a) ungkapan tradisional (pepatah, peribahasa, semboyan), b) nyanyian rakyat (nyanyian untuk menidurkan anak seperti nina bobok), c) bahasa rakyat (dialek, julukan, sindiran, bahasa rahasia, bahasa remaja, dan sebagainya), d) teka-teki (berbagai bentuk tanya jawab pada umumnya untuk mengasah pikiran), e) cerita rakyat (mite, legende, sage). Folklor setengah lisan, di antaranya: a) drama rakyat (ketoprak, ludruk, wayang kulit, legendria, arja), b) tari (serimpi, maengket, pendet), c) upacara (kelahiran, perkawinan, kematian), d) permainan dan hiburan rakyat (sembunyi-sembunyian, teka-teki), e) adat kebiasaan (gotong royong, menjenguk orang mati), f) pesta rakyat (sekaten, pesta kesenian Bali). Folklor nonlisan di antaranya” a) material (mainan, makanan, arsitektur, alat-alat, musik, pakaian, perhiasan, obat-obatan, dan sebagainya), b) bukan material (bunyi musik, bunyi gemelan, bahasa isyarat) (Ratna, 2011: 102).

Ciri-ciri pengenal utama folklor adalah: (1) Penyebaran dan pewarisannya biasanya dilakukan secara lisan, yakni disebarkan melalui tutur kata dari mulut ke mulut dari satu (atau dengan suatu contoh yang disertai dengan gerak isyarat, dan alat pembantu pengingat) dari satu generasi ke generasi berikutnya, (2) Folklor bersifat tradisional, yaitu disebarkan dalam bentuk yang relatif tetap atau dalam bentuk standar. Disebarkan di antara kolektif tertentu dalam waktu yang cukup lama (paling sedikit dua generasi), (3) Folklor ada (exist) dalam versi yang berbeda- beda. Hal ini diakibatkan oleh cara penyebarannya yang secara lisan dari mulut ke mulut, dan

(19)

biasanya bukan melalui catatan atau rekaman, sehingga folklor dengan mudah dapat mengalami perubahan, walaupun demikian perbedaannya terletak pada bagian luarnya saja, sedangkan bentuk dasarnya tetap bertahan, (4) Folklor biasanya bersifat anonim, yaitu nama penciptanya sudah tidak diketahui orang lagi, (5) Folklor biasanya mempunyai bentuk berumus atau berpola, (6) Folklor mempunyai kegunaan (function) dalam kehidupan bersama suatu kolektif, (7) Folklor bersifat pralogis, yaitu mempunyai logika sendiri yang tidak sesuai dengan logika umum. Ciri pengenal ini terutama berlaku bagi folklor lisan dan sebagian lisan, (8) Folklor menjadi milik bersama (collective) dari kolektif tertentu. Hal ini sudah tentu diakibatkan karena penciptanya yang pertama sudah tidak diketahui lagi, sehingga setiap anggota kolektif yang bersangkutan merasa memilikinya, dan (9) Folklor pada umumnya bersifat polos dan lugu, sehingga seringkali kelihatannya kasar, terlalu spontan. Hal ini dapat dimengerti apabila mengingat bahwa banyak folklor merupakan proyeksi emosi manusia yang paling jujur manifestasinya (Danandjaja, 1984:3-4).

William R. Bascom menggolongkan cerita rakyat menjadi tiga golongan besar, yatu : (1) mite, (2) legenda, dan (3) dongeng. Mite adalah cerita prosa rakyat yang dianggap benar- benar terjadi serta dianggap suci oleh yang empunya cerita. Mite menggunakan tokoh para dewa atau makhluk setengah dewa. Peristiwanya terjadi di dunia lain atau dunia yang bukan seperti yang dikenal sekarang, dan terjadi pada masa lampau. Legenda adalah prosa rakyat yang mempunyai ciri-ciri yang mirip dengan mite, yaitu dianggap suci. Legenda menggunakan tokoh manusia walaupun adakalanya mempunyai sifat-sifat luar biasa, dan seringkali juga dibantu makhluk-makhluk ajaib. Tempat terjadinya adalah di dunia yang seperti kita kenal sekarang karena waktu terjadinya belum terlalu lama. Dongeng adalah cerita rakyat yang dianggap tidak

(20)

benar-benar terjadi, bersifat khayal dan tidak terikat waktu maupun tempat (Danandjaja, 1984:50).

2.1.2 Nilai Budaya

Nilai budaya merupakan konsep hidup di dalam pikiran sebagian besar warga masyarakat mengenai hal-hal yang harus dianggap sangat bernilai dalam kehidupan. Sistem kebudayaan terdiri atas nilai budaya berupa gagasan yang sangat berharga bagi proses kehidupan. Oleh karena itu, nilai budaya dapat menentukan karakteristik suatu lingkungan kebudayaan di mana nilai tersebut dianut. Nilai budaya secara langsung atau tidak langsung tentu akan diwarnai oleh tindakan-tindakan masyarakatnya serta produk kebudayaan yang bersifat materil (Koentjaraningrat, 2002:41).

Di dalam tradisi lisan terpancar nilai, gagasan, norma, kepercayaan dan keyakinan yang dimiliki baik oleh individu maupun masyarakat. Nilai adalah sesuatu yang sesuai dengan norma ideal menurut masyarakat pada masa tertentu. Misalnya, sesuatu yang benar, yang indah, atau yang baik menurut penilaian seseorang harus sesuai dengan masyarakat zamannya. Menurut Bertens, untuk memahami apa yang disebut nilai, perlu dilakukan perbandingan fakta. “Fakta ditemui dalam konteks deskripsi: semua unsurnya dapat dilukiskan satu demi satu dan uraian itu pada prinsipnya dapat diterima oleh semua orang. Nilai berperanan dalam suasana apresiasi atau penilaian dan akibatnya sering akan dinilai secara berbeda oleh pelbagai orang.” Bertens juga mengemukakan tiga ciri nilai, yaitu: 1) Nilai berkaitan dengan subjek; kalau tidak ada subjek yang menilai, maka tidak ada nilai juga, 2) Nilai tampil dalam suatu konteks praktis, di mana subjek ingin berbuat sesuatu, dan 3) Nilai menyangkut sifat-sifat yang “ditambah” oleh subyek pada sifat-sifat yang dimiliki objek (Pudentia, 2008:338).

(21)

Nilai budaya itu adalah tingkat pertama kebudayaan ideal atau adat. Nilai budaya adalah lapisan paling abstrak dan luas ruang lingkupnya. Tingkat ini adalah ide-ide yang mengonsepsikan hal-hal yang paling bernilai dalam kehidupan masyarakat (Koentjaraningrat, 2002:8-25).

Selanjutnya dikemukakan oleh Koentjaraningrat, suatu sistem nilai-nilai budaya terdiri atas konsepsi-konsepsi yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar warga masyarakat mengenai hal-hal yang harus mereka anggap amat bernilai dalam hidup. Oleh karena itu, suatu sistem nilai budaya biasanya berfungsi sebagai pedoman tertinggi bagi kelakuan manusia. Sistem tata kelakuan manusia yang tingkatnya lebih konkret, seperti aturan-aturan khusus, hukum, dan norma-norma, semuanya juga berpedoman kepada sistem nilai budaya itu.

Nilai budaya dikelompokkan berdasarkan lima kategori hubungan manusia, yaitu (1) nilai budaya dalam hubungan manusia dengan Tuhan, (2) nilai budaya dalam hubungan manusia dengan alam, (3) nilai budaya dalam hubungan manusia dengan masyarakat, (4) nilai budaya dalam hubungan manusia dengan orang lain, dan (5) nilai budaya dalam hubungan manusia dengan diri sendiri (Djamaris dkk, 1996:3).

Selanjutnya Djamaris dkk. menjelaskan nilai budaya tersebut, yaitu sebagai berikut:

1) Nilai budaya dalam hubungan manusia dengan Tuhan

Perwujudan hubungan manusia dengan Tuhan, sebagai Yang Suci, Yang Mahakuasa, adalah hubungan yang paling mendasar dalam hakikat keberadaan manusia di dunia ini.

Berbagai cara dan bentuk dilakukan manusia untuk menunjukkan cinta kasih mereka kepada Tuhan, karena mereka ingin kembali dan bersatu dengan Tuhan. Nilai yang menonjol dalam

(22)

2) Nilai budaya dalam hubungan manusia dengan alam

Alam merupakan kesatuan kehidupan manusia di mana pun dia berada. Lingkungan ini membentuk, mewarnai, atau pun menjadi objek timbulnya ide-ide dan pola pikir manusia.

Manusia memandang alam karena masing-masing kebudayaan memiliki persepsi yang berbeda tentang alam. Ada kebudayaan yang memandang alam sebagai sesuatu yang dahsyat, ada pula kebudayaan memandang alam untuk ditaklukkan manusia, dan ada kebudayaan lain yang menganggap manusia hanya bisa berusaha mencari keselarasan dengan alam. Nilai yang menonjol dalam hubungan manusia dengan alam adalah nilai penyatuan dan pemanfaatan alam.

3) Nilai budaya dalam hubungan manusia dengan masyarakat

Nilai budaya dalam hubungan manusia dengan masyarakat adalah nilai-nilai yang berhubungan dengan kepentingan para anggota masyarakat sebagai individu, sebagai pribadi.

Individu atau perseorangan berusaha mematuhi nilai-nilai yang ada dalam masyarakat karena dia berusaha mengelompokkan diri dengan anggota masyarakat yang ada, yang sangat mementingkan kepentingan bersama bukan kepentingan diri sendiri. Kepentingan yang diutamaakan dalam kelompok atau masyarakat adalah kebersamaan.

4) Nilai budaya dalam hubungan manusia dengan orang lain

Sebagaimana telah dinyatakan dalam nilai budaya dalam hubungan manusia dengan masyarakat bahwa manusia adalah makhluk sosial pada dasarnya hidup dalam kesatuan kolektif, manusia dipastikan selalu berhubungan dengan manusia lain. Nilai budaya dalam hubungan manusia dengan orang lain adalah nilai keramahan dan kesopanan, penyantun/kasih sayang, kesetiaan, dan kepatuhan kepada orang tua.

(23)

5) Nilai budaya dalam hubungan manusia dengan diri sendiri

Manusia adalah makhluk sosial yang membutuhkan kehadiran orang lain dalam hidupnya. Di samping itu, manusia juga merupakan makhluk individu yang mempunyai keinginan pribadi untuk meraih kepuasan dan ketenangan hidup, baik lahariah dan bataniah.

Nilai budaya dalam hubungan manusia dengan diri sendiri adalah harga diri, kerja keras, kerendahan hati, bertanggung jawab, dan menuntut ilmu.

Kelima masalah pokok yang terjadi dalam kehidupan manusia di atas membentuk suatu kebudayaan tersendiri dan melahirkan nilai-nilai secara tidak sengaja akan terbentuk dalam masyarakat dan nilai-nilai itu akan dijadikan anutan dari satu generasi ke generasi berikutnya sehingga dianggap suatu yang sangat bernilai. Hal itu terjadi karena nilai-nilai itu sudah menjadi konsep yang hidup dalam alam pikiran masyarakat akan segala hal yang dianggap amat bernilai dalam hidup.

Nilai budaya yang menjadi fokus penelitian ini adalah nilai budaya dalam hubungan manusia dengan masyarakat. masyarakat adalah suatu kelompok manusia, yang di antara para anggotanya terjadi komunikasi, pertalian dan akhirnya saling mempengaruhi antara satu dan yang lain. Hal ini dilakukan oleh para anggota masyarakat dalam suatu golongan karena manusia tidak dapat hidup menyendiri. Manusia dalam individu dalam masyarakat tidak terlihat perananya, yang lebih jelas tampak adalah kebersamaannya. Kebersamaan dapat diketahui dalam cerita rakyat, karena cerita rakyat adalah cerminan kehidupan masyarakat lama, baik berbentuk dongeng, mite, maupun legenda. Dalam masyarakat akan ditemukan hal-hal dan nilai-nilai tertentu yang dipandang baik dalam kehidupan bersama dengan masyarakat. Nilai yang dianggap

(24)

baik adalah nilai-nilai yang dapat menjadikan manusia dipandang sebagai manusia ideal dalam masyarakat (Djamaris dkk, 1996:5-6).

Nilai budaya yang termasuk dalam hubungan manusia dengan masyarakat adalah: 1) musyawarah, 2) kebijaksanaan, 3) kerukunan, 4) kepatuhan, 5) gotong royong, 6) keadilan, 7) cinta damai, 8) saling menghormati, 9) kewaspadaan, 10) kerelaan berkorban, dan 11) tanggung jawab.

2.2 Tinjauan Pustaka

Berdasarkan pengamatan peneliti, tidak ditemukan penelitian yang membahas nilai budaya dalam cerita rakyat RB dengan menggunakan teori antropologi sastra. Namun sudah dilakukan penelitian tentang sastra lisan di Simalungun dan nilai budaya pada karya sastra Nusantara serta beberapa penelitian dengan menggunakan pendekatan antropologi sastra.

Penelitian tentang sastra lisan di Kabupaten Simalungun sudah pernah dilakukan oleh Damanik dkk. dan hasil penelitian mereka telah dibukukan berjudul Sastra Lisan Simalungun (1986). Penelitian itu mengkhususkan pada sastra lisan Simalungun. Hasil penelitian Damanik dkk. menyatakan bahwa jenis sastra lisan yang ditemukan yang berbentuk prosa adalah mite, legenda, dan dongeng, sedangkan yang berbentuk puisi adalah umpasa (pantun) dan Hutinta (teka-teki). Adapun cerita rakyat (mite, legenda, dan dongeng) yang berhasil dicatat berjumlah 38 buah cerita dalam bahasa Indonesia dan puisi (umpasa (pantun) dan Hutinta (teka-teki) yang berhasil dicatat berjumlah enam buah dalam bahasa Simalungun yang kemudian cerita-cerita itu diterjemahkan dan ditranskripsikan.

Penelitian tentang nilai budaya sudah pernah dilakukan oleh Djamaris dkk. dan hasil penelitian mereka telah dibukukan berjudul Nilai Budaya dalam Beberapa Karya Sastra

(25)

Nusantara: Sastra Daerah di Sumatera (1993) dan Nilai Budaya dalam Beberapa Karya Sastra Nusantara: Sastra Daerah di Kalimantan (1996). Penelitian ini mengkhususkan meneliti karya sastra dengan menganalisis nilai budaya dalam karya-karya sastra di Nusantara seperti daerah Sumatera dan Kalimantan. Hasil penelitian Djamaris dkk. menyatakan bahwa nilai budaya terbagi menjadi lima kelompok besar yaitu, 1) Nilai budaya dalam hubungan manusia dengan Tuhan, 2) Nilai budaya dalam hubungannya dengan alam, 3) Nilai budaya dalam hubungan manusia dengan masyarakat, 4) Nilai budaya dalam hubungan manusia dengan manusia lain, dan 5) Nilai budaya dalam hubungan manusia dengan diri sendiri. Adapun nilai budaya diteliti dengan menggunakan karya-karya sastra dari daerah Sumatera yaitu dari daerah Sumatera Utara, Aceh, Riau, Jambi, Sumatera Barat, Bengkulu, Sumatera Selatan, dan Lampung. Kemudian dari Kalimantan yaitu dari daerah Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Selatan.

Ayuningtias (2015) mahasiswa Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta dalam tesisnya berjudul “Nilai Budaya Pada Novel Gugur Bunga Kedaton Karya Wahyu H.R:

Kajian Antropologi Sastra” mendeskripsikan nilai kebudayaan yang terdapat dalam novel Gugur Bunga Kedaton dengan menggunakan teori yang dipaparkan oleh Djamaris. Penelitian ini menggunakan metode heuristik dan hermeneutik. Hasil penelitian menyatakan bahwa dalam novel tersebut terdapat lima nilai budaya yaitu, nilai budaya dalam hubungan manusia dengan Tuhan yang terdiri dari nilai ketakwaan, iman kepada takdir, bersyukur, dan keridaan. Nilai budaya dalam hubungan manusia dengan orang lain yang terdiri dari nilai kasih sayang, kesetiaan, kepatuhan, dan kebijaksanaan. Nilai budaya dalam hubungan manusia dengan masyarakat yaitu nilai musyawarah, gotong-royong, keselarasan, dan solidaritas. Nilai budaya dalam hubungan manusia dengan alam yaitu nilai manusia yang bersatu dengan alam dan nilai

(26)

manusia yang menaklukkan alam. Nilai budaya dalam hubungan manusia dengan dirinya sendiri yaitu nilai kemauan keras, menuntut ilmu, menghayati adat dan agama, keberanian, dan kewaspadaan.

Salsa (2015) mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara dalam skripsinya berjudul “Nilai-Nilai Budaya Masyarakat Melayu Langkat di Secanggang Pada Tradisi Ahoi : Kajian Antropologi Sastra” menguraikan nilai budaya masyarakat Melayu Langkat pada Tradisi Ahoi. Ahoi merupakan sebuah lagu yang dinyanyikan oleh para petani ketika mengirik padi atau melepaskan gabah dari tangkainya dengan cara menginjak-injaknya.

Tradisi ini biasa dilakukan pada saat panen tiba, seiring dengan perkembangan zaman dengan masuknya teknologi-teknologi mesin yang dapat mempermudah proses kerja mengirik padi dan diikuti dengan kesenian Ahoi sudah mulai memudar.

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif naturalistik dan menggunakan teori pendekatan antropologi sastra. Hasil penelitian ini menguraikan beberapa nilai-nilai yang terdapat dalam tradisi Ahoi seperti nilai kerja keras, nilai toleransi dan nilai tanggung jawab.

Nilai nilai tersebut menjelaskan bahwa tradisi Ahoi sangat berpengaruh bagi kehidupan masyarakat Melayu Langkat pada zaman dahulu tetapi sekarang Tradisi Ahoi hanya diingat dan diketahui oleh masyarakat, dan tidak berpengaruh bagi kehidupan mereka.

2.3 Landasan Teori 2.3.1 Antropologi Sastra

Penelitian ini menggunakan teori antropologi sastra. Antropologi sastra menjadi salah satu teori atau kajian sastra yang menelaah hubungan antara sastra dan budaya terutama untuk mengamati bagaimana sastra itu digunakan sehari-hari sebagai alat dalam tindakan

(27)

bermasyarakat. Kajian antropologi sastra adalah menelaah struktur sastra (novel, cerpen, puisi, drama, cerita rakyat) lalu menghubungkannya dengan konsep atau konteks situasi sosial budayanya. Hadirnya kajian antropologi sastra merupakan salah satu upaya melacak keterhubungan unsur-unsur kebudayaan universal di dalam sebuah karya sastra.

Secara harfiah, sastra merupakan alat untuk mengarahkan, mengajar, memberi petunjuk, dan intruksi yang baik, sedangkan kebudayaan adalah keseluruhan aktivitas manusia, termasuk pengetahuan, kepercayaan, moral, hukum, adat-istiadat, dan kebiasaan-kebiasaan lain yang diperoleh dengan cara belajar, termasuk pikiran dan tingkah laku. Jadi, sastra dan kebudayaan berbagi wilayah yang sama, aktivitas manusia, tetapi dengan cara yang berbeda, sastra melalui kemampuan imajinasi dan kreativitas (sebagai kemampuan emosionalitas), sedangkan kebudayaan lebih banyak melalui kemampuan akal, sebagai kemampuan intelektualitas.

Kebudayaan mengolah alam hasilnya adalah perumahan, pertanian, hutan, dan sebagainya.

Sedangkan sastra mengolah alam melalui kemampuan tulisan, membangun dunia baru sebagai

„dunia dalam kata‟, hasilnya adalah jenis-jenis karya sastra, seperti: puisi, novel, drama, cerita- cerita rakyat, dan sebagainya (Ratna, 2011:7).

Antropologi sastra memiliki konteks yaitu sastra dan antropologi. Sastra adalah karya yang merefleksikan budaya tertentu. Secara umum antropologi diartikan sebagai suatu pengetahuan atau penelitian terhadap sikap dan perilaku manusia. Antropologi melihat semua aspek budaya manusia dan masyarakat sebagai kelompok variable yang berinteraksi, sedangkan sastra menjadi identitas suatu bangsa. Sastra merupakan pantulan hidup manusia secara simbolis.

Simbol-simbol budaya sastra dapat dikaji melalui cabang antropologi sastra. Sebagai rekaman budaya, sastra layak dipahami lewat antropologi sastra. Sastra adalah warisan budaya yang

(28)

ekspresi budaya dalam sastra. Sastra dipahami sebagai potret budaya yang lahir secara estetis.

Oleh karena itu, konteks budaya dalam sastra menjadi ciri khas antropologi sastra (Endaswara, 2013:3)

Ciri khas antropologi sastra adalah aspek kebudayaan, khususnya masa lampau. Dikaitkan dengan masa lampau tersebut, antropologi sastra diperlukan dengan pertimbangan kekayaan kebudayaan seperti yang diwariskan oleh nenek moyang. Antropologi sastra lebih banyak dikaitkan dengan keberadaan masa lampau tetapi masa yang dimaksudkan bukan ruang dan waktu, namun isinya (Ratna, 2011:359-360).

Walaupun dikaitkan dari masa lampau, karya sastra dalam konteks kebudayaan memiliki banyak manfaat yang mencerminkan nilai yang dapat membangun karakter bangsa. Antropologi sastra memiliki tugas mengungkapkan nilai sebagai salah satu wujud kebudayaan, khususnya kebudayaan tertentu masyarakat tertentu (Ratna, 2011:41).

Analisis antropologi sastra mengungkap hal-hal, antara lain (1) kebiasaan-kebiasaan masa lampau yang berulang-ulang masih dilakukan dalam sebuah cipta sastra. Kebiasaan leluhur melakukan tradisi seperti mengucap mantra-mantra dan lain-lain, (2) kajian akan mengungkap akar tradisi atau subkultur serta kepercayaan seorang penulis yang terpantul dalam karya sastra.

Dalam kaitan tema-tema tradisional yang diwariskan turun temurun akan menjadi perhatian tersendiri, (3) kajian juga dapat diarahkan pada aspek penikmat sastra etnografis, mengapa mereka sangat taat menjalankan pesan-pesan yang ada dalam karya, (4) kajian di arahkan pada unsur-unsur etnografis atau budaya masyarakat yang mengitari karya sastra tersebut, dan (5) kajian juga diarahkan terhadap simbol mitologi dan pola pikir masyarakat (Endaswara, 2013:111).

(29)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Metode Penelitian

Dalam penelitian ini, metode yang akan digunakan adalah metode kualitatif. Bogdan dan Taylor menjelaskan metode kualitatif merupakan sebuah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis maupun lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati (Moleong, 2016:4). Data deskriptif merupakan data yang berupa kata-kata, gambar dan bukan angka-angka (Moleong, 2016:11).

3.2 Sumber Data

Sumber data dari penelitian ini adalah:

1. Judul : Ratting Bunga Cerita Rakyat Simalungun (diceritakan

kembali oleh Hikmah, T)

2. Penerbit : Badan Perpustakaan Arsip dan Dokumentasi Provinsi Sumatera Utara

3. Tebal buku : 40 halaman 4. Ukuran : 14 x 20 cm 5. Cetakan : Cetakan pertama

6. Tahun : 2010

7. Warna Sampul : Perpaduan warna ungu, putih dan hijau

(30)

8. Desain Sampul : Nurhamdan

3.3 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kepustakaan atau Library Research. Teknik penelitian kepustakaan adalah suatu teknik penelitian yang menggunakan buku sebagai objek penelitian (Tantawi, 2014:61). Hal ini sependapat dengan Semi (1998:8), pada penelitian ini akan diperoleh data dan informasi tentang objek penelitian melalui buku-buku.

Pengumpulan data melalui bahan pustaka menjadi bagian yang sangat penting ketika peneliti memutuskan menggunakan kajian pustaka dalam penelitiannya. Hal ini berguna untuk menjawab rumusan masalah. Pendekatan studi pustaka sangat umum digunakan dalam suatu penelitian karena mempermudah cara kerja peneliti. Hal ini dikarenakan studi pustaka cukup menggunakan buku sebagai objek penelitian tanpa harus terjun langsung ke lapangan.

Teknik pengumpulan data yang juga digunakan dalam penelitian ini adalah teknik simak dan catat. Teknik simak dan catat merupakan suatu teknik penelitian yang melakukan pembacaan objek penelitian terlebih dahulu, kemudian menyimak isi dan selanjutnya melakukan pencatatan terhadap data-data yang sudah didapatkan sebagai bahan yang akan dianalisis dalam penelitian (Sudaryanto, 1993:133). Oleh karena itu, pengumpulan data dalam penelitian ini dimulai dengan cara membaca cerita rakyat RB, yang berkedudukan sebagai sumber data primer atau utama.

Selanjutnya mencatat data-data tersebut kemudian diolah dan menganalisisnya menggunakan analisis antropologi sastra.

(31)

3.4 Teknik Pengolahan Data

Pengolahan data merupakan suatu teknik dalam penelitian kualitatif yang dilakukan setelah data lapangan terkumpul. Semua data diidentifikasi. Kemudian, dianalisis dengan perangkat teori yang digunakan. Pengolahan data dalam penelitian kualitatif dilakukan dengan cara mengklasifikasikan atau mengkategorikan berdasarkan fokus penelitiannya (Suyanto dan Sutinah, 2016:173).

3.5 Teknik Analisis Data

Teknik analisis data yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah heuristik dan hermeneutik. Heuristik merupakan langkah untuk menemukan makna melalui pengkajian struktur bahasa dengan menginterprestasikan teks sastra secara refrensial lewat tanda-tanda bahasa (Tantawi, 2014:61). Hasil dari pembacaan heuristik adalah sinopsis cerita pengucapan teknik cerita, dan juga gaya bahasa yang digunakan dalam cerita tersebut.

Hermeneutik yaitu pembacaan bolak-balik atau pembacaan ulang untuk mendapatkan konvensi cerita atau makna ceritanya (Tantawi, 2014:61). Pembacaan dilakukan dari awal hingga akhir cerita tersebut. Proses pembacaan ini adalah interprestasi tahap kedua yang menggunakan banyak kode di luar bahasa dan kemudian menggabungkan keseluruhannya hingga pembaca dapat menganalisis secara struktural untuk mengungkapkan makna utamanya.

Analisis yang digunakan dalam menganalisis karya sastra adalah analisis deskriptif.

Menurut Nasir, metode deskriptif adalah mendeskripsikan tentang situasi atau kejadian, gambaran, lukisan, secara sistematis, faktual, akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antara fenomena dengan fenomena pada objek yang diteliti. Data yang telah

(32)

yang diperoleh adalah berupa uraian penjelasan penelitian yang sifatnya deskriptif (Tantawi, 2014:66).

(33)

BAB IV

NILAI BUDAYA DALAM HUBUNGAN MANUSIA DENGAN MASYARAKAT PADA CERITA RAKYAT RATTING BUNGA

4.1 Bagan Ringkasan Cerita Rakyat Ratting Bunga

Episode Cerita Rakyat Ratting Bunga I.

A.

B.

Tanah Simalungun

Di Tanah Simalungun berdiri nagori-nagori kecil antara lain seperti Nagori Purba, Saritoulela, Anggoni, Dangsina, dan Wariti.

Nagori-nagori ini dipimpin oleh seorang raja atau kepala suku. Kedudukan raja diperoleh secara turun-temurun dari nenek moyangnya.

II.

A.

B.

Raja Dugur Dunia

Nagori Purba dipimpin oleh seorang raja bernama Dugur Dunia yang berarti mengguncang dunia. Beliau sangat terkenal arif dan bijaksana.

Raja Dugur Dunia memiliki ilmu yaitu dapat mengetahui isi pikiran orang lain yang berhadapan dengannya. Hal ini dibuktikan ketika dia membongkar penyamaran seorang pengemis yang merupakan mata-mata dari nagori lain.

III.

A.

Ratting Bunga

Raja Dugur Dunia memiliki seorang putri remaja yang cantik jelita parasnya.

Putri itu bernama Ratting Bunga. Perilakunya sangat santun, berbudi pekerti

(34)

B.

B¹.

B².

C.

luhur.

Suatu hari, Ratting Bunga mengantarkan makanan ke ladang dan bertemu dengan pengemis yang kelaparan.

Dia memberi makan dan membasuh tangan pengemis tersebut.

Kemudian dia meninggalkan pengemis tersebut dan pergi menuju ke ladang untuk mengantarkan makanan pada ayah dan ibunya. Ajaib, bekal makanan bagian Ratting Bunga masih utuh seperti sedia kala.

Raja Dugur Dunia menjelaskan bahwa pengemis yang ditemui Ratting Bunga adalah peri bidadari dan Ratting Bunga telah lulus dari ujiannya.

IV.

A.

B.

C.

Raja Saritoulela

Nagori Saritoulela diperintah oleh seorang raja yang bernama Raja Saritoulela. Saritoulela artinya adalah manusia aneh.

Karena rajanya berperilaku aneh dan penampilan yang menyeramkan, maka rakyat nagori ini memberi nama sesuai dengan nama rajanya, maka nagori ini bernama Saritoulela.

Raja Saritoulela dapat menyembuhkan penyakit dengan ilmu hitamnya. Dia dapat berubah menjadi mahkluk lain dengan nama “begu saleh-salehan”, dan dia dapat memanggil arwah orang yang sudah mati.

Pada suatu hari datang padanya seorang perempuan dan anaknya meminta penjelasan tentang suaminya yang sudah lama tidak kembali.

Dengan ilmu hitamnya, Raja Saritoulela memanggil arwah suami perempuan itu dan memberikan penjelasan bahwa dia mati dimakan seekor buaya.

Perempuan itu mengucapkan terima kasih dan pergi meninggalkan Raja

(35)

C² Saritoulela dengan perasaan lapang karena sudah jelas dimana suaminya berada.

V.

A.

B.

C.

Adu Ketangkasan

Raja Saritoulela menantang Raja Dugur Dunia melalui beberapa pertandingan. Adapun jenis pertandingan itu adalah teka-teki, pacuan kuda, dan lomba layang-layangan.

Pertandingan dimenangkan Raja Dugur Dunia. Sesuai dengan perjanjian, maka raja yang kalah harus meninggalkan nagorinya.

Raja Saritoulela mengakui kekalahannya dan pergi dari nagorinya menuju ke hutan belantara.

Dia menemukan sebuah gua dan memutuskan untuk tinggal di sana sambil mendekatkan diri dengan sang Pencipta.

Selama setahun ia menetap di gua dan menjadikannya seorang datu.

VI.

A.

B.

C.

Putra-Putra Raja

Ratting Bunga sudah mulai beranjak dewasa. Kecantikannya tersiar sampai ke tujuh nagori di Tanah Simalungun.

Putra-putra raja dari tujuh nagori yaitu Nagori Pastima, Nagori Anggoni, Nagori Dangsina, Nagori Wariti, Nagori Manabi, Nagori Utara, dan Nagori Irisana datang untuk mempersunting Ratting Bunga sebagai istri mereka.

Ratting Bunga masih belum ingin berumah tangga karena tidak ingin mengecewakan mereka, Raja Dugur Dunia meminta mereka untuk bekerja di ladang dan tinggal di pattangan yaitu tempat tinggal untuk pemuda.

(36)

D.

E.

F.

G.

Selama tinggal di Nagori Purba. Tujuh putra raja ini tidak ada yang bermusuhan. Mereka rajin bekerja dan berjanji akan menghormati siapapun yang dipilih Ratting Bunga sebagai suaminya.

Sudah bertahun-tahun mereka menunggu dan jawaban Ratting Bunga masih sama yaitu belum hendak kawin.

Mereka menyatakan bahwa mereka ditipu dan dijadikan budak untuk bekerja terus di ladang Raja Dugur Dunia.

Tujuh putra raja mengadakan pertemuan di Pattangan yang diketahui oleh Raja Dugur Dunia.

Dari pertemuan itu diketahui bahwa ketujuh putra raja itu memutuskan untuk membunuh Ratting Bunga dan mencongkel mata Raja Dugur Dunia.

Raja Dugur Dunia menyembunyikan Ratting Bunga dan pergi menuju hutan belantara.

VII.

A.

B.

Pertemuan

Raja Dugur Dunia bertemu dengan Raja Saritoulela yang sudah menjadi datu di sebuah gua dalam hutan.

Raja Saritoulela memutuskan untuk membantu Raja Dugur Dunia mengenai permasalahan Ratting Bunga.

Mereka kembali ke Nagori Purba. Ratting Bunga dikeluarkan dari tempat persembunyiannya dan diadakan pertemuan dengan tujuh putra raja.

Raja Saritoulela berjanji akan menyelesaikan masalah tersebut.

(37)

B¹ C.

D.

D² F.

F² G.

Raja Saritoulela memerintahkan untuk disediakan sebuah kuali besar serta tungku kayu bakarnya.

Masing-masing putra raja menyediakan satu tempayan air dan tumbuh- tumbuhan yang harum untuk dimasukkan ke dalam kuali.

Ketujuh putra raja melempar tumbuhan yang diperoleh mereka ke dalam air yang mendidih di dalam kuali.

Adapun tumbuh-tumbuhan yang mereka lempar ke dalam kuali adalah melati, mawar, cempaka, kenanga, daun pandan dan serai.

Ratting Bunga dimasukkan ke dalam kuali yang airnya menggelegak panas.

Raja Saritoulela mengucapkan mantra-mantra.

Kemudian tujuh putra diperintahkan untuk menggali lobang sedalam dan selebar cangkul.

Lobang-lobang tersebut diisi dengan air dari kuali.

Tak lama kemudian, tujuh putra raja terkejut karena di hadapan mereka dari lobang yang digali, masing-masing duduk bersimpuh tujuh orang bidadari sama seperti Ratting Bunga.

Tidak diketahui yang mana Ratting Bunga yang asli.

Pada malam harinya diadakan pesta perkawinan yang sangat meriah sekali.

Rakyat Nagori Purba bergembira ria. Sejak saat itu, Tanah Simalungun semakin makmur rakyatnya dalam keanekaragaman budaya.

VIII.

A.

Kepastian

Raja Dugur Dunia mengunjungi ketujuh putrinya karena ingin bertemu dengan cucu-cucunya.

(38)

B.

C.

Raja Dugur Dunia akhirnya mengerti cara untuk membedakan ketujuh putrinya.

Masing-masing putrinya ada yang berasal dari bunga melati karena ketika dijumpainya, harum melati menyertainya.

Sama halnya dengan putrinya yang memiliki harum bunga mawar, cempaka, kenanga, pandan dan kemangi.

Putrinya yang terakhir dikunjungi tidak memiliki aroma yang khusus tapi bau harum seperti istrinya di Nagori Purba. Mengertilah Raja Dugur Dunia yang mana Ratting Bunga yang sebenarnya.

Sampai akhir hayatnya Raja Dugur Dunia dan Raja Saritoulela yang hanya mengetahui rahasia ini.

4.2 Nilai Budaya dalam Hubungan Manusia dengan Masyarakat Pada Cerita Rakyat Ratting Bunga

4.2.1 Nilai Musyawarah

Musyawarah merupakan corak demokrasi yang dipakai oleh masyarakat dalam sejak berabad-abad silam. Masyarakat melakukan musyawarah dengan maksud untuk mencapai keputusan dan penyelesaian masalah, juga kesepakatan bersama. Bermusyawarah merupakan perbuatan terpuji. Dalam bermasyarakat antara anggota masyarakat yang satu dan yang lain harus bermufakat sehingga tidak mudah terpecah belah. Bermusyawarah tidak berarti menghilangkan hak seseorang atau sekelompok masyarakat yang kecil, tetapi justru memberi hak seseorang untuk menyampaikan gagasan dan pendapatnya.

(39)

Nilai musyawarah ini terungkap dalam cerita RB ketika peristiwa Raja Dugur Dunia kembali ke nagorinya beserta dengan Raja Saritoulela untuk membantu menyelesaikan masalah Ratting Bunga dengan tujuh putra raja (episode VII), setelah mereka kembali ke Nagori Purba, maka dipanggilah Ratting Bunga beserta dengan tujuh putra raja untuk bermusyawarah mencari jalan keluar permasalahan mereka. Hal tersebut terlihat dalam kutipan berikut ini.

“Raja Saritoulela menganjurkan agar Raja Dugur Dunia kembali ke nagorinya serta membantu penyelesaian Ratting Bunga dengan ketujuh putra raja. Setelah kembali ke Nagori Purba, mereka memanggil ketujuh putra raja. Ratting Bunga dikeluaran dari persembunyiannya. Kepada kedua raja itu, tujuh putra raja menyampaikan masalahnya, dendam kesumat masih membara dalam dada.

“Hilangkan dendam kesumat dalam hatimu,” kata Raja Saritoulela menyejukkan hati mereka.

“Akan kubantu kau mencari jodohmu masing-masing”.

Kemudian, Raja Saritouela menyampaikan jalan keluar untuk permasalahan mereka dengan mengikuti petunjuk darinya, Tujuh putra raja tidak membantah dan berjanji akan mengikuti petunjuk Raja Saritoulela” (RB:34).

Dalam kutipan tersebut terungkap bahwa tujuh putra raja melakukan musyawarah dengan dua raja, yaitu Raja Dugur Dunia dan Raja Saritoulela. Tujuh putra raja menyampaikan keinginan mereka, dari sini terungkap bahwa mereka sedang melakukan musyawarah. Hasil musyawarah yang diadakan dua raja dan tujuh putra raja ini disimpulkan bahwa tujuh putra raja setuju untuk mengikuti petunjuk dari Raja Saritoulela untuk menyelesaikan masalah antara tujuh putra raja dengan Ratting Bunga.

(40)

4.2.2 Nilai Kebijaksanaan

Bijaksana berarti selalu menggunakan akal budi, pengalaman dan pengetahuan, arif, pandai, cermat, dan teliti. Dalam hidup bermasyarakat dan bernegara, sikap bijaksana sangat diperlukan untuk mengatasi segala persoalan yang timbul. Setiap orang dituntut untuk bersikap bijaksana, terutama sebagai pemimpin atau pemuka masyarakat. Misalnya, sebagai raja yang berkedudukan paling tinggi dalam lapisan sosial masyarakat, ia harus bijaksana karena di tangannya semua harapan rakyat bertumpu.

Raja yang bijaksana adalah raja yang mengetahui keadaan rakyat, pandai, selalu menggunakan akal budinya, dan mempunyai ingatan yang kuat. Dalam cerita RB, sikap bijaksana tercermin dari tokoh Raja Dugur Dunia (Episode II.A.), Raja Dugur Dunia merupakan raja yang bijaksana. Hal ini terungkap dalam cerita RB, ketika Raja Dugur Dunia ditentang Raja Saritoulela untuk bertanding memperebutkan nagori. Raja Dugur Dunia dengan berat hati menerima tantangan tersebut karena ia tidak ingin terjadi pertumpahan darah, maka dengan bijaksana Raja Dugur Dunia menerima tantangan tersebut. Nilai kebijaksanaan itu terlihat dalam kutipan berikut ini.

“Sesampainya utusan Raja Saritoulela di Nagori Purba, dan menyampaikan keinginan rajanya, Raja Dugur Dunia menerima tantangan perebutan kekuasaan itu yang sebenarnya bertentangan dengan hati nuraninya. Namun, daripada pertumpahan darah dan rakyat menjadi korban maka pertandinganlah jalan terbaik.

Katakanlah jenis pertandingan yang diinginkan rajamu kami siap menyambutnya, sambut Raja Dugur Dunia” (RB:13).

Pada kutipan tersebut juga digambarkan sikap bijaksana Raja Dugur Dunia yang sangat memperhatikan keadaan rakyatnya. Raja Dugur Dunia tidak menginginkan rakyatnya yang

(41)

menjadi korban atas perbuatannya maka dengan berat hati Raja Dugur Dunia harus menyetujui tantangan dari Raja Saritoulela. Raja Dugur Dunia bersikap bijaksana saat mengatasi persoalan yang timbul. Setelah tantangan perebutan kekuasaan dimenangkan oleh Raja Dugur Dunia, maka dia memerintah dua nagori yaitu Nagori Purba dan Nagori Saritoulela dengan arif dan bijaksana sehingga dua nagori tersebut selalu aman dan damai. Hal tersebut dapat diketahui dari kutipan berikut ini.

“Nagori Purba senantiasa aman dan damai, demikian pula rakyat Nagori Saritoulela, kedua nagori ini telah menyatu pemerintahannya. Raja Dugur Dunia memerintah dengan arif dan bijaksana” (RB:23).

Dari kutipan tersebut digambarkan bahwa Raja Dugur Dunia adalah raja yang bijaksana.

Dia tidak membeda-bedakan cara pemerintahannya, walaupun Nagori Saritoulela dia dapatkan dari hasil pertandingan, tetapi Raja Dugur Dunia tetap memerintah dua nagori tersebut dengan arif dan bijaksana. Dengan sikap bijaksana yang dimiliki Raja Dugur Dunia, maka Nagori Purba dan Nagori Saritoulela menjadi aman dan damai di bawah pemerintahannya.

4.2.3 Nilai Kerukunan

Nilai kerukunan terdapat dalam cerita RB ialah kerukunan dalam hidup bermasyarakat Nilai kerukunan terungkap dalam sikap raja-raja di Simalungun, walaupun mereka adalah seorang raja tetapi kehidupannya sangat sederhana dan hidup rukun dengan masyarakat setempat. Hal tersebut dapat diketahui dari kutipan berikut ini.

“Raja-raja di Simalungun tidak memakai mahkota dan tidak pula duduk di atas singasana. Mereka bersila duduk bersama panglima, kerabat atau keluarga. Walau disebut raja, hidupnya sangat sederhana. Seorang raja, juga bekerja di ladang

(42)

sebagaimana biasanya hidup seorang petani. Raja dan masyarakat setempat hidup dengan damai dan rukun” (RB:1).

Dari kutipan tersebut terungkap bahwa nilai kerukunan, tercermin dari sikap raja-raja di Simalungun, raja-raja di Simalungun rukun hidup bersama dengan masyarakat setempat, walaupun kedudukannya tinggi, tapi raja-raja di Simalungun bersedia untuk bersila duduk dengan panglima, kerabat, atau keluarga beserta dengan masyarakat setempat.

Nilai kerukunan juga ditunjukkan oleh tujuh orang putra raja yang ingin meminang Ratting Bunga (episode VI.B.). Di antara tujuh putra raja tidak ada yang saling bermusuhan walaupun memiliki tujuan yang sama yaitu hendak meminang Ratting Bunga sebagai istri mereka, tetapi mereka hidup rukun dalam satu tempat tinggal. Nilai kerukunan itu terungkap dari kutipan berikut ini.

“Maka mereka diminta tinggal dan bekerja diladang. Di antara ketujuh putra ini tak seorang pun bermusuhan, mereka bekerja dengan semangat dan rajin tanpa mengenal lelah. Hasil ladang mereka melimpah ruah dan tentu saja untuk Raja Dugur Dunia. Dan selama mereka bekerja di ladang Raja Dugur Dunia, mereka tak pernah memperebutkan Ratting Bunga dengan kekerasan, mereka berjanji siapapun yang dipilih Ratting Bunga akan dihormati” (RB:28).

Dari kutipan tersebut digambarkan bahwa antara tujuh putra raja yang tinggal bersama- sama dalam satu rumah di Nagori Purba (episode VI.D.) tidak ada yang saling memperebutkan Ratting Bunga dengan kekerasan, mereka menunjukkan sikap rukun antara satu dengan yang lainnya, bahkan tujuh putra raja ini memutuskan untuk menghormati siapapun yg dipilih Ratting Bunga sebagai suami.

(43)

4.2.4 Nilai Kepatuhan

Kepatuhan sama artinya dengan ketaatan, yaitu melakukan suatu pekerjaan sesuai aturan, norma, atau adat istiadat yang berlaku di tempat tertentu. Karena aturan, norma, atau adat istiadat daerah yang kemungkinan berbeda dengan daerah yang lain. Orang harus mematuhi aturan atau adat di daerah yang ditempatinya.

Nilai kepatuhan ditunjukkan oleh tujuh putra raja dalam cerita RB. Dalam cerita ini dikisahkan ketika salah satu putra raja bergelar raja muda yang berasal dari Nagori Pastima pergi menuju Nagori Purba untuk meminang Ratting Bunga yang merupakan anak dari pamannya. Dia mematuhi adat di Simalungun, yang menganjurkan agar perkawinan dilakukan dengan anak pamannya, oleh kerena itu, raja muda pergi ke Nagori Purba dan memperkenalkan dirinya pada Raja Dugur Dunia. Nilai kepatuhan tersebut terungkap dari kutipan berikut ini.

“Di Nagori Pastima, putra raja kerajaan ini bergelar raja muda ingin mempersunting Ratting Bunga sebagai istrinya karena ibu raja muda adalah adik Raja Dugur Dunia.

Sesuai dengan adat di Simalungun, perkawinan yang dianjurkan adalah, seorang pemuda harus mengawini anak pamannya. Raja muda berangkat menuju Nagori Purba dan memperkenalkan diri kepada Raja Dugur Dunia” (RB:23).

Kemudian, raja muda dari Nagori Pastima ini memutuskan untuk tinggal di Nagori Purba dengan alasan agar dapat memperoleh ilmu pengetahuan dan untuk dapat lebih mengenal Ratting Bunga. Raja Dugur Dunia mengizinkannya untuk tinggal di Nagori Purba. Raja muda juga mematuhi adat masyarakat Simalungun untuk tinggal di Pattangan yaitu tempat tinggal para pemuda. Tidak hanya raja muda tetapi enam putra raja lainnya juga tinggal di Pattangan sesuai dengan adat masyarakat Simalungun. Hal tersebut terungkap dari kutipan berikut ini.

(44)

“Sesuai dengan adat budaya masyarakat Simalungun, raja muda harus tinggal di Pattangan pada malam hari. Pattangan adalah tempat tinggal para pemuda” (RB:25).

Dari kutipan tersebut tercermin sikap kepatuhan raja muda pada adat masyarakat Simalungun yaitu seorang pemuda harus tinggal di Pattangan. Selain itu kepatuhan terhadap adat juga ditunjukkan oleh enam putra raja yang datang ke Nagori Purba untuk meminang Ratting Bunga dengan tinggal di Pattangan (episode VI.C.). Hal tersebut terungkap pada kutipan berikut ini.

“Berhubung Ratting Bunga belum berkeinginan untuk kawin, maka ketujuh putra raja itu diminta Raja Dugur Dunia bekerja di ladangnya dan tinggal di Pattangan sesuai dengan adat masyarakat Simalungun” (RB:28).

Dari kutipan tersebut diambarkan bahwa tujuh putra raja yang merupakan pendatang dari tujuh nagori (episode VI.A.) mematuhi aturan atau adat wilayah Nagori Purba, yaitu dengan tinggal di Pattangan sesuai dengan adat istiadat yang berlaku di Nagori Purba.

4.2.5 Nilai Gotong Royong

Gotong royong merupakan ciri khas masyarkat tradisional. Orang yang baik adalah orang yang suka hidup bergotong royong. Orang yang tidak suka bergotong royong akan disisihkan oleh masyarakat. Pekerjaan yang berat jika dikerjakan bersama-sama dengan bergotong royong maka akan terasa ringan dan akan cepat selesai. Tidak ada pekerjaan yang yang berat bila dikerjakan bersama-sama, demikian prinsip yang dipegang oleh masyarakat tradisional.

Nilai gotong royong yang terdapat dalam cerita RB terungkap dari masyarakat Simalungun yang mengadakan pesta robu-robu yang berarti turun ke sawah secara serentak untuk bersama-sama membersihkan sawah untuk ditanami padi, biasanya pesta robu-robu ini

(45)

dilaksanakan pada bulan awal musim penghujan. Dalam pesta robu-robu inilah terungkap nilai gotong royong yang dilakukan oleh masyarakat Simalungun. Hal ini dapat diketahui dari kutipan berikut ini.

“Bila saatnya diselenggarakan pesta robu-robu yaitu turun ke sawah secara serentak, maka masyarakat akan bersama-sama bergotong royong dalam membersihkan sawah mereka masing-masing. Raja yang menetapkan tanggal dilaksanakannya pesta ini, biasanya jatuh pada dua puluh hari bulan awal musim penghujan” (RB, 2010:2).

Dari kutipan tersebut digambarkan sikap masyarakat Simalungun yang melakukan gotong royong sebagai salah satu cara untuk membangun solidaritas dan membuat pekerjaan menjadi lebih cepat dan mudah dengan melakukan gotong royong. Selain itu, nilai gotong royong juga ditunjukkan oleh masyarakat Simalungun ketika menyelesaikan masalah antara Ratting Bunga dengan tujuh putra raja. Pada peristiwa ketika Raja Saritoulela memerintahkan tujuh putra raja untuk menyiapkan sebuah kuali besar beserta dengan tungku dan kayu bakarnya (episode VII.C.). Masyarakat dan tujuh putra raja bergotong royong untuk menyiapkan apa yang diminta oleh Raja Saritoulela. Hal tersebut terungkap pada kutipan berikut.

“Sekarang, siapkan sebuah kuali besar serta tungku dan kayu bakarnya,” kata Raja Saritoulela. Ketujuh putra raja meminta bantuan masyarakat setempat untuk menyiapkannya, bersama-sama mereka mencari kuali yang besar dan kayu bakar dalam jumlah yang banyak. Kemudian, menyusun dan menyalakan tungku dan kayu bakar itu dengan kuali berisi air di atasnya” (RB, 2010:34).

Dari kutipan tersebut tercermin nilai gotong royong yang dilakukan antara tujuh putra raja dengan masyarakat Nagori Purba membawa dampak positif yaitu mempercepat suatu pekerjaan

(46)

sehingga masalah yang terjadi pun dengan cepat bisa diselesaikan. Masyarakat yang melakukan gotong royong dengan tujuh putra raja juga melakukannya tanpa pamrih, mereka secara rela menolong tujuh putra raja untuk menyelesaikan masalah.

4.2.6 Nilai Keadilan

Keadilan adalah salah satu perilaku yang terpuji. Pemimpin yang baik, pemimpin yang disenangi rakyat adalah pemimpin yang adil. Sebaliknya, pemimpin yang dibenci oleh rakyatnya adalah pemimpin yang zalim, pemimpin yang senantiasa berbuat sewenang-wenang terhadap rakyatnya.

Nilai keadilan terungkap pada tokoh Raja Dugur Dunia ketika tujuh putra raja yang berasal dari nagori yang berbeda datang ke Nagori Purba untuk meminang Ratting Bunga. Raja Dugur Dunia memperlakukan tujuh putra raja secara adil, yaitu dengan meminta tujuh putra raja tersebut tinggal di Nagori Purba sampai Ratting Bunga memutuskan untuk menikah (episode VI.C.). Nilai keadilan tersebut dapat diketahui dari kutipan berikut ini.

“Seiring berjalannya waktu, kecantikan Ratting Bunga tersiar hingga sampai di Nagori Anggoni, Nagori Dangsina, Nagori Wariti, Nagori Manabi, Nagori Utara, dan Nagori Irisana. Setiap putra mahkota dari nagori-nagori tersebut datang ke Nagori Purba dengan maksud meminang Ratting Bunga, tetapi Ratting Bunga belum juga ingin berumah tangga, karena tidak ingin mengecewakan mereka, Raja Dugur Dunia bertindak dengan adil yaitu dengan meminta mereka untuk tinggal di pattangan dan bekerja di ladang sampai Ratting memutuskan pilihannya untuk menikah” (RB:26).

Nilai keadilan juga ditunjukkan oleh Raja Saritoulela ketika dia menyelesaikan permasalahan antara Ratting Bunga dan tujuh putra raja. Raja Saritoulela (episode VI.B.)

(47)

bertindak dengan adil. Dengan kesaktian yang dimilikinya sebagai seorang datu, Ratting Bunga diciptakan menjadi tujuh orang yang sama persis seperti Ratting Bunga. Sehingga tujuh putra mahkota masing-masing mendapatkan Ratting Bunga sebagai istri mereka. Nilai keadilan tersebut terungkap dari kutipan berikut ini.

“Mereka terkejut. Di hadapan mereka dari lobang yang digali, masing-masing duduk bersimpuh tujuh orang bidadari. Tidak dapat dibedakan kecantikan mereka.

raut wajah, bentuk tubuh dan rambut, serta warna kulit mereka sama, seperti Ratting Bunga. Tidak juga diketahui yang mana Ratting Bunga yang asli, putri Raja Dugur Dunia. Upaya dan mantera Raja Saritoulela untuk bertindak dengan adil telah diperkenaankan oleh sang pencipta” (RB:37).

Dari kutipan tersebut digambarkan nilai keadilan yang dilakukan oleh Raja Saritoulela (episode IV.), tindakan adil yang dilakukan Raja Saritoulela membuahkan hasil, yaitu menyelesaikan masalah antara Ratting Bunga dengan tujuh putra raja.

4.2.7 Nilai Cinta Damai

Damai adalah sikap dan tindakan yang tidak bermusuhan. Kedamaian biasanya ditunjukkan dari suatu lingkungan masyarakat yang tidak saling bermusuhan dan tidak melakukan perang karena perang yang membuat kedamaian menjadi rusak. Seseorang yang memiliki cinta damai adalah orang yang memiliki karakter yang baik. Cinta damai harus dimiliki oleh seorang pemimpin untuk tetap menjaga masyarakatnya tetap aman dan damai.

Nilai cinta damai terungkap dari peristiwa ketika seorang mata-mata dari nagori lain datang ke Nagori Purba dalam wujud seorang pengemis. Raja Dugur Dunia yang mengetahui bahwa pengemis itu adalah mata-mata yang berasal dari nagori lain langsung mengusir dan

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini berjudul “ Stuktur, Fungsi, dan Nilai Budaya dalam Cerita Rakyat di Kabupaten Karo serta Penerapan Hasilnya dalam Menyusun Bahan Pembelajaran Sastra di

Skripsi yang berjudul Nilai Budi Pekerti dalam Cerita Rakyat Ki Ageng Wonolelo (Sebuah Kajian Resepsi Sastra) merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana

Cerita rakyat merupakan salah satu hasil karya sastra Nusantara yang perkembangannya tetap eksis di masyarakat meskipun hadir dalam versi yang berbeda-beda. Cerita

Skripsi yang berjudul Pengaruh Cerita Rakyat Ki Ageng Mentaun terhadap Kerukunan Hidup Masyarakat di Desa Tawun Kecamatan Kasreman Ngawi (Tinjauan Antropologi Sastra) merupakan

Menyatakan dengan sungguh-sungguh bahwa skripsi yang berjudul ―Nilai Kearifan Lokal dalam Cerita Rakyat Kayuagung dan Implikasinya terhadap Pembelajaran Sastra‖ ini

Bertolak dari pemaparan di atas, pene- litian ini dilakukan untuk mengeks-ploitasi dan mendeskripsikan unsur budaya dan nilai moral yang terkandung dalam cerita rakyat

Cerita rakyat Sitagandera Dekket Nantampuk Emas merupakan salah satu cerita rakyat yang berasal dari Pakpak Bharat. Cerita rakyat ini sangat terkenal di kalangan

PENUTUP Berdasarkan hasil kajian yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa nilai- nilai budaya yang terdapat dalam cerita rakyat Lampung yang berjudul Hikayat Datuk Tuan Budian dan