• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III METODE PENELITIAN

4.2 Nilai Budaya Dalam Hubungan Manusia dengan Masyarakat Pada Cerita

4.2.10 Nilai Kerelaan Berkorban

Kerelaan berasal dari bentuk dasar rela, yang mempunyai arti ikhlas. Rela ialah suatu perbuatan yang tumbuh dari hati nurani seseorang, tanpa merasa dipaksakan, dan tidak mengharapkan suatu imbalan apa pun, tanpa pamrih.

Nilai kerelaan berkorban ini tercermin dari sikap Ratting Bunga yang mau merelakan dirinya untuk masuk ke dalam kuali yang airnya mendidih panas demi menyelesaikan masalah yang terjadi. Ratting Bunga masuk ke dalam kuali (episode VII.D.). Ternyata air tersebut tidak terasa panas maka Ratting Bunga pun membenamkan seluruh tubuhnya ke dalam air sampai lenyap. Nilai kerelaan berkorban tersebut terungkap pada kutipan berikut.

“Kemudian, Raja Saritoulela memerintahkan untuk mengangkat dan memasukkan Ratting Bunga ke dalam kuali yang airnya menggelegak panas. Ratting Bunga rela untuk mengorbankan dirinya demi menyelesaikan masalahnya dengan tujuh putra raja. Pertama sekali pelahan-lahan dicelupkan ujung kaki Ratting Bunga. Karena tidak ada rasa sakit yang dialami Ratting Bunga, maka seluruh tubuhnya dibenamkan dalam air sampai lenyap” (RB:36).

Dari kutipan tersebut digambarkan Ratting Bunga yang rela mengorbankan dirinya untuk masuk ke dalam kuali yang airnya menggelegak panas. Ratting Bunga melakukan hal tersebut dengan rela, dia tidak mengharapkan imbalan apapun demi menyelesaikan masalah yang terjadi.

4.2.11 Nilai Bertanggung Jawab

Tanggung jawab merupakan sikap dan perilaku sesorang untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya, yang seharusnya dia lakukan, terhadap diri sendiri, masyarakat, lingkungan (alam,

sosial, dan budaya), Negara, dan Tuhan Yang Maha Esa. Tanggung jawab adalah sikap yang terpuji dan harus dimiliki setiap orang.

Nilai bertanggung jawab tercermin dari sikap Raja Dugur Dunia. Selain bersikap bijaksana ketika dia ditantang oleh Raja Saritoulela, Raja Dugur Dugur Dunia juga bertanggung jawab atas apa yang telah menjadi keputusannya. Dia bertanggung jawab untuk melaksanakan pertandingan yang telah disetujuinya dengan Raja Saritoulela demi menjaga perdamaian masyarakat Nagori Purba. Nilai tanggung jawab tersebut terungkap pada kutipan berikut ini.

“Sejak saat itu kedua raja tersebut mempersiapkan diri dalam pelaksanaan lomba.

Pada hari yang telah ditetapkan, kedua raja di Simalungun itu saling berhadapan.

Walaupun keduanya tidak berusia muda lagi, namun masih terlihat gagah perkasa diiringi para pengawal dan rakyatnya. Tepat pada malam hari bulan purnama memancarkan sinar keemasannya. Setelah keduanya bersalaman mereka mengambil tempat duduk saling berhadapan, rakyat kedua nagori ini menyambutnya dengan tempik sorak yang menggemuruh, setelah semuanya hening acara dimulai” (RB:14).

Dari kutipan tersebut tercermin nilai tanggung jawab Raja Dugur. Pada kutipan tersebut diceritakan bahwa ketika Raja Dugur Dunia menerima tantangan Raja Saritoulela, dia mempersiapkan dirinya untuk menghadapi pertandingan dan pada hari yang sudah ditentukan, Raja Dugur Dunia datang untuk menghadapi pertandingan tersebut. Raja Dugur Dunia melaksanakan tugas dan kewajibannya yang dia lakukan untuk kepentingan masyarakat Nagori Purba.

Selain itu, nilai tanggung jawab juga ditunjukkan Raja Dugur Dunia ketika dia harus berhadapan dengan masalah yang melibatkan dia dan Ratting Bunga dengan tujuh putra mahkota. Tujuh putra raja merasa ditipu dan diperbudak Raja Dugur Dunia karena diminta

membunuh Ratting Bunga dan mencongkel mata Raja Dugur Dunia (episode VI.F¹). Raja Dugur Dunia sempat takut dan melarikan diri dari masalah, tapi atas nasihat dari Raja Saritoulela, maka Raja Dugur Dunia kembali ke Nagori Purba untuk bertanggung jawab atas perbuatan yang dilakukannya kepada tujuh putra raja. Nilai bertanggung jawab tersebut terungkap dalam kutipan berikut ini.

“Raja Saritoulela menganjurkan agar Raja Dugur Dunia kembali ke nagorinya serta membantu penyelesaian Ratting Bunga dengan ketujuh putra raja. Setelah kembali ke Nagori Purba, mereka memanggil ketujuh putra raja. Ratting Bunga dikeluaran dari persembunyiannya. Kepada kedua raja itu, tujuh putra raja menyampaikan masalahnya, dendam kesumat masih membara dalam dada” (RB:34)

Dari kutipan tersebut terungkap nilai budaya tanggung jawab yang dicerminkan Raja Dugur Dunia. Raja Dugur Dunia bersedia untuk kembali ke nagorinya, dan bertanggung jawab atas masalah yang ditimbulkannya dengan berani dia menghadapi tujuh putra raja yang menyampaikan masalah mereka dan dendam mereka pada Raja Dugur Dunia.

BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan

Berdasarkan hasil analisis data pada cerita rakyat Ratting Bunga ditemukan 11 nilai budaya dalam hubungan manusia dengan masyarakat, yaitu 1) musyawarah, 2) kebijaksanaan, 3) kerukunan, 4) kepatuhan, 5) gotong royong, 6) keadilan, 7) cinta damai, 8) saling menghormati, 9) kewaspadaan, 10) kerelaan berkorban, dan 11) tanggung jawab. Nilai budaya tersebut dapat dijadikan pedoman sebagai pengembangan karakter bangsa, terkhususnya suku Simalungun dan karakter bangsa Indonesia pada umumnya.

5.2 Saran

Melalui hasil penelitian ini, penulis mengajukan beberapa saran, seperti berikut ini:

1) Untuk para peneliti sastra diharapkan dapat melakukan penelitian selanjutnya dengan lebih sempurna terhadap karya-karya sastra lama seperti cerita rakyat dan mengungkapkan nilai budaya dari berbagai aspek, sehingga pembaca sastra dapat memahami nilai budaya tersebut dan merepresentasikan nilai budaya tersebut dalam kehidupan mereka.

2) Untuk para pendidik, khususnya para pendidik karya sastra, hendaknya dapat menjadikan karya sastra sebagai sumber pengajaran, baik di tingkat dasar ataupun menengah, khususnya karya sastra yang memiliki hubungan dengan nilai budaya. Sehingga pelajaran bahasa dan sastra Indonesia dapat berkembang dengan baik.

3) Untuk para pembaca, dari tingkat penikmat sampai tingkat pengkritik sastra, agar menjaga dan melestarikan nilai budaya yang terdapat dalam karya sastra, sehingga nilai budaya tersebut dapat menjadi pedoman dalam kehidupan masa kini untuk memperbaiki kepribadian menjadi lebih baik.

4) Untuk masyarakat Simalungun, dalam hal melestarikan nilai budaya yang menjadi tanggung jawab semua pihak, orang tua, pemuka adat dan diharapkan memiliki kepekaan serta kesadaran bahwa nilai budaya merupakan identitas etnik Simalungun yang harus dipertahankan.

DAFTAR PUSTAKA

Bunanta, Murti. 1998. Problematika Penulisan Cerita Rakyat. Jakarta: Balai Pustaka.

Endraswara, Suwardi. 2015. Metodologi Penelitian Antropologi Sastra, Cetakan I, Yogyakarta:

Ombak.

Damanik dkk., 1986. Sastra Lisan Simalungun. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Danandjaja, James. 1984. Folklor Indonesia Ilmu Gosip, Dongeng, dan Lain-lain, Cetakan I, Jakarta: Grafiti.

Djamaris, Edward dkk., 1993. Nilai Budaya dalam Beberapa Karya Sastra Nusantara: Sastra Daerah di Sumatera. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Djamaris, Edward dkk., 1996. Nilai Budaya dalam Beberapa Karya Sastra Nusantara: Sastra Daerah di Kalimantan. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Irwansyah. 1989. “Syair Putri Hijau Telaah Sejarah Teks dan Resepsi”. (Tesis). Yogyakarta:

Fakultas Pasca Sarjana, Universitas Gadjah Mada.

Irwansyah. 2011: “Citra Tokoh Naga dalam Cerita Putri Hijau dan Putri Merak Jingga: Mitos Pembebasan”, dalam Ikhwanuddin Nasution dan Silvana Sinar (ed), Mitos Cerita Rakyat.

Medan: USU Press, hlm 31-64.

Koentjaraningrat. 2002. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta.

Moleong, Lexy J. 2016. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Pudentia. 2008. Metodologi Kajian Sastra Lisan. Jakarta: Asosiasi Tradisi Lisan.

Purba, J.D dan Keenan Purba. 1995. Sejarah Simalungun. Jakarta: Bina Budaya.

Ratna, Nyoman Kutha. 2011. Antropologi Sastra: Peranan Unsur-Unsur Kebudayaan Dalam

Semi, Atar. 1998. Kritik Sastra. Bandung: Angkasa.

Siregar, Ahmad Samin dan Haron Daud. 2004. Mutiara Sastra Malaysia-Indonesia. Medan:

USU Press.

Sumardjo, Jakob dan Saini K.M. 1986. Apresiasi Kesusastraan, Cetakan I, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Sudaryanto.1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa: Pengantar Penelitian Wahana Kebudayaan Secara Linguis. Yogyakarta: Duta Wacana University Press.

Suyanto, Bagong dan Sutinah. 2016. Metode Penelitian Sosial Berbagai Alternatif Pendekatan.

Jakarta: Prenada Media Grup.

T, Hikmah. 2010. Ratting Bunga Cerita Rakyat Simalungun. Cetakan I, Medan: Badan Perpustakaan Arsip dan Dokumentasi Provinsi Sumatera Utara

Tantawi, Isma. 2014. Bahasa Indonesia Akademik. Cetakan I, Bandung : Cipta Pustaka Media.

Teeuw, A. 1982. Khazanah Sastra Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Sumber internet :

Ayuningtyas, Dian. 2015. “Nilai Budaya Pada Novel Gugur Bunga Kedaton Karya Wahyu H.R:

Kajian Antropologi Sastra”. (Tesis). Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta (http://eprints.ums.ac.id/40563/BAB%25201.pdf.) Diakses 07 Maret 2017.

Salsa, Rini. 2015.“Nilai-Nilai Budaya Masyarakat Melayu Langkat di Secanggang Pada Tradisi Ahoi: Kajian Antropologi Sastra”.(Skripsi). Medan: Universitas Sumatera Utara (http://respository.usu.ac.id/handle/1234569/54633.pdf.) Diakses 20 Februari 2017.

Dokumen terkait