• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Penelitian ini akan menelusuri sejarah masuknya Gordang Sambilan serta membahas tentang fungsi sosialnya pada masyarakat Mandailing di Kota Medan. Sejauh penelusuran penulis, Dewasa ini Gordang Sambilan di Kota Medan sering dijumpai tiap minggunya, baik itu acara pesta pernikahan adat mandailing, penyambutan tamu atau undangan terhormat, peresmian acara ataupun pelantikan pejabat.

Secara harfiah Gordang Sambilan memiliki arti yaitu gordang yang berarti gendang dan sambilan yang berarti sembilan. Gordang Sambilan adalah ensambel musik yang dimainkan dengan cara dipukul dan dimainkan oleh sebelas orang dengan pukulan yang berbeda-beda dan dimainkan secara bersamaan atau biasa disebut dengan istilah polyrhythm.

Instrumen Gordang Sambilan tergolong sebagai alat musik yang diklasifikasikan berjenis membranophone yang terdiri dari Sembilan buah gendang dan memiliki ukuran yang berbeda-beda. selain itu Gordang sambilan juga dilengkapi oleh alat musik pengiring yang diklasifikasikan sebagai alat musik idiophone yaitu Ogung (Gong), Tali Sasayat, Mongmongan, Doal, dan sebuah alat musik tiup yang diklasifikasikan berjenis aerophone yang memberi irama pada Gordang Sambilan yaitu Saleot.

2 Tabel ensambel Gordang Sambilan terdiri atas:

NO Nama Jumlah

Alat

Pemain

1 Jangat: Siangkaan, Silitonga, Sianggian 3 1

2 Paniga: Pasada, Padua 2 1 Tabel 1, 1: Penyebutan Nama Perangkat pada Gordang Sambilan

Di Mandailing, Gordang Sambilan merupakan ensambel musik yang sangat sakral dan hanya bisa dapat dimainkan jika ada izin dari raja-raja dan namora natoras1. Contohnya, jika ada seorang raja, sutan atau namora mangkat, maka akan dilaksanakan upacara siluluton2. Salah satu bagian upacara yakni membunyikan Gordang Mate sebagai pemberitahuan bahwa di satu tempat seorang pembesar meninggal dunia3. Contoh lainnya yaitu pada pesta adat pernikahan atau biasa disebut siriaon4. Satu hari sebelum hari H akan dilaksanakan acara paampe Gordang Sambilan5. Acara ini sekaligus merupakan pemberitahuan kepada namora natoras dan raja-raja bahwa akan dimainkan Gordang sambilan.

Pada masa agama Islam belum menjadi anutan mayoritas suku Mandailing, pertunjukan Gordang Sambilan masih sangat kental dengan suasana ritualistik dan

1 Hasil wawancara dengan amangboru Drs. Muhammad Bakhsan Parinduri

2 Siluluton merupakan acara berduka di Mandailing

3 Gordang Mate merupakan sebutan irama untuk upaca kematian

4 Siriaon merupakan acara bersuka cita/kegembiraan di Mandailing.

5 Acara paampe Gordang Sambilan merupakan acara meletakkan Gordang Sambilan Pada tempat sandarannya.

3

mistikal sesuai keyakinan penduduk masa itu. Tetapi setelah mayoritas suku Mandailing menganut agama Islam, diperkirakan sekitar paruh pertama abad ke-19, pertunjukan Gordang Sambilan menjadi bagian dari perayaan hari besar Islam, seperti lebaran idul fitri dan lebaran haji. Diluar masa itu, Gordang Sambilan baru dimainkan jika ada upacara adat horja aroan boru dan acara mambulungi. Diluar momen-momen tersebut, ensambel Gordang Sambilan hanya disimpan dan dipajang di sopo gordang.

Setelah Mandailing berada dibawah kekuasaan pemerintahan kolonial Belanda pada pertengahan abad ke-19 (1840-an), terjadi perubahan dalam struktur kepemimpinan di Mandailing. Dimana Belanda mengubah sistem kerajaan menjadi lembaga kuria sebagai perpanjangan tangan pemerintahan kolonial Belanda. Orang yang menjabat menjadi kepala kuria merupakan raja atau kerabat raja yang mau dan bersedia bekerjasama dengan dengan pemerintahan kolonial Belanda. Dalam kepemimpinan kepala kuria, kepala kuria harus memimpin kedudukan sebagai pemimpin adat dan pemimpin pemerintahan kolonial Belanda, Sehingga kepala kuria mempunyai dua posisi jabatan kepemimpinan, dimana kepala kuria harus mengikuti kebijakan dan peraturan dari pemerintahan kolonial Belanda dan juga mengikuti kebijakan dan peraturan dari adat istiadat. Akan tetapi, kepala kuria lebih taat kepada kebijakan dan peraturan kolonial Belanda sehingga dampak dari kebijakan dan peraturan yang diikuti oleh kepala kuria tersebut dijauhi oleh rakyatnya. Akibatnya Gordang Sambilan yang dimasa sebelumnya dikonsepsikan sebagai milik Bersama warga komunitas adat, kemudian bergeser menjadi perangkat simbolik bagi kepala kuria dan raja-raja. Dengan kata lain, pertunjukan Gordang Sambilan berubah yang tadinya hanya dimiliki bersama menjadi kepemilikan

4

elitis6. Akibat timbulnya keadaan tersebut, maka Gordang Sambilan sangat jarang dimainkan, peralatannya tidak terurus, orang yang pandai memainkannya semakin langka, dan proses pewarisan kepada generasi muda terhambat7.

Setelah kemerdekaan, keberaadaan Gordang Sambilan mengalami sedikit perubahan fungsi. Dimana pertunjukan Gordang Sambilan perlahan berubah fungsinya yang tadinya hanya sebatas bagian dari upacara adat dan religi menjadi sebuah seni pertunjukan. Seperti pada perayaan hari-hari besar nasional dan hari memperingati kemerdekaan, mulai ditampilkan juga atraksi Gordang Sambilan sebagai hiburan, tanpa ada kaitannya dengat adat dan religi. Tidak ada pihak yang melarang kegiatan tersebut sehingga lambat laun menjadi tradisi baru dalam hal pemanfaatan Gordang Sambilan.

Di Kota Medan Sebagai Ibukota Provinsi Sumatera Utara, keberadaan ensambel Musik Gordang Sambilan tidak terlepas dari keberadaan orang-orang mandailing yang merantau dan menetap di kota medan. Selain itu, dewasa ini Gordang Sambilan sangat mudah dijumpai keberadaannya dikota medan dikarenakan Gordang Sambilan berubah fungsi yang awalnya hanya bisa dimainkan oleh raja-raja dan hanya dipakai untuk kebutuhan adat istiadat dan religi berubah fungsi menjadi seni pertunjukan sehingga membuat peminat Gordang Sambilan semakin banyak di kota Medan dimana peminatnya bukan hanya dari yang beretnis Mandailing saja akan tetapi dari etnis lain yang tinggal di kota medan8. Akibat dari banyaknya peminat Gordang Sambilan tersebut maka terdapat kurang lebih delapan group Gordang Sambilan yang berada di kota medan dan setiap

6 Elitis merupakan orang yang terpandang didalam suatu kelompok masyarakat.

7 (Mhd. Bahksan Parinduri. 2017: Sinondang mandailing edisi Gordang Sambilan, halaman 25-26)

8 Penulis sering menemukan Gordang Sambilan dimainkan diacara etnis yang bukan Mandailing baik itu acara peresmian, pelantikan, maupun penyambutan tamu kehormatan, akan tetapi sejauh ini penulis belum mengetahui, alasan kenapa harus Gordang Sambilan yang dipakai di acara tersebut.

5

minggunya ada dua atau tiga group Gordang Sambilan yang tampil dan mengisi acara pesta pernikahan adat mandailing, penyambutan tamu atau undangan terhormat, peresmian acara ataupun pelantikan pejabat9.

Selain fungsinya menjadi instrumen musik bagi acara pesta pernikahan adat mandailing, penyambutan tamu atau undangan terhormat, peresmian acara ataupun pelantikan pejabat. Gordang sambilan juga dijadikan sebagai suatu pembelajaran formal di institusi Pendidikan tinggi, seperti di program studi Etnomusikologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumetera Utara. keberadaan instrumen Gordang Sambilan dikampus tersebut merupakan suatu mata kuliah peminatan dan diberi nama dengan mata kuliah praktek musik nusantara pokok yang tergolong dalam empat tingkatan dimana setiap satu tingkatan harus dilalui setiap satu semester dan jika mahasiswa tersebut sudah masuk semester dua, maka mahasiswa tersebut wajib mengambil mata kuliah praktek musik nusantara pokok tersebut sampai dengan semester lima, dengan kategori pilihan meliputi pembelajaran Gordang Sambilan, Gondang Sabangunan, Uning-uningan, Musik Karo dan Musik Melayu. Dari kategori pilihan tersebut maka tiap individu mahasiswa akan menentukan pilihannya sesuaikan dengan minat dan keinginan mereka masing-masing10.

Namun, sejauh ini penulis belum mengetahui kapankah masuknya Gordang Sambilan di Kota Medan? dan mengapa Gordang Sambilan bisa berubah fungsi dari adat istiadat dan religi menjadi suatu seni pertunjukan di Kota Medan? dan bagaimanakah proses kontak budaya yang terjadi di Kota medan sehingga Gordang Sambilan banyak diminati dan disukai dari etnis bukan Mandailing? Berdasarkan beberapa

9 Hasil wawancara dengan Bapak Landong Parinduri, beliau merupakan orang asli mandailing dan telah lama merantau di Kota Medan dan beliau merupakan salah satu pemain Gordang Sambilan.

10 Penulis merupakan mahasiswa Etnomusikologi USU, dimana saat mengambil mata kuliah praktek musik nusantara pokok, penulis mengambil peminatan praktek Gordang Sambilan dari tingkat I, II, III dan IV.

6

pertanyaan yang telah dikemukakan, penulis merasa perlu melakukan penelitian untuk menelusi sejarah masuknya Gordang Sambilan di Kota Medan dan mengkaji dampak dari hadirnya Gordang Sambilan pada masyarakat suku Mandailing di Kota Medan dan bagaimana penelitian ini menunjukkan bahwa kehadiran Gordang Sambilan beserta hubungannya kepada masyarakat Mandailing di Kota Medan merupakan sebuah tatanan nilai yang patut dicacat sebagai tonggak sejarah perubahan ilmu pengetahuan musik pada masyarakat Mandailing di Kota Medan.

Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan di atas mengenai Gordang Sambilan maka penulis merasa tertarik untuk Menyusun serta menuliskan menjadi skripsi yang berjudul: “GORDANG SAMBILAN: KAJIAN SEJARAH DAN FUNGSI SOSIAL PADA MASYARAKAT MANDAILING DI KOTA MEDAN”