• Tidak ada hasil yang ditemukan

GORDANG SAMBILAN: KAJIAN SEJARAH DAN FUNGSI SOSIAL PADA MASYARAKAT MANDAILING DI KOTA MEDAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "GORDANG SAMBILAN: KAJIAN SEJARAH DAN FUNGSI SOSIAL PADA MASYARAKAT MANDAILING DI KOTA MEDAN"

Copied!
107
0
0

Teks penuh

(1)

GORDANG SAMBILAN: KAJIAN SEJARAH DAN FUNGSI SOSIAL PADA MASYARAKAT MANDAILING DI KOTA MEDAN

SKRIPSI SARJANA

DIKERJAKAN

O L E H

NAMA : MUHAMMAD FUAD ADZLAN NIM : 170707027

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU BUDAYA

PROGRAM STUDI ETNOMUSIKOLOGI MEDAN

2021

(2)

GORDANG SAMBILAN: KAJIAN SEJARAH DAN FUNGSI SOSIAL PADA MASYARAKAT MANDAILING DI KOTA MEDAN

SKRIPSI SARJANA

DIKERJAKAN O

L E H

NAMA : MUHAMMAD FUAD ADZLAN

NIM : 170707027 Disetujui Oleh:

Pembimbing I,

Prof. Drs. Mauly Purba, M.A., Ph.D.

NIP. 196108291989031003

Pembimbing II,

Drs. Fadlin, M.A.

NIP. 196102201989031003

Skripsi ini diajukan kepada panitia ujian Fakultas Ilmu Budaya USU Medan, untuk memenuhi salah satu syarat ujian sarjana seni dalam bidang ilmu Etnomusikologi.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU BUDAYA

PROGRAM STUDI ETNOMUSIKOLOGI MEDAN

2021

(3)

PENGESAHAN DITERIMA OLEH:

Panitia Ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara untuk melengkapi salah satu syarat ujian Sarjana Seni dalam bidang disiplin Etnomusikologi pada Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara, Medan.

Pada tanggal : 15 Desember 2021 Hari : Rabu

Fakultas Ilmu Budaya USU, Dekan,

Dr. Dra. T. Thyrhaya Zein, M.A.

NIP. 196301091988032001

Panitita Ujian:

No. Nama Tanda Tangan

1. Prof. Drs. Mauly Purba, M.A., Ph.D. ( )

2. Drs. Fadlin, M.A. ( )

3. Drs. Kumalo Tarigan, M.A., Ph.D. ( )

4. Dra. Rithaony Hutajulu, M.A. ( )

(4)

DISETUJUI OLEH:

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

MEDAN, 15 DESEMBER 2021

PROGRAM STUDI ETNOMUSIKOLOGI KETUA,

Dra. Rithaony Hutajulu, M.A.

NIP.196311161997032001

(5)

i

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu Perguruan Tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam skripsi ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Medan, 15 Desember 2021

Muhammad Fuad Adzlan NIM. 170707027

(6)

ii ABSTRAK

Skripsi ini berjudul Gordang Sambilan: Kajian Sejarah dan Fungsi Sosial pada Masyarakat Mandailing di Kota Medan. Penelititan ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana sejarah keberadaan dan perkembangan Gordang Sambilan di kota Medan serta untuk mengetahui bagaimana fungsi sosial Gordang Sambilan pada Masyarakat Mandailing di kota Medan.

Penelitian ini menggunakan pendekatan teori asal usul dan perubahan untuk menganalisis sejarah keberadaan dan perkembangan Gordang Sambilan dan teori untuk mengkaji fungsi sosial menggunakan teori uses and fungtions. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif bersifat deskriftif. Dalam proses penelitian ini, penulis mengawalinya dengan melakukan studi kepustakaan dan kemudian melakukan studi lapangan yang meliputi wawancara dan kemudian menuliskan hasil laporan akhir.

Adapun hasil penelitian ini akan memberikan informasi mengenai sejarah keberadaan dan perkembangan Gordang Sambilan di kota Medan serta memberikan pemahaman tentang fungsi sosial Gordang Sambilan pada masyarakat Mandailing di kota Medan.

Kata Kunci: Gordang Sambilan, Mandailing, Kota Medan

(7)

iii ABSTRACT

This thesis is entitled Gordang Sambilan: A Study of History and Social Functions in the Mandailing Community in Medan City. This study aims to find out

how the history of the existence and development of Gordang Sambilan in the city of Medan and to find out how the social function of Gordang Sambilan in the Mandailing community in the city of Medan.

This study uses a theory of origin and change to analyze the history of the existence and development of Gordang Sambilan and a theory to examine social functions using the uses and functions theory. This study uses a descriptive qualitative research method. In the process of this research, the author begins by conducting a literature study and then conducting a field study which includes interviews and then writing the results of the final report.

The results of this study will provide information about the history of the existence and development of Gordang Sambilan in the city of Medan and provide an understanding of the social function of Gordang Sambilan in the Mandailing community in the city of Medan.

Keywords: Gordang Sambilan, Mandailing, Medan City

(8)

iv

KATA PENGANTAR

Segala puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Subhanahu wa ta’ala, dengan limpah dan karunianya penulis pun dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini.

Skripsi ini berjudul “GORDANG SAMBILAN: KAJIAN SEJARAH DAN FUNGSI SOSIAL PADA MASYARAKAT MANDAILING DI KOTA MEDAN.”

Skripsi ini merupakan suatu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Seni (S.Sn.) di Program Studi Etnomusikologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara.

Dalam proses penyelesaian tulisan ini, banyak pihak yang telah membantu dan mendukung penulis baik dalam bentuk doa, semangat serta materi agar proses penyelesaian serta hal-hal yang dibutuhkan dapat terlaksana dengan baik. Untuk itu, dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada pihak yang telah membantu dalam penyelasian tulisan ini.

1. Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada yang terhormat Ibu Dr. Dra. T.

Thyrhara Zein, M.A. selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya USU Medan. begitu juga segenap jajaran di Dekanat Fakultas Ilmu Budaya USU Medan.

2. Ucapan terimakasih kepada Ibu Dra. Rithaony Hutajulu, M.A. selaku Ketua Program Studi Etnomusikologi USU Medan dan Ibu Arifninetrirosa,SST,M.A.

selaku Sekretaris Program Studi Etnomusikologi USU Medan.

3. Kepada Bapak Prof. Drs. Mauly Purba, M.A, Ph.D. selaku dosen pembimbing I yang telah banyak membimbing dan memberikan arahan selama proses penyelesaian tulisan ini. Semoga Bapak selalu dalam lindungan Tuhan Yang Maha Esa.

(9)

v

4. Kepada Bapak Drs. Fadlin, M.A. selaku dosen pembimbing II yang telah banyak membimbing dan memberikan arahan selama proses penyelesaian tulisan ini.

Semoga Bapak selalu dalam lindungan Allah SWT.

5. Kepada Bapak/Ibu para dosen pengajar Fakultas Ilmu Budaya, Khususnya dosen- dosen Etnomusikologi Drs. Kumalo Tarigan, M.A. Ph.D., Drs. Irwansyah, M.A., Drs. Torang Naiborhu, M.Hum, M.Si., Drs. Perikuten Tarigan, M.Si., (Alm) Drs.

Muhammad Takari, M.Hum, Ph.D., Drs. Bebas Sembiring, M.Si., Drs. Setia Dermawan Purba, M.Si., serta Dra. Heristina Dewi, M.Pd., Dra. Frida Deliana., yang telah memberikan ilmu pengetahuan umum dalam masa perkuliahan serta selalu memberikan nasehat dan motivasi.

6. Dalam tulisan ini penulis mengucapkan terimakasih sebesar-besarnya kepada kedua orang tua saya yaitu Ayah Muhammad Fahmi dan Mama Siti Khadijah yang telah berjuang di kampung halaman untuk menyekolahkan saya hingga ke jenjang srata satu. Segala cinta, kasih sayang, motivasi, semangat dan doa-doa yang tiada henti kepada saya serta kebutuhan-kebutuhan yang telah dipenuhi selama proses penyelesaian tulisan ini. Skripsi ini saya persembahkan kepada Ayah dan Mama sebagai hadiah yang membuat Ayah dan Mama bangga. Saya tidak dapat membalas semua kebaikan dan perjuangan yang telah Ayah dan Mama lakukan kepada saya, namun saya akan berusaha menjadi anak yang akan membahagiakan Ayah dan Mama kedepannya. Semoga Allah SWT memberikan umur yang Panjang, kesehatan, kelancaran rezeki dan lindungannya kepada Ayah dan Mama.

(10)

vi

7. Tak lupa juga saya mengucapkan terima kasih kepada Nenek Udak dan Nenek Tulang yang telah memberikan semangat, motivasi dan doa-doa kepada saya, semoga Nenek Udak dan Nenek Tulang selalu dalam lindungan Allah SWT.

8. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada ketiga adik kandung saya yaitu Ainul Qolbi, Ainur Rahma Dan Muhammad Fatahillah yang telah memberikan semangat, motivasi dan doa-doa kepada saya. Semoga ketiga adik kandung saya menjadi orang sukses dikemudian hari dan menjadi anak yang shaleh dan berbakti kepada kedua orang tua dan bisa lebih baik lagi daripada saya.

9. Penulis juga mengucapkan terimakasih sebesar-besarnya kepada Bapak Drs.

Muhammad Bakhsan Parinduri, Bapak Landong Parinduri, Bapak Syamsul Bahri Lubis, dan Bapak Ismail Lubis yang telah bersedia memberikan waktu, kesempataan, ilmu dan informasi terkait dengan penulisan skripsi ini. Tanpa kalian skripsi ini tidak akan mungkin terselesaikan dengan baik. Semoga Allah SWT membalaskan kebaikan serta ketulusan kalian dalam berbagi pengetahuan dan semoga budaya kita tetap terjaga dan lestari.

10. Seluruh teman-teman seperjuangan Stambuk 2017 Program Studi Etnomusikologi yang telah memberikan dukungan serta senantiasa menemani selama perkuliahan suka dan duka serta memberi semangat dan tawa. Dan seluruh abang dan kakak senior serta adik-adik stambuk yang telah memberi dukungan dan semangat.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Penulis berharap agar tulisan ini bermanfaat bagi para pembaca. Selain itu dapat menjadi sumbangan ilmu pengetahuan, khususnya dalam bidang Etnomusikologi. Oleh sebab itu, kepada semua

(11)

vii

pihak penulis sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun, demi perbaikan skripsi ini.

Medan, 15 Desember 2021 Penulis,

Muhammad Fuad Adzlan NIM. 170707027

(12)

viii DAFTAR ISI

PERNYATAAN ... i

ABSTRAK ...ii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ...viii

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xii

BAB I PENDAHULUAN... 1

1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Pokok Permasalahan ... 6

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 6

1.3.1 Tujuan Penelitian ... 7

1.3.2 Manfaat Penelitian ... 7

1.4 Konsep dan Teori ... 7

1.4.1 Konsep ... 7

1.4.2 Teori ... 9

1.5 Metode Penelitian ... 11

1.5.1 Studi Kepustakaan ... 11

1.5.2 Penelitian Lapangan ... 12

1.5.3 Kerja Laboratorium ... 12

1.6 Lokasi Penelitian ... 13

BAB II GAMBARAN UMUM MASYARAKAT MANDAILING DI KOTA MEDAN 14 2.1 Letak Geografis Kota Medan ... 14

2.2 Asal Usul Orang Mandailing ... 17

2.3 Masyarakat Mandailing di Kota Medan ... 19

2.3.1 Organisasi Masyarakat Mandailing di Kota Medan ... 22

2.3.2 Bahasa ... 23

2.3.3 Sistem Kekerabatan ... 24

2.3.4 Mata Pencaharian ... 26

2.3.5 Kepercayaan ... 27

2.3.6 Kesenian ... 28

(13)

ix

BAB III SEJARAH KEBERADAAN DAN PERKEMBANGAN GORDANG

SAMBILAN DI KOTA MEDAN ... 34

3.1 Pengertian Gordang Sambilan ... 34

3.2 Sejarah Gordang Sambilan ... 37

3.3. Perkembangan Gordang Sambilan Dari Masa Kepercayaan Sipelebegu Sampai Masa Setelah Kemerdekaan ... 40

3.3.1 Gordang Sambilan Pada Masa Kepercayaan Sipelebegu ... 40

3.3.2 Gordang Sambilan Pada Masa Kepercayaan Agama Islam ... 41

3.3.3 Gordang Sambilan Pada Masa Penjajahan Belanda ... 42

3.3.4 Gordang Sambilan Pada Masa Setelah Kemerdekaan ... 43

3.4 Sejarah Keberadaan dan Perkembangan Gordang Sambilan di Kota Medan ... 43

3.5 Klasifikasi Gordang Sambilan ... 50

3.5.1 Gordang Sambilan ... 51

3.5.2 Gong ... 52

3.5.3 Tali Sasayat ... 53

3.5.4 Mongmongan ... 54

3.5.5 Doal ... 54

3.5.6 Saleot ... 55

3.6 Penyebutan Nama Ensambel dan Jumlah Pemain pada Gordang Sambilan ... 56

3.7 Struktur Notasi Pukulan Pada Ensambel Gordang Sambilan ... 58

3.7.1 Enek-enek... 68

3.7.2 Patolu ... 69

3.7.3 Padua... 69

3.7.4 Hudong-Kudong ... 70

3.7.5 Jangat ... 70

3.7.6 Momongan ... 71

3.7.7 Tali Sasayat ... 71

3.7.8 Ogung/ gong ... 72

BAB IV ANALISIS FUNGSI SOSIAL GORDANG SAMBILAN PADA MASYARAKAT MANDAILING DI KOTA MEDAN ... 73

5.1 Deskripsi Gordang Sambilan Pada Acara Pesta Pernikahan Adat Mandailing di Kota Medan ... 73

5.2 Fungsi Gordang Sambilan Menurut Alan P. Merriam ... 78

(14)

x

5.2.1 Fungsi Pengesahan Lembaga Sosial ... 78

5.2.2 Fungsi Hiburan ... 79

5.3 Fungsi Sosial Gordang Sambilan Pada Masyarakat Mandailing di Kota Medan.... 79

BAB V PENUTUP ... 81

5.1 Kesimpulan ... 81

5.2 Saran ... 82

DAFTAR PUSTAKA ... 84

DAFTAR SITUS WEB ... 86

DAFTAR INFORMAN ... 87

LAMPIRAN ... 88

(15)

xi

DAFTAR TABEL

Tabel 1, 1: Penyebutan Nama Perangkat pada Gordang Sambilan ... 2 Tabel 3, 1: Penyebutan Nama Perangkat pada Gordang Sambilan Raptama ... 56 Tabel 3, 2: Penyebutan Nama Perangkat pada Gordang Sambilan Gunung Kulabu

Pakantan ... 57 Tabel 3, 3: Penyebutan Nama Perangkat pada Gordang Sambilan Parata Namalos ... 57

(16)

xii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2, 1: Peta Kota Medan ... 15

Gambar 2, 2: Peta Kabupaten Mandailing Natal ... 19

Gambar 3, 1: Kegiatan Mangordang dan keterangannya ... 35

Gambar 3, 2: Kontruksi Gordang Tano dan Keterangannya ... 38

Gambar 3, 3: Gambar Seorang Pria Sedang Memainkan Gondang Bulu ... 39

Gambar 3, 4: Pertunjukan Gordang Sambilan Batang Gadis Pada Acara Pagelaran Kesenian Pelantikan Pengurus P.D. HIKMA Tingkat II Kotamadya Medan Pada Tanggal 18 September 1995 ... 47

Gambar 3, 5: Pertunjukan Gordang Sambilan Batang Gadis ... 48

Gambar 3, 6: Foto Pemain GordangSambilan Paratan Namalos Ketika Menjadi Juara Satu Festival Gordang Sambilan Universitas Sumatera Utara Yang Diadakan di Pendopo USU Pada Tanggal 25 Oktober 2013 ... 50

Gambar 3, 7: alat musik Gordang Sambilan ... 52

Gambar 3, 8: alat musik Gong ... 53

Gambar 3, 9: alat musik Tali Sasayat ... 53

Gambar 3, 10: alat musik Mongmongan ... 54

Gambar 3, 11: alat musik Doal ... 55

Gambar 3, 12: alat musik Saleot yang dimainkan oleh Bapak Landong Parinduri ... 55

Gambar 1: Bapak Drs. Muhammad Bakhsan Parinduri Bersama Penulis ... 88

Gambar 2: Bapak Landong Parinduri Bersama Penulis ... 89

Gambar 3: Bapak Ismail Lubis Bersama Penulis... 89

Gambar 4: Bapak Syamsul Bahri Lubis Bersama Penulis ... 90

Gambar 5: Bapak Ridwan Aman Nasution Bersama Penulis ... 90

(17)

1 BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Penelitian ini akan menelusuri sejarah masuknya Gordang Sambilan serta membahas tentang fungsi sosialnya pada masyarakat Mandailing di Kota Medan. Sejauh penelusuran penulis, Dewasa ini Gordang Sambilan di Kota Medan sering dijumpai tiap minggunya, baik itu acara pesta pernikahan adat mandailing, penyambutan tamu atau undangan terhormat, peresmian acara ataupun pelantikan pejabat.

Secara harfiah Gordang Sambilan memiliki arti yaitu gordang yang berarti gendang dan sambilan yang berarti sembilan. Gordang Sambilan adalah ensambel musik yang dimainkan dengan cara dipukul dan dimainkan oleh sebelas orang dengan pukulan yang berbeda-beda dan dimainkan secara bersamaan atau biasa disebut dengan istilah polyrhythm.

Instrumen Gordang Sambilan tergolong sebagai alat musik yang diklasifikasikan berjenis membranophone yang terdiri dari Sembilan buah gendang dan memiliki ukuran yang berbeda-beda. selain itu Gordang sambilan juga dilengkapi oleh alat musik pengiring yang diklasifikasikan sebagai alat musik idiophone yaitu Ogung (Gong), Tali Sasayat, Mongmongan, Doal, dan sebuah alat musik tiup yang diklasifikasikan berjenis aerophone yang memberi irama pada Gordang Sambilan yaitu Saleot.

(18)

2 Tabel ensambel Gordang Sambilan terdiri atas:

NO Nama Jumlah

Alat

Pemain

1 Jangat: Siangkaan, Silitonga, Sianggian 3 1

2 Paniga: Pasada, Padua 2 1

3 Udong: Pasada, Padua 2 1

4 Tepe-tepe: Pasada, Padua 2 1

5 Mongmongan pasada 1 1

6 Mongmongan padua 1 1

7 Mongmongan patiga 1 1

8 Doal 1 1

9 Ogung jantan, Ogung boru 1 1

10 Tali sasayat 2 1

11 Saleot 1 1

Total jumlah alat dan pemain 17 11 Tabel 1, 1: Penyebutan Nama Perangkat pada Gordang Sambilan

Di Mandailing, Gordang Sambilan merupakan ensambel musik yang sangat sakral dan hanya bisa dapat dimainkan jika ada izin dari raja-raja dan namora natoras1. Contohnya, jika ada seorang raja, sutan atau namora mangkat, maka akan dilaksanakan upacara siluluton2. Salah satu bagian upacara yakni membunyikan Gordang Mate sebagai pemberitahuan bahwa di satu tempat seorang pembesar meninggal dunia3. Contoh lainnya yaitu pada pesta adat pernikahan atau biasa disebut siriaon4. Satu hari sebelum hari H akan dilaksanakan acara paampe Gordang Sambilan5. Acara ini sekaligus merupakan pemberitahuan kepada namora natoras dan raja-raja bahwa akan dimainkan Gordang sambilan.

Pada masa agama Islam belum menjadi anutan mayoritas suku Mandailing, pertunjukan Gordang Sambilan masih sangat kental dengan suasana ritualistik dan

1 Hasil wawancara dengan amangboru Drs. Muhammad Bakhsan Parinduri

2 Siluluton merupakan acara berduka di Mandailing

3 Gordang Mate merupakan sebutan irama untuk upaca kematian

4 Siriaon merupakan acara bersuka cita/kegembiraan di Mandailing.

5 Acara paampe Gordang Sambilan merupakan acara meletakkan Gordang Sambilan Pada tempat sandarannya.

(19)

3

mistikal sesuai keyakinan penduduk masa itu. Tetapi setelah mayoritas suku Mandailing menganut agama Islam, diperkirakan sekitar paruh pertama abad ke-19, pertunjukan Gordang Sambilan menjadi bagian dari perayaan hari besar Islam, seperti lebaran idul fitri dan lebaran haji. Diluar masa itu, Gordang Sambilan baru dimainkan jika ada upacara adat horja aroan boru dan acara mambulungi. Diluar momen-momen tersebut, ensambel Gordang Sambilan hanya disimpan dan dipajang di sopo gordang.

Setelah Mandailing berada dibawah kekuasaan pemerintahan kolonial Belanda pada pertengahan abad ke-19 (1840-an), terjadi perubahan dalam struktur kepemimpinan di Mandailing. Dimana Belanda mengubah sistem kerajaan menjadi lembaga kuria sebagai perpanjangan tangan pemerintahan kolonial Belanda. Orang yang menjabat menjadi kepala kuria merupakan raja atau kerabat raja yang mau dan bersedia bekerjasama dengan dengan pemerintahan kolonial Belanda. Dalam kepemimpinan kepala kuria, kepala kuria harus memimpin kedudukan sebagai pemimpin adat dan pemimpin pemerintahan kolonial Belanda, Sehingga kepala kuria mempunyai dua posisi jabatan kepemimpinan, dimana kepala kuria harus mengikuti kebijakan dan peraturan dari pemerintahan kolonial Belanda dan juga mengikuti kebijakan dan peraturan dari adat istiadat. Akan tetapi, kepala kuria lebih taat kepada kebijakan dan peraturan kolonial Belanda sehingga dampak dari kebijakan dan peraturan yang diikuti oleh kepala kuria tersebut dijauhi oleh rakyatnya. Akibatnya Gordang Sambilan yang dimasa sebelumnya dikonsepsikan sebagai milik Bersama warga komunitas adat, kemudian bergeser menjadi perangkat simbolik bagi kepala kuria dan raja-raja. Dengan kata lain, pertunjukan Gordang Sambilan berubah yang tadinya hanya dimiliki bersama menjadi kepemilikan

(20)

4

elitis6. Akibat timbulnya keadaan tersebut, maka Gordang Sambilan sangat jarang dimainkan, peralatannya tidak terurus, orang yang pandai memainkannya semakin langka, dan proses pewarisan kepada generasi muda terhambat7.

Setelah kemerdekaan, keberaadaan Gordang Sambilan mengalami sedikit perubahan fungsi. Dimana pertunjukan Gordang Sambilan perlahan berubah fungsinya yang tadinya hanya sebatas bagian dari upacara adat dan religi menjadi sebuah seni pertunjukan. Seperti pada perayaan hari-hari besar nasional dan hari memperingati kemerdekaan, mulai ditampilkan juga atraksi Gordang Sambilan sebagai hiburan, tanpa ada kaitannya dengat adat dan religi. Tidak ada pihak yang melarang kegiatan tersebut sehingga lambat laun menjadi tradisi baru dalam hal pemanfaatan Gordang Sambilan.

Di Kota Medan Sebagai Ibukota Provinsi Sumatera Utara, keberadaan ensambel Musik Gordang Sambilan tidak terlepas dari keberadaan orang-orang mandailing yang merantau dan menetap di kota medan. Selain itu, dewasa ini Gordang Sambilan sangat mudah dijumpai keberadaannya dikota medan dikarenakan Gordang Sambilan berubah fungsi yang awalnya hanya bisa dimainkan oleh raja-raja dan hanya dipakai untuk kebutuhan adat istiadat dan religi berubah fungsi menjadi seni pertunjukan sehingga membuat peminat Gordang Sambilan semakin banyak di kota Medan dimana peminatnya bukan hanya dari yang beretnis Mandailing saja akan tetapi dari etnis lain yang tinggal di kota medan8. Akibat dari banyaknya peminat Gordang Sambilan tersebut maka terdapat kurang lebih delapan group Gordang Sambilan yang berada di kota medan dan setiap

6 Elitis merupakan orang yang terpandang didalam suatu kelompok masyarakat.

7 (Mhd. Bahksan Parinduri. 2017: Sinondang mandailing edisi Gordang Sambilan, halaman 25-26)

8 Penulis sering menemukan Gordang Sambilan dimainkan diacara etnis yang bukan Mandailing baik itu acara peresmian, pelantikan, maupun penyambutan tamu kehormatan, akan tetapi sejauh ini penulis belum mengetahui, alasan kenapa harus Gordang Sambilan yang dipakai di acara tersebut.

(21)

5

minggunya ada dua atau tiga group Gordang Sambilan yang tampil dan mengisi acara pesta pernikahan adat mandailing, penyambutan tamu atau undangan terhormat, peresmian acara ataupun pelantikan pejabat9.

Selain fungsinya menjadi instrumen musik bagi acara pesta pernikahan adat mandailing, penyambutan tamu atau undangan terhormat, peresmian acara ataupun pelantikan pejabat. Gordang sambilan juga dijadikan sebagai suatu pembelajaran formal di institusi Pendidikan tinggi, seperti di program studi Etnomusikologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumetera Utara. keberadaan instrumen Gordang Sambilan dikampus tersebut merupakan suatu mata kuliah peminatan dan diberi nama dengan mata kuliah praktek musik nusantara pokok yang tergolong dalam empat tingkatan dimana setiap satu tingkatan harus dilalui setiap satu semester dan jika mahasiswa tersebut sudah masuk semester dua, maka mahasiswa tersebut wajib mengambil mata kuliah praktek musik nusantara pokok tersebut sampai dengan semester lima, dengan kategori pilihan meliputi pembelajaran Gordang Sambilan, Gondang Sabangunan, Uning-uningan, Musik Karo dan Musik Melayu. Dari kategori pilihan tersebut maka tiap individu mahasiswa akan menentukan pilihannya sesuaikan dengan minat dan keinginan mereka masing-masing10.

Namun, sejauh ini penulis belum mengetahui kapankah masuknya Gordang Sambilan di Kota Medan? dan mengapa Gordang Sambilan bisa berubah fungsi dari adat istiadat dan religi menjadi suatu seni pertunjukan di Kota Medan? dan bagaimanakah proses kontak budaya yang terjadi di Kota medan sehingga Gordang Sambilan banyak diminati dan disukai dari etnis bukan Mandailing? Berdasarkan beberapa pertanyaan-

9 Hasil wawancara dengan Bapak Landong Parinduri, beliau merupakan orang asli mandailing dan telah lama merantau di Kota Medan dan beliau merupakan salah satu pemain Gordang Sambilan.

10 Penulis merupakan mahasiswa Etnomusikologi USU, dimana saat mengambil mata kuliah praktek musik nusantara pokok, penulis mengambil peminatan praktek Gordang Sambilan dari tingkat I, II, III dan IV.

(22)

6

pertanyaan yang telah dikemukakan, penulis merasa perlu melakukan penelitian untuk menelusi sejarah masuknya Gordang Sambilan di Kota Medan dan mengkaji dampak dari hadirnya Gordang Sambilan pada masyarakat suku Mandailing di Kota Medan dan bagaimana penelitian ini menunjukkan bahwa kehadiran Gordang Sambilan beserta hubungannya kepada masyarakat Mandailing di Kota Medan merupakan sebuah tatanan nilai yang patut dicacat sebagai tonggak sejarah perubahan ilmu pengetahuan musik pada masyarakat Mandailing di Kota Medan.

Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan di atas mengenai Gordang Sambilan maka penulis merasa tertarik untuk Menyusun serta menuliskan menjadi skripsi yang berjudul: “GORDANG SAMBILAN: KAJIAN SEJARAH DAN FUNGSI SOSIAL PADA MASYARAKAT MANDAILING DI KOTA MEDAN”

1.2 Pokok Permasalahan

Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas, maka penulis menentukan pokok permasalahan dalam tulisan ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana proses sejarah masuknya Gordang sambilan di Kota Medan?

2. Apa fungsi sosial Gordang Sambilan dalam hal nilai seni pertunjukan bagi masyarakat Mandailing di Kota Medan?

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian

Adapun tujuan dan manfaat penelitian ini sesuai dengan topik permasalahan antara lain:

(23)

7 1.3.1 Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan penelitian adalah:

1. Untuk mengetahui sejarah dan perkembangan ensambel musik Gordang Sambilan di Kota Medan

2. Untuk mengetahui fungsi sosial budaya Gordang Sambilan pada masyarakat Mandailing di Kota Medan.

1.3.2 Manfaat Penelitian

Adapun yang menjadi manfaat dari penelitian ini adalah:

1. Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan bagi para pembaca, terutama yang berada dalam disiplin Etnomusikologi.

2. Menambah referensi bagi peneliti berikutnya tentang pokok bahasan yang berkaitan dan berhubungan dengan judul yang ditulis ini.

3. Salah satu upaya untuk menambah informasi mengenai Gordang Sambilan khususnya di Kota Medan.

4. Untuk memenuhi syarat dalam menyelesaikan studi program S-1 di program studi Etnomusikologi Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara.

1.4 Konsep dan Teori

1.4.1 Konsep

Sejarah adalah kejadian yang terjadi pada lampau yang disusun berdasarkan peninggalan- peninggalan berbagai peristiwa. Menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa

(24)

8

Indonesia) sejarah merupakan asal usul, kejadian ataupun peristiwa yang benar-benar terjadi pada masa lampau.

Dalam tulisan ini yang dimaksud dengan konsep “sejarah” adalah kajian terhadap masa lampau, khususnya bagaimana kaitan dan dampak dengannya manusia. Sejarah sangat berhubungan erat dengan manusia karena sejarah dapat dibuktikan dengan peninggalan dan tulisan-tulisan yang ditulis oleh manusia karena dalam penelitian ini sejarah diartikan sebagai asal-usul, ini adalah istilah umum yang berhubungan dengan peristiwa masa lalu serta penemuan-penemuan dan penyajian informasi mengenai suatu peristiwa. Begitu juga dengan sejarah Gordang Sambilan yang ada di Kota Medan, sudah dapat dipastikan bahwa Gordang Sambilan tersebut memiliki asal-usul mengenai keberadaannya di Kota Medan.

Kajian adalah sebuah proses penelitian dimana informasi dicatat untuk sekelompok orang. Informasi ini dikenal sebagai data. Jadi kajian sejarah merupakan penelitian dan pencatatan data informasi tentang asal-usul dan bagaimana hubungan dan dampak Gordang Sambilan dengan manusia pada masa lampau di Kota Medan. temuan penulis di lokasi penelitian dan melalui buku-buku dan peninggalan yang masih ada akan diuraikan dalam tulisan berbasis data informasi agar mendapatkan pemahaman tentang Gordang Sambilan tersebut secara keseluruhan. Sejarah dalam penelitian ini akan berhubungan erat dengan masyarakat karena peristiwa sejarah ini dialami oleh masyarakat.

Yang dimaksud dengan konsep “fungsi” dalam tulisan ini adalah merupakan dampak dari suatu peristiwa, kegiatan, kejadian, bagi atau terhadap pelaku maupun orang lain. Fungsi dan tujuan pada dasarnya memiliki hubungan erat. Dimana suatu kegiatan

(25)

9

memiliki tujuan tertentu yang ingin dicapai. Dan tujuan tersebut akan memberi dampak bagi pelaku maupun orang lain. Sama halnya dengan Gordang Sambilan, Gordang Sambilan dibuat dan digunakan untuk mencapai suatu tujuan dimana tujuan akan memberi dampak terhadap pelaku, pemain, pembeli,dan pendengar Gordang Sambilan.

Dalam hal ini penulis melihat kegunaan dan fungsi Gordang Sambilan pada masyarakat etnis Mandailing khususnya di Kota Medan.

Masyarakat adalah sekumpulan manusia, yang dalam kehidupannya melakukan Kerjasama secara kolektif karena saling ketergantungan diantara mereka (Frida Deliana Muhammad Takari, 2009; 1). Dalam hal ini masyarakat Mandailing merupakan masyarakat yang tinggal di daerah Kota Medan.

Maka kajian sejarah dan fungsi Gordang Sambilan pada masyarakat etnis Mandailing di Kota Medan adalah proses pencatatan data dan informasi mengenai asal usul adan pengaruh Gordang Sambilan terhadap budaya masyarakat dan proses perkembangannya sehingga dapat mengetahui fungsinya bagi masyarakat dan juga menguraikan proses masuknya dan proses berkembangnya Gordang Sambilan. Dengan demikian penulis menjadi lebih mengetahui sejarah, keberadaan dan perkembangan Gordang Sambilan terhadap budaya yang ada pada masyarakat.

1.4.2 Teori

Teori digunakan sebagai panduan dalam permasalahan yang akan dijabarkan.

Dalam tulisan ini penulis akan menggunakan teori guna untuk membahas dan mendukung jawaban dari pokok permasalahan.

(26)

10

Untuk memahami mengenai kajian sejarah Gordang Sambilan, penulis berpedoman kepada pendapat Bruno Nettl (Nettl dalam terjemahan Nathalian 2012,221- 232) yaitu asal usul dan perubahan. Menyatakan bahwa aspek-aspek historis etnomusikologi dapat dikelompokkan kedalam dua klasifikasi mendasar yaitu asal-usul dan perubahan. Penjelas dari asal-usul dari suatu fenomena merupakan akar dari banyaknya perkembangan dalam ilmu manusia. Begitu juga halnya dengan Gordang Sambilan, mengetahui sejarah Gordang Sambilan akan sejalan dengan mengetahui akar perkembangan dan perubahan ensambel musik Gordang Sambilan pada masyarakat etnis Mandailing di Kota Medan.

Untuk mengetahui fungsi Gordang Sambilan penulis berpedoman pada pendapat Alan P. Meriam (1962, 209-226) yang menyatakan bahwa penggunaan musik yang meliputi perihal pemakaian musik dan konteks pemakaiannya atau bagaimana musik itu digunakan. Penulis berpedoman pada sepuluh fungsi musik yang dikemukakan oleh Alan P. Meriam tanpa menutup kemungkinan ada fungsi musik yang lain yang berbeda dari fungsi musik yang dikemukakan oleh Alan P. Meriam yang mungkin penulis temui di lokasi penelitian.

Dalam penelitian Etnomusikologi ada dua pendekatan yang digunakan yaitu pendekatan etik dan pendekatan emik. Pendekatan emik peneliti tidak membuat ukuran- ukuran maupun kriteria-kriteria sendiri dalam mengamati fenomena kebudayaan, tetapi berusaha menangkap Bahasa maupun kebudayaan masyarakat itu dengan ukuran dan kriteria pemilik Bahasa ataupun masyarakat tertentu yang diteliti. Pendekatan etik menekankan pada ukuran, kriteria dan paradikma dari sisi peniliti. Jadi dalam penulis membuat kriteria-kriteria dan ukuran sendiri dalam mengamati proses kebudayaan tanpa

(27)

11

memperhatikan Bahasa ataupun budaya masyarakat yang diteliti dengan ukuran kriteria peneliti.

Pendekatan secara emik digunakan dalam tulisan ini untuk melengkapi teori tersebut yang akan melihat gambaran.

1.5 Metode Penelitian

Metode merupakan suatu cara yang digunakan untuk melakukan suatu pekerjaan yang sudah terkonsep guna untuk mencapai suatu tujuan. Sementara penelitian merupakan sebagai upaya dalam bidang ilmu pengetahuan yang dijalankan untuk memperoleh fakta-fakta dan prinsip-prinsip dengan sabar, hati-hati dan sistematis untuk mewujudkan kebenaran (Mardalis, 2006: 24). Maka, metode penelitian adalah segala cara yang digunakan untuk memperoleh fakta-fakta dan prinsip-prinsip dengan tersistematis untuk mewujudkan kebenaran, pengetahuan dan imformasi dalam objek penelitian.

Metode penelitian diharapkan dapat membantu mengarahkan penulis untuk melakukan penelitian ilmiah guna memperoleh hasil penelitian ilmiah yang mengacu kepada pokok permasalahan yang sudah ditentukan sebelumnya. Dalam melaksanakan penelitian ini, penulis menggunakan metode deskriptif kualitatif yang bersifat mengumpulkan informasi dari berbagai sumber, mengkhususkan dan menerangkan data dengan menguraikan makna-makna dengan mewawancarai beberapa informan.

1.5.1 Studi Kepustakaan

Koentjaraningrat (2009:35) menyatakan bahwa studi Pustaka bersifat penting karena membantu penulis untuk menemukan gejala-gejala dalam objek penelitian.

Dengan adanya studi Pustaka penulis yang masih pemula dalam menulis sebuah

(28)

12

penelitian ilmiah dan masih awam akan diperkaya dengan informasi-informasi pendukung awal dalam berbagai sumber buku yang berhubungan dengan penelitian ini.

Studi kepustakaan tergolong dalam kerja laboratorium. Dimana sebelum penulis melakukan penelitian, penulis menumpulkan data-data dan merangkum data-data yang di dapat. Cara ini dimaksudkan untuk mempermudah penulis saat terjun dan mengumpulkan lapangan. Sejauh ini penulis sudah menggali informasi dari berbagai media social yaitu internet. Selain itu penulis juga mencari informasi dari buku, artikel, jurnal yang membahas suatu yang berhubungan dengan topik penelitian yang sudah ditentukan oleh penulis. Semua data yang didapat baik melalui buku, artikel, dan internet membantu peneliti untuk mempelajari dan membandingkannya untuk kesempurnaan penelitian ini

1.5.2 Penelitian Lapangan

Penelitian lapangan merupakan kegiatan pengumpulan data dengan mencari fakta-fakta yang relevan untuk mencari pokok permasalahan yang sudah di tentukan sebelumnya. Penulis juga mengunjungi lokasi penelitian guna untuk memperoleh informasi secara langsung dari masyarakat sekitar lokasi penelitian melalui komunikasi langsung.

Dalam hal ini penulis bertemu dengan beberapa informan yang berkompeten dan sudah lama merantau dan bermain Gordang Sambilam di Kota Medan.

1.5.3 Kerja Laboratorium

Kerja laboratorium adalah saat dimana semua data yang didapat dari studi kepustakaan dan data yang didapat dilapangan digabung dan dilakukan sinkronisasi atau pencocokan guna untuk menyusun data yang dihasilkan dan menuliskannya ke dalam

(29)

13

skripsi dengan mengacu kepada hasil yang sudah penulis dapatkan. Pada akhirnya, hasil yang diperoleh akan ditulis secara sistematis berdasarkan kerangka penulisan. Jika penulis masih kekurangan data, maka penulis akan kembali menjumpai informan dengan tujuan menanyakan kembali hal yang belum lengkap dalam penyusunan data tersebut.

Hal ini dapat penulis lakukan secara berulang-ulang.

1.6 Lokasi Penelitian

Adapun yang menjadi lokasi penelitian yang penulis tentukan dalam proses penelitian ini adalah di Kota Medan sekitar.

Alasan penulis memilih lokasi ini dikarenakan Kota Medan merupakan Ibukota Provinsi Sumatera Utara dan Banyak ditemukan Etnis mandailing yang merantau dan telah menetap lama di Kota medan.

(30)

14 BAB II

GAMBARAN UMUM MASYARAKAT MANDAILING DI KOTA MEDAN

Bab ini menjelaskan secara ringkas tentang etnografi masyarakat Mandailing yang tinggal di Kota Medan dikarenakan kota tersebut menjadi wilayah penelitian penulis. Pertama penulis akan menjelaskan letak geografis Kota Medan sehingga mempermudah pembaca untuk memahami gambaran tentang lokasi penelitian. Kemudian akan dijelaskan seputar hal-hal yang terkait dengan masyarakat Mandailing yang ada di Kota Medan seperti asal usul masuknya orang Mandailing ke Kota Medan dan Organisani orang Mandailing di Kota Medan serta akan membahas kegiatan masyarakat sehari-hari terkait dengan bahasa, sistem kekerabatan, kepercayaan, mata pencaharian, dan kesenian. Dengan adanya pembahasan ini maka akan mengarahkan penulis dan pembaca agar lebih mudah memahami tulisan terkait dengan penjelasan ensambel musik Gordang Sambilan pada bab selanjutnya. Berikut adalah penjelasannya.

2.1 Letak Geografis Kota Medan

Kota medan adalah kota yang terletak di pulau Sumatera. Kota ini merupakan ibu kota dari provinsi Sumatera Utara, Indonesia. Kota ini juga merupakan kota terbesar ketiga di Indonesia setelah DKI Jakarta dan Surabaya, serta kota terbesar di luar pulau Jawa. Kota Medan mempunyai letak yang sangat strategis dimana kota ini dilalui oleh Sungai Deli dan Sungai Babura. Keduanya merupakan jalur lalu lintas perdagangan yang cukup ramai. Serta keberadaan Pelabuhan Belawan di jalur selat malaka yang cukup modern sebagai pintu masuk wisatawan dan perdagangan barang dan jasa baik

(31)

15

perdagangan domestik maupun luar negeri (ekspor-impor), menjadikan Kota Medan sebagai pintu gerbang Indonesia bagian barat.11

Gambar 2, 1: Peta Kota Medan

Sumber: https://id.wikipedia.org/wiki/Kota_Medan

Berdasarkan letak geografisnya Kota Medan Terletak pada 3° 30' – 3° 43' Lintang Utara dan 98° 35' - 98° 44' Bujur Timur dengan luas wilayah 26.510 hektare (265,10 km²) dan memiliki batas-batas wilayah, yaitu: di sebelah utara berbatasan dengan Selat Malaka, sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Deli Serdang, sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Deli Serdang, sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Deli Serdang.

11 Informasi ini didapat dari Wikipedia Kota Medan yang terdapat di google diakses pada tanggal 30 Agustus 2021, pukul 20:30 WIB.

(32)

16

Kota Medan merupakan kota multietnis yang penduduknya terdiri dari orang- orang dengan latar belakang budaya dan agama yang berbeda-beda. Selain Melayu dan Karo sebagai penghuni awal, Kota Medan didominasi oleh etnis Jawa, Batak, Tionghoa, Minangkabau, Mandailing, dan India.12

Berdasarkan hasil sensus 2019 yang dilaksanakan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) jumlah penduduk Kota Medan pada tahun 2017 adalah sebanyak 2.247.425 jiwa.

Pada tahun 2018 adalah sebanyak 2.264.145 jiwa. Pada tahun 2019 adalah sebanyak 2.279.894 jiwa.

Kota Medan memiliki dua puluh satu kecamatan antara lain yaitu Kecamatan Medan Tuntungan, Kecamatan Medan Johor, Kecamatan Medan Amplas, Kecamatan Medan Denai, Kecamatan Medan Area, Kecamatan Medan Kota, Kecamatan Medan Maimun, Kecamatan Medan Polonia, Kecamatan Medan Baru, Kecamatan Medan Selayang, Kecamatan Medan Sunggal, Kecamatan Medan Petisah, Kecematan Medan Helvetia, Kecamatan Medan Barat, Kecamatan Medan Timur, Kecamatan Medan Perjuangan, Kecamatan Medan Tembung, Kecamatan Medan Deli, Kecamatan Medan Labuhan, Kecamatan Medan Marelan, Kecamatan Medan Belawan.13 Dengan adanya pembahasan letak geografis Kota Medan akan mengarahkan pembaca agar lebih mudah memahami keberadaan Gordang Sambilan dan masyarakat Mandailing yang ada di Kota Medan.

12 Informasi ini didapat dari Wikipedia Kota Medan yang terdapat di google diakses pada tanggal 30 Agustus 2021, pukul 20:30 WIB.

13Sumber: https://id.m.wikipedia.org/wiki/Kota_Medan google diakses pada tanggal 30 Agustus 2021, pukul 21:30 WIB.

(33)

17 2.2 Asal Usul Orang Mandailing

Menurut cerita-cerita rakyat yang masih hidup di tengah-tengah masyarakat Mandailing, asal usul nama Mandailing berasal dari kata Mande Hilang (dalam Bahasa Minangkabau) yang artinya ibu yang hilang. Versi lain mengatakan bahwa nama Mandailing berasal dari kata Mandala Holing, satu kerajaan yang diperkirakan sudah ada sejak abad ke-12. Cakupan wilayah kerajaan Mandala Holing terbentang dari Portibi di Padang Lawas hingga ke Pidoli di dekat Panyabungan, Mandailing Godang (Edi Nasution, 2007; 9).

Selain itu, salah satu sumber sejarah kuno yang menuliskan nama Mandailing adalah di dalam kitab Negarakertagama yang ditulis Mpu Prapanca untuk mencatatkan ekspansi kerajaan Majapahit ke beberapa wilayah di luar pulau Jawa. Di dalam Pupuh ke XIII kitab itu Tercatat bahwa ekspansi Majapahit sampai ke tanah Mandailing sekitar tahun 1287 saka atau 1365 Masehi. Pada syair ke XIII Kakawin tersebut tercatat (Edi Nasution, 2007; 11):

Lwir ning pranusa sakawat ksoni ri Malaya

Ning Jambi mwang Palembang karitang I Teba len Dharmacraya tumut Kandis Kahwat Manangkabwa ri Siyak I Rekan Kampar Mwang I Pane Kampe Harw athawe Mandahiling i Tumihang Parlak mwang I Barat

Secara tradisional masyarakat Mandailing membagi wilayahnya menjadi dua bagian utama, yaitu Mandailing Godang meliputi kecamatan Panyabungan, Batang Natal dan Siabu, dan Mandailing Julu meliputi kecamatan Kotanopan, Muarasipongi, Ulu Pungkut dan Pakantan (Edi Naution, 2007; 10).

(34)

18

Secara wilayah Mandailing berbatasan dengan Kecamatan Angkola di sebelah Utara yang perbatasannya terletak di suatu tempat bernama Simarongit di Desa Sihepeng.

Di sebelah barat Mandailing berbatasan dengan Kecamatan Natal yang Perbatasannya terletak di suatu tempat bernama Lingga Bayu. Sebelah selatan wilayah Mandailing berbatasan dengan Kabupaten Pasaman yang perbatasannya terletak di suatu tempat bernama Desa Ranjo Batu. Di sebelah timur Mandailing berbatasan dengan Kabupaten Padang Lawas yang perbatasnnya tidak diketahui karena jarang disebut-sebut orang (Edi Nasution, 2007; 10).

Secara wilayah administratif Kabupaten Mandailing Natal memiliki batas-batas wilayah yaitu: disebelah utara berbatasan langsung dengan Kabupaten Tapanuli Selatan, disebelah selatan berbatasan langsung dengan Provinsi Sumatera Barat, disebelah barat berbatasan langsung dengan Samudera Hindia, disebelah timur berbatasan langsung dengan Kabupaten Padang Lawas dan Provinsi Sumatera Barat.14

14 Informasi ini didapat dari https://madina.go.id/gambaran-umum-mandailing-natal-2/ diakses pada tanggal 31 Agustus 2021, pukul 20:30 WIB.

(35)

19

Gambar 2, 2: Peta Kabupaten Mandailing Natal

Sumber:https://id.m.wikipedia.org/wiki/Berkas:(Peta_Wilayah)_Kabupaten_Man dailing_Natal.svg

2.3 Masyarakat Mandailing di Kota Medan

Setelah Mandailing melakukan pemulihan yang hampir kurang dari sepuluh tahun lamanya dari serangan padri dan setelah kuria mulai mengembangkan pendidikan, generasi muda Mandailing mulai merantau ke Sumatera Timur. Jalan yang mereka lalui pertama kali ke Sumatera Timur bukanlah dari jalan yang dibangun oleh Belanda yaitu melalui Sibolga, Tarutung, Danau Toba, dan Simalungun. Akan tetapi, jalan yang paling banyak dipakai dan dilalui oleh perantau Mandailing yaitu melalui Angkola, Padang Lawas, Kota Pinang, dan Asahan. Cerita rakyat dan legenda banyak bercerita tentang jalan ini sebagai jalur lama migrasi orang Mandailing ke Sumatera Timur. Di sumatera Timur, para perantau Mandailing dihormati karena pendidikannya. Pertumbuhan agrikultur perkebunan yang cepat di Sumatera Timur memerlukan banyak orang terdidik untuk bekerja di kantor-kantor. Sultan Deli membangun istana barunya di Medan pada

(36)

20

tahun 1888 dan membangun administrasi pemerintahannya. Pemerintahan Belanda juga memerlukan banyak orang berpendidikan (Usman Pelly, 1994; 64).

Para perantau Mandailing di Sumatera Timur menyediakan cadangan orang-orang terdidik bagi pemerintahan Belanda yang bisa dipekerjakan sebagai juru tulis, juru ukir, dan tukang mesin selain dalam posisi-posisi kecil lainnya. Walau Sebagian besar suku Mandailing hanya lulusan kelas tiga sekolah dasar dikampungnya, ketika mereka merantau ke Medan mereka mudah memperoleh pekerjaan di kantor-kantor. Banyak perantau Mandailing yang lulus dari madrasah dipekerjakan oleh Sultan Deli sebagai Khadi dan Imam serta jabatan-jabatan lain dalam pengadilan agama (Usman Pelly, 1994;

65).

Masyarakat Mandailing yang merantau ke Medan merupakan masyarakat yang lebih memilih untuk menetap. Karena orang-orang Mandailing cenderung memandang daerah rantau sebagai tempat menetap permanen. Selain itu, mereka juga mempunyai lebih banyak pekerjaan di perantauan. Adapun pekerjaan generasi pertama perantau Mandailing yaitu menjadi guru-guru agama, pedagang dan petani. Selain itu, yang berpendidikan bekerja sebagai pegawai-pegawai Sultan Deli, pemerintahan Belanda, dan perusahaan-perusahaan perkebunan. Generasi kedua yang lahir di kota, kebanyakan dari mereka berpendidikan. oleh karena itu, mereka melestarikan dinasti-dinasti pegawai Mandailing yang telah dibangun oleh pendahulunya (Usman Pelly, 1994; 96).

Adapun pemukiman perantau Mandailing generasi pertama yang ada di Medan yaitu di Sungai Mati, Kampung Mesjid, Glugur dan Kota Maksun. Di daerah-daerah ini, pemukiman Mandailing ini, banyak dihuni oleh pensiunan-pensiunan pegawai Sultan, misalnya Khadi, Imam, Juru Tulis, dan Jaksa. Selain itu, orang Mandailing yang bekerja

(37)

21

untuk pemerintahan Belanda dan perusahaan perkebunan asing biasanya tinggal di rumah-rumah yang disediakan oleh perusahaan mereka. Sebagian orang Mandailing yang bekerja di kantor perkebunan yang berlokasi di kota, tinggal di Glugur dan Sei Kera.

Sampai saat kemerdekaan (1950), kebanyakan pemukiman pegawai Mandailing berlokasi di Sei Mati, Polonia, Gelugur, Kampung Mesjid, Kota Maksum, dan Sei Agul.

Sementara, para pedagang Mandailing, pekerja harian, dan petani kebanyakan bertempat tinggal di Sungai Mati, Gelugur, Petisah, Sei Agul, Sei Kera Hulu, dan Sei Kera Hilir (Usman Pelly, 1994; 97).

Para pegawai di kantor-kantor pemerintahan dapat menggunakan posisi-posisi dan prestise mereka untuk memperoleh uang, kredit bank, tanah, mobil dan motor, serta perumahan. Apabila kekayaan dan keuangan mereka bertambah kuat, Sebagian mencari perumahan baru yang jauh dari pusat kota atau sepanjang jalan utama yang baru dibuka.

Karena harga rumah dan tanah di pusat kota dan sepanjang jalan utama sangat tinggi, mereka bisa menjual rumah atau tanah mereka dengan harga tinggi dan membeli tanah dan rumah baru di daerah yang lebih nyaman. Beberapa kelompok pemukiman Mandailing di pinggiran kota adalah Bandar Selamat, Tembung, Sidorejo, Tegal Sari, Binjai (kecamatan Medan Denai), Helvetia, Sei Sikambang A dan B, Babura (kecamatan Medan Sunggal), Harjosari, Kedai Durian, Titi Kuning Dan Sukamaju (kecamatan Medan Johor), Sei Mati, Belawan I dan II. Keseluruhan merupakan Kawasan di luar lingkungan pusat-pusat perbelanjaan. Daerah-daerah ini, yang tadinya adalah perkebunan-perkebunan tembakau digabungkan dengan Kota Medan pada tahun 1973 sebagai daerah perluasan Kota Medan (Usman Pelly, 1994; 98).

(38)

22

Menurut pengamatan penulis, dewasa ini orang Mandailing yang tinggal di Kota Medan banyak ditemukan dan bermukim di pinggiran Kota Medan seperti di Bandar Selamat, Tembung, Percut Sei Tuan, Denai, Marendal dan Johor. Dari beberapa tempat tersebut, Bandar Selamat merupakan pemukiman yang hampir sebagian diisi oleh orang Mandailing. Hal ini dapat dilihat dari Bahasa sehari-sehari yang terdengar di Bandar selamat yaitu kebanyakan orang berkomunikasi satu sama lainnya dengan berbahasa Mandailing. Selain itu, di Bandar Selamat sangat mudah ditemukan masakan-masakan khas Mandailing yang dijual di rumah makan dan minuman dingin khas Mandailing yaitu Toge Panyabungan. Di Bandar Selamat tepatnya disepanjang Jl. Letda Sujono banyak ditemukan loket atau terminal transportasi darat yang menuju Mandailing dengan jurusan Medan-Panyabungan atau Medan-Kotanopan. Adapun nama-nama loket transportasi darat yang ada di JL. Letda Sujono, Bandar Selamat antara lain yaitu: loket perwailan bus ALS (Antar Lintas Sumatera) Bandar Selamat, loket bus Satu Nusa, loket travel Sinar Taxi, loket travel Mandiri, loket travel Madina Transport.

2.3.1 Organisasi Masyarakat Mandailing di Kota Medan

Masyarakat Mandailing yang berdomisili di Kota Medan memerlukan sebuah lembaga organisasi atau perkumpulan untuk mensejahterakan masyarakatnya. Oleh karena itu, dibentuklah sebuah organisasi yang Bernama HIKMA. Himpunan Keluarga Besar Mandailing ini dibentuk pada tanggal 21 juni 1986, bertempat di Yayasan Perguruan Mandala Nusantara, Jalan Pertina No. 1A, Kelurahan Denai, Kecamatan Medan Denai, Medan (Harvina, 2012; 41).

Adapun pelopor pendiri HIKMA ini dapat disebutkan beberapa tokoh adat, agama, masyarakat dan cendikiawan, seperti: Mangara Lelo Lubis, Marwan Fauzi Lubis,

(39)

23

Drs. Asnan Daud Dalimunthe, Drs. H. Samuel Lubis, H.M.Y Effendy Nasution dan Lukman Lubis (Harvina, 2012; 41).

Himpunan Keluarga Besar Mandailing sendiri didirikan bertujuan untuk menciptakan jatidiri berbudaya, guna mencapai efektivitas potensi persatuan, sosial dan budaya serta ekonomi, dalam komunitas etnis Mandailing dalam kerangka peningkatan kesejahteraan anak bangsa. Dan organisasi HIKMA ini juga mempunyai fungsi yaitu untuk menampung, memadukan, menyalurkan dan memperjuangkan aspirasi anggota dan masyarakat Mandailing serta membina Putra Putri Mandailing dalam segala bidang kehidupan berbangsa dan bernegara (Harvina, 2012; 44).

2.3.2 Bahasa

Bahasa Mandailing adalah salah satu Bahasa daerah di Indonesia yang dipergunakan oleh masyarakat Mandailing. Dimana Bahasa Mandailing tersebut merupakan media aktifitas percakapan atau komunikasi sehari-hari masyarakat Mandailing yang ada di daerah Mandailing ataupun diperantauan.

Menurut pengamatan penulis masyarakat mandailing yang tinggal di Kota Medan memaliki dua bahasa sehari hari, yaitu jika orang Mandailing bertemu dengan orang Mandailing biasanya mereka memakai komunikasi bahasa dengan bahasa Mandailing itu sendiri, akan tetapi jika orang Mandailing tersebut bertemu dengan orang yang bukan bersuku Mandailing atau bisa disebut orang itu tidak bisa berkomunikasi dengan bahasa Mandailing, maka komunikasi yang dilakukan oleh kedua orang tersebut yaitu dengan memakai bahasa Indonesia.

(40)

24

Drs. Muhammad Bakhsan Parinduri mengemukakan bahwa di dalam bahasa Mandailing terdapat tujuh ragam Bahasa yang masing masing kosa katanya berbeda satu sama lain. Ketujuh ragam Bahasa tersebut yaitu:

1) Ata Somal, yaitu ragam bahasa yang dipergunakan dalam kehidupan sehari-hari.

2) Ata bura, teas, atau jampolak, yaitu ragam bahasa yang dipakai dalam pertengkaran atau mencaci-maki sesorang.

3) Ata andung, yaitu ragam bahasa yang dipakai dalam kesastraan, pidato adat, kesantunan berbahasa dan lain-lain.

4) Ata adat, datu, atau sibaso, yaitu ragam bahasa yang digunakan dalam ragam adat dan keilmuan, termasuk dalam ilmu pengobatan secara tradisional.

5) Ata parkapur, yaitu ragam bahasa yang dipakai ketika orang Mandailing di masa lalu ketika itu mereka didalam hutan untuk mencari kapur barus, gitan, damar, rotan dan lain-lain.

6) Ata poda, yaitu ragam bahasa yang filosofis kebahasaan yang mengandung kearifan yang maknanya harus ditafsirkan secara mendalam.

7) Ata bulung-bulung, yaitu ragam bahasa yang dipakai dalam konsep simbol- simbol.

2.3.3 Sistem Kekerabatan

Masyarakat Mandailing memiliki sistem kekerabatan yaitu patrilineal dan hubungan kekerabatan tersebut dapat dilihat berdasarkan pertalian darah dan perkawanin yang terpola. Dalam hal tersebut, masyarakat Mandailing mengelompokkan diri menjadi tiga kelompok kekerabatan yang menjadi tumpuan dasar bagi berbagai aktivitas sosial dan budaya mereka. Menurut adat-istiadat, ketiga kelompok kekerabatan tersebut masing

(41)

25

masing berkedudukan sebagai mora yaitu pemberi anak gadis, anak boru adalah penerima anak gadis, dan kahanggi adalah kelompok kerabat satu marga, yang ketiganya terikat satu sama lain berdasarkan hubungan fungsional dalam satu sistem sosial yang dinamakan dengan Dalihan Na Tolu atau dalam arti Dalihan artinya batu tungku, dan Na Tolu artinya yang tiga, maksudnya ketiga batu ini menjunjung satu wadah atau satu adat (Edi Nasution, 2007; 18).

Selain tiga kelompok kekerabatan tersebut, masyarakat Mandailing juga mengenal kelompok kekerabatan tambahan yaitu mora ni mora dan pisang raut. Mora ni mora adalah kelompok mora daripada mora dan pisang raut adalah adalah anak boru daripada anak boru. Selain itu ada juga kelompok kekerabatan yang disebut dengan kahanggi pareban, yaitu kelompok kekerabatan yang terdiri dari beberapa keluarga batih yang berlainan marga namun sama-sama merupakan anak boru dari satu keluarga yang bermarga tertentu (Edi Nasution, 2007; 18).

Berdasarkan pertalian darah terdapat kelompok kerabat yang dinamakan saompu parsadaan (satu nenek-moyang), saompu (satu nenek), sabagas (serumah), saudon (seperiuk) dan saama-saina (seayah-seibu). Kelompok kerabat yang disebut saompu adalah kumpulan orang-orang semarga yang merupakan cucu dari beberapa orang ompung (kakek atau nenek) yang bersaudara kandung (adik beradik). Sabagas adalah kumpulan sejumlah anak semarga yang bersaudara kandung, saudon adalah kumpulan orang-orang semarga yang merupakan cucu dari seorang ompung, dan saama-saina adalah kumpulan sejumlah anak dari pasangan ayah dan ibu kandung, yang didalamnya tidak termasuk anak tiri dan anak angkat (Edi Nasution, 2007;19).

(42)

26

Selain kelompok kekerabatan yang teleh dikemukan di atas, masyarakat Mandailing juga mengenal sistem kekerabatan yang biasa disebut dengan istilah koum sisolkot. Koum sisolkot terbentuk dari dua kata yaitu koum dan sisolkot, yang masing- masing memiliki arti yaitu koum yang berarti berkaum atau famili dekat sedangkan sisolkot berarti mendekatkan yang sudah dekat. Sehingga dapat diartikan koum sisolkot merupakan hubungan kekerabatan yang sangat dekat dengan kelompok kekerabatan mora, kahanggi, anak boru, tetangga dekat dan lain sebagainya (Edi Nasution, 2007; 20).

Masyarakat Mandailing juga mempunyai sistem kekerabatan yaitu dengan marga yang diturunkan dari marga garis keturunan ayah atau disebut dengan patrilineal. Adapun marga yang ada pada masyarakat Mandailing yaitu Nasution, Lubis, Pulungan, Rangkuti, Parinduri, Daulay, Matondang, Batubara, dan Hasibuan. Marga Nasution dan Lubis merupakan marga yang jumlah warganya paling banyak di antara marga yang ada pada masyarakat Mandailing.

2.3.4 Mata Pencaharian

Umumnya mata pencaharian masyarakat Mandailing yang tinggal di Mandailing adalah bertani dan berkebun. Biasanya masyarakat mandailing yang bermata pencaharian bertani dengan megolah sawah dapat ditemukan di daerah Mandailing Godang, sedangkan untuk masyarakat bermata pencaharian dengan cara berkebun yaitu dengan memanfaatkan lereng-lereng gunung untuk ditanami tanaman keras seperti karet (getah), kopi, kemira dan kayu manis biasanya dapat ditemukan di daerah mandailing julu (Edi Nasution, 2007; 16).

(43)

27

Sementara hasil pengamatan penulis, masyarakat Mandailing yang tinggal di Kota Medan memiliki sistem mata pencaharian yang mereka kerjakan antara lain yaitu sebagai pejabat, pegawai walikota, pegawai negeri sipil atau pegawai swasta, dokter, dosen, pengacara, guru. Selain itu ada juga yang bekerja sebagai wiraswasta, pedagang, agen transportasi darat, pengusaha, supir, tukang becak, tukang atau kuli bangunan, rumah makan atau warung makan. Semua itu mereka kerjakan untuk memenuhi hidup mereka dan juga kebutuhan sehari-hari keluarga.

2.3.5 Kepercayaan

Sebelum masyarakat Mandailing menganut agama Islam, masyarakat Mandailing lebih dulu menganut sistem kepercayaan animisme yang dinamakan dengan si pelebegu (pemuja roh-roh). Namun pada saat sekarang ini sistem kepercayaan si pelebegu tidak dapat ditemukan lagi informasinya, dikarenakan masyarakat Mandailing saat ini tidak ada lagi yang menganut kepercayaan tersebut.

Akan tetapi menurut cerita rakyat masyarakat Mandailing, ada dua tokoh yang dikaitkan dengan sistem kepercayaan si pelebegu, yaitu sibaso dan datu. Sibaso merupakan tokoh perantara manusia dan alam gaib atau roh leluhur dengan melalui suatu upacara ritual tertentu dan kemudian sibaso tersebut dirasuki oleh roh leluhur untuk memberi petunjuk guna mengatasi berbagai macam bala seperti persoalan kemarau panjang dan penyakit menular yang mewabah. Sedangkan Datu merupakan tokoh yang dapat mengobati manusia dengan cara pengobatan tradisional dan juga dengan perantara roh leluhur (Edi Nasution, 2007; 11).

(44)

28

Dewasa ini masyarakat Mandailing yang tinggal di Mandailing ataupun diperantauan merupakan mayoritas penganut agama Islam. Masuknya agama islam di Mandailing dipengaruhi oleh terjadinya perang padri yang dilakukan oleh pasukan Minangkabau untuk melakukan invasi ke wilayah Tapanuli dan melakukan pengislaman besar-besaran di Mandailing dan Angkola. Invasi tentara padri ke wilayah Tapanuli merupakan cikal bakal tersebernya agama Islam secara meluas di Mandailing dan Angkola. Sekitar lima ribu pasukan berkuda tentara padri yang dipimpin oleh Tuanku Rao masuk ke wilayah Mandailing melalui Muara Sipongi dan menaklukkan wilayah Mandailing dan terus bergerak ke utara. Proses penyebaran agama Islam ini tidak begitu sulit karena sebagian orang Mandailing dan Angkola ternyata sudah ada yang memeluk agama Islam yang dibawa oleh pedagang Minangkabau sebelumnya.15

2.3.6 Kesenian

Masyarakat Mandailing dikenal sebagai masyarakat yang mencintai kesenian. Kesenian tersebut meliputi seni musik dan seni tari. Serangkaian kesenian tersebut yaitu:

2.3.6.1 Seni Musik

1. Nyanyian

Pada masyarakat Mandailing nyayian merupakan suatu ungkapan peristiwa dan kejadian yang sedang terjadi saat itu maupun yang sudah berlalu. Nyanyian tersebut biasanya berisi nasehat ataupun ungkapan kepiluan hidup. Adapun jenis-jenis nyanyian yang ada pada masyarakat Mandailing yaitu sebagai berikut:

15 Informasi ini didapat dari https://daerah.sindonews.com/berita/1437699/29/sejarah-masuknya-islam- di-tanah-batak. diakses pada tanggal 2 September 2021, pukul 15:45 WIB.

(45)

29 a) Onang-onang

Onang-onang merupakan kesenian tradisional masyarakat Mandailing yang berupa nyanyian yang berbentuk seperti sajak pantun dan biasanya nyanyian onang-onang dimainkan pada acara horja ataupun acara siriaon. Nyanyian onang- onang biasanya diiringi dengan alat musik Gondang Dua, Gondang Boru, atau Gondang Topap.

b) Ungut-ungut

Ungut-ungut merupakan kesenian olah vokal tradisional dari Mandailing yang isi syairnya tentang ratapan kepiluan hidup atau kemiskinan. Nyanyian Ungut-ungut biasanya diiringi dengan irama suling ataupun tanpa iringan suling tersebut.

Biasanya nyanyian Ungut-ungut dimainkan saat mengembala kerbau di padang yang luas ataupun saat sedang di ladang.

c) Jeir

Jeir merupakan kesenian olah vokal tradisional dari Mandailing yang isi syairnya tentang nasehat dan keselamatan hidup. Nyanyian Jeir biasanya diiringi dengan Gondang Dua, Gondang Boru, atau Gondang Topap dan iramanya biasa dinamakan dengan Gondang Jeir. Nyanyian Jeir biasanya dimainkan ketika mengiringi raja-raja Mandailing saat manortor di acara siriaon ataupun siluluton.

Biasanya orang yang pandai menyanyikan syair Jeir Biasa disebut dengan Panjeir.

(46)

30 2. Alat Musik

Pada masyarakat Mandailing alat musik merupakan suatu seni pertunjukan yang diciptakan oleh masyarakat tersebut dan digunakan pada acara adat-istiadat maupun hiburan. Adapun alat musik yang ada pada masyarakat mandailing yaitu sebagai berikut:

a) Gordang Sambilan

Gordang Sambilan merupakan alat musik tradisional dari Mandailing yang memiliki Sembilan buah gendang dan memiliki ukuran yang berbeda-beda.

Gordang Sambilan dimainkan dengan cara dipukul dan dimainkan oleh sebelas orang dengan pukulan yang berbeda-beda dan dimainkan secara bersamaan atau biasa disebut dengan polyrhythm. Gordang Sambilan memiliki arti yaitu Gordang yang berarti gendang dan Sambilan yang berarti sembilan. Gordang Sambilan Biasanya dimainnkan pada acara horja(siriaon) ataupun acara duka(siluluton).

b) Gondang Dua, Gondang Boru atau Gondang Topap

Gondang Dua, Gondang Boru atau Gondang Topap begitulah istilah penyebutannya. Gondang ini terdiri dari dua buah Gondang yang memiliki ukuran dan bentuk yang sama dan kegunanaan Gondang ini yaitu sebagai pengiring musik pada nyanyian Onang-onang dan nyanyian Jeir.

c) Gordang Tano

Gordang Tano merupakan alat musik tradisional dari Mandailing yang terbuat dari tanah yang digali, kemudian tanah galian tersebut ditutup dengan papan dan diatas papan tersebut dibuat tiang penyangga yang fungsinya untuk mengikat rotan. kemudian, rotan inilah nantinya yang akan dipukul dengan stik yang kemudian akan menghasilkan suara.

(47)

31 d) Gondang Bulu

Gondang Bulu merupakan alat musik tradisional dari Mandailing yang terbuat dari batang bambu. Adapun cara pembuatannya yaitu dengan mencungkil kulit dari batang bambu tersebut, yang nantinya kulit dari bambu itu dibuat menjadi senar dan menghasilkan nada seperti nada Ogung/Gong pada ensambel musik Gordang Sambilan dan badan dari bambu tersebut dilubangi sehingga menghasilkan suara ketika bambu tersebut dipukul. Gondang Bulu biasanya dimainkan untuk hiburan di warung kopi ataupun saat diladang.

2.3.6.2 Seni Tari

Seni tari merupakan ekspresi perasaan dengan Gerakan yang estetis dan artistik akan menjelma dalam Gerakan yang teratur sesuai dengan isi irama. Gerakan tari dapat dilakukan secara perorangan maupun berkelompok. Dalam masyarakat Mandailing tari dinamakan dengan tor-tor, sedangkan kegiatan menari dinamakan dengan manortor.

Sama seperti tarian pada umumnya, tarian pada masyarakat Mandailing dapat dilakukan secara berpasangan, ataupun berkelompok. Tetapi tidak seperti kebanyakan tarian lainnya, setiap gerakan dalam tarian (tor-tor) memiliki makna dan arti tertentu yang juga berfungsi sebagai media komunikasi. Pada umumnya kegiatan manortor diiringi dengan Gordang Sambilan dan Gondang Dua. Setiap Gordang Sambilan atau Gondang Dua dan upacara adat memiliki ciri khas gerakan tor-tor masing-masing yang sesuai dan diperuntukkan untuk Gordang Sambilan atau Gondang Dua dan upacara adat tersebut.

Adapun tor-tor yang ada pada masyarakat Mandailing yaitu sebagai berikut:

(48)

32 a) Tor-tor pengantin

Tor-tor pengantin merupakan tarian yang dilakukan oleh pasangan pengantin dimana tor-tor ini merupakan tanda bahwasanya dua pengantin tersebut telah resmi menjadi pasangan dan juga tanda syukur dan hormat kepada orang tua dari pengantin pria dan wanita tersebut.

b) Tor-tor naposo bulung

Tor-tor naposo bulung merupakan tarian yang dilakukan oleh penari muda mudi secara berpasangan. Biasanya hanya akan ditampilkan oleh tiga pasang penari dengan susunan barisan tari sesuai dengan marga masing-masing.

c) Tor-tor jeir

Tor-tor jeir merupakan tarian yang dilakukan oleh raja-raja Mandailing ketika ada acara siriaon ataupun acara siluluton. tarian ini biasanya diiringi dengan irima jeir.

d) Tor-tor sarama datu

Tor-tor sarama datu merupakan tarian yang dilakukan untuk meminta sesuatu melalui kuasa roh. Tarian ini biasanya dilakukan oleh satu orang yang dinamakan dengan sibaso dengan iringan ensambel musik Gordang Sambilan. Tarian ini biasa dilakukan untuk meminta pertolongan kepada roh halus agar musibah yang terjadi di suatu huta (kampung) tersebut cepat selesai dan pulih kembali.

e) Tor-tor endeng-endeng

Tor-tor endeng-endeng merupakan tarian yang dilakukan untuk mengungkapkan kegembiraan saat terjadi panen raya. Tarian ini biasanya dilakukan oleh muda

(49)

33

mudi di suatu huta (kampung) dengan diiringi dengan musik endeng-endeng dan juga ensambel Gondang Dua.

(50)

34 BAB III

SEJARAH KEBERADAAN DAN PERKEMBANGAN GORDANG SAMBILAN DI KOTA MEDAN

Pada bab III ini penulis akan menjelaskan mengenai Gordang Sambilan. Pertama penulis akan menjelaskan mengenai pengertian Gordang Sambilan. Kemudian penulis akan menjelaskan sejarah Gordang Sambilan. Bab ini tidak hanya menjelaskan mengenai pengertian dan sejarah Gordang Sambilan saja melainkan penulis akan mendeskripsikan meliputi perkembangan Gordang Sambilan pada masa kepercayaan Sipelebegu (menyembah roh-roh nenek moyang) sampai dengan masa setelah kemerdekaan. Setelah itu penulis akan mendeskripsikan sejarah keberadaan dan perkembangan Gordang Sambilan di Kota Medan yang nantinya akan menjadi pokok utama dari pembahasan penulis. Selain itu, penulis akan mengklasifikasikan Gordang Sambilan dan juga menjelaskan penyebutan nama pada tiap-tiap ensambel Gordang Sambilan. Dengan adanya pembahasan ini maka akan memudahkan penulis dan pembaca agar mudah memahami tentang Gordang Sambilan. berikut penjelasan terkait Gordang Sambilan.

3.1 Pengertian Gordang Sambilan

Gordang Sambilan adalah ensambel alat musik yang berasal dari Mandailing.

Secara harfiah Gordang Sambilan memiliki arti yaitu Gordang yang berarti gendang dan Sambilan yang berarti sembilan. Sedangkan dari segi Bahasa kata Gordang erat kaitannya dengan kata Ordang dan Mangordang. Ordang merupakan alat sederhana bercocok tanam padi (semacam “tugal”) di hauma (ladang) sedangkan Mangordang

Gambar

Gambar 1: Bapak Drs. Muhammad Bakhsan Parinduri Bersama Penulis  Sumber: dokumentasi penulis
Gambar 2: Bapak Landong Parinduri Bersama Penulis  Sumber: dokumentasi penulis
Gambar 4: Bapak Syamsul Bahri Lubis Bersama Penulis  Sumber: dokumentasi penulis

Referensi

Dokumen terkait

LAPORAN PERUBAHAN SALDO ANGGARAN LEBIH PER 31 DESEMBER

Penulis melakukan penelitian dengan tujuan untuk mendeskripsikan (1) wujud penanda wujud penanda referensi dalam wacana tajuk rencana pada surat kabar Republika

Methodology and results: The measurement industrial noise was measured using a Sound Level Meter at 45 sampling points spread across two gas processing zones is

memberikan kesimpulan bahwa hilāl (bulan sabit) yang muncul di siang hari tidak bisa dijadikan pedoman dalam penentuan awal bulan Kamariyah baik itu terjadi setelah

Dalam sejarah pelaksanaan ru’yat al-hilāl di Malaysia 14 , Baitul Hilal Teluk Kemang merupakan salah satu tempat pertama yang ditetapkan secara legal sebagai tempat pelaksanaan

Berdasarkan hasil telaahan analisis komponen kimia kayu terutama kadar selulosa, lignin, pentosan dan zat ekstraktif ternyata 8 dari 10 jenis tersebut yaitu kayu ki rengas,

Airlangga, yang telah memberi kesempatan kepada saya untuk mengikuti.. pendidikan Doktor pada Program Pascasarjana

Media massa tidak serta merta memublikasikan suatu berita begitu saja tanpa melalui proses penyuntingan dan memikirkan dampak apa yang akan ditimbulkan dari