• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pasar modal adalah tempat bertemunya antara pihak yang memiliki kelebihan dana dengan pihak yang membutuhkan dana dengan cara memperjualbelikan sekuritas (Tandelilin, 2010:26). Pasar modal yang maju dan berkembang pesat merupakan impian banyak negara. Dengan adanya pasar modal aktivitas perekonomian diharapkan meningkat karena pasar modal merupakan alternatif pendanaan bagi perusahaan, sehingga perusahaan dapat beroperasi dengan skala yang lebih besar dan selanjutnya akan meningkatkan pendapatan perusahaan dan kemakmuran masyarakat luas (Darmadji dan Fakhruddin 2011:2).

Bursa Efek merupakan arti dari pasar modal secara fisik yang merupakan tempat terjadinya jual beli sekuritas terjadi (Tandelilin 201026). Saat ini bursa efek yang umum diketahui di Indonesia adalah Bursa Efek Indonesia atau yang sering disingkat BEI. Perusahaan yang membutuhkan dana melakukan penjualan sekuritas (saham) untuk pertama kalinya di pasar perdana, kemudian sekuritas akan tercatat di Bursa Efek Indonesia (BEI) dan diperjualbelikan oleh investor-investor di pasar sekunder atau dikenal juga dengan sebutan pasar reguler.

Pergerakan harga saham akan mengalami fluktuasi baik berupa kenaikan maupun penurunan yang diakibatkan permintaan dan penawaran para investor atas saham yang diperdagangkan di pasar sekunder.

Dalam aktivitas perdagangan yang ada di pasar modal terdapat ringkasan harga saham yang biasa disebut indeks harga saham. Menurut Tandelilin (2010:86) informasi mengenai kinerja pasar saham seringkali diringkas dalam suatu indeks yang disebut indeks pasar saham (stock market indexes). Indeks pasar saham merupakan indikator yang mencerminkan kinerja saham-saham di pasar. Karena merupakan indikator yang menggambarkan pergerakan harga-harga saham, maka indeks pasar saham juga disebut indeks harga saham (stock price index). Melalui pergerakan indeks harga saham seorang investor dapat melihat kondisi pasar apakah bergairah atau lesu.

Indeks Sektoral Bursa Efek Indonesia (BEI) merupakan sub-indeks dari Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG). Indeks sektoral menggunakan semua saham yang termasuk dalam masing-masing sektor (Tandelilin, 2010:88).

Beberapa sektor diantaranya pertanian (agri), pertambangan (mining), Industri dasar dan kimia (basic-ind), Aneka Industri (misc ind), dan lain-lain. Dengan perbedaan tersebut maka dibuatlah indeks harga saham sektoral yang mencerminkan kondisi pasar pada masing-masing sektor. Sehingga jika seorang investor ingin berinvestasi maka indeks harga saham sektoral dapat dijadikan pertimbangan karena mampu menggambarkan kondisi pasar suatu sektor.

Dari berbagai sektor yang ada di BEI, sektor pertambangan dinilai menarik karena memiliki beberapa penorehan yang baik di mata dunia. Indonesia dikenal sebagai negara yang kaya akan sumber daya alam khususnya bahan tambang.

Menurut Survei Geologi Amerika Serikat (USGS) Indonesia menduduki peringkat ke-6 sebagai negara yang kaya akan sumber daya tambang. Selain itu, dari potensi bahan galiannya untuk batu bara, Indonesia menduduki peringkat ke-3 untuk ekspor batu bara, peringkat ke-2 untuk produksi timah, peringkat ke-2 untuk produksi tembaga, peringkat ke-6 untuk produksi emas. Sebagai catatan, Indonesia memberikan sumbangsih cadangan emas terbesar di kawasan South East Asia, yaitu sebesar 39% (sekitar 168 Moz /5.215 tonnes) (Asosiasi Pertambangan Indonesia ,www.ima-api.com).

Secara fundamental pergerakan harga saham perusahaan tambang merupakan bagian dari Indeks Harga Saham Sektor Pertambangan yang sesungguhnya dipengaruhi oleh kinerja perusahaan dan kemungkinan risiko yang dihadapi perusahaan. Kinerja perusahaan tercermin dari laba operasional dan laba bersih per saham serta beberapa rasio keuangan yang menggambarkan kekuatan manajemen dalam mengelola perusahaan. Risiko perusahaan tercermin dari daya tahan perusahaan dalam menghadapi siklus ekonomi serta faktor makroekonomi (harga minyak dunia dan kurs) dan makro nonekonomi. Dengan kata lain, kinerja perusahaan dan risiko yang dihadapi dipengaruhi oleh faktor makro dan mikro ekonomi (Samsul, 2015:210).

Salah satu faktor makroekonomi yang mempengaruhi kondisi pergerakan Harga Saham sektor pertambangan adalah harga minyak dunia (Oil Price). Hal ini dikarenakan barang tambang yang didominasi oleh jenis barang yang dapat

dijadikan sumber energi merupakan substitusi dari minyak dunia. Andri Hardianto pengamat komoditas dalam surat kabar online (investasi.kontan.co.id, selasa 19/01/2016) mengatakan “Minyak itu investasi utama dalam bentuk komoditas, ketika kepercayaan pasar rontok terhadap minyak maka harga komoditas lainnya pun ikut berguguran”. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Intan (2013) dengan periode pengamatan selama 2008-2012, mengatakan adanya pengaruh positif pada harga minyak dunia terhadap Indeks Harga Saham Sektor Pertambangan.

Peningkatan pendapatan pada perusahaan dapat menggerakkan harga saham lewat sentimen positif investor. Sehingga Indeks Harga Saham Sektor pertambangan ikut meningkat mengikuti peningkatan harga minyak dunia. Berikut ini merupakan grafik pergerakan harga minyak dunia dan Indeks Harga Saham sektor pertambangan pada periode pengamatan :

Gambar I. 1 Pergerakan Indeks Harga Saham Sektor Pertambangan dan Harga Minyak Dunia World Texas Intermediate (WTI) Periode November 2014 – November 2016

Sumber : Investing.com dan diolah

0,00

2014 NOVEMBER 2014 DESEMBER 2015 JANUARI 2015 FEBRUARI 2015 MARET 2015 APRIL 2015 MEI 2015 JUNI 2015 JULI 2015 AUGUSTUS 2015 SEPTEMBER 2015 OKTOBER 2015 NOVEMBER 2015 DESEMBER 2016 JANUARI 2016 FEBRUARI 2016 MARET 2016 APRIL 2016 MEI 2016 JUNI 2016 JULI 2016 AUGUSTUS 2016 SEPTEMBER 2016 OKTOBER 2016 NOVEMBER Indeks Harga Saham Sektor Pertambangan Harga Minyak Dunia

Terlihat pada Gambar 1.1 harga harga minyak dunia dan saham sektor pertambangan pada periode November 2014 – November 2016 memiliki tingkat pergerakan yang cukup tinggi dan kesamaan dalam pergerakan. Pada bulan Juli 2014 hingga bulan Januari 2016 harga minyak dunia mengalami penurunan yang cukup drastis hingga mencapai harga terendahnya. Harga minyak dunia yang semula 66,05 USD/barrel menjadi 33,75 USD/barrel, penurunan yang tajam itu juga diikuti penurunan harga pada Indeks Harga Sektor Pertambangan dari 1.444,61 poin menjadi 785,29 poin. Penurunan harga minyak dunia yang drastis di sepanjang tahun tersebut disebabkan banyaknya pasokan minyak yang dihasilkan oleh negara besar produsen minyak sehingga menyebabkan penawaran dan permintaan yang tidak seimbang. Hal ini diperkuat oleh penjelasan Ellen May yang dimuat dalam surat kabar online (www.finance.detik.com, 10/3/2017) bahwa Amerika Serikat melakukan revolusi energi sehingga menyebabkan banjirnya pasokan minyak. Pada semester II tahun 2014, OPEC bukannya menyeimbangkan pasar, malah terus menggenjot produksi minyak. Kartel yang dipimpin oleh Arab Saudi takut kehilangan pangsa pasar dan terkalahkan oleh Amerika, Kanada, dan produsen minyak lainnya. Inilah penyebab harga minyak turun drastis. Selain itu, kesepakatan nuklir Iran dengan negara-negara Barat beberapa waktu lalu juga membuat minyak dari negara itu membanjiri pasar.

Menjelang akhir tahun 2016 harga minyak dunia cenderung meningkat perlahan hingga harga 49,00 USD/barrel pada bulan November kejadian itu diikuti naiknya Indeks Harga Sektor Pertambangan hingga 1.375,63 poin pada

bulan November. Kenaikan harga minyak dunia tersebut tak lepas dari rencana kesepakatan OPEC dan Rusia untuk penghentian sementara produksi minyaknya, serta adanya gangguan suplai minyak di Kanada yang merupakan pemasok minyak mentah terbsear ke AS akibat kebakaran hutan (www.bbc.com Kamis, 26/05/2016). Harga minyak dunia yang perlahan pulih juga ikut memulihkan harga komoditas tambang lainnya salah satunya batu bara. Harga batu bara Oktober 2016 sudah mencapai US$69,07 per metrik ton, otomatis harga saham-saham emiten pertambangan pun ikut terkerek naik yang tergabung dalam indeks pertambangan (mining index) di Bursa Efek Indonesia (www.bareksa.com Senin, 17/10/2016).

Pergerakan kurs Rupiah juga memiliki pengaruh terhadap Indeks Harga Saham Sektor Pertambangan. Perusahaan pertambangan membutuhkan teknologi, bahan-bahan impor, SDM asing, dan modal yang perlu dibayar dengan mata uang asing khususnya US Dolar. Menurut Arfin (2007:120) karena Dolar Amerika telah menjadi semacam mata uang internasional maka mau tidak mau setiap negara harus mengandalkan mata uang ini. Perusahaan pertambangan di Indonesia biasanya juga memiliki aktivitas perdagangan internasional yang tinggi lewat ekspor hasil tambangnya. Pelemahan kurs Rupiah memiliki potensi mempengaruhi kondisi internal perusahaan karena menimbulkan risiko berkurangnya laba perusahaan seperti meningkatnya jumlah utang dan biaya produksi perusahaan jika dinilai dengan Rupiah. Beberapa hal tersebut menunjukkan betapa pentingnya perubahan kurs terhadap perusahaan

pertambangan. Menurut Arifin (2007:119) kalau pos hutang bertambah maka dampaknya adalah pengurangan pos laba bersih yang akhirnya berdampak pada pembagian deviden. Jika ini terjadi maka kondisi fundamental perusahaan akan kurang menguntungkan. Dampaknya akan banyak investor yang melepas sahamnya dan terjadilah penurunan harga. Fenomena ini mengatakan bahwa adanya pengaruh negatif kurs Rupiah terhadap Indeks Harga Saham Sektor Pertambangan. Kondisi ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Seto (2016) yang mengatakan bahwa adanya pengaruh negatif kurs Rupiah terhadap Indeks Harga Saham Sektor Pertambangan .

Berdasarkan uraian diatas maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Pengaruh Harga Minyak Dunia dan Kurs Rupiah terhadap Indeks Harga Saham Sektor Pertambangan di Bursa Efek Indonesia Periode November 2014 – November 2016”.

Dokumen terkait