• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sumber daya ikan masih dianggap memiliki sifat terbuka (open access) dan milik bersama (common property), artinya setiap orang mempunyai hak untuk memanfaatkan sumber daya tersebut. Persoalan hak pemanfaatan tidak hanya melibatkan satu pihak, yakni masyarakat lokal atau nelayan, tetapi juga pihak-pihak lain seperti pengusaha dan pemerintah. Berbagai pihak-pihak yang memiliki kepentingan dalam pengelolaan sumber daya alam sering berbenturan sehingga menimbulkan konflik. Setiap pengguna sumber daya merasa memiliki hak yang sama dalam memanfaatkan sumber daya tersebut. Sifat pemanfaatan sumber daya yang demikian akan mengakibatkan konflik antar pengguna sumber daya, khususnya antar kelompok nelayan (Christy 1987).

Pembangunan perikanan sebagai bagian integral dari pembangunan nasional pada hakekatnya dilaksanakan dalam rangka mendayagunakan sumber daya perikanan secara menyeluruh, terencana, rasional, optimal, bertanggung jawab dan sesuai dengan kemampuan daya dukungnya, sehingga diharapkan mampu memberikan kesejahteraan bagi masyarakat secara berkelanjutan. Kedudukan dan nilai sumber daya perikanan sangat strategis dalam menjaga kelangsungan hidup sebagian besar penduduk di sekitar pantai.

Nikijuluw (2002) menyebutkan dalam pemanfaatan sumber daya milik bersama dibatasi dan dilandasi beberapa hak yang memberikan jaminan bagi pemegangnya, yaitu: (1) Hak akses, adalah hak untuk masuk ke dalam sumber daya yang memiliki batas-batas fisik yang jelas; (2) Hak memanfaatkan, adalah hak untuk memanfaatkan sumber daya dengan cara-cara dan teknik produksi sesuai dengan ketetapan dan peraturan yang berlaku; (3) Hak mengatur, adalah hak untuk mengatur pemanfaatan sumber daya serta meningkatkan kualitas dan kuantitas sumber daya melalui upaya pengkayaan stok ikan serta pemeliharaan serta perbaikan lingkungan; (4) Hak ekslusif, adalah hak untuk menentukan siapa yang boleh memiliki hak akses dan apakah hak akses tersebut dapat dialihkan kepada orang lain; dan (5) Hak mengalihkan, adalah hak untuk menjual dan menyewakan ke empat hak tadi kepada orang lain.

Eksploitasi perikanan di perairan Kalsel dilakukan oleh nelayan dalam daerah maupun antar daerah (nelayan dari Sulsel, Sulbar, Jatim, Jateng, Kalteng dan Kaltim). Perikanan tangkap di Kalsel merupakan kegiatan usaha perikanan yang mempunyai nilai ekonomis penting. Eksploitasi sumber daya ikan oleh armada perikanan tangkap laut di Kalsel dilakukan di perairan Selat Makasar, Laut Jawa, Selat Laut dan Selat Sebuku, Teluk Pamanukan, Tanjung Tatan, Pulau Sambar Gelap, Sekapung, dan sekitar pesisir Pagatan. Wilayah tersebut merupakan basis migrasi musiman nelayan. Jika musim ikan tiba, penduduk pendatang yang melakukan migrasi musiman di Desa Kerayaan Kotabaru bahkan melebihi jumlah penduduk setempat, sedangkan di Desa Swarangan ditemukan lebih kurang 200 orang dan di Desa Muara Asam-asam mencapai 1000 orang yang tidak terdata sebagai penduduk setempat. Nelayan andon yang dominan berasal dari suku Bugis dan sebagian berasal dari Jawa, Bali dan Kaltim. Sesuatu hal yang pasti adalah adanya interaksi antar dua kelompok yang berbeda dalam kehidupan bersama.

Imbas dari interaksi antar nelayan tersebut tidak sedikit mengakibatkan konflik di antara nelayan. Konflik sosial masyarakat pesisir di Kalsel merupakan suatu kenyataan yang sepertinya tidak terpisahkan dari kehidupan masyarakat. Cukup banyak fakta kekerasan fisik akibat dari konflik yang telah terjadi. Kejadian-kejadian dimasa lalu yang mempunyai kaitan atau berkontribusi terhadap terjadinya konflik nelayan. Konflik dapat terwujud dalam bentuk ketidaksukaan, ketidaksepakatan, ketidaksetujuan, perseteruan, persaingan, permusuhan, kontak fisik dan bahkan perang terbuka.

Priscoli (2002) menyatakan bahwa konflik sumber daya alam dapat disebabkan oleh miskinnya komunikasi, adanya perbedaan persepsi, pertarungan ego, perbedaan personalitas, perbedaan pandangan tentang baik dan buruk (konflik nilai), perbedaan kepentingan dan faktor struktural. Konflik perikanan tangkap sangat bervariasi antar wilayah dan antar waktu. Bennett dan Neiland (2000) menyatakan bahwa konflik bersifat multidimensional dan umumnya melibatkan berbagai pihak dalam hubungan yang kompleks. Tiga dimensi yang mempengaruhi timbulnya konflik adalah aktor, ketersediaan sumber daya dan lingkungan.

Konflik perikanan tangkap secara umum terkait dengan pemanfaatan sumber daya ikan yang sudah tergolong langka. Kelangkaan dimaksud terkait dengan masalah produksi, yaitu semakin sedikitnya ikan yang dapat ditangkap oleh nelayan (not enough fish). Pada umumnya, pihak-pihak yang terlibat dalam konflik adalah kelompok nelayan tradisional. Keragaman jenis konflik perikanan tangkap banyak disebabkan oleh keragaman persepsi nelayan tentang pengelolaan sumber daya ikan. Potensi konflik perikanan tangkap dapat disebabkan oleh prinsip hunting di mana nelayan harus selalu memburu ikan berada, suatu persaingan yang mengakibatkan terjadinya akumulasi unit penangkapan ikan pada tempat dan waktu yang sama (Budiono 2005).

Berbagai jenis konflik yang sering terjadi dalam pengelolaan perikanan tangkap di Indonesia di antaranya adalah konflik yang timbul karena pemahaman yang keliru mengenai batas-batas perairan setelah diberlakukannya undang-undang otonomi daerah, perebutan daerah penangkapan, perbedaan kualitas dan kapasitas peralatan tangkap antar kelompok nelayan, pelanggaran batas wilayah perairan, serta pelanggaran hak ulayat lokal. Satria (2004) menandaskan bahwa kaitan antara otonomi daerah dengan konflik nelayan cukup kuat opini yang berkembang bahwa otonomi daerah yang diawali dengan diberlakukannya UU 32/2004 berkorelasi positif dengan meningkatnya konflik nelayan. Dalam opini tersebut dijelaskan bahwa konflik nelayan terjadi karena otonomi daerah membuka ruang bagi nelayan untuk mengkavling wilayahnya, dan nelayanpun punya hak untuk mengusir nelayan lain (exclusion right). Opini ini hampir selalu diiringi dengan teori lainnya bahwa laut adalah milik negara (state property) sehingga siapapun boleh menangkap ikan di mana saja. Dalam hal ini otonomi daerah (otda) hanya akan merusak ciri laut yang bersifat open acces tersebut, serta mengganggu konsep keutuhan bangsa. Fenomena ini semestinya memunculkan pertanyaan baru: kalau desentralisasi kelautan dianggap hanya menimbulkan konflik nelayan, apakah dengan re-sentralisasi kelautan konflik nelayan akan berhenti dengan sendirinya. Namun diakui bahwa konflik sosial nelayan dimanapun selalu dapat terjadi baik sebelum maupun setelah diberlakukannya undang-undang otonomi daerah.

Di Indonesia, konflik kenelayanan sudah lama terjadi dan nampaknya semakin meningkat pada akhir-akhir ini. Pada tahun 1970 telah terjadi konflik besar-besaran antara nelayan “tradisional” dengan nelayan pengguna pukat

harimau (trawl). Konflik ini telah menelan banyak korban jiwa dan juga harta (alat tangkap dan perahu). Karena seriusnya konflik tersebut akhirnya pemerintah mengeluarkan kebijakan pelarangan penggunaan trawl pada tahun 1980. Pada tahun 70-an terjadi pula konflik yang melibatkan nelayan skala kecil dengan purse

seine. Konflik tersebut dikenal sebagai “malapetaka muncar” (malamun) yang

berlangsung hingga tahun 80-an. Pada tahun 90-an konflik bergeser tidak hanya melibatkan nelayan skala kecil dan nelayan purse seine, tetapi juga antar nelayan skala kecil/tradisional.

Di daerah Lampung, Bangka-Belitung dan NTB terjadi conflicting claim dalam hubungan antara teknologi, wilayah tangkap dan jenis resources tertentu. Conflicting claim ini terjadi, pada satu sisi karena adanya asosiasi-asosiasi khusus yang dikembangkan masyarakat. Beroperasinya teknologi tidak hanya melanggar hak-hak khusus mereka tetapi juga mengancam keberadaan sumber daya ikan. Transborder fishing terjadi di wilayah Kaltim (fishing in) oleh nelayan asing dan NTT (fishing out) di wilayah AFZ, sedangkan di daerah perairan yang terkait dengan suatu perbatasan yakni Selat Malaka, perairan Laut Cina Selatan dan perbatasan lainnya menunjukkan penangkapan pelintas batas merupakan salah satu masalah yang lahir di perairan-perairan tersebut. Dengan demikian, dalam konteks konflik, kondisi geografis perairan membuka kemungkinan terjadinya konflik antar nelayan dari Negara berbeda (Indarwasih et al. 2007).

Konflik pada dunia perikanan di Indonesia merupakan gejala umum, oleh karenanya cukup tersedia sumber referensi sebagai informasi awal untuk memahami atau melakukan pengkajian mengenai konflik perikanan. Penelitian kebijakan pada umumnya menggunakan karateristik dari prosedur kebijakan yang memiliki hubungan yang bersifat hirarkis, atau menggunakan beberapa metode. Alat untuk mengubah informasi dilakukan dengan cara otoritatif. Menurut Dunn (2003) dalam cara otoritatif, pernyataan kebijakan didasarkan atas dasar asumsi tentang status yang dicapai oleh pembuat informasi, sebagaimana kesaksian para

pakar ilmiah atau pengamat politik dapat digunakan sebagai bagian dari suatu argumentasi untuk menerima suatu rekomendasi kebijakan.

Lebih lanjut Dunn (2003) memberikan gambaran mengenai berberapa bidang analisis kebijakan yaitu (1) Operasionisme berganda; penggunaan berbagai ukuran secara bersama-sama untuk konstrak dan variable kebijakan. Contoh dari operasionisme berganda adalah penggunaan secara serempak perbandingan berpasangan dan skala pilihan paksa dan penyusunan skala atribut berganda (2) Penelitian multimetode; penggunaan berbagai metode secara bersama-sama untuk mengamati proses dan hasil kebijakan misalnya penggunaan secara bersama-sama catatan-catatan organisasi, angket lewat pos dan wawancara etnografis, meningkatkan plausibilitas klaim pengetahuan (3) Sintesis analisis berganda; juga dikenal sebagai sintesis penelitian, review penelitian yang integratif, melawan kecendrungan analisis tunggal yang otoritatif dengan menekankan sifat-sifat kolektif dari pengetahuan yang relevan dengan kebijakan (4) Analisis multivariat; memasukan banyak variabel dalam model kebijakan, contohnya pada analisis path atau analisis studi kasus berdasarkan pada banyak sumber kejadian, meningkatkan plausabilitas klaim kebijakan dengan secara sistematis menguji dan mengeluarkan atau memadukan, jika mungkin pengaruh variabel-variabel bukan kebijakan pada hasil kebijakan (5) Analisis pelaku berganda; investigasi kerangka kerja interatif dan perspektif banyak pelaku penentu kebijakan. Memusatkan perhatian pada individu-individu atau kelompok-kelompok yang berpartisipasi dalam formulasi dan implementasi kebijakan (6) Analisis perspektif berganda; disertakannya berbagai perspektif etis, politis, organisasional, ekonomis, sosial, kultural, psikologis, teknologis dalam analisis kebijakan meningkatkan plausabilitas dengan triagulasi antar berbagai representasi masalah dan solusi (7) Komunikasi multimedia; pengguna banyak media berkomunikasi, oleh analis sangat penting untuk meyakinkan bahwa pengetahuan (yang dikaji) relevan dengan kebijakan, sehingga digunakan oleh para prnentu kebijakan dan penerima dampak yang diinginkan. Media komunikasi tunggal yang sering digunakan oleh para analis dari kebanyakan disiplin ilmiah adalah arikel ilmiah dan buku.

Hampir tidak mungkin untuk melakukan semua pedoman di atas dalam satu analisis atau studi, mengingat adanya keterbatasan waktu dan sumber keuangan.

Selain itu kebanyakan kesalahan yang dapat dicegah dalam analisis kebijakan berasal dari perpektif analisis yang sempit, karena analis yang dilakukan bersifat menyederhanakan dan memangkas masalah agar supaya dapat berhasil walaupun ada, bagian-bagian penting dari konteks yang relevan terabaikan atau dilihat secara berlebihan. Analisis tersebut masih bersifat parsial sehingga belum menggambarkan bangunan teori yang membentuk model, berbeda dengan analisis SEM (Structural Equation Modeling) yang merupakan analisis bangunan teori sehingga dapat memberikan keluaran berupa model yang disebut dengan model persamaan struktural yang tidak ditemukan pada metode lain. Selain itu SEM memberikan representasi yang objektif terhadap hasil analisis.

Berdasarkan hal tersebut maka penelitian yang menggunakan cara statitistik berupa analisis kuantitatif (Structural Equation Modeling) merupakan kebaruan dalam penelitian ini. Dalam cara statistik, pernyataan kebijakan didasarkan pada argumen yang diperoleh dari sampel. Melalui teknik purposive terhadap 200 orang informan yang representasi dari suatu populasi. Melalui SEM dapat memecahkan masalah yang rumit, memiliki keunggulan metodologis dibandingkan dengan lainnya. SEM bukan metode baru tetapi merupakan sintesis kreatif dari beragam riset dan praktis yang biasa dipakai oleh kalangan komunitas ilmu kebijakan.

Salah satu karakteritik SEM adalah dapat dikonfirmasi menjadi suatu model melalui data empirik sehingga mencakup variabel-variabel yang penting dan tepat bagi pengelolaan konflik perikanan tangkap. Wijanto (2007) menandaskan bahwa SEM mampu mengakses hubungan dan menguji suatu seri hubungan yg terdiri dari suatu model berskala besar, mempunyai kemampuan menggabungkan variabel yang tidak terlihat (laten) ke dalam analisis un observed atau konsep yang abstrak. Keunggulan lainya adalah kemampuannya mengakomodasikan multiple interrelated dependence relationship ke dalam satu model saja. Penyampaian tentang ide konsep dasar bersifat sangat efektif, dan sarana komunikasi dilakukan melalui diagram lintasan.