• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bentuk-Bentuk Dialog Antarumat Beragama

BAB II HAKIKAT DIALOG ANTAR UMAT BERAGAMA

F. Bentuk-Bentuk Dialog Antarumat Beragama

Ada beberapa bentuk dan syarat-syarat pelaksanaan sebagai keterlibatan Gereja dalam melakukan dialog. Yang dimaksud dengan “bentuk” ialah cara atau model dialog itu diungkapkan. Cara di sini tidak hanya menunjuk pada metode atau

aturan prinsip-prinsip, melainkan juga mencakup objek atau tema yang didialogkan.

Karena dalam kenyataan, objek atau tema yang didialogkan beraneka ragam bobotnya, maka subjek yang melibatkan diri dalam dialog itu pun perlu diadakan pembedaan-pembedaan. Sehingga ada empat bentuk dalam dialog adalah sebagai berikut:

1. Dialog kehidupan

Dialog kehidupan dimengerti selalu dalam hubungan dengan orang lain, ciri khasnya yaitu memiliki semangat tetangga, semangat kebersamaan dalam situasi yang sama atau perasaan senasib dan sepenanggungan. Dalam dialog ini

tercipta adanya sharing kebahagiaan dan kesedihan persoalan-pesoalan umum seperti kebutuhan air bersih, pendidikan, ekonomi, kesehatan, dan lain-lain ( Rukiyanto, 2021: 111). Dengan demikian, dialog kehidupan berbicara tentang hal-hal berkaitan dengan kebutuhan pokok hidup manusia sehari-hari.

Dialog kehidupan diperuntukkan bagi semua orang dan sekaligus merupakan level dialog yang paling mendasar. Sebab ciri kehidupan bersama sehari-hari dalam masyarakat majemuk yang paling umum dan mendasar ialah ciri dialogis. Dalam kehidupan sehari-hari, aneka pengalaman yang menyusahkan, mengancam, dan menggembirakan dialami bersama-sama. Masing-masing dengan pengalaman hidupnya yang khas dalam kewajarannya sebagai orang yang tinggal bersama senantiasa tergerak untuk membagikan pengalamannya. Dialog kehidupan seringkali memang tidak langsung menyentuh perspektif agama atau iman. Dialog itu lebih digerakkan oleh sikap-sikap solider dan kebersamaan yang melekat. Biarpun demikian sebagai orang beriman, solidaritas dan kebersamaan yang lahir dalam kehidupan sehari-hari tak mungkin dipisahkan apalagi dilucuti dari kehidupan iman mereka. Setiap pengikut Kristus, karena panggilannya sebagai orang Kristen, diminta untuk menghayati dialog kehidupannya dalam semangat injili; tak peduli dalam situasi apa pun, baik sebagai minoritas maupun mayoritas. Orang dari “berbagai agama berupaya hidup di dalam semangat keterbukaan dan ketetanggaan untuk saling berbagi kegembiraan dan kesedihan, bersama-sama menanggung masalah-masalah dan kecemasan-kecemasan hidup.

Dialog ini harus dilakukan dalam kasih. Dan bagi umat Kristiani, kasih harus

menjadi hakikat keberadaannya, karena ia “didesak oleh kasih Kristus (bdk. 2Kor.

5:14) untuk menjangkau setiap makhluk tanpa kekecualian, bahkan sampai melewati batas-batas Gereja yang kelihatan. Dialog ini menuntut rasa hormat, perhatian, kebaikan hati, kepercayaan, kerendahan hati, kesabaran, pengampunan, menerima orang lain sebagai pribadi dari keluarga manusia yang sama” dan

“saling berbagi kegembiraan dan kesusahan”

2. Dialog Karya

Bentuk dialog ini lebih pada arah kegiatan konkret, tindakan-tindakan nyata yang dilakukan orang-orang beragama dalam dunia sekitarnya. Dialog ini lebih mendorong orang agar memfokuskan perhatian besar kepada masalah-masalah kemanusiaan, karya-karya kasih terhadap sesama dan dunia (Rukiyanto, 2021: 112). Jika berbicara tentang dialog karya, di sini tidak lagi hanya berbicara pada tataran ide atau gagasan, tetapi bagaimana karya nyata umat beragama untuk memberi kehidupan bagi sesama.

Yang dimaksudkan dengan dialog karya adalah kerjasama yang lebih intens dan mendalam dengan para pengikut agama-agama lain. Sasaran yang hendak diraih jelas dan tegas, yakni pembangunan manusia dan peningkatan martabat manusia. Bentuk dialog semacam ini sekarang kerap berlangsung dalam kerangka kerjasama organisasi-organisasi internasional, di mana orang-orang Kristen dan para pengikut agama-agama lain bersama-sama menghadapi masalah-masalah dunia. Sejak konsili Vatikan II, Gereja secara konkret dan resmi terlibat dalam dialog karya. Dua atau tiga sekretariat sekurang-kurangnya yang

menangani masalah-masalah dunia, didirikan. Sekretariat-sekretariat itu tidak menggeluti dialog agama-agama, namun demikian pelaksanaan kerjanya meminta kerjasama dengan para penganut agama-agama lain. Dua sekretariat itu yakni The pontifical Commission for justice and peace (1967).

3. Dialog Pandangan Teologis

Dialog ini bertujuan untuk mendiskusikan pandangan-pandangan atau ajaran-ajaran agama yang berkaitan dengan masalah-masalah sosial kemasayarakatan. Jadi dialog teologis biasanya dilakoni oleh para pemuka agama.

Dialog ini akan tercipta dengan baik apabila masing-masing mengesampingkan ego dalam diri, mengesampingkan hastrat mayoritas dan minoritas, memberi ruang pada kerendahan hati untuk mencari jalan keluar bagi masalah-masalah sosial yang berkaitan langsung dengan agama beserta ajarannya (Rukiyanto, 2021: 111).

Sebenarnya dialog teologis tidak hanya dikhususkan untuk para ahli melainkan juga untuk siapa saja yang memiliki kemampuan untuk itu. Tetapi karena menyangkut soal-soal teologis yang sering rumit, dialog semacam itu lebih tepat untuk para ahli. Dalam dialog teologis yang sering rumit, dialog semacam itu lebih tepat untuk para ahli. Dalam dialog teologis, orang diajak untuk menggumuli, memperdalam, dan memperkaya warisan-warisan keagamaan masing-masing, serta sekaligus diajak untuk mengetrapkan pandangan-pandangan teologis dalam menyikapi persoalan-persoalan yang dihadapi umat manusia pada umumnya. Karenanya dialog semacam ini membutuhkan visi yang mantap.

Dialog pandangan teologis tidak (dan tidak boleh) berpretensi apa-apa, kecuali untuk saling memahami pandangan teologis agama masing-masing dan penghargaan terhadap nilai-nilai rohani masing-masing. Dialog teologis tidak boleh dimaksudkan untuk menyerang pandangan sesama rekan dialog. Dialog teologis meminta keterbukaan dari masing-masing untuk menerima dan mengadakan pembaharuan-pembaharuan yang makin sesuai dengan nilai-nilai rohaninya.

4. Dialog pengalaman Iman

Dialog ini tercipta karena orang dengan kesadaran dan kemauan serta dorongan-dorongan perasaaan keagamaan membuka diri untuk saling berbagi pengalaman iman, pengalaman religius bukan untuk saling memanipulasi dan memaksa orang lain untuk percaya, tetapi lebih pada saling menumbuhkembangangkan pengalaman iman kepada Allah sesuai keyakinan dan kepercayaan masing-masing. Dialog ini harus benar-benar membutuhkan keterbukaan hati yang sangat besar (Rukiyanto, 2021: 110).

Dialog pengalaman keagamaan atau lebih baik disebut pengalaman iman, merupakan dialog tingkat tinggi. Dialog pengalaman iman dimaksudkan untuk saling memperkaya dan memajukan penghayatan nilai-nilai tertinggi dan cita-cita rohani masing-masing pribadi. Dalam dialog ini, pribadi-pribadi yang berakar dalam tradisi keagamaan masing-masing berbagi pengalaman doa, kontemplasi, meditasi, bahkan pengalaman iman dalam arti yang lebih mendalam (pengalaman mistik, misalnya). Dari sebab itu, dialog pengalaman keagamaan sangat

mengandaikan iman yang mantap dan mendalam. Dalam banyak hal, dialog iman merupakan ujian kesabaran yang meminta ketabahan panjang. Dikatakan ujian kesabaran karena tidak semua hal yang didialogkan dapat langsung dipahami masing-masing umat beragama. Dibutuhkan kesabaran untuk mendengarkan dan mengerti serta menerima apa yang disampaikan partner dialog agar dialog bisa berjalan dengan baik. Kadang bisa temukan dalam menjalankan dialog di mana partner dialog tidak terbuka atau ada sara curiga kepada pihak lai, hal ini sangat membutuhkan ketabahan dan kesabaran dalam menjalankan dialog antara umat beragama.

Dalam Kitab suci, Kristus mengundang kita untuk masuk dalam dialog iman ini dan kepada kita Dia berkata, “Aku datang, supaya mereka mempunyai hidup dan mempunyainya dalam segala kelimpahan” (Yoh 10:10). (Wuritimur 2018: 69-70). Ini berarti peran kita dalam dialog iman semestinya benar-benar memberi nuansa dan suasana baru, agar dialog itu lebih hidup, lebih terbuka dalam semangat saling menghormati, dengan demikian dialog itu benar-benar membawa panfaat bagi kedamaian dan kerukuman hidup masyarakat.

Setiap agama memiliki ajaran imannya sendiri. Teologi agama banyak kali rumit untuk dipahami apalagi dipublikasikan, sehingga membutuhkan orang-orang tertentu yang ahli dalam bidang iman. Dikatakan rumit karena dalam teologi agama,masing-masing agama memiliki pandangnnya sendiri yang berbeda antara agama yang satu dengan agama yang lain, baik pandangannya tentang Tuhan, manusia maupun alam semesta. Dalam interen agamapun tidak semua

umat beragama memahami dengan benar mengenai ajaran iman keagamaannya sendiri, karena di dalamnya banyak hal dogmatis yang tentu saja memerlukan kajian dan keyakinan iman yang mendalam untuk mempercayainya. Untuk hal-hal yang sulit seperti ini membutuhkan orang- yang sungguh-sungguh paham dan percaya, sehingga dia bisa menjelaskan kepada orang lain.

Dialog dalam level iman ini bertujuan menyampaikan warisan ajaran dan kebenaran ajaran yang dapat dipergunakan sebagai kekuatan untuk menghadapi persoalan umat manusia pada umumnya. Dialog ini tidak boleh berpretensi apa-apa kecuali untuk saling memahami pandangan teologis dari setiap agama dan menghargai nilai-nilai rohani yang terdapat di dalamnya. Dialog ini pun tidak dimaksudkan untuk menyerang pandangan sesama rekan dialog. Dialog iman ini sangat membutuhkan sikap keterbukaan untuk menerima partner dialog dan sharing iman yang diberikan.

Pemerintah bersama institusi agama harus memfasilitasi ruang perjumpaan antarkelompok masyarakat, dengan tujuan memperkuat nilai-nilai inklusif dan toleransi. Tokoh agama perlu lebih aktif dalam memandu umat untuk menjalankan agama dan keyakinan yang terbuka, berlandaskan nilai hakiki agama sebagai panduan spiritual dan moral. Dialog iman akan memberi dampak kepada masyarakat dalam hal saling memahami iman keagamaan yang satu dengan iman keagamaan lain, tidak saling mencela dan mengolok serta merendahkan satu dengan yang lain, dan menciptakan suasana yang damai dan rukun dalam kehidupan masyarakat.

Dokumen terkait