• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II HAKIKAT DIALOG ANTAR UMAT BERAGAMA

G. Tanggapan kritis

Dalam semua agama yang mencintai kedamaian dan kerukunan hidup umat manusia, pemahaman tentang makna dan hakekat dialog antara umat beragama merupakan kebutuhan penting bagi penganutnya, sebab jika pemahaman dan pelaksanaan dialog antara umat beragama berjalan baik, maka masing-masing umat beragama bisa memberikan andil mereka dalam memelihara kerukunan hidup bersama. Tanpa ada pemahaman tentang arti pentingnya dialog antara umat beragama, masing-masing umat beragama akan hidup saling menutup diri.

Gereja Katolik memiliki beberapa dokumen resmi yang secara khusus berbicara tentang kerukunan hidup antara umat beragama. Dokumen-dokumen itu dikeluarkan oleh otoritas Gereja untuk menjadi pedoman dalam menjalankan dialog antara umat beragama. Beberapa dokumen itu antara lain dokumen Dialogue and Mission (1984) dan Dialogue Proclamation (1991) yang secara

tegas berbicara tentang makna dialog. Selain itu dalam dokumen konsili Vatikan II khususnya dalam Nostra Aetate secara khusus berbicara tentang dialog antara umat beragama, teristimewa hubungan Gereja Katolik dengan agama Islam,Hindu, Budha, Yahudi.

Dokumen yang terakhir adalah dokumen Abu Dhabi yang lahir tahun 2019. Dokumen yang ditandatangi oleh Paus Fransiskus dan Imam Besar Al-Azhar yang disebut dengan dokumen Persaudaraan Manusia Untuk Perdamaian

Dunia dan Hidup Beragama itu merupakan dokumen yang paling berpengaruh di abad ini. Dalam situasi dunia zaman ini di mana konflik antar umat beragama begitu tinggi di seluruh dunia, kehadiran dokumen ini dapat memberikan kesejukan hidup bagi orang yang menerima dan menghayatinya.

Semua dokumen yang berbicara tentang hakekat dialog, ditulis dalam konteks tertentu dengan maksud dan tujuan tertentu pula untuk menjawab kebutuhan konteks atau zamannya. Oleh karena itu maka makna dan hakekat dialog antar umat beragama mesti terus digali dan dikembangkan agar dapat menjawab kebutuhan zaman. Dengan kemajuan dunia ilmu pengetahuan dan teknologi yang begitu pesat bisa membuat umat beragama semakin fanatik dan eksklusif atau bisa jadi semakin moderat atau inklusif. Atas dasar ini maka harus terus menerus mencari makna dan cara baru dalam dialog antara umat beragama agar meskipun dunia semakin maju, masyarakat tetap hidup rukun, aman dan damai.

Dalam konteks Indonesia saat ini, dokumen-dokumen Gereja yang berbicara tentang dialog agama harus direfleksikan secara baru, agar bisa menemukan model-model baru dialog untuk dapat menjawab kebutuhan bangsa Indonesia yang hidup terdiri dari multi agama. Sering terjadi konflik akhir-akhir ini yang merusak harta benda dan kehilangan nyawa manusia atas nama agama, dapat menjadi pendorong bagi para tokoh agama dan pemerintah untuk menemukan model dialog antar umat beragama yang lebih efektif, yang benar-benar berdampak pada kerukunan hidup warga dan bangsa.

BAB III

HAMBATAN DALAM DIALOG ANTAR UMAT BERAGAM

Gerakan pembaharuan kehidupan iman keagamaan pada dasarnya adalah gerakan kembali kepada tujuan utama dari dialog agama yaitu menciptakan kedamaian dan kerukunan. Dalam gerakan pembaharuan melalui dialog tersebut diarahkan agar setiap agama dimulai dengan pencerahan penganutnya sendiri. Ketika penganut masing-masing agama itu hidup dalam pencerahan maka keharmonisan hidup dapat terwujud. Itulah sesungguhnya buah dari dialog antar umat beragama.

Namun demikian dalam realitasnya, perjalanan dialog antar agama saat ini bukanlah hal yang mudah. Dialog agama terus didengungkan, di pihak lain banyak kendala yang meski dihadapi. Berikut ini adalah sejumlah kendala praktis di lapangan yang menghalangi dialog antar umat agama:

A. Masih dijalankan oleh kelompok terbatas

Kendala pertama yang di hadapi dalam dialog agama di Indonesia sampai saat ini adalah bahwa kegiatan dialog hampir secara merata berlangsung pada sekelompok orang saja yaitu tokoh-tokoh agama atau orang-orang terpelajar, sehingga lapisan awam atau masyarakat biasa yang lebih besar jumlahnya tidak ikut di dalamnya atau tidak mengetahui serta tidak mendapatkan akses yang cukup kepada pelaksanaan dialog. Ini terjadi, karena dialog lebih pada tukar pikiran atau gagasan kurang menyentuh masalah yang dihadapi masyarakat (Nurcholis Madjid, 2001: 175). Dialog

lebih pada konsep-konsep dan pikiran-pikiran yang memang benar dan bagus tetapi hanya ada pada ide para tokoh agama, kaum terpelajar, kurang diimplementasikan dalam kehidupan antara umat.

Pada tingkat tokoh-tokoh agama, pemerintah, orang-orang terpelajar seringkali menganggap pertemuan mereka seolah-olah akan mempengaruhi tindakan masyarakat beragama yang menjadi pengikut mereka, pada hal masyarakat di tingkat akar rumput menghadapi sejumlah masalah konkret yang jarang direfleksikan oleh tokoh-tokoh agama tersebut. Apa yang dibicarakan oleh tokoh agama atau kaum terpelajar itu berbeda dengan kenyataan yang dihadapi umat.

Tentu saja di sini tidak bermaksud mengatakan bahwa dialog yang dilakukan dengan menukar konsep dan ide kerukunan pada tingkat tokoh agama atau kaum terpelajar tidak ada gunanya dan tidak menyumbangkan apa-apa terhadap upaya membangun kerukunan antar agama. Yang hendak dikatakan di sini adalah bahwa seharusnya masalah dialog makin nyata berada pada level akar rumput, sehingga perhatian harus mulai diarahkan ke sana. Dialog sudah selayaknya mulai menyertakan umat beragama yang sederhana, dan tidak melulu menjadi program bagi tokoh-tokoh agama atau pemerintah.

Dialog antar tokoh agama harus terus menerus agar bisa mendapat titik temu bersama yang baik. Namun dialog seharusnya tidak berhenti diatas mimbar atau di ruang pertemuan saja. Dialog harus turun sampai di tengah umat dan menyentuh kehidupanpeka mereka. Demikian juga dialog di akar rumput tidak perlu menghindar untuk membicarakan isu-isu yang mungkin sangat peka. Dialog perlu mendiskusikan

isu-isu aktual yang sedang dihadapi umat, seperti masalah pendirian tempat ibadah, pernikahan antar agama, konversi atau pemindahan agama, dan isu panas lainnya.

Sehingga dengan membicarakan titik-titik panas maka akan ditemukan solusi bersama.

Sebenarnya para tokoh agama atau pemerintah memahami bahwa dialog yang terjadi selama ini lebih banyak dilakukan pada level atas, pada level elit agama, tidak banyak menyentuh masyarakat sederhana sehingga masyarakat tidak paham apa yang disampaikan pemerintah dan para tokoh agama tersebut. Tetapi yang menjadi masalah adalah para tokoh agama ini setelah menyadarinya tidak mengambil langkah-langkah konkret untuk mengubah cara atau metode dialog tersebut yang semula hanya pada kelompok tertentu dan terbatas, berubah menyentuh sampai pada masyarakat akar rumput (Nurcholis Madjid, 2001: 176).

Sampai saat ini bentuk dialog umat beragama di Indonesia belum ada gerak pembaharuan dari yang tingkat atas tokoh agama kepada keterlibatan umat sederhana.

Dialog akar rumput masih sebatas rencana atau wacana, walaupun wacana itu sering dibicarakan berulang-ulang tetapi tidak ada implementasinya. Akibatnya konflik antar umat beragama masih sering terjadi sampai dengan perusakan harta benda, pembakaran atau perusakan gereja atau korban nyawa karena alasan agama. Banyak biaya yang dikeluarkan untuk dan atas nama dialog antar umat beragama, tapi dalam kenyataannya adalah bukan dialog antar umat tetapi dialog para tokoh atau pemuka agama.

B. Tidak Militan

Kendala lain dalam dialog antar umat beragama yang masih ada sampai saat ini adalah bahwa sebagian besar aktivis yang terlibat dalam dialog tidak militan memperjuangkan isu ini. Dibanding dengan sejumlah aktivis lain yang berjuang untuk isu HAM, lingkungan, perempuan, dan lain-lain. Para aktivis dialog antar agama kurang agresif atau bersemangat dalam mengkampanyekan isu tersebut.

Kurang adanya kesungguhan pada mereka untuk menyebarkan isu ini di kalangan masyarakat luas.

Hasil survey indeks kerukunan umat beragama di Indonesiatahun 2019 memang menunjukan kategori tinggi yaitu 73,83, dengan rentang 0 sampai 100.

Secara series, skor kerukunan menaik sebesar 2,93 dari Indeks KUB tahun 2018 yang berada pada angka 70,90. Nilai indeks kerukunan sebesar 73,83 merupakan perhitungan dari 3 indikator yaitu toleransi pada nilai 72,37, kesetaraan pada nilai 73,72 dan kerjasama pada nilai 75,40. Faktor-faktor signifikan yang mempengaruhi ketiga indikator tadi lebih disebabkan oleh pendidikan keluarga, implementasi kearifan lokal, pendapatan dan peran kementerian agama. Tidak menunjukan bahwa kenaikan indek kerukunan antara umat beragama di Indonesia itu disebabkan oleh dialog yang dilaksanakan secara terencana, sistematis dan terus meneruas.

(https://simlitbangdiklat.kemenag.go.id/ Penelitian_KUB_2019.)

Ada beberapa sebab yang mungkin menimbulkan hal ini (Nurcholis Madjid, 2001: 176): Pertama, mungkin tidak tersedia cukup dana yang membiayai kegiatan-kegiatan dialog antar agama ini di Indonesia. Pihak yang memiliki uang atau sponsor

mungkin melihat isu lain lebih penting untuk diperhatikan ketimbang isu dialog antaragama. Kedua, faktor agama acapkali dipahami sebagai bukan faktor utama dalam setiap konflik sosial yang pecah dengan menggunakan simbol agama. Agama dianggap sebagai alat saja dalam konflik tersebut sementara faktor utamanya adalah masalah ekonomi dan politik. Kalau soal-soal ekonomi dan politik itu bisa diselesaikan, begitu diandaikan, maka secara otomatis konflik itu akan selesai, dan faktor agama akan hilang dengan sendirinya. Ketiga, tampaknya ada semacam keengganan untuk memasuki wilayah dialog antar agama, karena sifatnya

yang sensitif.

Karena tidak memiliki jiwa militan atau kesungguhan dalam dialog maka dialog seringkali dijalankan bersifat sesaat atau pada saat-saat tertentu saja. Jika memiliki anggaran dari negara, maka dialog dijalankan untuk menghabiskan anggaran yang disediakan, bukan untuk menciptakan kerukunan hidup masyarakat.

Tujuan dialog tidak pernah akan tercapai jika tidak memiliki jiwa militan. Mereka yang terlibat dalam dialog tidak memiliki kesungguhan untuk mencapai tujuaan kedamaian dan kerukunan hidup sebagai hasil akir dari dialog. Jika praktek dialog asal-asalan seperti ini tidak segera diatasi maka konflik atas nama agama akan terus berulang.

Masalah tidak militan tidak hanya terjadi pada masyarakat awam yang kurang mendalam pemahaman keagamaan. Justru hal ini juga terjadi dalam diri tokoh agama atau kaum terpelajar. Apa yang dikatakan Nurcholis Madjid yang masih sangat relevan sampai saat ini adalah bahwa para tokoh agama aktif mengadakan dialog

melalui proyek yang diadakan pemerintah namun tujuannya untuk menghabiskan anggaran. Hal ini akan menjadi masalah serius dalam kehidupan umat beragama (Nurcholis Madjid, 2001: 176). Tokoh agama dan kaum terpelajar seharusnya menjadi penggerak utama dan menjadi pelopor dalam menghidupkan dialog umat beragama agar tercipta kerukunan hidup bersama, bukan menjadi penghambat tujuan mulia dari dialog.

C. Konflik ke Dalam

Pertikaian antara umat agama tidaklah selalu suatu pertikaian yang melibatkan seluruh umat dari agama A dengan umat dari agama B. Kenyataan di Indonesia saat ini bukan hidup satu agama saja, melainkan hidup lebih dari satu agama dan sering kali mengalami konflik internal yang cukup tajam. Artinya, pluralisme tidak saja terjadi dalam konteks antaragama, tetapi juga dalam agama yang sama juga terjadi perbedaan-perbedaan yang tajam. Pertikaian dalam agama yang sama ini menjadi kendala dalam membangun dialog antara gama (Nurcholis Madjid, 2001: 179-180).

Ini sangat nyata kita saksikan dalam kehidupan sehari-hari umat beragama. Dalam islam ada Front Pembela Islam, Gerakan Mujahidin, Hizbu Tahir, Nadhatul Ulama, Muhamadiyah, yang dalam hal-hal tertentu berkaitan dengan penghayatan keagamaan berbeda satu dengan yang lannya. Oleh karena itu, dialog antar golongan dalam agama yang sama tidak kalah pentingnya dengan dialog antaragama. Dengan kata lain, dialog internal akan menjadi sarana yang memudahkan dialog eksternal, dan bukan sebaliknya. Kadang-kadang dialog antara golongan dalam agama yang sama

jauh lebih sulit dan menyakitkan ketimbang dialog dengan kelompok di luar agama sendiri.

Belajar dari pengalaman konkret di lapangan, bahwa kendala-kendala yang berkaitan dengan konflik internal cukup menonjol, tetapi kurang mendapatkan perhatian yang cukup dari aktivis dialog agama selama ini. Perhatian yang selama ini diberikan pada aspek-aspek yang mempertemukan semua agama harus juga diimbangi dengan perhatian terhadap sejumlah hal yang berkaitan konflik internal umat beragama yang sering menjadi penghalang tercapainya dialog antara umat beragama.

Konflik dalam tubuh umat beragama di Indonesia saat ini jika terjadi sesaat dan tidak banyak korban, selalu ditutup-tutupi. Meskipun peristiwa itu sudah mengorbankan sendi-sendi kebersamaan. Dari kasus yang dipicu oleh persaingan usaha, perebutan warisan, hingga pengrusakan rumah ibadah dan pembantaian pemuka agama, sudah sering terjadi. Tuduhan terhadap kelompok atau aliran sesat dalam agama, biasanya yang kemudian menimbulkan perlawanan internal. Ketika massa telah terbentuk opininya, mereka bergerak, dan biasanya timbul perilaku tidak terkontrol. Perusakan bangunan tempat ibadah dan memusnahkan nyawa manusia seagama pun, seakan menjadi hal yang halal. Sebaliknya, klaim atas kelompoknya sendiri sebagai "yang paling benar", dan yang lain sesat atau kufur, menjadi pemicu ketegangan yang bukan lagi barang baru (Nurcholis Madjid, 2001:180). Agama sebagai sumber moral, nampaknya perlu dilihat kembali. Seberapa besar kekuatan agama mampu menjadi pengendali dan penggembala kedamaian dan keharmonisan.

D. Kurang Lembaga Penunjang

Menurut Nurcholis Madjid (2001:177), kurangnya lembaga yang menunjang dialog merupakan juga salah satu penghambat dialog antara umat beragama.

Beberapa lembaga yang dibentuk oleh masyarakat sipil atau pemerintah tidak berjalan dengan baik. Ini adalah kelemahan serius yang tidak bisa dibiarkan terus berlanjut dan harus dicari jalan keluarnya. Karena dialog lebih banyak dibangun melalui seremoni dan tindakan-tindakan intelektual yang dijalankan kelompok tertentu saja, maka dialog itu sulit menjangkau ke masyarakat bawah. Sangat sulit suatu dialog menjadi wacana yang menjangkau masyarakat luas jika wadah atau lembaga penunjang tidak tersedia.

Lembaga-lembaga penunjang sangat penting dalam mendukung dialog antara umat beragama. Para tokoh agama atau pemerintah yang menjalankan dialog, dapat bekerja sama dengan kelompok penunjang yang ada dalam masyarakat untuk mensosialisasikan nilai-nilai kerukunan yang diperjuangkan. Lembaga-lembaga penunjang ini, anggota-anggota dan aktivitas mereka sering kali terlibat langsung dalam perjuangan kehidupan masyarakat (Abshar, 2001: 175-180). Melalui mereka nilai kerukunan sebagai buah dialog dapat sampai kepada masyarakat dan dapat mempengaruhi kehidupan umat beragama.

Baik lembaga agama maupun pemerintah, bisa mendorong lembaga-lembaga penunjang dialog yang hidup dalam masyarakat dengan membangun kerja sama untuk mencegah konflik yang muncul di masa-masa mendatang yang sering kali dari masalah kecil kemudian meledak menjadi konflik yang luas dan merusak seluruh

tatanan sosial yang ada. Selama lembaga penunjang semacam ini tak tersedia, maka masyarakat akan dengan mudah menggunakan kekerasan untuk menyelesaikan persoalan yang mereka hadapi.

E. Prasangka

Kendala lain dalam dialog antara umat beragama adalah adanya sejumlah prasangka tertentu yang berkembang di antara sejumlah aktivis yang bekerja untuk dialog antaragama. Maksudnya adalah bahwa orang-orang yang mengaku pluralis (yakni orang yang setuju dengan adanya dialog antaragama) kadang-kadang juga mempunyai prasangka buruk mengenai kelompok-kelompok fanatik dan radikal, sehingga dialog antara mereka sulit berlangsung (Nurcholis Madjid, 2001: 178). Hal yang sebaliknya juga terjadi, masing-masing kelompok menganggap bahwa kelompok lain menganut suatu pemahaman agama yang sesat dan tidak tepat, sehingga tidak layak untuk diajak berbicara.

Akibatnya adalah bahwa gagasan dan pelaksanaan dialog hanya berlangsung di antara orang-orang yang memang sudah dari awal percaya akan manfaat dialog, tetapi tidak pernah terjadi antar kelompok pluralis dengan kelompok fanatik dan radikal.

Sebetulnya, penggunaan dua istilah ini juga kurang bermanfaat dari segi pengembangan dialog, karena mengandung prasangka penilaian tertentu. Dengan demikian sudah saatnya dialog justru diadakan antara dua kelompok ini, sehingga sejumlah masalah yang menjadi bahan perbedaan dan mengganjal bisa diatasi dengan terbuka.

Dialog yang dilakukan dengan hati yang penuh prasangka adalah satu kegiatan yang sia-sia dan tidak memberi manfaat baik kepada siapapun. Hasil dari dialog seperti ini tidak hanya biaya, sarana dan prasarana, waktu dan tenaga yang buang sia-sia, melainkan juga tidak memberi dampak kerukunan apapun bagi kehidupan bersama umat beragama. Hasil dari dialog seperti ini hanya melahirkan saling curiga antara umat beragama, dan menciptakan konflik yang berkepanjangan.

F. Ketidakadilan

Ketidakadilan merupakan tindakan yang sewenang-wenang yang menguntungkan kelompok atau orang tertentu dan merugikan kelompok atau pihak lain. Berbicara ketidakadilan selalu dikaitkan dengan masalah pembagian sesuatu terhadap hak seseorang atau kelompok yang dilakukan secara tidak adil, berat sebelah atau tidak proporsional. Hal ini dilakukan oleh individu maupun kelompok tanpa memikirkan orang lain. Ketidakadilan jika tidak diatasi akan menyebabkan konflik sosial (Nurcholis Madjid, 2001: 179). Berbagai bentuk ketidakadilan yang hidup dalam masyarakat bangsa Indonesia saat ini, seperti ketidakadilan ekonomi, politik, sosial, budaya, jender, hukum, termasuk dalam ketidak adilan agama seperti pembatasan pembangunan rumah ibadat.

Ketidakadilan dalam masyarakat harus menjadi keprihatinan semua kelompok.

Khusus dalam menjalankan dialog antara umat beragama, masalah ketidakadilan harus menjadi salah satu agenda dialog. Dialog tidak bisa berlangsung dengan sungguh-sungguh jika soal ini tidak diselesaikan secara praktis, sehingga

masing-masing kelompok tidak curiga bahwa suatu dialog tidak hanya menjadi alat politik untuk menutupi suatu ketidakadilan. Oleh karena itu, suatu dialog memang mensyaratkan sensitivitas yang tinggi terhadap setiap unsur ketidakadilan yang berkembang dalam masyarakat bersangkutan. Dengan kata lain, suatu dialog memang mensyaratkan situasi yang memadai, di mana kelompok-kelompok yang selama ini mengalami tekanan ekonomi mendapatkan haknya secara seimbang atau secara proporsional sebelum pada akhirnya bisa menerima suatu dialog antar agama sebagai opsi yang sungguh-sungguh bisa menyelesaikan masalah.

Masalah ketidakadilan menjadi penting untuk diangkat dalam konteks masyarakat Indonesia saat ini, di mana masalah dalam hubungan antaragama acapkali dipahami sebagai sisi lain dari ketimpangan sosial dalam masyarakat. Kelompok-kelompok fanatik dan radikal yang selama ini menunjukkan sikap yang keras terhadap kelompok lain juga seringkali menggunakan bahasa ketidakadilan ini sebagai alat untuk membenarkan pikiran dan tindakan mereka. (Nurcholis Madjid, 2001:179). Bahasa ketidakadilan acapkali kita dengar sebagai dasar menyampaikan alasan, sehingga kita dapat mengatakan bahwa kemarahan kelompok agama tertentu terhadap kelompok lain tidak boleh dikatakan sebagai penolakan atas ide pluralitas,tetapi sebagai protes atas kesenjangan antar kelompok.

Pemerintah menangani konflik antar umat beragama hanya berdasarkan gejala kecil saja. Padahal ada persoalan mendasar, yaitu ketimpangan di tengah masyarakat.

Selama ini, kalau ada kasus kekerasan agama, tokoh agama atau pemerintah selalu bicara mengenai masalah keharmonisan hidup beragama atau kepercayaan yang

berhubungan dengan sila pertama dalam Pancasila atau berbicara mengenai menjaga kesatuan dan kerukunan bangsa. Kurang serius berbicara tentang masalah keadilan dalam membangun kehidupan antara masyarakat. Masalah ketidak adilan ekonomi, sosial dan budaya mengakibatkan ketimpangan hidup di tengah masyarakat.

Ketimpangan tersebut memicu perasaan diperlakukan tidak adil di dalam kehidupan sebagai warga negara atau sebagai umat beragama.

Dalam kaitan dengan ketidak adilan sosial ini, Rukiyanto dalam bukunya Pendidikan Religius (Rukiyanto 2021: 124) mengatakan perubahan iman yang

dilakukan dalam berbagai bentuk usaha diharapkan menjadi daya yang menggerakkan perubahan sosial menuju tata kehidupan bersama yang semakin bersaudara, adil dan bermartabat. Dapat disebut misalnya perubahan dari penjajahan menuju persaudaraan universal dari penindasan menuju keadilan, dari perbudakan menuju cita-cita kemanusiaan yang bermartabat, dari feodalisme menuju demokrasi.

G. Pengalaman sejarah

Pengalaman sejarah masa lampau yang sebenarnya tidak langsung menyentuh persoalan agama (Armada Riyanto, 1995: 119). Sebagai contoh agama Kristen yang diidentikan sebagai agama penjajah itu adalah beban historis yang tidak kunjung lenyap dan merupakan perintang yang berkepanjangan dalam mengusahakan dialog.

Masa setelah pelarangan komunis tahun 1965 terjadi pertobatan massal. Pada waktu itu semua orang diharuskan memilih salah satu agama yang sah yang diakui pemerintah. Terjadi suatu pertobatan besar-besaran masuk agama Islam, Kristen,

Hindu, Budha atau Katolik (Armada Riyanto, 1995: 119). Pada waktu itu isu kristenisasi begitu santer dalam kehidupan masayarakat. Isu ini biarpun dibantah habis-habisan oleh orang-orang kristen sedikit banyak masih terdengar. Dan sering kali menjadi hambatan cukup serius terutama karena membangkitkan kecurigaan-kecurigaan yang sangat merugikan dalam menggalakkan hubungan antar umat beragama.

November 1967, pemerintah mengadakan suatu bentuk konsultasi antara golongan agama (Armada Riyanto, 1995: 120). Tujuannya adalah agar tiap golongan agama menandatangani persetujuan untuk menahan diri dari gerakan menjadikan orang yang sudah beragama sebagai obyek penyebaran agama (misi). Prakarsa ini ditolak oleh beberapa pemimpin kelompok umat beragama. Hardawiryana sebagaimana dikutip Armada Riyanto memberi komentar bahwa imperative dari ungkapan ini bertentangan dengan hidup dan ajaran agama apapun. Dari pandangan Islam atau Budha sekalipun kebijakan mengenai pelarangan misi itu tidak dapat diterima. Karena misi dan beraneka meditasi dan pencapaian nirwana menuntut untuk mengajarkannya dan menyebarkannya kepada setiap orang, biarpun orang-orang bersangkutan tolah menjadi Kristen atau Hindu atau tidak termasuk dalam agama apapun. Kata kunci yang didengungkan adalah toleransi (Armada Riyanto, 1995:

118-122).

Pengalaman sejarah masa lampau itu belum hilang sampai saat ini dalam mengimplementakan dialog antara umat beragama di Indonesia. Masih terjadi

Pengalaman sejarah masa lampau itu belum hilang sampai saat ini dalam mengimplementakan dialog antara umat beragama di Indonesia. Masih terjadi

Dokumen terkait