• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II HAKIKAT DIALOG ANTAR UMAT BERAGAMA

B. Sejarah Dialog

JB. Banawiratma (2010: 24) menginformasikan bahwa upaya dialog antar umat beragama pada level internasional maupun nasional sudah banyak dilakukan, baik oleh lembaga keagamaan, non keagamaan, pemerintah maupun oleh individu yang berdampak nasional maupun lokal.

Dengan demikian, pertemuan dialog antar agama seperti yang dialami sekarang ini bukanlah pertemuan yang pertama, karena sudah sejak awal, agama-agama seperti Yahudi, Kristen dan Islam sudah saling bertemu. Ketika Islam muncul ia pun

berhadapan dengan agama Yahudi dan Kristen. Ketiga agama monoteis ini, ketika muncul mereka sudah saling merangkul tetapi juga saling berpolemik satu dengan yang lainnya. Namun, dalam konteks sekarang semua agama ditantang untuk memberikan sumbangsih atas permasalahan etika global dan berbagai masalh lain yang terbentang di depan mata (Khotimah, 2011: 214).

Pimpinan agama dari berbagai negara telah banyak mengadakan dialog internacional untuk membicarakan berbagai isu yang terkait dengan toleransi antara umat beragama. Isu yang sering menjadi pembicaraan dalam dialog adalah hubungan antara umat beragama, perdamaian dan kerukuman. Dalam dialog Internasional di Tokyo perna disinggung bahwa Menteri Agama Republik Indonesia kurang terlibat dalam dialog-dialog internasional yang membicarakan isu-isu research yang berkaitan dengan kerukunan hidup antara umat beragama (Seran, 2018: 9). Ungkapan itu menjadi memotivasi bagi Indonesia untuk terlibat dalam dialog-dialog berikutnya.

Tanggal 27 Februari - 5 Maret 1967, Dewan Gereja-gereja sedunia mengadakan konsultasi di Kindy, Srilangka untuk mengadakan dialog baik secara individu maupun kelompok antara agama-agama Kristen dan bukan Kristen. Di sana, peserta dialog telah menetapkan tema-tema dialog antara lain:mengapa orang Kristen harus berdialog dengan orang yang bukan Kristen? Dasar-dasar dan hakekat dialog; dialog dengan dunia yang sekular; menghayati dialog dengan seluk-beluk dan akibatnya;

dialog dan pemberitaan Injil; dialog dan pembaptisan dan sebagainya (Seran, 2018:

10).

Pada bulan Agustus 1969, komite Dewan Gereja-gereja sedunia bersidang di Canterbury, Inggris untuk membicarakan, memutuskan dan menindaklanjuti isu atau tema-tema dialog di atas. Akhirnya, tanggal 16-25 Maret 1970, terjadilah pertemuan di Ajaltoun, Beirut, Lebanon atas prakarsa dewan Gereja-gereja sedunia, dengan nama resmi dialog kehidupan antar iman (Banawiratma, 2010: 46). Hasil pertemuan Beirut tertera sebagai berikut: pertama, mengikis karat-karat peninggalan saling curiga-mencurigai yang telah tertimbun selama berabad-abad dalam diri masing-masing agama. Kedua, memikirkan nilai-nilai abadi dari agama yang telah memberi makna kepada berjuta-juta umat manusia dalam pelbagai cabang kebudayaan, dan telah membantu menyelesaikan sebagian persoalan yang dihadapi. Ketiga, membahas secara mendalam persoalan-persoalan yang asasi dari agama di tengah masyarakat yang multi-agamais, yang semakin ditantang oleh ilmu, teknologi dan sekularisasi.

Keempat, membangun ikatan sarjana dari pelbagai agama untuk merefleksikan nilai-nilai abadi dari agama, untuk kehidupan bersama

di dunia dewasa ini.

Dalam komunitas Katolik, upaya-upaya awal untuk pengembangan dialog antarumat beragama, sudah prakarsai oleh paus Yohanes XXIII tahun 1958. Setelah terpilih beliau mengejutkan umat Katolik sejagat dengan meminta diadakannya Konsili Vatikan II tahun 1962-1965 (Banawiratma, 2010: 24). Ketika itu, paus menyatakan keyakinannya yang teguh akan pentingnya Gereja Katolik terlibat dalam dialog dengan agama-agama, kepercayaan, ideologi, dan tradisi di luar gereja. Gereka Katolik yang eksklusif harus membuka diri agar mampu menyampaikan kerajaan

Allah kepada dunia, dan menimba kebenaran dari berbagai agama dan tradisi dari luar, untuk semakin memperkaya dan semakin kuat dalam misi pewartaannya di tengah dunia. Dalam dialog dengan agama-agama lain, terutama Islam konsili Vatikan II khususnya dokumen Nostra Aetate menyatakan bahawa gereja Katolik membuka diri dan menghargai umat muslim yang menyebah Allah yang sama, tidak mengakui Yesus sebagai Allah tetapi menerima Yesus sebagai nabi, menerima juga Maria sebagai ibu Yesus yang tetap perawan, mereka juga menjunjung tinggi kesusilaan dan hidup berbakti kepada Allah. Sebagaimana diuraikan berikut:

“Gereja juga menghargai umat Islam yang menyembah Allah satu-satunya, yang hidup dan berdaulat, penuh belas kasihan dan mahakuasa, pencipta langit dan bumi, yang telah bersabda kepada umat manusia. Kaum Muslimin berusaha menyerahkan diri dengan segenap hati kepada ketetapan-ketetapan Allah juga yang bersifat rahasia, seperti dahulu Abraham- imam Islam dengan sukarela mengacu kepadanya, telah menyerahkan diri kepada Allah. Memang mereka tidak mengakui Yesus sebagai Allah, melainkan menghormatinya sebagai nabi.

Mereka juga menghargai Maria Bunda-Nya yang tetap perawan dan pada saat-saat tertentu dengan khidmat berseru kepadanya. Selain itu, mereka mendambakan hari-hari pengadilan, bila Allah akan mengganjar semua orang yang telah bangkit. Maka mereka juga menjunjung tinggi kehidupan susila, dan berbakti kepada Allah terutama dalam doa, dengan memberikan sedekah dan berpuasa” (NA 3)

Itulah sikap hormat Gereja Katolik terhadap agama Islam di satu pihak, namun di pihak lain, ada orang yang mengritik bahwa tidak ada bagian dalam teks tersebut yang memiliki konsep yang cukup matang tentang dialog antaragama, kendati menyebut kata Muslim. Selain itu, walaupun teks-teks tersebut mengindikasikan adanya perubahan sikap Katolik Roma atas Islam, namun ia tidak mendiskusikan masalah status Nabi Muhamad dalam hubungannya dengan umat katolik dan tidak

memperlihatkan bahwa Islam itu sendiri merupakan jalan yang tepat dan valid menuju Tuhan.

Ketika Paus Yohanes Paulus II naik tahta tahun 1978, upaya-upaya untuk dialog antar umat beragama berlanjut. Perhatian Paus akan dialog sangat tinggi, khususnya untuk kaum Muslim dan Katolik. Hal itu tampak dalam pidato-pidato yang disampaikannya kepada umat Islam dalam berbagai kesempatan atau kepada para Uskup yang bertugas di negara-negara Islam. Upaya-upaya dialog yang sama masih terus dilanjutkan oleh Paus Benediktus XVI, bahkan Paus Fransiskus yang sedang memimpin umat Katolik sejagat saat ini (Banawiratma 2010: 26-27).

Gereja membuka diri untuk berdialog dengan semua agama dan kepercayaan, dengan tingkatan atau intensitas yang berbeda. Sebagian besar fokus dalam dialog gereja dengan agama lain adalah dengan agama Islam, ini disebabkan karena Islam merupakan agama mayoritas yang kedua setelah Kristen yang sama-sama menyembah Allah yang satu dan sama. Islam juga sebagaimana agama Kristen, merupakan agama yang menyebar hampir di semua negara di dunia, yang dalam misi pewartaannya akan saling bertemu dan berhadapan dengan masyarakat yang sama.

Komunitas Muslim, Mu’tamar al-Alam al-Islami (World Muslim Congress) didirikan di Mekkah, Saudi Arabiah, tahun 1962. Kendati tujuan organisasi ini lebih terfokus pada isu-isu sosial politik dan tidak berkaitan langsung dengan dialog antarumat beragama, namun tahun 1969, Sekretaris Jenderal Inamullah Khan sudah mengangkat isu dialog antarumat beragama khususnya dengan Kristen. Bahkan tahun 1982 organisasi tersebut terlibat dalam dialog dengan World Council of the Churches

terkait pendudukan Afghanistan oleh Uni Soviet. Pada waktu itu dialog antar umat beragama telah menjadi bagian dari program Mu’tamar. Hal yang menarik ialah Mu’tamar memiliki pedoman seperti tertera di bawah ini: Menjadi seorang Muslim berarti menjadi juru damai, yaitu seorang yang secara terus menerus berupaya mencari jalan untuk mengatasi konflik dan memelihara keinginan baik untuk kehidupan bersama yang damai. Tuhan menghendaki kita untuk hidup dalam kedamaian dan harmoni bersama ciptaanNya. (Seran, 2017: 12)

Ada juga Institusi lain yang bergerak di bidang dialog adalah Rabitat al-Alam al-Islami (Muslim World League,) didirikan di Mekkah tahun 1962 dan memiliki 60 anggota dari berbagai dunia. Organisasi ini berdiri karena ada anggapan salah tentang Islam, terutama oleh non-Muslim, dengan tujuan menjelaskan hakekat Islam kepada agama lain untuk meminimalisir berbagai anggapan salah tentang Islam. Organisasi ini memberikan tanggapan yang sangat optimis terhadap pernyataan Konsili Vatikan II tentang agama-agama lain (Zainal Abidin, 2010: 143). Rabitat juga bertujuan menciptakan harmoni antar umat manusia melalui prinsip keadilan dan aksi kebajikan.

Selain itu, dibentuk pula organisasi lain yang membahas isu relasi Islam-Kristen yakni Jamiyyah-Dawa al-Islamiyya al-Alamiyyah, di Libya, tahun 1972 dengan tujuan melakukan berbagai kegiatan keagamaan, budaya, sosial dan pendidikan. Organisasi ini membina hubungan dengan berbagai institusi Kristen seperti Vatikan dan Pontifical Council for Religious Dialogue (Seran, 2018: 9).

Organisasi ini yakin bahwa dialog adalah cara yang paling tepat untuk memahami

satu sama lain dalam rangka menciptakan perdamaian, persaudaraan sesama manusia, membangun peradaban, dan menghindari peperangan.

Pada akhir abad 20 dan awal abad 21, dialog Islam-Kristen dan umat beragama lain sudah jauh lebih berkembang dan mencakup isu-isu yang lebih luas.

Itulah sebabnya, Saudi Arabia yang selama ini belum terlibat aktif dalam upaya-upaya dialog antarumat beragama mulai menunjukkan perubahan sikap, yang ditandai misalnya dengan kunjungan Raja Abdullah Bin Adul Aziz ke Vatikan pada November 2007. Dalam kunjungannya beliau menjelaskan sikap toleransi Islam dan sikap Islam yang anti terorisme dan kekerasan. Bukan hanya itu, dalam sambutan Raja Abdullah pada konferensi dunia tentang Dialog Antaragama di Madrid Spanyol 16-18 Juli 2008, mengindikasikan bahwa Arab Saudi telah masuk ke dalam arena dialog antarumat beragama (Seran, 2017: 9):

“Sahabat-sahabatku yang terhormat: saya datang kepada anda dari tempat yang dekat dengan hati semua Muslim, tanah tempat dua Masjid Suci, membawa sebuah pesan dari dunia Islam, yang mewakili para sarjana dan pemikirnya yang belum lama ini bertemu dalam lingkup Baitullah. Pesan ini menyatakan bahwa Islam merupakan sebuah agama yang tidak berlebih-lebihan dan bertenggang rasa, sebuah pesan yang menyerukan bagi dialog konstruktif di antara umat beragama; sebuah pesan yang berjanji membuka sebuah halaman baru bagi imat manusia tang di dalamnya, Insya Allah, musyawarah akan menggantikan konflik”.

Hal terakhir yang sangat menarik adalah dijadikannya tahun 2008 sebagai tahun dialog antarbudaya Eropa (The Eropean Year of Intercultural Dialogue = EYID), yang dilandasi kenyataan bahwa Eropa kontemporer menjadi semakin beragam dalam hal budaya akibat pemekaran Uni Eropa, deregulasi ketenagakerjaan dan globalisasi.

Maka muncul kebutuhan mendesak untuk menciptakan dialog antarbudaya (juga umat beragama) yang menyiratkan penghargaan atas keragaman (diversitas) tersebut.

Pada tanggal 4 Februari 2019 Paus Fransiskus mengadakan kunjungan ke Uni Emirat Arab (UEA) ini adalah sebagai tonggak sejarah dalam dialog antaragama.

Dalam konferensi 4 Februari 2019 tersebut Paus Fransiskus bersama dengan Imam besar Al-Azhar, Ahmad Al-Tayyeb, telah menandatangani The Document on Human Fraternity for World Peace and Living Together. Dokumen tentang Persaudaraan manusia untuk perdamaian dunia dan hidup bersama. Dari diskusi-diskusi yang terbuka dan bersaudara, dan dari pertemuan yang mengungkapkan harapan besar akan masa depan yang cerah bagi semua manusia, gagasan dokumen tentang persaudaraan manusia ini lahir. Inilah sebuah teks yang telah dipertimbangkan dengan tulus dan serius sehingga menjadi pernyataan bersama tentang aspirasi-aspirasi yang indah dan mendalam. Dokumen ini dapat menjadi undangan bagi semua orang yang memiliki iman kepada Allah dan kepercayaan terhadap persaudaraan manusia untuk bersatu dan bekerja sama sehingga dapat menjadi panduan bagi generasi mendatang untuk memajukan budaya saling menghormati dalam kesadaran akan rahmat ilahi yang agung dan menjadikan semua manusia sebagai saudara dan saudari.

Dalam dokumen yang ditandatangi oleh Paus dan Imam Besar Al-Azhar yang disebut dengan dokumen Persaudaraan Manusia Untuk Perdamaian Dunia danHidup Beragama, khusus pada dokumen ke sepuluh ditegaskan bahwa:

“Dengan keyakinan yang teguh bahwa ajaran-ajaran autentik agama mengundang kita untuk tetap berakar pada nilai-nilai perdamaian;

untuk mempertahankan nilai-nilai pengertian timbal-balik,

persaudaraan manusia dan hidup bersama yang harmonis; untuk membangun kembali kebijaksanaan, keadilan dan kasih; dan untuk membangkitkan kembali kesadaran beragama di kalangan orang-orang muda sehingga generasi mendatang dapat dilindungi dari ranah pemikiran materialistis dan dari kebijakan berbahaya akan keserakahan dan ketidakpedulian tak terkendali berdasarkan pada hukum kekuatan dan bukan pada kekuatan hokum” (Dokumen Abu Dhabi, 2019 : 17).

Seruan yang tertuang dalam dokumen Abu Dhabi di atas tentu saja ditujukan juga kepada kehidupan antar umat beragama di Indonesia. Sejarah dialog antar umat beragama di Indonesia mencakup rentang waktu yang cukup panjang dan spektrum yang cukup beragam. Kendati demikian, dialog agama di Indonesia dimulai sejak tahun 1969 hingga saat ini, atau sejak itu dialog antaragama mendapat bentuk yang lebih terorganisasi dan lebih institusional terutama antar umat Islam dan Kristen.

Dokumen terkait