• Tidak ada hasil yang ditemukan

DIALOG ANTAR UMAT BERAGAMA DI INDONESIA HAMBATAN DAN CARA MENGATASINYA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "DIALOG ANTAR UMAT BERAGAMA DI INDONESIA HAMBATAN DAN CARA MENGATASINYA"

Copied!
107
0
0

Teks penuh

(1)

DIALOG ANTAR UMAT BERAGAMA DI INDONESIA HAMBATAN DAN CARA MENGATASINYA

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Pendidikan Keagamaan Katolik

Oleh:

Gradiana Dangul (Sr. Elisa, PPYK) NIM: 141124029

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN KEAGAMAAN KATOLIK JURUSAN ILMU PENDIDIKAN

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

2021

(2)

ii S K R I P S I

DIALOG ANTAR UMAT BERAGAMA DI INDONESIA HAMBATAN DAN CARA MENGATASINYA

Oleh:

Gradiana Dangul (Sr. Elisa, PPYK) NIM: 141124029

Telah disetujui oleh:

Pembimbing

Dr. Bernardus A. Rukiyanto, SJ 11 Juni, 2021

(3)

iii

(4)

iv

PERSEMBAHAN

Skripsi ini, saya persembahkan kepada:

1. Suster Pimpinan Umum Sr. Theresia Wiji Kartini, PPYK yang telah memberikan kesempatan belajar bagi saya untuk memperoleh pengetahuan yang nantinya dapat digunakan sebagai sarana dalam karya pelayanan Perserikatan PPYK.

2. Para Suster anggota Perserikatan Putri-Putri Yesus Kristus (PPYK) yang dengan penuh pengertian dan kesabarannya membantu saya menjalankan tugas utama saya di komunitas sehingga saya dapat menyelesaikan studi ini dengan baik dan anak-anak yang selalu memberi semangat dalam menyelesaikan skripsi ini.

3. Bagi siapa saja yang sudah mendukung serta membantu dalam proses penyelesaian skripsi ini.

(5)

v MOTTO

“Sungguh alangkah baiknya dan indahnya, apabila saudara-saudara diam bersama dengan rukun”.

(Mazmur 133: 1)

(6)

vi

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka sebagaimana layaknya karya ilmiah.

Yogyakarta 30 Juli 2021

Penulis,

Gradiana Dangul (Sr. Elisa, PPYK)

(7)

vii

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Yang bertanda tangan di bawah ini, mahasiswa Universitas Sanata Dharma:

Nama : Gradiana Dangul (Sr. Elisa, PPYK) NIM : 141124029

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, penulis memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah yang berjudul DIALOG ANTAR UMAT BERAGAMA DI INDONESIA HAMBATAN DAN CARA MENGATASINYA beserta perangkat yang diperlukan (bila ada).

Dengan demikian penulis memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikannya di internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu injin maupun memebrikan royalti kepada penulis, selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.

Demikian pernyataan ini penulis buat dengan sebenarnya.

Yogyakarta, 30 Juli 2021 Yang menyatakan

Gradiana Dangul (Sr. Elisa, PPYK)

(8)

viii ABSTRAK

Indonesia dikenal sebagai bangsa yang sangat pluralistik, dengan berbagai nuansa kemajemukan yang nyata dalam berbagai kelompok etnis dengan kekhasan latar belakang: bahasa daerah, tradisi, adat istiadat, seni, budaya dan agama. Kemajemukan itu, di satu sisi menempatkan Indonesia layaknya sebuah mozaik, namun di sisi lain bisa mendatangkan konflik. Salah satu jalan yang paling efektif dalam menghindari konflik adalah dialog antara umat beragama. Melihat realitas bangsa Indonesia yang majemuk dan pentingnya dialog antar umat beragama dilakukan, maka penulis, dengan metode penelitian studi kepustakaan, mengambil tema tulisan: “DIALOG ANTAR UMAT BERAGAMA DI INDONESIA: HAMBATAN DAN CARA MENGATASINYA”. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hambatan dalam dialog antar umat beragama. Hambatan itu adalah dialog masih dijalankan pada kelompok terbatas, tidak militan, konflik internal, kurang lembaga penunjang, prasangka, ketidakadilan, pengalaman sejarah dan kurangnya keterbukaan. Langkah konkret mengatasi hambatan adalah tinggal bersama (live in) dengan partner dialog, mendidik masyarakat agar bisa mengelola konflik, berpihak pada kemanusiaan, melibatkan semua elemen masyarakat, tidak ada klaim kebenaran, membangun kerja sama, komitmen yang kuat dan militan, serta memperkuat forum dialog antar umat beragama.

Kata Kunci: Dialog, antar umat beragama, hambatan, dan cara mengatasi

(9)

ix ABSTRACT

Indonesia is known as a very pluralistic national figure, with various nuances of pluralism that are evident in various ethnic groups with specific backgrounds:

regional languages, traditions, customs, arts, culture and religion. On one side, this plurality places Indonesia like a mosaic, but on the contrary it can lead to conflict.

One of the most effective ways to avoid conflict is dialogue between religious communities. Seeing the reality of the pluralism of the Indonesian nation and the importance of dialogue between religious communities, the writer, with a literature study research method, takes the theme: “INTER-RELIGIOUS DIALOGUE IN INDONESIA, OBSTACLES AND HOW TO OVERCOME THEM”. The results proved that there were obstacles both internally and externally in the dialogue between the religious communities. The obstacles are the dialogue is still carried out in limited groups, not militant, a lot of internal conflicts, lack of supporting institutions, prejudice, injustice, historical experience and lack of openness. Concrete steps to overcome obstacles are living together (live in) with dialogue partners, educating the public to manage conflict, side with humanity, involve all elements of society, have no claims of truth, build cooperation, strong and militant commitment, and strengthen the inter-religious dialogue forums.

Keywords: Inter-Religious Dialogue, Obstacles, How to Overcome

(10)

x

KATA PENGANTAR

Kemuliaan kepada Allah Tritunggal Maha Kudus karena atas belaskasih - Nya dan bimbinganNya dari awal sampai akhir sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini, dan tiada kata yang indah untuk diucapkan selain ucapan syukur kepada Tuhan yang sudah menyelenggarakan semua ini sehingga skripsi ini dapat selesai dengan baik. Tulisan ini mau mengungkapkan nilai penting dalam hidup bersama dengan semua agama. Kita semua tahu bahwa manusia adalah mahkluk sosial yang membutuhkan manusia yang lain. Namun kebutuhan ini akan terganggu jika ada perbedaan didalamnya seperti agama, suku, kebudayaan, status sosial, ekonomi, Pendidikan.

Untuk mengatasi perbedaan tersebut, adalah dengan cara dialog. Tanpa dialog, akan mudah terjadi salah paham, yang bisa mengakibatkan konflik, perpecahan, perseteruan dan bahkan perang. Dialog dapat dilakukan dalam lingkup yang luas dan juga lingkup yang kecil.

Santa Teresa dari Kalkuta mengatakan,” Jika engkau ingin mengubah dunia, pulanglah ke rumah dan cintailah keluargamu.” Pernyataan st. Teresa ini mengajak kita, mari kita lakukan dialog dari lingkup kecil seperti dialog suami-istri-anak dalam keluarga merupakan sarana latihan untuk mengatasi berbagai masalah yang muncul.

Hubungan dalam keluarga menjadi harmonis, bila komunikasi satu dengan yang lain berjalan dengan baik. Sama pula dengan dialog bisa berjalan, bila dialog dalam keluarga itu bisa diperluas ke dalam tataran yang lebih besar dan kompleks seperti suku, bangsa, negara dan berbagai kelompok lainnya. Maka penulis mendeskripsikan

(11)

xi

tulisan ini dengan judul DIALOG ANTAR UMAT BERAGAMA DI INDONESIA: HAMBATAN DAN CARA MENGATASINYA

Pada kesempatan ini penulis dengan setulus hati mengucapkan banyak terima kasih kepada:

1) Dr. Bernardus Agus Rukiyanto SJ selaku ketua program studi pendidikan agama Katolik, juga sebagai pembimbing skripsi yang dengan sabar dan setia membantu saya selama proses skripsi ini.

2) Bapak P. Banyu Dewa HS.S.Ag.M. Si. Selaku dosen pembimbing akademik.

3) Bapak Ag. Rudi Winarto, S. Pd, MA selaku dosen penguji kedua 4) Bapak Y. Kristianto SFK, M. Pd selaku dosen penguji ketiga

5) Romo, Bapak dan ibu Dosen yang bekerja pada Prodi Pendidikan Agama Katolik Universitas Sanata Dharma yang telah membekali dengan berbagai ilmu pengetahuan yang sangat bermanfaat.

6) Sr Theresia Wiji Kartini PPYK, selaku Pimpinan Umum Perserikatan PPYK yang telah memberikan kepercayaan tugas belajar pada Program Studi Pendidikan Agama Katolik Universitas Sanata Dharma.

Ada banyak hal yang masih kurang dalam penulisan skripsi ini dan yang menjadi keterbatasan penulis sehingga masukan yang berupa saran dan kritik sangat diharapkan untuk menjadi perhatian penulis. Akhir kata, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca.

Yogyakarta, 30 Juli 2021

Gradiana Dangul (Sr.Elisa,PPYK)

(12)

xii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv

HALAMAN MOTTO ... v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

PERSETUJUAN PUBLIKASI ... vii

ABSTRAK ... viii

ABSTRACT ... ix

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xii

DAFTAR SINGKATAN ... xv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 7

C. Tujuan Penulisan ... 7

D. Manfaat Penulisan ... 8

E. Metode Penulisan ... 9

F. Sistematika Penulisan ... 9

BAB II HAKIKAT DIALOG ANTAR UMAT BERAGAMA ... 10

A. Pengertian Dialog Antar Agama ... 10

B. Sejarah Dialog ... 13

C. Syarat Dialog Antarumat Beragama ... 22

(13)

xiii

D. Dasar Dialog Antaragama ... 25

E. Tujuan Dialog ... 30

F. Bentuk-Bentuk Dialog Antarumat Beragama ... 33

G. Tanggapan kritis ... 40

BAB III HAMBATAN DALAM DIALOG ANTAR UMAT BERAGAMA… 43 A. Masih Dijalankan oleh Kelompok Kerbatas ... 43

B. Tidak Militan ... 46

C. Konflik ke Dalam ... 48

D. Kurang Lembaga Penunjang ... 50

E. Prasangka ... 51

F. Ketidakadilan ... 52

G. Pengalaman Sejarah ... 55

H. Tidak Terbuka ... 56

I. Tanggapan Kritis ... 59

BAB IV UPAYA MENGATASI HAMBATAN DIALOG ANTAR UMAT BERAGAMA ... 61

A. Live in dengan Partner Dialog ... 61

B. Mendidik Masyarakat Untuk Bisa Mengelola Konflik ... 64

C. Berpihak Pada Kemanusiaan ... 66

D. Melibatkan Semua Elemen Masyarakat ... 69

E. Tidak Ada Klaim Kebenaran ... 71

F. Membangun Kerja Sama ... 73

G. Komitmen dan Militan ... 76

H. Memperkuat Forum Dialog ... 78

I. Berpijak Pada Norma-Norma ... 81

J. Tanggapan Kritis ... 83

K. Refleksi Kateketis ... 84

(14)

xiv

BAB V PENUTUP ... 87

A. Kesimpulan ... 87

B. Saran ... 89

DAFTAR PUSTAKA ... 91

(15)

xv

DAFTAR SINGKATAN A. Singkatan Dokumen Gereja

DM : Dialog dan Misi (Dialogue and Mission)

DP : Dialogue and Proclamation, Dokumen Kongregrasi Evangelisasi Bangsa-Bangsa dan Sekretariat untuk Dialog Antar Umat Beriman,

19 Mei 1991

EG : Evangelii Gaudium, Anjuran Apostolik Paus Fransiskus tentang Sukacita Injil 24 November 2013.

NA : Nostra Aetate, Deklarasi Konsili Vatikan II tentang Hubungan Gereja dengan Agama-Agama Bukan Kristiani, 28 Oktober 1965.

B. Singkatan-Singkatan Lain

BIRA : Bishops ‘Institute for Interreligious Affairs EYID : The Eropean Year of Intercultural Dialogue FKUB : Forum Kerukunan Umat Beragama

KUB : Komunitas Umat Basis

SARA : Suku, Agama, Ras, Antargolongan KWI : Konferensi Waligerja Indonesia PENDIKKAT : Pendidikan Keagamaan Katolik PAK : Pendidikan Agama Katolik

(16)

BAB I PENDAHULUAN

Bagian pendahuluan merupakan pedoman arah dari sebuah penelitian atau tulisan, di dalamnya menguraikan tentang latar belakang penulis mengambil judul penelitian, rumusan masalah yang akan dikaji pada seluruh isi tulisan, tujuan penulisan, manfaat penulisan, metode penulisan, dan sistematika penulisan.

A. Latar belakang

Dialog merupakan suatu bidang yang sangat luas, mencakup hampir seluruh dimensi kehidupan. Pada era kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang makin pesat saat ini, hubungan manusia satu dengan yang lainnya pada satu sisi semakin mudah dan erat, namun di sisi lain juga semakin rumit. Oleh karena itu peran dialog sangat diperlukan untuk menjembatani relasi antara satu dengan yang lain, yang diwarnai berbagai perbedaan: agama, suku, kebudayaan, status sosial, ekonomi, pendidikan dan berbagai paham politik. Tanpa dialog, akan mudah terjadi salah paham, yang bisa mengakibatkan konflik, perpecahan, perseteruan dan bahkan perang (Sutrisna, 2014: 42).

Pada satu masyarakat yang pluralistik dalam bidang agama, suku, budaya dan bahasa, dialog antara tokoh agama dan tokoh masyarakat akan menciptakan kehidupan bersama yang lebih damai dan harmonis. Melalui dialog, masyarakat akan bisa hidup

(17)

saling menerima dan saling menghargai dalam perbedaan. Namun demikian, dialog itu hanya dapat terjadi jika kedua belah pihak yang terlibat dalam dialog memiliki komitmen bersama untuk saling mendengar dan memahami. Ini merupakan suatu keharusan sehingga komunikasi dan relasi orang-orang yang terlibat dalam dialog terus terjalin (Sutrisna, 2014:48-49).

Indonesia dikenal sebagai bangsa yang sangat pluralistik, memiliki berbagai nuansa kemajemukan yang nyata dalam berbagai kelompok etnis dengan kekhasan latar belakang: bahasa daerah, tradisi, adat istiadat, seni, budaya dan agama.

Mengamati sosok keragaman bangsa seperti itu, Geertz, seorang sosiolog Amerika Serikat dalam tulisannya yang berjudul Indonesian Cultures and Communities, secara tepat mengatakan bahwa terdapat lebih dari 300 kelompok etnis yang berbeda-beda di Indonesia, masing-masing dengan identitas budayanya sendiri-sendiri dan lebih dari 250 bahasa daerah dipakai dan hampir semua agama-agama penting dunia diwakili, selain agama-agama asli yang banyak jumlahnya. Kemajemukan itu, menempatkan Indonesia layaknya sebuah mozaik, keragaman agama itu terdapat di belakang, di depan, dan bahkan di sekeliling kita.

Bagi Indonesia, keanekaragaman merupakan sebuah realitas yang ada dan merupakan bagian dari keperibadian bangsa. Keanekaragaman bahasa, agama, suku dan budaya itu tidak hanya terpusat pada satu pulau atau daerah tetapi menyebar merata dari sabang sampai merauke. Keanekaragaman ini merupakan kekayaan

(18)

sekaligus ciri khas bangsa yang harus dijaga dan dirawat oleh seluruh masyarakat bangsa Indonesia.

Diteropong dari segi etnis, bahasa, agama dan budaya sebagaimana diuraikan di atas, Indonesia termasuk salah satu bangsa yang paling majemuk di dunia. Hal ini disadari betul oleh founding fathers of nation kita, sehingga mereka merumuskan pluralisme ini dengan semboyan “Bhinneka Tunggal Ika”, semboyan yang mengakui adanya “unitas dalam diversitas” atau “diversitas dalam unitas”, dalam konteks spektrum kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Pluralisme ini juga tetap dijunjung tinggi pada waktu persiapan kemerdekaan, seperti terlihat dalam sidang- sidang BPUPKI, di sana karena sangat menghargai pluralisme baik dalam konteks sosial maupun politik, maka tujuh kata dalam Pancasila, yang terdapat dalam piagam Jakarta dicoret. Itulah harga dan cinta mati Bapa-bapa Pendiri Bangsa kita dengan pluralisme.

Kebhinekaan bangsa Indonesia di satu sisi merupakan kekayaan dan kebanggaan banga namun di sisi lain perbedaan tersebut berpotensi konflik.

Khususnya dalam hal hidup keagamaan, keanekaragaman agama di satu sisi merupakan rahmat Tuhan yang maha esa yang dalam kehidupannya dapat saling membagi dan memperkaya, namun di sisi lain dapat mendatangkan konflik atau perpecahan intra maupun antar umat beragama, jika masing-masing pihak tidak saling menghargai perbedaan.

(19)

Aksi bom bunuh diri di depan halaman gereja Katedral Makassar, Sulawesi Selatan pada 28 Maret 2021, merupakan suatu bukti bahwa perbedaan di satu sisi merupakan berkat bagi bangsa Indonesia namun disisi lain jika tida dirawat dengan baik bisa mendatangkan bencana bagi bangsa. Ada peribadi atau kelompok dari agama tertentu menganggap agamanya paling benar dan yang kelompok agama lain sebagai kafir yang tidak berhak masuk surga dan boleh dibunuh. Pasangan suami istri yang baru beberapa bulan menikah, menulis surat wasiat kepada orang tuanya isinya mengatakan bahwa dengan meledakan diri di dalam gereja Katerdral Makasar yang dapat menyebabnya ratusan nyawa melayang, itu dianggap sebagai mati suci atau mati syahid. Sementara itu, Kepolisian Polda Metro Jaya menangkap setidaknya empat orang terduga teroris di Kabupaten Bekasi dan kawasan Condet, Jakarta Timur pada 29 Marel 2021. Penggerebekan ini merupakan tindak lanjut dari penyelidikan kasus bom di Makassar. Masih banyak kasus lain yang sama yang terjadi sebagai buah dari perbedaan yang tidak dikelola secara baik (https://www.bbc.com)

Maka dari itu, Indonesia sangat membutuhkan dialog antar agama untuk mengatasi aneka konflik demi tercipta keharmonisan dan hidup berdampingan secara damai. Dialog ini harus dilakukan secara terbuka dan penuh simpati, sehingga masing-masing peserta dialog dapat memahami posisinya secara tepat dan berupaya memandang dari dalam, posisi mereka yang mau dipahami. Tujuan dialog untuk saling belajar dan mendengarkan pengalaman keagamaan dari masing-masing peserta dialog, bukan untuk membanding-bandingkan dan mencari agama yang paling benar.

(20)

Dialog dilakukan bukan sekedar mengomunikasikan apa yang dirasa penting untuk disampaikan salah satu pihak tanpa pertimbangan pihak lain yang diajak dialog.

Justru mengerti satu sama lain sangat penting bahkan mutlak. Maka, dialog menuntut keseimbangan sikap. Itulah sebabnya, dialog sangat dibutuhkan dalam setiap kehidupan bersama, dalam masyarakat manapun, terutama masyarakat yang berciri pluralistik. Hidup tanpa dialog dapat saja menimbulkan salah paham yang mendatangkan percecokan dan pertengkaran. Dengan itu menyusul kehidupan menjadi tidak berkembang dan martabat manusia pun kurang bahkan tidak dihormati.

Sejak akhir tahun 1960 dan awal tahun 1970-an dialog antar agama sudah bergulir di Indonesia, namun dialog saat itu muncul hanya untuk meredam konflik yang terjadi di berbagai daerah, terutama karena dipicu oleh Gestapu 30 September 1965 dan berbagai masalah lainnya. Di masa Orde Baru, banyak ahli Indonesia telah membicarakan Indonesia sebagai negara yang memiliki aneka karakteristik, local wisdom, heterogenitas budaya dan heterogenitas agama sebagai bagian yang tak

terpisahkan dari berdirinya republik ini. Namun, sayang di zaman Orde Baru, Soeharto telah bersikeras menerapkan politik belah bambu dan pengekangan sewenang-wenang, maka sejak saat itu keragaman budaya, agama dan etnis jarang dibicarakan. Berbicara tentang perbedaan SARA di Indonesia, ibarat membicarakan anak haram yang tidak mempunyai ayah dan ibu, pada hal suku, agama, ras, antar golongan (SARA) adalah ibu kandung republik ini (Zuly Qodir, 2009: 33-34).

Artinya sejak didirikannya repubik ini, masyarakat bangsa Indonesia bukanlah yang

(21)

homogen yang hanya terdiri dari satu kelompok masyarakat yang memiliki agama, budaya dan latar belakang yang sama. Indonesia adalah negara yang heterogen yang terdiri dari berbagai latar belakang agama, suku, budaya dan bahasa. Ini adalah ciri khas pokok bangsa Indonesia yang membedakannya dengan bangsa-bangsa lain di dunia.

Meskipun terdapat prinsip-prinsip dalam membangun dialog, bukan berarti kemudian tidak menyisakan hambatan dalam dialog. Ada beberapa hambatan yang menghalangi upaya membangun dialog keagamaan. Menurut Armada Riyanto ( 1995:

116-117), beberapa hambatan yang umum dalam dialog yakni: pertama, tidak cukup memiliki pengetahuan dan pemahaman terkait agama lain secara benar dan seimbang akan mengakibatkan kurangnya penghargaan dan sekaligus akan mudah memunculkan sikap curiga secara berlebihan, kedua, perbedaan kebudayaan karena tingkat pendidikan yang tidak sama serta masalah bahasa yang sangat peka dalam kelompok tertentu, ketiga, faktor sosial politik dan beban ingatan traumatis terhadap konflik dalam sejarah, keempat, beranggapan bahwa merasa diri cukup dan paling sempurna sehingga memunculkan sikap defensif dan agresif, kelima, kecenderungan untuk berpolemik bila mengungkapkan keyakinan gagasannya, keenam, sikap tidak toleran yang kerap sekali diperparah oleh faktor-faktor politik, ekonomi, ras, etnik serta aneka kesenjangan yang lain.

(22)

Bertolak dari latar belakang permasalahan di atas penulis mengambil judul penelitian: “DIALOG ANTAR UMAT BERAGAMA DI INDONESIA:

HAMBATAN DAN CARA MENGATASINYA”, untuk dikaji dalam tulisan ini.

B. Rumusan masalah

Bertolak dari latar belakang masalah di atas, penulis merumuskan beberapa masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana memahami sejarah, arti, syarat, dasar, tujuan dan bentuk dialog antarumat beragama?

2. Hal-hal apa saja yang menghambat dialog antarumat beragama?

3. Manakah upaya-upaya yang ditempuh untuk mengatasi berbagai hambatan tersebut?

C. Tujuan Penulisan

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan yang hendak dicapai oleh penulis adalah:

1. Untuk mengetahui sejarah, arti, syarat, dasar dan bentuk-bentuk dialog antar umat beragama di Indonesia.

2. Untuk mengetahui hal-hal apa saja yang mendukung dan menghambat dialog antarumat beragama

(23)

3. Untuk menemukan upaya-upaya yang perlu ditempuh untuk mengatasi berbagai hambatan dalam membangun dialog

D. Manfaat Penulisan

Dari tujuan penulisan telah dipaparkan di atas, diharapkan penulis dapat menyumbangkan manfaatnya kepada banyak pihak. Maka, beberapa manfaat yang diharapkan tertera sebagai berikut:

a. Manfaat Teoretis

1. Diharapkan penulisan ini berguna untuk pengembangan keilmuan pendidikan dan pengajaran agama Katolik

2. Dapat bermanfaat bagi penulis lain yang hendak mengkaji tentang peran dialog bagi kerukunan hidup antara umat beragama untuk sebagai bahan referensi dan inspirasi

b. Manfaat Praktis

1. Bagi PAK, sebagai acuan dan masukan dalam mendukung pembelajaran pendidikan dan pengajaran agama Katolik dalam membina relasi dengan umat beragama lain.

2. Bagi mahasiswa, diharapkan dapat menjadi motivasi dan semangat dalam membina relasi/pergaulan yang terbuka dengan sesama lintas iman.

3. Bagi penulis, menambah wawasan ajaran Gereja Katolik terutama mengenai dialog antar umat beragama

(24)

E. Metode Penulisan

Metode yang dipakai dalam penulisan ini adalah studi kepustakaan. Melalui metode studi pustaka, penulis berusaha mengumpulkan berbagai sumber tulisan, entah dari Ensiklopedi, buku-buku, jurnal, Tesis, atau catatan lain yang berguna sebagai referensi untuk menganalisis dan mengkaji judul tulisan ini terutama rumusan masalah dan tujuan penulisan.

F. Sistematika Penulisan

Tulisan ini mengambil judul “ Dialog Antar Umat Beragama di Indonesia Hambatan dan cara mengatasinya.”Kemudian dikembangkan menjadi 5 bab yaitu:

Bab I Merupakan pendahuluan yang berisikan latar belakang, rumusan

masalah, tujuan penulisan, manfaat penulisan, metode penulisan, dan sistematika penulisan.

Bab II berisi mengenai kajian pustaka tentang hakikat dialog antarumat agama yang dibagi berapa bagian: pengertian dialog, sejarah dialog, syarat dialog, tujuan dialog, dan bentuk-bentuk dialog antarumat beragama.

Bab III berisi mengenai hambatan-hambatan dialog antarumat beragama:

kendala praktis yang menghalangi dialog antarumat beragama :

Bab IV berisi mengenai upaya dalam mengatasi hambatan dalam dialog antarumat beragama dan Refleksi Kateketis.

Bab V Penutup berisi kesimpulan dan saran.

(25)

BAB II

HAKIKAT DIALOG ANTAR UMAT BERAGAMA

Dewasa ini dialog agama-agama terasa amat kuat pengaruhnya, tidak hanya dalam kehidupan umat beragama tetapi dalam kehidupan masyarakat pada umumnya.

Dalam menjalankan dialog antar umat beragama semua orang yang terlibat di dalamnya semestinya memahami dengan sungguh hakikat dialog. Dengan demikian maka dialog umat beragama akan benar-benar memberi pengaruh bagi kerukunan hidup masyarakat.

Pada bagian ini akan diuraikan hakikat dialog antar umat beragama yang di dalamnya mencakup pengertian dialog, sejarah dialog, syarat dialog, tujuan dialog, dan bentuk-bentuk dialog antarumat beragama.

A. Pengertian Dialog Antar Agama

Dalam dokumen persaudaraan umat manusia untuk perdamaian dunia dan kehidupan umat beragama, sebagai hasil dari perjalanan Paus Fransiskus ke Uni Emirat Arap (UEA) pada tanggal 3-5 Februari 2019, yang merupakan tonggak sejarah dalam dialog antar umat beragama dan membuka pintu-pintu pembicaraan untuk toleransi dan harus didengar oleh seluruh dunia, ditegaskan tentang dialog antar umat beragama sebagai berikut:

Hubungan baik antara Timur dan Barat tidak dapat disangkal diperlukan bagi keduanya. Keduanya tidak boleh diabaikan, sehingga masing-masing dapat diperkaya oleh budaya yang lain melalui pertukaran dan dialog yang bermanfaat. Barat dapat

(26)

menemukan di Timur obat bagi penyakit rohani dan agama yang disebabkan oleh materialisme yang tersebar luas. Dan Timur dapat menemukan banyak unsur di Barat yang dapat membantu membebaskannya dari kelemahan, perpecahan, konflik dan kemunduran pengetahuan, teknik dan budaya. Pentinglah memperhatikan perbedaan agama, budaya dan sejarah yang merupakan unsur vital dalam membentuk karakter, budaya, dan peradaban Timur. Juga penting untuk memperkuat ikatan hak asasi manusia mendasar demi membantu menjamin hidup yang bermartabat bagi semua perempuan dan laki-laki di Timur dan Barat, dengan menghindari politik standar ganda (Dokumen Abu Dhabi, 2019: 21).

Dokumen Dialogue and Mission (1984) dan Dialogue Proclamation (1991) secara tegas mencetuskan pengertian dialog. Pertama, Dialog adalah komunikasi timbal balik. Tujuan komunikasi ini dapat berupa sekedar saling tukar informasi, atau untuk meraih kesepakatan, atau menjalin persatuan. Kedua, Dialog adalah sikap hormat, penuh persahabatan,ramah,terbuka,suka mendengarkan orang lain. Ketiga, Dialog adalah saling memahami dan saling memperkaya (DM), dalam ketaatan kepada kebenaran dan hormat terhadap kebebasan. Sebab dialog yang sejati tidak hanya memajukan kerjasama dan sikap terbuka, melainkan juga memurnikan dan mendorong untuk menggapai kebenaran dan kehidupan, kesucian, keadilan, kasih, dan perdamaian, serta aneka dimensi dari Kerajaan Allah. (DP). Menurut Yohanes Paulus II Dialog dalam level paling mendalam pada prinsipnya ialah dialog keselamatan yang dimaksudkan dengan dialog keselamatan ialah dialog yang terus - menerus berusaha menemukan, memperjelas, dan memahami tanda-tanda Allah

(27)

dalam persatuan manusia sepanjang masa. Dialog keselamatan merupakan sharing keselamatan. Dalam dialog ini mereka yang terlibat di dalamnya diajak untuk saling membagikan pengalaman keselamatannya.

Menurut Paus Fransiskus dalam himbauan Apostolik Evangelii Gaudium, dialog adalah suatu sikap, sebuah keterbukaan kepada tetangga, sharing kekayaan rohani dari orang-orang yang berhadapan dengan krisis-krisis besar menyangkut hidup dan mati. Dialog menjadi proses untuk saling belajar dan tumbuh bersama.

Dialog juga sebagai gaya hidup, yang hanya dapat dipelajari dengan mempratekkannya bahwa dialog pertama-tama bukanlah soal berbicara. (Wuritimur 2018: 62-63)

Dialog berarti jalan bersama menuju kebenaran, persahabatan tanpa ikatan dan tanpa maksud tersembunyi. Menurut Banawiratma, dialog bukan hanya untuk saling memberi informasi mengenai agama yang dipeluk entah persamaan atau perbedaan satu agama dengan yang lainnya. Dialog juga tidak sama dengan usaha orang untuk menjadikan dirinya yakin akan agama yang ia peluk, dan menjadikan orang lain memeluk agama yang ia peluk. Maka, dalam dialog orang tidak boleh meninggalkan agama dan kepercayaannya. Sebaliknya, agamanya sendiri dipegang teguh, sambil tetap menghargai agama dan kepercayaan orang lain, karena kita memang ber- Bhineka Tunggal Ika (Banawiratma, 2010: 20).

Dalam proses dialog, di satu sisi orang bisa saja menutup diri terhadap sesama yang lain, karena melalui keterbukaan orang takut kehilangan identitas kelompok atau bangsanya. Namun di sisi lain “tidak bisa tidak” sikap keterbukaan dan dialog kreatif

(28)

mesti dibangun demi masa depan bersama, masa depan umat manusia, juga masa depan agama-agama. Dengan demikian, tidak ada alasan untuk menolak keterbukaan dan hanya mempertahankan keunikan kelompoknya sendiri. Itulah sebabnya, dialog perlu diterima sebagai salah satu cara penting untuk :

a. Saling memahami yang disusul dengan saling menghargai;

b. Memberdayakan hidup rukun dan harmonis di antara seluruh umat beragama.

c. Melihat kemungkinan untuk membangun kerja sama agama-agama untuk kemanusiaan dan menyingkirkan ketidakadilan. Dengan dialog diharapkan kita sebagai anak negara bangsa saling bahu membahu untuk membangun bangsa dalam menghadapi berbagai problema hidup, sehingga kita dapat merasakan dan mengalami arti dan maknanya hidup,rukun,harmonis dan damai sebagai umat beragama di negeri ini (Banawiratma 2010: 22).

B. Sejarah Dialog

JB. Banawiratma (2010: 24) menginformasikan bahwa upaya dialog antar umat beragama pada level internasional maupun nasional sudah banyak dilakukan, baik oleh lembaga keagamaan, non keagamaan, pemerintah maupun oleh individu yang berdampak nasional maupun lokal.

Dengan demikian, pertemuan dialog antar agama seperti yang dialami sekarang ini bukanlah pertemuan yang pertama, karena sudah sejak awal, agama-agama seperti Yahudi, Kristen dan Islam sudah saling bertemu. Ketika Islam muncul ia pun

(29)

berhadapan dengan agama Yahudi dan Kristen. Ketiga agama monoteis ini, ketika muncul mereka sudah saling merangkul tetapi juga saling berpolemik satu dengan yang lainnya. Namun, dalam konteks sekarang semua agama ditantang untuk memberikan sumbangsih atas permasalahan etika global dan berbagai masalh lain yang terbentang di depan mata (Khotimah, 2011: 214).

Pimpinan agama dari berbagai negara telah banyak mengadakan dialog internacional untuk membicarakan berbagai isu yang terkait dengan toleransi antara umat beragama. Isu yang sering menjadi pembicaraan dalam dialog adalah hubungan antara umat beragama, perdamaian dan kerukuman. Dalam dialog Internasional di Tokyo perna disinggung bahwa Menteri Agama Republik Indonesia kurang terlibat dalam dialog-dialog internasional yang membicarakan isu-isu research yang berkaitan dengan kerukunan hidup antara umat beragama (Seran, 2018: 9). Ungkapan itu menjadi memotivasi bagi Indonesia untuk terlibat dalam dialog-dialog berikutnya.

Tanggal 27 Februari - 5 Maret 1967, Dewan Gereja-gereja sedunia mengadakan konsultasi di Kindy, Srilangka untuk mengadakan dialog baik secara individu maupun kelompok antara agama-agama Kristen dan bukan Kristen. Di sana, peserta dialog telah menetapkan tema-tema dialog antara lain:mengapa orang Kristen harus berdialog dengan orang yang bukan Kristen? Dasar-dasar dan hakekat dialog; dialog dengan dunia yang sekular; menghayati dialog dengan seluk-beluk dan akibatnya;

dialog dan pemberitaan Injil; dialog dan pembaptisan dan sebagainya (Seran, 2018:

10).

(30)

Pada bulan Agustus 1969, komite Dewan Gereja-gereja sedunia bersidang di Canterbury, Inggris untuk membicarakan, memutuskan dan menindaklanjuti isu atau tema-tema dialog di atas. Akhirnya, tanggal 16-25 Maret 1970, terjadilah pertemuan di Ajaltoun, Beirut, Lebanon atas prakarsa dewan Gereja-gereja sedunia, dengan nama resmi dialog kehidupan antar iman (Banawiratma, 2010: 46). Hasil pertemuan Beirut tertera sebagai berikut: pertama, mengikis karat-karat peninggalan saling curiga-mencurigai yang telah tertimbun selama berabad-abad dalam diri masing- masing agama. Kedua, memikirkan nilai-nilai abadi dari agama yang telah memberi makna kepada berjuta-juta umat manusia dalam pelbagai cabang kebudayaan, dan telah membantu menyelesaikan sebagian persoalan yang dihadapi. Ketiga, membahas secara mendalam persoalan-persoalan yang asasi dari agama di tengah masyarakat yang multi-agamais, yang semakin ditantang oleh ilmu, teknologi dan sekularisasi.

Keempat, membangun ikatan sarjana dari pelbagai agama untuk merefleksikan nilai- nilai abadi dari agama, untuk kehidupan bersama

di dunia dewasa ini.

Dalam komunitas Katolik, upaya-upaya awal untuk pengembangan dialog antarumat beragama, sudah prakarsai oleh paus Yohanes XXIII tahun 1958. Setelah terpilih beliau mengejutkan umat Katolik sejagat dengan meminta diadakannya Konsili Vatikan II tahun 1962-1965 (Banawiratma, 2010: 24). Ketika itu, paus menyatakan keyakinannya yang teguh akan pentingnya Gereja Katolik terlibat dalam dialog dengan agama-agama, kepercayaan, ideologi, dan tradisi di luar gereja. Gereka Katolik yang eksklusif harus membuka diri agar mampu menyampaikan kerajaan

(31)

Allah kepada dunia, dan menimba kebenaran dari berbagai agama dan tradisi dari luar, untuk semakin memperkaya dan semakin kuat dalam misi pewartaannya di tengah dunia. Dalam dialog dengan agama-agama lain, terutama Islam konsili Vatikan II khususnya dokumen Nostra Aetate menyatakan bahawa gereja Katolik membuka diri dan menghargai umat muslim yang menyebah Allah yang sama, tidak mengakui Yesus sebagai Allah tetapi menerima Yesus sebagai nabi, menerima juga Maria sebagai ibu Yesus yang tetap perawan, mereka juga menjunjung tinggi kesusilaan dan hidup berbakti kepada Allah. Sebagaimana diuraikan berikut:

“Gereja juga menghargai umat Islam yang menyembah Allah satu-satunya, yang hidup dan berdaulat, penuh belas kasihan dan mahakuasa, pencipta langit dan bumi, yang telah bersabda kepada umat manusia. Kaum Muslimin berusaha menyerahkan diri dengan segenap hati kepada ketetapan-ketetapan Allah juga yang bersifat rahasia, seperti dahulu Abraham- imam Islam dengan sukarela mengacu kepadanya, telah menyerahkan diri kepada Allah. Memang mereka tidak mengakui Yesus sebagai Allah, melainkan menghormatinya sebagai nabi.

Mereka juga menghargai Maria Bunda-Nya yang tetap perawan dan pada saat- saat tertentu dengan khidmat berseru kepadanya. Selain itu, mereka mendambakan hari-hari pengadilan, bila Allah akan mengganjar semua orang yang telah bangkit. Maka mereka juga menjunjung tinggi kehidupan susila, dan berbakti kepada Allah terutama dalam doa, dengan memberikan sedekah dan berpuasa” (NA 3)

Itulah sikap hormat Gereja Katolik terhadap agama Islam di satu pihak, namun di pihak lain, ada orang yang mengritik bahwa tidak ada bagian dalam teks tersebut yang memiliki konsep yang cukup matang tentang dialog antaragama, kendati menyebut kata Muslim. Selain itu, walaupun teks-teks tersebut mengindikasikan adanya perubahan sikap Katolik Roma atas Islam, namun ia tidak mendiskusikan masalah status Nabi Muhamad dalam hubungannya dengan umat katolik dan tidak

(32)

memperlihatkan bahwa Islam itu sendiri merupakan jalan yang tepat dan valid menuju Tuhan.

Ketika Paus Yohanes Paulus II naik tahta tahun 1978, upaya-upaya untuk dialog antar umat beragama berlanjut. Perhatian Paus akan dialog sangat tinggi, khususnya untuk kaum Muslim dan Katolik. Hal itu tampak dalam pidato-pidato yang disampaikannya kepada umat Islam dalam berbagai kesempatan atau kepada para Uskup yang bertugas di negara-negara Islam. Upaya-upaya dialog yang sama masih terus dilanjutkan oleh Paus Benediktus XVI, bahkan Paus Fransiskus yang sedang memimpin umat Katolik sejagat saat ini (Banawiratma 2010: 26-27).

Gereja membuka diri untuk berdialog dengan semua agama dan kepercayaan, dengan tingkatan atau intensitas yang berbeda. Sebagian besar fokus dalam dialog gereja dengan agama lain adalah dengan agama Islam, ini disebabkan karena Islam merupakan agama mayoritas yang kedua setelah Kristen yang sama-sama menyembah Allah yang satu dan sama. Islam juga sebagaimana agama Kristen, merupakan agama yang menyebar hampir di semua negara di dunia, yang dalam misi pewartaannya akan saling bertemu dan berhadapan dengan masyarakat yang sama.

Komunitas Muslim, Mu’tamar al-Alam al-Islami (World Muslim Congress) didirikan di Mekkah, Saudi Arabiah, tahun 1962. Kendati tujuan organisasi ini lebih terfokus pada isu-isu sosial politik dan tidak berkaitan langsung dengan dialog antarumat beragama, namun tahun 1969, Sekretaris Jenderal Inamullah Khan sudah mengangkat isu dialog antarumat beragama khususnya dengan Kristen. Bahkan tahun 1982 organisasi tersebut terlibat dalam dialog dengan World Council of the Churches

(33)

terkait pendudukan Afghanistan oleh Uni Soviet. Pada waktu itu dialog antar umat beragama telah menjadi bagian dari program Mu’tamar. Hal yang menarik ialah Mu’tamar memiliki pedoman seperti tertera di bawah ini: Menjadi seorang Muslim berarti menjadi juru damai, yaitu seorang yang secara terus menerus berupaya mencari jalan untuk mengatasi konflik dan memelihara keinginan baik untuk kehidupan bersama yang damai. Tuhan menghendaki kita untuk hidup dalam kedamaian dan harmoni bersama ciptaanNya. (Seran, 2017: 12)

Ada juga Institusi lain yang bergerak di bidang dialog adalah Rabitat al-Alam al-Islami (Muslim World League,) didirikan di Mekkah tahun 1962 dan memiliki 60 anggota dari berbagai dunia. Organisasi ini berdiri karena ada anggapan salah tentang Islam, terutama oleh non-Muslim, dengan tujuan menjelaskan hakekat Islam kepada agama lain untuk meminimalisir berbagai anggapan salah tentang Islam. Organisasi ini memberikan tanggapan yang sangat optimis terhadap pernyataan Konsili Vatikan II tentang agama-agama lain (Zainal Abidin, 2010: 143). Rabitat juga bertujuan menciptakan harmoni antar umat manusia melalui prinsip keadilan dan aksi kebajikan.

Selain itu, dibentuk pula organisasi lain yang membahas isu relasi Islam- Kristen yakni Jamiyyah-Dawa al-Islamiyya al-Alamiyyah, di Libya, tahun 1972 dengan tujuan melakukan berbagai kegiatan keagamaan, budaya, sosial dan pendidikan. Organisasi ini membina hubungan dengan berbagai institusi Kristen seperti Vatikan dan Pontifical Council for Religious Dialogue (Seran, 2018: 9).

Organisasi ini yakin bahwa dialog adalah cara yang paling tepat untuk memahami

(34)

satu sama lain dalam rangka menciptakan perdamaian, persaudaraan sesama manusia, membangun peradaban, dan menghindari peperangan.

Pada akhir abad 20 dan awal abad 21, dialog Islam-Kristen dan umat beragama lain sudah jauh lebih berkembang dan mencakup isu-isu yang lebih luas.

Itulah sebabnya, Saudi Arabia yang selama ini belum terlibat aktif dalam upaya- upaya dialog antarumat beragama mulai menunjukkan perubahan sikap, yang ditandai misalnya dengan kunjungan Raja Abdullah Bin Adul Aziz ke Vatikan pada November 2007. Dalam kunjungannya beliau menjelaskan sikap toleransi Islam dan sikap Islam yang anti terorisme dan kekerasan. Bukan hanya itu, dalam sambutan Raja Abdullah pada konferensi dunia tentang Dialog Antaragama di Madrid Spanyol 16-18 Juli 2008, mengindikasikan bahwa Arab Saudi telah masuk ke dalam arena dialog antarumat beragama (Seran, 2017: 9):

“Sahabat-sahabatku yang terhormat: saya datang kepada anda dari tempat yang dekat dengan hati semua Muslim, tanah tempat dua Masjid Suci, membawa sebuah pesan dari dunia Islam, yang mewakili para sarjana dan pemikirnya yang belum lama ini bertemu dalam lingkup Baitullah. Pesan ini menyatakan bahwa Islam merupakan sebuah agama yang tidak berlebih-lebihan dan bertenggang rasa, sebuah pesan yang menyerukan bagi dialog konstruktif di antara umat beragama; sebuah pesan yang berjanji membuka sebuah halaman baru bagi imat manusia tang di dalamnya, Insya Allah, musyawarah akan menggantikan konflik”.

Hal terakhir yang sangat menarik adalah dijadikannya tahun 2008 sebagai tahun dialog antarbudaya Eropa (The Eropean Year of Intercultural Dialogue = EYID), yang dilandasi kenyataan bahwa Eropa kontemporer menjadi semakin beragam dalam hal budaya akibat pemekaran Uni Eropa, deregulasi ketenagakerjaan dan globalisasi.

(35)

Maka muncul kebutuhan mendesak untuk menciptakan dialog antarbudaya (juga umat beragama) yang menyiratkan penghargaan atas keragaman (diversitas) tersebut.

Pada tanggal 4 Februari 2019 Paus Fransiskus mengadakan kunjungan ke Uni Emirat Arab (UEA) ini adalah sebagai tonggak sejarah dalam dialog antaragama.

Dalam konferensi 4 Februari 2019 tersebut Paus Fransiskus bersama dengan Imam besar Al-Azhar, Ahmad Al-Tayyeb, telah menandatangani The Document on Human Fraternity for World Peace and Living Together. Dokumen tentang Persaudaraan manusia untuk perdamaian dunia dan hidup bersama. Dari diskusi-diskusi yang terbuka dan bersaudara, dan dari pertemuan yang mengungkapkan harapan besar akan masa depan yang cerah bagi semua manusia, gagasan dokumen tentang persaudaraan manusia ini lahir. Inilah sebuah teks yang telah dipertimbangkan dengan tulus dan serius sehingga menjadi pernyataan bersama tentang aspirasi-aspirasi yang indah dan mendalam. Dokumen ini dapat menjadi undangan bagi semua orang yang memiliki iman kepada Allah dan kepercayaan terhadap persaudaraan manusia untuk bersatu dan bekerja sama sehingga dapat menjadi panduan bagi generasi mendatang untuk memajukan budaya saling menghormati dalam kesadaran akan rahmat ilahi yang agung dan menjadikan semua manusia sebagai saudara dan saudari.

Dalam dokumen yang ditandatangi oleh Paus dan Imam Besar Al-Azhar yang disebut dengan dokumen Persaudaraan Manusia Untuk Perdamaian Dunia danHidup Beragama, khusus pada dokumen ke sepuluh ditegaskan bahwa:

“Dengan keyakinan yang teguh bahwa ajaran-ajaran autentik agama mengundang kita untuk tetap berakar pada nilai-nilai perdamaian;

untuk mempertahankan nilai-nilai pengertian timbal-balik,

(36)

persaudaraan manusia dan hidup bersama yang harmonis; untuk membangun kembali kebijaksanaan, keadilan dan kasih; dan untuk membangkitkan kembali kesadaran beragama di kalangan orang-orang muda sehingga generasi mendatang dapat dilindungi dari ranah pemikiran materialistis dan dari kebijakan berbahaya akan keserakahan dan ketidakpedulian tak terkendali berdasarkan pada hukum kekuatan dan bukan pada kekuatan hokum” (Dokumen Abu Dhabi, 2019 : 17).

Seruan yang tertuang dalam dokumen Abu Dhabi di atas tentu saja ditujukan juga kepada kehidupan antar umat beragama di Indonesia. Sejarah dialog antar umat beragama di Indonesia mencakup rentang waktu yang cukup panjang dan spektrum yang cukup beragam. Kendati demikian, dialog agama di Indonesia dimulai sejak tahun 1969 hingga saat ini, atau sejak itu dialog antaragama mendapat bentuk yang lebih terorganisasi dan lebih institusional terutama antar umat Islam dan Kristen.

C. Syarat Dialog Antarumat Beragama

Ada banyak faktor yang memengaruhi manusia berinteraksi, salah satunya agama. Berbagai macam agama yang dianut oleh manusia di dunia ini sepanjang sejarah. Pengaruh agama dalam interaksi antar manusia terlihat ketika masing-masing pemeluknya mempertahankan keyakinan bahwa agamanya yang paling benar. Bahwa penganut agama lain adalah orang sesat yang perlu disadarkan akan kebenaran yang sejati dan sayangnya itu tak jarang berunsur kekerasan. Agama kemudian dianggap sebagai sesuatu yang membawa andil kehancuran dan kerusakan.

(37)

Menganggap agama yang dianutnya merupakan agama yang benar, bukanlah suatu sikap keagamaan yang salah, justru ini akan berdampak positif dalam menumbuhkan militansi iman. Yang menjadi tidak benar adalah menganggap agama yang dianutnya merupakan agama yang benar, sambil mengkafirkan dan bersikap eksklusif terhadap orang yang beragama lain,

Agar tidak terjadi klaim kebenaran di mana menganggap agamanya paling benar sedang agama lain sesat dan diberi label kafir, maka perlu dialog antara umat beragama. Agar dialog antar umat beragama itu benar-benar berjalan baik dan menciptakan kerukunan hidup manusia beragama maka harus memenuhi persyaratan berikut ini:

Pertama, setiap peserta dialog wajib memiliki komitmen terhadap agamanya.

Dengan demikian, dialog antar umat beragama hanya akan efektif jika peserta dialog dengan jelas menunjukkan di mana ia berdiri. Setiap peserta juga memiliki pengetahuan yang memadai tentang agamanya masing-masing

Kedua, proses dialog selalu mendambakan suatu hubungan yang sejajar, maka

setiap komunitas agama diwajibkan untuk menghormati partner dialognya, entah kelebihan atau kekurangannya. Juga memiliki identitas agama yang jelas karena dialog dapat menawarkan sebuah kesempatan unik untuk memperdalam iman agama mereka sendiri, dan oleh karena itu turut menunjang pertumbuhan dan kematangan iman tersebut. Seorang pribadi juga sungguh-sungguh memiliki keyakinan yang kuat akan iman agamanya sendiri, dia pun akan mampu serta terbuka terhadap upaya saling memperkaya dengan orang-orang dari agama lain. Dalam konteks Gereja

(38)

Katolik, identitas itu tak dapat dilepaskan dari Kristus. Artinya, dalam dialog nama Kristus harus disampaikan. Selain itu, ikatan dengan Gereja tidak dapat dilepaskan.

Dalam hal ini rasa memiliki terhadap Gereja yang didirikan oleh Kristus sebagai komunitas keselamatan harus ditunjukkan oleh umat Katolik yang terlibat dalam dialog.

Ketiga, setiap peserta dialog bertanggungjawab atas terwujudnya masyarakat

yang rukun, damai dan sejahtera (Nugrohadi, 2013: 58). Dalam hal ini mengharuskan setiap pribadi yang terlibat dalam dialog, harus memiliki kualitas dasar dan kebajikan-kebajikan manusiawi. Kualitas disini adalah soal keyakinan iman yang kuat, kesediaan untuk memahami umat beragama lain tanpa pura-pura, tanpa prasangka, dan tanpa wawasan yang sempit; kasih yang tulus, kerendahan hati, kebijaksanaan, kejujuran, dan kesabaran. Gereja yakin bahwa “di mana” tidak ada rasa saling percaya, dialog antaragama pasti akan sulit dikembangkan. Jika peserta dialog tidak memiliki kualitas kepribadian sebagaimana disebutkan di atas maka tujuan dialog untuk mencapai masyarakat rukun dan damai sulit tercapai.

Keempat, setiap peserta dialog harus memiliki sikap dan tingkah laku yang

baik. Sikap di sini adalah berupa “rasa saling menghormati, bukan hanya sekedar teori, melainkan juga secara nyata, sambil mengakui martabat yang melekat pada diri partner dialog, khususnya menyangkut kebebasan beragama Dialog dalam Kebenaran dan Kasih (DKK 41). Ini berarti peseta dialog semestinya memiliki hati

yang jujur untuk menunjukan sikap hormat dalam menerima perbedaan dan kesamaan dari ajaran masing-masing agama. Semangat kasih dan saling pengertian untuk saling

(39)

tebuka dan saling menerima perbedaan dan kesamaan menjadi faktor penting dalam keberhasilan dialog antara umat beragama.

Kebebasan beragama ini mencakup “kebebasan untuk memilih agama yang dianggap benar dan untuk menyatakan imannya di depan publik” Evangelii Gaudium (EG 255). Dalam hal ini perlu memiliki sikap pluralisme yang sehat. “Pluralisme yang sehat, yang benar-benar menghormati perbedaan-perbedaan dan nilai-nilai seperti adanya, tidak berarti privatisasi agama di mana menjauhkan agama dari kepentingan publik” dengan “mereduksinya ke dalam ketersembunyian dan kegelapan hati nurani setiap individu atau meminggirkannya kewilayah-wilayah tertutup Gereja-gereja, Sinagoga-sinagoga, Masjid-masjid” (EG 255) (Wuritimur 2018: 66-68).

D. Dasar Dialog Antaragama

Bagi Gereja Katolik apa yang dikatakan dalam dokumen Nostra Aetate (NA) (Dokumen Konsili Vatikan II,309-313) merupakan rujukan yang dapat menjadi dasar dialog antar umat beragama di Indonesia. Dokumen ini tidak panjang, terdiri dari lima artikel saja. Artikel pertama membuka dengan mengungkapkan alasan historis dan teologis atas pembaharuan pandangan Gereja terhadap fenomena zaman kita yang menonjolkan pluralisme agama di satu pihak dan persatuan bangsa manusia menjadi satu masyarakat di pihak lain. Sementara itu artikel kelima menutupnya dengan menegaskan kriteria menjalani hidup beragama. Dikatakan bahwa yang tidak mengasihi, tidak mengenal Allah (1Yoh.4:8). Dengan demikian kriteria kehidupan

(40)

beragama menemukan kesempurnaannya dalam kesaksian hidup nyata yakni mengasihi sesamanya. Bila seseorang tidak mengasihi sesungguhnya dia tidak mengenal Allah yang dia sembah. Artikel satu dan lima menjadi semacam bingkai atas pandangan atau lebih tepat penghargaan terhadap nilai-nilai keselamatan yang ditampilkan oleh kepercayaan atas kekuasaan gaib dari bangsa-bangsa Hinduisme dan Budhisme (art.2), Islam (art3) dan Yahudi (art.4).

Secara khusus pada dokumen Nostra Aetate no.3, pada tempat pertama ditekankan unsur yang sama dalam agama Islam da Kristen sambil sekaligus menonjolkan satu perbedaan yang fundamental yaitu iman akan Yesus sebagai putra Allah. Kemudian teks konsili itu membuka kemungkinan bagi kerja sama antara kedua agama itu dalam usaha demi nilai-nilai penting yang mutlak perlu agar manusia dewasa ini bisa hidup bersama secara damai.

Kalimat pembuka dari dokumen Nostra Aeate no.3 “Gereja juga menghargai umat Islam yang menyembah Allah satu-satunya yang hidup dan berdaulat, penuh belas kasihan dan maha kuasa, pencipta langit dan bumi, yang telah bersabda kepada umat manusia.” Kelihatan sebagai suatu rumusan yang sudah terlalu banyak digunakan, namun dalam kenyataan ia merupakan suatu pernyataan yang sama sekali baru, suatu pembaruan.

Tindakan penyembahan kepada Allah yang dihayati Abraham, merupakan gambaran dasar bagi iman agama Kristen, Islam dan Yahudi. Dalam hal ini kaum beriman dari ketiga agama itu berada dalam bidang yang sama. Pada waktu yang

(41)

sama juga ada perbedaan besar, malahan pertentangan antar iman dan ajaran antar ketiga agama tersebut.

Dasar dialog antar umat beragama baik dalam konteks Indonesia maupun dunia dapat dirujuk juga dari dokumen Abu Dhabi antara Paus dan Imam besar Al- azhar sebagai berikut:

Kebebasan adalah hak setiap orang: setiap individu menikmati kebebasan berkeyakinan, berpikir, berekspresi dan bertindak. Pluralisme dan keragaman agama, warna kulit, jenis kelamin, ras, dan bahasa dikehendaki Tuhan dalam kebijaksanaan- Nya, yang melaluinya Ia menciptakan umat manusia. Kebijaksanaan ilahi ini adalah sumber dari mana hak atas kebebasan berkeyakinan dan kebebasan untuk menjadi berbeda. Oleh karena itu, fakta bahwa orang dipaksa untuk mengikuti agama atau budaya tertentu harus ditolak, demikian juga juga pemaksaan cara hidup budaya yang tidak diterima orang lain (Dokumen Abu Dhabi, 2019: 18).

Kebebasan harus menjadi landasan dalam setiap dialog inter religius atau antar umat beragama. Kebebasan di sini dimaknai bahwa setiap individu umat beragama yng terlibat dalam dialog dalam mengekspresikan pemahamannya tentang hakekat dialog merupakan ungkapan hati dan pikirannya secara bebas tidak ada paksaan atau tekanan atau manipulasi dari pihak mana pun. Dialog bukanlah kepura-puraan, melainkan ungkapan hati yang bebas dan jujur.

Dialog antaragama adalah tumbuhnya kesadaran baru bahwa dewasa ini umat manusia semakin hari semakin erat dipersatukan dan hubungan antar bangsa semakin ditingkatkan. Salah satu sebabnya adalah kemajuan di bidang informasi, di mana

(42)

dunia tampak bagai sebuah kampung, sehingga penghuninya tidak saja merasa dekat satu sama lain, tapi juga merasa disatukan. Singkat kata: kemajuan informasi sungguh diakui sebagai salah satu wujud baru kesatuan yang makin erat antar umat manusia.

Selain itu, dialog interreligius juga terkait langsung dengan pengalaman hidup konkret di tengah-tengah umat beriman lain. Karena hidup di tengah masyarakat majemuk, maka tak mungkin bagi seorang katolik misalnya mengambil jarak dari kesibukan sehari-hari umat beriman lain. Apalagi ciri khas paling langsung dari masyarakat majemuk adalah kehidupan yang bersifat dialogal.

Dasar dialog menurut dokumen Dialog dalam Kebenaran dan Kasih (DKK) yang diterbitkan oleh Komisi HAK KWI, (2015: 21-25) sebagai berikut:

a. Dasar Teologis

Seluruh ciptaan termasuk manusia memiliki satu asal-usul dan satu tujuan, yakni Allah. Manusia diciptakan “menurut citra-Nya” (bdk. Kej. 1:26). Dia adalah Bapa dari semua orang, dan semua bangsa merupakan satu masyarakat karena mendiami seluruh muka bumi. Mereka juga mempunyai tujuan yang sama, yakni Allah. Allah juga “menghendaki supaya semua orang diselamatkan dan memperoleh pengetahuan akan kebenaran” (bdk. 1Tim. 2:4;) Segala sesuatu itu diciptakan oleh Allah dengan perantaraan Yesus Kristus Putra-Nya yang adalah Sabda kekal (bdk. Kol.1:16-17). Atas dasar ini, orang lain perlu diikutkan dalam dialog. Konsili Vatikan II menyatakan:” Kita tidak dapat menyerukan nama Allah Bapa semua orang, bila terhadap orang-orang tertentu, yang diciptakan menurut citra kesamaan Allah, kita tidak mau bersikap sebagai saudara. Hubungan

(43)

manusia dengan Allah Bapa dan hubungannya dengan sesame manusia saudaranya begitu erat, sehingga Alkitab berkata: ‘Siapa saja yang tidak mencintai, ia tidak mengenal Allah” (bdk. 1Yoh.4:8;).

b. Dasar Kristologis

Dialog antarumat beragama memiliki juga dasar kristologis. Dasar ini berhubungan dengan rencana keselamatan semesta alam, termasuk umat manusia.

Artinya, semesta alam termasuk umat manusia ditebus oleh Allah semata-mata di dalam Yesus Kristus. Karena itu, Yesus Kristus menjadi titik sentral rencana keselamatan semesta alam. Di dalam Dia, Allah memasuki sejarah, mengambil hakekat manusia supaya menebusnya dari dalam. Dalam Dia dan hanya di dalam Dia sajalah, pengantara tunggal antara Allah dan bangsa manusia, bahwa segala sesuatu sudah didamaikan. Dengan kata lain, Yesus Kristus sendiri telah memulai dialog dengan umat manusia melalui inkarnasi-Nya, dialog itu diperuntukkan bagi penebusan semesta alam. Sehingga atas dasar ini, semua agama didorong juga untuk saling berdialog.

c. Dasar Antropologis dan Moral

Semua manusia, dalam kaitan dengan martabat kemanusiaannya oleh karena anugerah akal budi dan kehendak bebas, dan oleh karena itu diistimewakan sebagai pengendali tanggung jawab pribadi, seharusnya merasa tergerak secara alamiah sekaligus terikat oleh imperative moral untuk mencari kebenaran,

(44)

teristimewa kebenaran agama. Mereka juga merasa terikat untuk berpihak kepada kebenaran ketika mereka telah mengenalnya dan mengatur seluruh kehidupan mereka di dalam keselarasan dengan tuntutan kebenaran tersebut” Dengan kata lain, dasar antropologis dan moral mendorong secara manusiawi dan alamiah setiap orang untuk melakukan sesuatu, namun hal yang mau dilakukan itu dikontrol oleh sebuah imperative moral sehingga hal yang ingin dilakukan selalu berhubungan dengan kebenaran dan kebaikan (Wuritimur 2018: 62-66)

E. Tujuan Dialog

Dialog merupakan wahana untuk mencari sebuah jalan yang damai bagi umat beragama bukan untuk saling menyalahkan tetapi bagaimana setiap agama mampu memberikan solusi bagi masalah kemanusiaan. Dialog antar agama bukan untuk saling menyalahkan maupun merendahkan antar umat beragama, namun saling membangun dalam rangka kepentingan bersama. Dialog adalah upaya untuk tidak saling mengkafirkan antar sesama sehingga dapat mengasah kembali sikap saling bertoleransi di antara umat beragama yang pada akhirnya akan menumbuhkan sikap demokratis dalam kehidupan.

Dialog dapat dilakukan dalam berbagai bentuk, diantaranya dialog teologis, dialog kehidupan, dialog perbuatan, dan dialog pengalaman keagamaan. Dialog hanya bisa dilakukan apabila peserta dialog saling memahami antara perbedaan dan persamaan dalam setiap agama dengan tetap menghormati dan mengukuhkan komitmen bersama untuk menciptakan keadilan sosial dan berusaha memperkaya

(45)

kehidupan spiritual dalam agamanya masing-masing agar tercipta kehidupan yang harmonis antar umat beragama.

Peserta dialog harus menjauhi perbandingan yang tidak wajar antar agama dan memaksakan penyelesaian secara sepihak, maupun secara terselubung ada maksud memindahkan agama orang lain dan menganggap tetanggga yang beda agama sebagai musuh yang harus dijauhi. Peran pemerintah harus ada dalam menentukan masalah- masalah yang berkaitan dengan agama, namun ada juga yang memandang bahwa agama harus bertindak netral dalam wilayah agama, baik mengenai dialog, ritual dan sebagainya.

Dalam dokumen Abu Dhabi yang merupakan dokumen bersejarah bagi dialog antar umat beragama ditegaskan bahwa dalam dialog para pihak yang terlibat agar dalam semangat saling pengertian duduk bersama merumuskan keutamaan- keutamaan yang penting menyangkut nilai-nilai spiritual dan moral keagamaan sebagai pedoman hidup bersama antara manusia beragama. Dalam kebersamaan atau dialog itu supaya menjauhkan segala hal yang menghambat jalannya dialog.

Dokumen Abu Dhabi menegaskan: Dialog antar umat beragama berarti berkumpul bersama dalam ruang luas nilai-nilai rohani, manusiawi, dan sosial bersama dan, dari sini, meneruskan keutamaan-keutamaan moral tertinggi yang dituju oleh agama- agama. Hal ini juga berarti menghindari perdebatan-perdebatan yang tidak produktif (Dokumen Abu Dhabi, 2019: 19)

Tujuan dialog yang mau dibangun adalah menciptakan kerukunan, membina toleransi dan kesejahteraan bersama, membudayakan keterbukaan, mengembangkan

(46)

rasa saling menghormati, saling mengerti dan membina integrasi dan berkoeksistensi di antara pelbagai penganut agama. Akhirnya relasi koeksistensi yang telah dibangun dapat diarahkan ke model pro eksistensi sebagai upaya untuk mencari unsur-unsur yang membedakan agama seseorang dengan agama yang lain. (Daya, 2004: 39-40).

Dokumen Gereja mengenai dialog biasanya ditulis dalam konteks tertentu dengan maksud dan tujuan tertentu pula untuk menjawab kebutuhan konteks atau zamannya. Dokumen Dialog dalam kebenaran dan kasih menyebut sejumlah maksud dan tujuan dari dialog yaitu:

a. “Maksud lebih luas: keberpihakan kepada kebenaran, didorong oleh kasih, dalam ketaatan kepada misi Ilahi yang dipercayakan Tuhan Yesus kepada Gereja. Iman agama mengandaikan kebenaran. Seorang yang percaya adalah dia yang mencari kebenaran, dan hidup oleh kebenaran itu”

b. Saling memperkuat pemahaman. Dalam konteks ini dialog merupakan sarana untuk saling memahami antarumat beragama.

c. “Melayani masyarakat seluruhnya melalui pemberian kesaksian akan kebenaran-kebenaran moral yang diyakini bersama oleh orang-orang yang berkehendak baik”. Dalam dialog pemeluk berbagai agama diundang untuk menampilkan secara eksplisit isi ajaran agama mereka masing-masing”. Dari pihak Gereja Katolik, misi utamanya iaiah pelayanan terhadap kebenaran”:

kebenaran tentang Allah, kebenaran tentang manusia dan nasibnya yang terselubung, kebenaran tentang dunia, kebenaran yang sulit yang kita cari di dalam Sabda Allah”. Dalam konteks ini dialog merupakan cara untuk

(47)

melayani. Namun, dalam melayani kebenaran melalui dialog umat Kristiani hendaknya melakukannya dengan kelemahlembutan dan dengan rasa hormat (bdk. 1Ptr.3:15), tidak merendahkan kebebasan manusia, tetapi sebaliknya meninggikan martabat manusia dan bahkan memajukannya menuju pemenuhan kebahagiaan.

d. Meskipun dialog tidak bermaksud dan bertujuan untuk mengajak orang lain meninggalkan agamanya, namun tidak tertutup kemungkinan bahwa melalui dialog terjadi juga pertobatan. (Wuritimur 2018: 71-72)

F. Bentuk - Bentuk Dialog Antarumat Beragama

Ada beberapa bentuk dan syarat-syarat pelaksanaan sebagai keterlibatan Gereja dalam melakukan dialog. Yang dimaksud dengan “bentuk” ialah cara atau model dialog itu diungkapkan. Cara di sini tidak hanya menunjuk pada metode atau

aturan prinsip-prinsip, melainkan juga mencakup objek atau tema yang didialogkan.

Karena dalam kenyataan, objek atau tema yang didialogkan beraneka ragam bobotnya, maka subjek yang melibatkan diri dalam dialog itu pun perlu diadakan pembedaan-pembedaan. Sehingga ada empat bentuk dalam dialog adalah sebagai berikut:

1. Dialog kehidupan

Dialog kehidupan dimengerti selalu dalam hubungan dengan orang lain, ciri khasnya yaitu memiliki semangat tetangga, semangat kebersamaan dalam situasi yang sama atau perasaan senasib dan sepenanggungan. Dalam dialog ini

(48)

tercipta adanya sharing kebahagiaan dan kesedihan persoalan-pesoalan umum seperti kebutuhan air bersih, pendidikan, ekonomi, kesehatan, dan lain-lain ( Rukiyanto, 2021: 111). Dengan demikian, dialog kehidupan berbicara tentang hal-hal berkaitan dengan kebutuhan pokok hidup manusia sehari-hari.

Dialog kehidupan diperuntukkan bagi semua orang dan sekaligus merupakan level dialog yang paling mendasar. Sebab ciri kehidupan bersama sehari-hari dalam masyarakat majemuk yang paling umum dan mendasar ialah ciri dialogis. Dalam kehidupan sehari-hari, aneka pengalaman yang menyusahkan, mengancam, dan menggembirakan dialami bersama-sama. Masing-masing dengan pengalaman hidupnya yang khas dalam kewajarannya sebagai orang yang tinggal bersama senantiasa tergerak untuk membagikan pengalamannya. Dialog kehidupan seringkali memang tidak langsung menyentuh perspektif agama atau iman. Dialog itu lebih digerakkan oleh sikap-sikap solider dan kebersamaan yang melekat. Biarpun demikian sebagai orang beriman, solidaritas dan kebersamaan yang lahir dalam kehidupan sehari-hari tak mungkin dipisahkan apalagi dilucuti dari kehidupan iman mereka. Setiap pengikut Kristus, karena panggilannya sebagai orang Kristen, diminta untuk menghayati dialog kehidupannya dalam semangat injili; tak peduli dalam situasi apa pun, baik sebagai minoritas maupun mayoritas. Orang dari “berbagai agama berupaya hidup di dalam semangat keterbukaan dan ketetanggaan untuk saling berbagi kegembiraan dan kesedihan, bersama-sama menanggung masalah-masalah dan kecemasan-kecemasan hidup.

Dialog ini harus dilakukan dalam kasih. Dan bagi umat Kristiani, kasih harus

(49)

menjadi hakikat keberadaannya, karena ia “didesak oleh kasih Kristus (bdk. 2Kor.

5:14) untuk menjangkau setiap makhluk tanpa kekecualian, bahkan sampai melewati batas-batas Gereja yang kelihatan. Dialog ini menuntut rasa hormat, perhatian, kebaikan hati, kepercayaan, kerendahan hati, kesabaran, pengampunan, menerima orang lain sebagai pribadi dari keluarga manusia yang sama” dan

“saling berbagi kegembiraan dan kesusahan”

2. Dialog Karya

Bentuk dialog ini lebih pada arah kegiatan konkret, tindakan-tindakan nyata yang dilakukan orang-orang beragama dalam dunia sekitarnya. Dialog ini lebih mendorong orang agar memfokuskan perhatian besar kepada masalah- masalah kemanusiaan, karya-karya kasih terhadap sesama dan dunia (Rukiyanto, 2021: 112). Jika berbicara tentang dialog karya, di sini tidak lagi hanya berbicara pada tataran ide atau gagasan, tetapi bagaimana karya nyata umat beragama untuk memberi kehidupan bagi sesama.

Yang dimaksudkan dengan dialog karya adalah kerjasama yang lebih intens dan mendalam dengan para pengikut agama-agama lain. Sasaran yang hendak diraih jelas dan tegas, yakni pembangunan manusia dan peningkatan martabat manusia. Bentuk dialog semacam ini sekarang kerap berlangsung dalam kerangka kerjasama organisasi-organisasi internasional, di mana orang-orang Kristen dan para pengikut agama-agama lain bersama-sama menghadapi masalah- masalah dunia. Sejak konsili Vatikan II, Gereja secara konkret dan resmi terlibat dalam dialog karya. Dua atau tiga sekretariat sekurang-kurangnya yang

(50)

menangani masalah-masalah dunia, didirikan. Sekretariat-sekretariat itu tidak menggeluti dialog agama-agama, namun demikian pelaksanaan kerjanya meminta kerjasama dengan para penganut agama-agama lain. Dua sekretariat itu yakni The pontifical Commission for justice and peace (1967).

3. Dialog Pandangan Teologis

Dialog ini bertujuan untuk mendiskusikan pandangan-pandangan atau ajaran-ajaran agama yang berkaitan dengan masalah-masalah sosial kemasayarakatan. Jadi dialog teologis biasanya dilakoni oleh para pemuka agama.

Dialog ini akan tercipta dengan baik apabila masing-masing mengesampingkan ego dalam diri, mengesampingkan hastrat mayoritas dan minoritas, memberi ruang pada kerendahan hati untuk mencari jalan keluar bagi masalah-masalah sosial yang berkaitan langsung dengan agama beserta ajarannya (Rukiyanto, 2021: 111).

Sebenarnya dialog teologis tidak hanya dikhususkan untuk para ahli melainkan juga untuk siapa saja yang memiliki kemampuan untuk itu. Tetapi karena menyangkut soal-soal teologis yang sering rumit, dialog semacam itu lebih tepat untuk para ahli. Dalam dialog teologis yang sering rumit, dialog semacam itu lebih tepat untuk para ahli. Dalam dialog teologis, orang diajak untuk menggumuli, memperdalam, dan memperkaya warisan-warisan keagamaan masing-masing, serta sekaligus diajak untuk mengetrapkan pandangan-pandangan teologis dalam menyikapi persoalan-persoalan yang dihadapi umat manusia pada umumnya. Karenanya dialog semacam ini membutuhkan visi yang mantap.

(51)

Dialog pandangan teologis tidak (dan tidak boleh) berpretensi apa-apa, kecuali untuk saling memahami pandangan teologis agama masing-masing dan penghargaan terhadap nilai-nilai rohani masing-masing. Dialog teologis tidak boleh dimaksudkan untuk menyerang pandangan sesama rekan dialog. Dialog teologis meminta keterbukaan dari masing-masing untuk menerima dan mengadakan pembaharuan-pembaharuan yang makin sesuai dengan nilai-nilai rohaninya.

4. Dialog pengalaman Iman

Dialog ini tercipta karena orang dengan kesadaran dan kemauan serta dorongan-dorongan perasaaan keagamaan membuka diri untuk saling berbagi pengalaman iman, pengalaman religius bukan untuk saling memanipulasi dan memaksa orang lain untuk percaya, tetapi lebih pada saling menumbuhkembangangkan pengalaman iman kepada Allah sesuai keyakinan dan kepercayaan masing-masing. Dialog ini harus benar-benar membutuhkan keterbukaan hati yang sangat besar (Rukiyanto, 2021: 110).

Dialog pengalaman keagamaan atau lebih baik disebut pengalaman iman, merupakan dialog tingkat tinggi. Dialog pengalaman iman dimaksudkan untuk saling memperkaya dan memajukan penghayatan nilai-nilai tertinggi dan cita-cita rohani masing-masing pribadi. Dalam dialog ini, pribadi-pribadi yang berakar dalam tradisi keagamaan masing-masing berbagi pengalaman doa, kontemplasi, meditasi, bahkan pengalaman iman dalam arti yang lebih mendalam (pengalaman mistik, misalnya). Dari sebab itu, dialog pengalaman keagamaan sangat

Referensi

Dokumen terkait

Segala puji bagi Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang, yang memberi ilmu dan inspirasi, dan kemuliaan. Atas kehendak-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat, hidayah serta inyah-Nya sehingga penulis dapat menyusun dan menyelesaikan Skripsi ini yang

Segala puji bagi Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang, yang memberi ilmu dan inspirasi, dan kemuliaan. Atas kehendak-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi

Segala puji bagi Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang, yang memberi ilmu, inspirasi, dan kemuliaan. Atas kehendak-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala kasih, karunia, dan bimbingannya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang

Segala puji bagi Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang, yang memberi ilmu dan inspirasi, dan kemuliaan. Atas kehendak-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi

Segala puji bagi Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang, yang memberi ilmu, inspirasi, dan kemuliaan. Atas kehendak-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan

Segala puji bagi Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang, yang memberi ilmu, inspirasi, dan kemuliaan. Atas kehendak-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan