• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II HAKIKAT DIALOG ANTAR UMAT BERAGAMA

D. Dasar Dialog Antaragama

Bagi Gereja Katolik apa yang dikatakan dalam dokumen Nostra Aetate (NA) (Dokumen Konsili Vatikan II,309-313) merupakan rujukan yang dapat menjadi dasar dialog antar umat beragama di Indonesia. Dokumen ini tidak panjang, terdiri dari lima artikel saja. Artikel pertama membuka dengan mengungkapkan alasan historis dan teologis atas pembaharuan pandangan Gereja terhadap fenomena zaman kita yang menonjolkan pluralisme agama di satu pihak dan persatuan bangsa manusia menjadi satu masyarakat di pihak lain. Sementara itu artikel kelima menutupnya dengan menegaskan kriteria menjalani hidup beragama. Dikatakan bahwa yang tidak mengasihi, tidak mengenal Allah (1Yoh.4:8). Dengan demikian kriteria kehidupan

beragama menemukan kesempurnaannya dalam kesaksian hidup nyata yakni mengasihi sesamanya. Bila seseorang tidak mengasihi sesungguhnya dia tidak mengenal Allah yang dia sembah. Artikel satu dan lima menjadi semacam bingkai atas pandangan atau lebih tepat penghargaan terhadap nilai-nilai keselamatan yang ditampilkan oleh kepercayaan atas kekuasaan gaib dari bangsa-bangsa Hinduisme dan Budhisme (art.2), Islam (art3) dan Yahudi (art.4).

Secara khusus pada dokumen Nostra Aetate no.3, pada tempat pertama ditekankan unsur yang sama dalam agama Islam da Kristen sambil sekaligus menonjolkan satu perbedaan yang fundamental yaitu iman akan Yesus sebagai putra Allah. Kemudian teks konsili itu membuka kemungkinan bagi kerja sama antara kedua agama itu dalam usaha demi nilai-nilai penting yang mutlak perlu agar manusia dewasa ini bisa hidup bersama secara damai.

Kalimat pembuka dari dokumen Nostra Aeate no.3 “Gereja juga menghargai umat Islam yang menyembah Allah satu-satunya yang hidup dan berdaulat, penuh belas kasihan dan maha kuasa, pencipta langit dan bumi, yang telah bersabda kepada umat manusia.” Kelihatan sebagai suatu rumusan yang sudah terlalu banyak digunakan, namun dalam kenyataan ia merupakan suatu pernyataan yang sama sekali baru, suatu pembaruan.

Tindakan penyembahan kepada Allah yang dihayati Abraham, merupakan gambaran dasar bagi iman agama Kristen, Islam dan Yahudi. Dalam hal ini kaum beriman dari ketiga agama itu berada dalam bidang yang sama. Pada waktu yang

sama juga ada perbedaan besar, malahan pertentangan antar iman dan ajaran antar ketiga agama tersebut.

Dasar dialog antar umat beragama baik dalam konteks Indonesia maupun dunia dapat dirujuk juga dari dokumen Abu Dhabi antara Paus dan Imam besar Al-azhar sebagai berikut:

Kebebasan adalah hak setiap orang: setiap individu menikmati kebebasan berkeyakinan, berpikir, berekspresi dan bertindak. Pluralisme dan keragaman agama, warna kulit, jenis kelamin, ras, dan bahasa dikehendaki Tuhan dalam kebijaksanaan-Nya, yang melaluinya Ia menciptakan umat manusia. Kebijaksanaan ilahi ini adalah sumber dari mana hak atas kebebasan berkeyakinan dan kebebasan untuk menjadi berbeda. Oleh karena itu, fakta bahwa orang dipaksa untuk mengikuti agama atau budaya tertentu harus ditolak, demikian juga juga pemaksaan cara hidup budaya yang tidak diterima orang lain (Dokumen Abu Dhabi, 2019: 18).

Kebebasan harus menjadi landasan dalam setiap dialog inter religius atau antar umat beragama. Kebebasan di sini dimaknai bahwa setiap individu umat beragama yng terlibat dalam dialog dalam mengekspresikan pemahamannya tentang hakekat dialog merupakan ungkapan hati dan pikirannya secara bebas tidak ada paksaan atau tekanan atau manipulasi dari pihak mana pun. Dialog bukanlah kepura-puraan, melainkan ungkapan hati yang bebas dan jujur.

Dialog antaragama adalah tumbuhnya kesadaran baru bahwa dewasa ini umat manusia semakin hari semakin erat dipersatukan dan hubungan antar bangsa semakin ditingkatkan. Salah satu sebabnya adalah kemajuan di bidang informasi, di mana

dunia tampak bagai sebuah kampung, sehingga penghuninya tidak saja merasa dekat satu sama lain, tapi juga merasa disatukan. Singkat kata: kemajuan informasi sungguh diakui sebagai salah satu wujud baru kesatuan yang makin erat antar umat manusia.

Selain itu, dialog interreligius juga terkait langsung dengan pengalaman hidup konkret di tengah-tengah umat beriman lain. Karena hidup di tengah masyarakat majemuk, maka tak mungkin bagi seorang katolik misalnya mengambil jarak dari kesibukan sehari-hari umat beriman lain. Apalagi ciri khas paling langsung dari masyarakat majemuk adalah kehidupan yang bersifat dialogal.

Dasar dialog menurut dokumen Dialog dalam Kebenaran dan Kasih (DKK) yang diterbitkan oleh Komisi HAK KWI, (2015: 21-25) sebagai berikut:

a. Dasar Teologis

Seluruh ciptaan termasuk manusia memiliki satu asal-usul dan satu tujuan, yakni Allah. Manusia diciptakan “menurut citra-Nya” (bdk. Kej. 1:26). Dia adalah Bapa dari semua orang, dan semua bangsa merupakan satu masyarakat karena mendiami seluruh muka bumi. Mereka juga mempunyai tujuan yang sama, yakni Allah. Allah juga “menghendaki supaya semua orang diselamatkan dan memperoleh pengetahuan akan kebenaran” (bdk. 1Tim. 2:4;) Segala sesuatu itu diciptakan oleh Allah dengan perantaraan Yesus Kristus Putra-Nya yang adalah Sabda kekal (bdk. Kol.1:16-17). Atas dasar ini, orang lain perlu diikutkan dalam dialog. Konsili Vatikan II menyatakan:” Kita tidak dapat menyerukan nama Allah Bapa semua orang, bila terhadap orang-orang tertentu, yang diciptakan menurut citra kesamaan Allah, kita tidak mau bersikap sebagai saudara. Hubungan

manusia dengan Allah Bapa dan hubungannya dengan sesame manusia saudaranya begitu erat, sehingga Alkitab berkata: ‘Siapa saja yang tidak mencintai, ia tidak mengenal Allah” (bdk. 1Yoh.4:8;).

b. Dasar Kristologis

Dialog antarumat beragama memiliki juga dasar kristologis. Dasar ini berhubungan dengan rencana keselamatan semesta alam, termasuk umat manusia.

Artinya, semesta alam termasuk umat manusia ditebus oleh Allah semata-mata di dalam Yesus Kristus. Karena itu, Yesus Kristus menjadi titik sentral rencana keselamatan semesta alam. Di dalam Dia, Allah memasuki sejarah, mengambil hakekat manusia supaya menebusnya dari dalam. Dalam Dia dan hanya di dalam Dia sajalah, pengantara tunggal antara Allah dan bangsa manusia, bahwa segala sesuatu sudah didamaikan. Dengan kata lain, Yesus Kristus sendiri telah memulai dialog dengan umat manusia melalui inkarnasi-Nya, dialog itu diperuntukkan bagi penebusan semesta alam. Sehingga atas dasar ini, semua agama didorong juga untuk saling berdialog.

c. Dasar Antropologis dan Moral

Semua manusia, dalam kaitan dengan martabat kemanusiaannya oleh karena anugerah akal budi dan kehendak bebas, dan oleh karena itu diistimewakan sebagai pengendali tanggung jawab pribadi, seharusnya merasa tergerak secara alamiah sekaligus terikat oleh imperative moral untuk mencari kebenaran,

teristimewa kebenaran agama. Mereka juga merasa terikat untuk berpihak kepada kebenaran ketika mereka telah mengenalnya dan mengatur seluruh kehidupan mereka di dalam keselarasan dengan tuntutan kebenaran tersebut” Dengan kata lain, dasar antropologis dan moral mendorong secara manusiawi dan alamiah setiap orang untuk melakukan sesuatu, namun hal yang mau dilakukan itu dikontrol oleh sebuah imperative moral sehingga hal yang ingin dilakukan selalu berhubungan dengan kebenaran dan kebaikan (Wuritimur 2018: 62-66)

Dokumen terkait