• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI

B. Bentuk-Bentuk Korban Dalam Tindak Pidana Korupsi

Tindak pidana korupsi terjadi secara elitis, endemik, dan sistemik, sehingga tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga telah melanggar hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas. Meluasnya praktik korupsi tidak hanya

146 Pasal 35 UNCAC, yaitu disebutkan bahwa: “each state party shall take such measures as may be necessary to permit its courts to order those who have committed offences established in accordance with this Convention to pay compensation or damages to another State Party that has been harmed by such offences”

147 C. Maya Indah S, Op.Cit, halaman 31.

mengandung aspek ekonomis (merugikan keuangan/perekonomian negara dan memperkaya diri sendiri/orang lain), tetapi juga korupsi jabatan, korupsi kekuasaan, korupsi politik, korupsi nilai-nilai demokrasi, korupsi moral, dan sebagainya. Tindak pidana korupsi membawa dampak yang luar biasa terhadap kuantitas dan kualitas tindak pidana lainnya, hal ini disebabkan semakin besarnya jurang perbedaan antara si kaya dan si miskin telah memicu meningkatnya jumlah dan modus kejahatan yang terjadi di masyarakat.148

Penyebab terjadinya tindak pidana korupsi tidak hanya dapat merugikan keuangan Negara tetapi juga masyarakat, hal ini disebabkan karena uang yang dikorupsi adalah uang rakyat yang dipergunakan untuk pembangunan dan kesejahteraan rakyat, namun hanya segelintir orang secara individu dan kelompok yang menikmatinya.

Masyarakat sebagai korban merupakan pihak yang menderita dan dirugikan akibat pelanggaran hukum pidana biasanya hanya dilibatkan sebatas pada memberikan kesaksian sebagai saksi korban. Akibatnya sering terjadi korban merasa tidak puas dengan tuntutan pidana yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum dan/atau putusan yang dijatuhkan oleh Hakim karena dianggap tidak sesuai dengan nilai keadilan korban.

Adapun faktor penyebab terjadinya korupsi yaitu :149 1. Faktor lemahnya pendidikan agama dan norma

148 Supandji, Hendrarman. Peningkatan Pencegahan Tindak Pidana Korupsi dalam Pelaksanaan Tugas Kejaksaan. Makalah. Semarang: UNDIP, 2009.

149 Ediwarman, Op. Cit., halaman 87-89.

Agama merupakan prinsip pokok dalam kehidupan manusia yang merupakan kebutuhan spiritual yang sama. Sedangkan norma-norma yang terdapat didalamnya mempunyai nilai-nilai tertinggi dalam hidup manusia, sebab norma-norma tersebut merupakan norma-norma ketuhanan dan segala sesuatu yang telah digariskan oleh agama selalu baik serta membimbing manusia kearah yang baik dan benar. Norma-norma ini menunjukkan hal yang dilarang dan diharuskan mana yang baik dan mana yang buruk sehingga manusia benar-benar mendalami dan mengerti isi agama pasti ia akan menjadi manusia yang baik dan tidak mau melakukan kejahatan apapun termasuk kejahatan korupsi, sebab agama merupakan salah satu social control yang utama melalui organisasi-organisasi keagamaan. Agama itu sendiri dapat menentukan tingkah laku manusia sesuai dengan nilai-nilai keagamaannya. Tegasnya agama juga berfungsi membentuk kepribadian seseorang dalam hidupnya.

2. Penghasilan/Gaji yang rendah

Di Indonesia system penggajian baik pegawai negeri sipil maupun militer maupun buruh dan masyarakat masih rendahnya penghasilan yang diperoleh setiap bulan sehingga untuk kebutuhan hidup tidak mencukupi yang akibatnya dalam memenuhi kebutuhan tadi timbul suatu pola prilaku yang menyimpang didalam kehidupannya yang mengakibatkan seseorang cenderung untuk melakukan keinginan korupsi untuk memenuhi kehidupannya.

3. Pola hidup yang konsumtif

Pola hidup ini terjadi karena selalu memenuhi keinginan seseorang hidup yang berlebihan, sedangkan kemampuan yang ada pada dirinya tidak sanggup, yang ada hanya mengikuti hawa nafsu untuk mendapatkan sesuatu yang berlebihan, akibatnya timbul niat untuk melakukan perbuatan kejahatan dalam memenuhi kebutuhan hawa nafsunya dalam hidupnya.

4. Sistem Hukum yang lemah

Sistem hukum yang mengatur tentang korupsi pada hakikatnya masih jauh dari yang diharapkan, karena system hukum yang ada hanya menitik beratkan kepada kebijakan penal (hukuman) padahal dalam kasus tindak pidana korupsi itu yang penting aturan yang mengatur itu harus menitik beratkan bagaimana uang Negara itu kembali bukan hukuman yang berat, kedepan system ini perlu diperbaiki secara konprehensif, karena aturan yang ada tidak membuat orang jera untuk melakukan korupsi.

5. Sikap Pemerintah yang toleran terhadap perbuatan korupsi

Kalau pemerintah ingin menindak pelaku-pelaku korupsi tersebut, haruslah dimulai dari Top Down (dari atas kebawah) karena kunci pemberantasan korupsi itu dimulai dari pemerintah pusat, yang menjadi titik tolaknya ialah dimulai dari lembaga kepresidenan, kemudian dilanjutkan ke lembaga-lembaga pemerintah sampai ke daerah-daerah. Pemberantasan korupsi harus benar-benar bersikap tegas terhadap koruptor, dengan melihat kepada pendekatan system. Jika pemerintah didalam hal ini tidak tegas maka sulit untuk menghilangkan korupsi di

Indonesia. Oleh karena itu sikap pemerintah harus tegas dalam hal menangani kejahatan korupsi tanpa tebang pilih terhadap pelakunya.

6. Kemampuan politik pemerintah untuk memberantas korupsi tidak berjalan dengan baik.

Undang-undang pemberantasan korupsi sudah dibuat demikian juga lembaga pemberantasan korupsi (KPK) bahkan dalam KUHP nasional yang baru sudah dibuat sedemikian rupa tentang kejahatan korupsi, tetapi masih banyak juga terjadi kejahatan korupsi bahkan sudah melibatkan semua lembaga-lembaga Negara di Indonesia baik eksekutif, yudikatif, legislatif.

7. Pertumbuhan ekonomi tidak sejalan dengan pertumbuhan moral masyarakat Pemerintah didalam pemberantasan korupsi harus memperhatikan juga pertumbuhan ekonomi masyarakat secara komprehensif, dan pertumbuhan ekonomi itu juga harus seja;an dengan pertumbuhan moral dan intelektual para pemimpin masyarakat di Indonesia, karena factor penyebab terjadinya korupsi di Indonesia salah satunya diakibatkan karena pertumbuhan ekonomi yang ada sekarang tidak jalan dengan pertumbuhan moral masyarakat.

Menurut Suseno,150 menyatakan bahwa praktik korupsi di Indonesia telah sampai pada yang paling membahayakan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, hal tersebut didasari oleh kondisi perekonomian negara selalu berada dalam posisi yang kurang baik bagi perjalanan pembangunan di Indonesia, tetapi dalam

150 R. D, Soemodihardjo, Mencegah dan Memberantas Korupsi, Mencermati Dinamikanya di Indonesia, Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher, 2008, halaman 3.

perjalanannya kemudian lebih dari itu, yaitu membahayakan dan merusak perekonomian masyarakat.

Korupsi di Indonesia dewasa ini sudah merupakan musuh bersama (public enemy) dan penyakit sosial yang kronis, sangat berbahaya serta mengancam semua aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Korupsi telah mengakibatkan kerugian materiil keuangan negara yang sangat besar.151 Persoalan mengapa korupsi menjadi sangat kronis di negara ini dikarenakan faktor penyebab terjadinya korupsi ini sangat multidimensi, siapapun bisa dengan mudah tergoda untuk melakukan korupsi. Bahkan korupsi telah menjadi perilaku yang seolah-olah biasa.152

Berdasarkan faktor diatas, terdapat beberapa teori yang menjelaskan faktor-faktor penyebab dilakukannya tindak pidana korupsi, yaitu:153

1. Triangle Fraud Theory.

Donald Cressey mencetuskan konsep segitiga kecurangan (fraud triangle) sebagai suatu ilustrasi yang menggambarkan faktor risiko kecurangan yang terjadi.

151 Hariyono, dkk, Membangun Negara Hukum yang Bermartabat , Malang: Setara Pers, 2013, hlm. 350.

152 Ibid, hlm. 351.

153 Deddy Candra, Arfin, Kendala Pengembalian Aset Hasil Tindak Pidana Korupsi Transnasional, Jurnal BPPK Volume 11 Nomor 1 Tahun 2018 Halaman 28-55.

Gambar 3 Segitiga Kecurangan

Fraud triangle menjelaskan 3 (tiga) faktor yang hadir dalam setiap situasi kecurangan, sebagai berikut:

a. Pressure (tekanan), yaitu adanya insentif/tekanan/kebutuhan untuk melakukan kecurangan. Tekanan dapat mencakup hampir semua hal, termasuk gaya hidup, tuntutan ekonomi, keuangan, dan non keuangan.

b. Opportunity (kesempatan), yaitu situasi yang membuka kesempatan untuk memungkinkan suatu kecurangan terjadi, disebabkan pengendalian internal perusahaan yang lemah, kurangnya pengawasan dan penyalahgunaan wewenang.

c. Rationalization (rasionalisasi), yaitu adanya sikap, karakter, atau serangkaian nilai-nilai etis yang memperbolehkan pihak-pihak tertentu untuk melakukan tindakan kecurangan, atau orang-orang yang berada dalam lingkungan yang cukup menekan yang membuat mereka merasionalisasi tindakan kecurangan.

Rasionalisasi atau sikap (attitude) yang paling banyak digunakan adalah

hanya meminjam (borrowing) aset yang dicuri dan alasan bahwa tindakannya untuk membahagiakan orang-orang yang dicintainya.

Teori ini kemudian dikembangkan secara skematis oleh Association of Certified Fraud Examiners (ACFE), yang menggambarkan fraud dalam bentuk fraud tree, yang mempunyai 3 (tiga) cabang utama, yaitu korupsi (corruption), penggelapan aset (asset missapropriation), dan pernyataan yang salah (fraudulent missatement).

2. GONE Theory

Menurut Jack Bologne,154 bahwa akar penyebab korupsi sebagai berikut:

b. Greeds (keserakahan), berkaitan dengan adanya perilaku serakah yang secara potensial ada di dalam diri setiap orang.

c. Opportunities (kesempatan), berkaitan dengan keadaan organisasi atau instansi atau masyarakat yang sedemikian rupa, sehingga terbuka kesempatan bagi seseorang untuk melakukan korupsi.

d. Needs (kebutuhan), berkaitan dengan faktorfaktor yang dibutuhkan oleh individu-individu untuk menunjang hidupnya yang wajar.

e. Exposures (pengungkapan), berkaitan dengan tindakan atau konsekuensi yang dihadapi oleh pelaku kecurangan apabila pelaku diketemukan melakukan kecurangan.

3. Hierarchy of Needs Theory

154 Ayu, Rhety dan Anis Chariri, Money Laundering dan Keterlibatan Wanita (Artis):

Tantangan Baru Bagi Auditor Investigative, Journal of Accounting, Volume 4, No.3 Tahun 2015, halaman 4.

Abraham Maslow menyusun teori motivasi manusia, yang memandang variasi kebutuhan manusia tersusun dalam bentuk hierarki atau berjenjang. Setiap jenjang kebutuhan dapat dipenuhi hanya jenjang sebelumnya telah (relatif) terpuaskan.

Gambar 4

Hierarki Kebutuhan Maslow

Maslow menerangkan 5 (lima) tingkatan kebutuhan dasar manusia, sebagai berikut:

a. Basic needs atau psychological needs, merupakan kebutuhan yang paling penting, seperti kebutuhan akan makanan. Dominasi kebutuhan fisiologi ini relatif lebih tinggi dibanding dengan kebutuhan lain dan menimbulkan kebutuhan-kebutuhan lain.

b. Safety needs (kebutuhan akan keselamatan), meliputi keamanan, kemantapan, ketergantungan, kebebasan dari rasa takut, cemas, dan kekalutan; kebutuhan

akan struktur, ketertiban, hukum, batas-batas kekuatan pada diri, pelindung, dan sebagainya.

c. Love needs (kebutuhan rasa memiliki dan rasa cinta), merupakan kebutuhan yang muncul setelah kebutuhan fisiologis dan kebutuhan keselamatan telah terpenuhi.

d. Esteem needs (kebutuhan akan harga diri), terbagi dalam 2 (dua) peringkat, yaitu:

1. Keinginan akan kekuatan, akan prestasi, berkecukupan, unggul, kemampuan, percaya diri, kemerdekaan, dan kebebasan.

2. Hasrat akan nama baik atau gengsi dan harga diri, prestise (penghormatan dan penghargaan dari orang lain), status, ketenaran.

kemuliaan, dominasi, pengakuan, perhatian, dan martabat.

e. Self actualization needs (kebutuhan akan perwujudan diri), yaitu kecenderungan untuk mewujudkan dirinya sesuai dengan kemampuannya.

4. Ramirez Torres Theory

Menurut Torres155, suatu tindak korupsi akan terjadi jika memenuhi persamaan berikut:

Rc > Pty x Prob Rc = Reward

155 Ninik Indawati, Pengembangan Mata Kuliah Pendidikan Anti Korupsi (Studi Evaluatif Tentang Efektivitas Kajian Literatur pada penelitian Pendidikan Anti Korupsi), 2016, halaman 17.

http://repository. unikama.ac.id/855/1/CALL%20FOR%20PAPER S- UM - 24 - 25 % 20 MAY % 202016 -ninik.pdf/ diakses tanggal 7 November 2017.

Pty = Penalty Prob = Probability

Korupsi adalah kejahatan kalkulasi atau perhitungan (crime of calculation) bukan hanya sekedar keinginan (passion). Seseorang akan melakukan korupsi jika hasil (Rc = Reward) yang didapat dari korupsi lebih tinggi dari hukuman (Pty = Penalty) yang didapat dengan kemungkinan (Prob = Probability) tertangkapnya yang kecil.

5. Vroom Theory

Menurut teori Vroom, terdapat hubungan antara kinerja seseorang dengan kemampuan dan motivasi yang dimiliki sebagaimana tertulis dalam fungsi, sebagai berikut:

P = f (A, M) P = Performance A = Ability M = Motivation

Kinerja (performance) seseorang merupakan fungsi dari kemampuannya (ability) dan motivasi (motivation). Kemampuan seseorang ditunjukkan dengan tingkat keahlian (skill) dan tingkat pendidikan (knowledge) yang dimilikinya. Tingkat motivasi dengan skill dan knowledge yang lebih tinggi akan menghasilkan kinerja yang lebih baik, dengan asumsi variabel M (motivation) adalah tetap.

Vroom merumuskan fungsi tentang motivasi, sebagai berikut:

M = f (E, V)

M = Motivation E = Expectation V = Valance/Value

Motivasi seseorang akan dipengaruhi oleh harapan (expectation) orang yang bersangkutan dan nilai (value) yang terkandung dalam setiap pribadi seseorang.156

6. Klitgaard Theory

Teori Klitgaard memformulasikan terjadinya tindak pidana korupsi dengan rumusan model matematis, sebagai berikut:

C = M + D - A

C = Corruption

M = Monopoly of Power D = Discretion by Official A = Accountability

Menurut Klitgaard, monopoli kekuatan oleh pimpinan (monopoly of power) ditambah dengan besarnya kekuasaan yang dimiliki (discretion of official) tanpa adanya pengawasan yang memadai (minus accountability), menyebabkan dorongan melakukan tindak pidana korupsi. Tindak pidana korupsi terjadi karena adanya monopoli atas kekuasaan dan diskresi (hak untuk melakukan

156 Bambang Waluyo, Optimalisasi Pemberantasan Korupsi di Indonesia. Jurnal Yuridis, Volume 1 No.2, 2014, halaman 174175.

penyimpangan pada suatu kebijakan), tetapi dalam kondisi tidak adanya akuntabilitas.157

Rumusan korupsi tersebut memiliki persamaan dengan ungkapan Lord Acton,

“Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely”, bahwa kekuasaan cenderung untuk korupsi dan kekuasaan yang absolut cenderung korupsi absolut158, namun hukum tanpa kekuasaan adalah angan-angan, sedangkan kekuasaan tanpa hukum adalah anarki.159 Akibat faktor penyebab terjadinya tindak pidana korupsi tersebut menimbulkan penderitaan terhadap korban tindak pidana korupsi yang dikategorikan kedalam bentuk :

Tabel 2 : Bentuk korban dalam tindak pidana korupsi

157 Rohim, Modus Operandi Tindak Pidana Korupsi, Depok : Pena Multi Media, 2008, Halaman 2.

158 Ermansjah Djaja, Op. Cit., halaman 28

159 Romli Atmasasmita, Pemikiran Romli Atmasasmita tentang Pemberantasan Korupsi di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2016. Halaman 102.

Korban Tindak Pidana Korupsi

Korban Tidak Langsung Korban Langsung

Negara

Badan Hukum/

Korporasi

Individu

Berdasarkan tabel diatas dijelaskan bahwa korban dalam tindak pidana korupsi dibagi dalam 2 (dua) bentuk yaitu :

1. Korban Langsung (direct victim)

Korban langsung (direct victim) adalah korban yang secara langsung mengalami dan merasakan penderitaan yang disebabkan oleh adanya penyalahgunaan kekuasaan (tindak pidana korupsi). Kategori korban langsung dalam tindak pidana korupsi yang menyebabkan penderitaan bagi korban adalah Negara. Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyatakan bahwa yang termasuk dalam tindak pidana korupsi sebagai berikut:160

a. Secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan Negara atau perekonomian Negara. (Pasal 2)

b. Dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan Negara atau perekonomian Negara. (Pasal 3)

c. Memberi hadiah atau janji kepada Pegawai Negeri mengingat kekuasaan atau wewenangnya yang melekat pada jabatan atau kedudukannya, oleh

160 https://syarifblackdolphin.wordpress.com/2010/03/16/korupsi-sebagai-salah-satu-kejahatan-luar-biasa-extra-ordinary-crime/, diakses pada tanggal 20 Agustus 2019.

pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan tersebut. (Pasal 13).

Berdasarkan rumusan-rumusan diatas, maka tindak pidana korupsi merupakan suatu perbuatan melawan hukum yang bertujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain, perusahaan dan menyalahgunakan wewenang, kesempatan atau sarana yang melekat pada jabatan yang merugikan keuangan Negara. Dalam tindak pidana korupsi yang menjadi dan harus dibuktikan dalam proses peradilan adalah adanya kerugian Negara atau perekonomian Negara, sebagaimana terlihat dalam Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dengan demikian yang menjadi korban secara langsung dalam tindak pidana korupsi adalah Negara, dalam hal ini keuangan Negara yang berarti seluruh kekayaan Negara dalam bentuk apapun baik yang dipisahkan atau yang tidak dipisahkan.

2. Korban Tidak Langsung (indirect victim)

Korban tidak langsung (indirect victim) adalah mereka yang meskipun tidak secara langsung menjadi sasaran perbuatan pelaku, tetapi juga mengalami penderitaan atau nestapa.161 Korban tidak langsung dalam tindak pidana korupsi adalah badan hukum/korporasi dan individu.

161 Widiartana, Victimologi Persfektif Korban dalam Penanggulangan Kejahatan, Yogyakarta: Universitas Atmajaya, 2009, halaman 22.

Tindak pidana korupsi selain merugikan negara, juga dapat menimbulkan kerugian bagi korban tidak langsung (masyarakat baik perorangan maupun badan hukum), misalnya: 162

1. Pembangunan gedung bertingkat pada areal pemukiman warga masyarakat yang tidak sesuai dengan konstruksi bangunan (dalam pelaksanaannya terjadi tindak pidana korupsi). Apabila bangunan gedung tersebut rubuh dan menimpa beberapa rumah penduduk di sekitar bangunan dimaksud sehingga rusak, maka warga masyarakat yang menjadi korban dan menderita kerugian akibat kejadian itu tersebut wajar untuk memperoleh kompensasi atas kerusakan rumahnya.

2. Pembangunan sebuah jembatan di atas sungai yang menjadi saluran irigasi ke areal persawahan penduduk di sebuah desa, ternyata dalam pelaksanaannya jembatan tersebut dibangun tidak sesuai dengan konstruksi bangunan yang ditentukan (terjadi tindak pidana korupsi). Apabila bangunan jembatan tersebut ambruk dan mengakibatkan aliran air sungai ke areal persawahan penduduk terhambat dan mengakibatkan tanaman padi di areal persawahan tidak tumbuh dengan baik, maka warga masyarakat yang menderita kerugian akibat terputusnya aliran sungai dimaksud layak untuk mendapatkan kompensasi.

162 Manumpak Pane, Makalah : Implementasi Pemberian Kompensasi Bagi Pihak Yang Menderita Kerugian Akibat Tindak Pidana Korupsi, dibuat dalam Laporan Akhir Tim Pengkajian Tentang Kompensasi Bagi Pihak Yang Menderita Kerugian Akibat Tindak Pidana Korupsi oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, tanggal 14 November 2013.

Dalam tindak pidana korupsi, apabila dipahami secara sempit maka pihak yang menderita kerugian adalah Negara, namun perlu diketahui bahwa Negara terbentuk dari beberapa unsur yang jika mengacu kepada “Montevideo Convention on the Rights and Duties of States, 26 Desember 1933 atau

“Konvensi Montevideo 1933” dalam Pasal 1 (Article 1) disebutkan : ”the state as a person of international law should posses the following qualification : (a) a permanent population; (b) a defined territory; (c) government; and (d) capacity to enter into relations with other states;”.163 Boer Mauna menyebutkan unsur-unsur pembentukan Negara adalah unsur-unsur-unsur-unsur konstitutif yaitu (1) penduduk;

(2) wilayah tertentu; (3) Pemerintah; dan (4) Kedaulatan.164

Dari unsur-unsur Negara tersebut maka penduduk atau masyarakat yang tinggal di sebuah wilayah tertentu merupakan representasi bagian dari Negara, sehingga pemahaman kerugian keuangan negara atau perekonomian negara juga dapat dipahami sebagai kerugian bagi hak-hak sosial masyarakat.

Jika dilihat penggelompokan korban menurut Sellin dan Wolfgang yaitu:165 a. Primary Victimization, yaitu korban berupa individu atau perorangan (bukan

kelompok),

b. Secondary Victimization, yaitu korban kelompok, misalnya badan hukum,

163 Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Laporan Akhir Tim Pengkajian Tentang Kompensasi Bagi Pihak Yang Menderita Kerugian Akibat Tindak Pidana Korupsi, tanggal 14 November 2013, halaman 141. Lihat Parry and Grant, Encyclopedic Dictionary of International Law, (New York: Oceanna Publications, 1986), Halaman 375.

164 Boer Mauna, Hukum Internasional: Pengertian, Peranan dan Fungsi Dalam Era Global, Bandung: Alumni, 2001, halaman 17.

165 Rena Yulia, Op. Cit., halaman 54.

c. Tertiary Victimization, yaitu korban masyarakat luas.

d. No Victimization, yaitu korban yang tidak dapat diketahui.

Maka yang termasuk dalam penggelompokkan korban terhadap tindak pidana korupsi adalah Tertiary Victimization, yaitu korban masyarakat luas, namun terbatas terhadap akibat atau dampak yang dialami secara langsung, sehingga syarat untuk dapat dikatakan sebagai korban tindak pidana korupsi setidaknya harus memenuhi :166

a. Penduduk dari Negara tempat terjadinya tindak pidana korupsi

Berdasarkan pemahaman mengenai unsur-unsur negara maka penduduk merupakan bagian tidak terpisahkan dari sebuah negara, penduduk dapat merupakan WNI ataupun WNA, sehingga selama pihak korban dapat menunjukan bahwa dirinya merupakan penduduk Indonesia maka mereka memiliki hak untuk menuntut.

b. Menempati atau bermukim pada wilayah yang terkena dampak atau akibat secara langsung dari tindak pidana korupsi.

Menempati atau bermukim pada sebuah wilayah menjadi syarat yang dapat mengklasifikasi korban berdasarkan luasan dampak dari tindak pidana korupsi, walaupun secara umum diketahui bahwa korupsi memiliki dampak yang luas dan umum, tetapi didalam hak menuntut perlu adanya pembatasan

166 Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Op. Cit., halaman 142-143.

pihak korban, sehingga korban yang dimaksud adalah yang korban yang memiliki kerugian secara langsung akibat dari tindak pidana

korupsi. Dari batasan wilayah ini maka syarat yang diperlukan adalah KTP atau visa atau keterangan yang dapat menjelaskan bahwa orang tersebut bermukim diwilayah itu.

c. Mengalami kerugian nyata yang dapat diperhitungkan

Kerugian nyata dan dapat diperhitungkan akan memberi bentuk kompensasi yang tepat bagi korban. Kerugian nyata ini akan berwujud konkrit dan akan membedakan penuntutan secara immateriil atau moral belaka. Namun tentu akan berdampak pada sulitnya menghitung kerugian tersebut, namun hal ini juga akan memperjelas seberapa besar kompensasi yang akan diberikan.

d. Bukan pelaku atau turut serta dalam perbuatan korupsi terkait

Bahwa korban bukan merupakan pelaku atau terkait di dalam perbuatan korupsi yang dituntut, perlunya penekanan bahwa korban bukanlah pelaku karena terdapat kemungkinan korupsi itu tidak bergerak sendiri melainkan terstruktur dan sistematik, sehingga apabila korban merupakan pelaku menjadi tidak relevan untuk membicarakan pemenuhan hak-hak kompensasinya.

Ditinjau dari perspektif viktimologi bahwa norma hukum positif (Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi) belum mengakomodisir hak-hak korban (masyarakat) secara langsung dan konkrit. Mengingat bentuk pertanggungjawaban pelaku tindak pidana korupsi hanya sebatas menjalani pidana dan pengembalian

kerugian keuangan negara, tentunya belum mampu mengurangi penderitaan masyarakat secara langsung. Dengan demikian, perlu adanya kebijakan yang dapat mengurangi penderitaan korban. Dalam perspektif viktimologi kebijakan dimaksud dapat berupa restitusi dan/atau kompensasi.167

Realita kasus dapat dilihat dalam korupsi proyek peningkatan jalan Kemiri-Depapre di Kabupaten Jayapura tahun anggaran 2015 yang menjerat Kepala Dinas Pekerjaan Umum (Kadis PU) Papua, Maikel Kambuaya. Dalam kasus tersebut diduga telah merugikan keuangan negara sebesar Rp 40.900.000.000,- (empat puluh milyar Sembilan ratus juta rupiah) dari total nilai proyek Rp 90.000.000.000,- (sembilan puluh miliar rupiah). Proyek peningkatan jalan tersebut dapat mepermudah mobilitas masyarakat, bukan hanya perpindahan masyarakat dari satu tempat ke tempat lain tetapi juga hasil panen atau mobilisasi lain, sehingga apabila jalan tersebut dibangun dengan baik, masyarakat bisa lebih mudah melakukan kegiatan ekonomi. Sehingga disini yang terkena dampak terjadinya tidak pidana korupsi bukan hanya Negara tetapi masyarakat juga menjadi korban atas perbuatan korupsi tersebut.

Berdasarkan hal tersebut di atas, tindak pidana korupsi terjadi secara meluas, tidak hanya merugikan keuangan Negara, tetapi juga telah melakukan pelanggaran

Berdasarkan hal tersebut di atas, tindak pidana korupsi terjadi secara meluas, tidak hanya merugikan keuangan Negara, tetapi juga telah melakukan pelanggaran