• Tidak ada hasil yang ditemukan

Berdasarkan pemeriksaan judul dari disertasi yang ada di perpustakaan Universitas Sumatera Utara khususnya di Program Doktor Ilmu Hukum maupun dilakukan penelusuran di situs-situs resmi Perguruan Negeri lainya, penelitian tentang

“Perlindungan Hukum Terhadap Korban Tidak Langsung (Indirect Victim) Atas Putusan Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia” ini memiliki keaslian dan tidak dilakukan plagiat dari penelitian lain. Beberapa judul penelitian yang berkaitan dengan penelitian disertasi ini yaitu:

1. Japansen Sinaga, Disertasi : Kebijakan Penegakan Hukum Dalam Tindak Pidana Korupsi Berdasarkan Pendekatan Non Penal Dalam Rangka Perlindungan Hukum Terhadap Korban, Medan : Universitas Sumatera Utara, 2016. Adapun permasalahan dalam disertasi ini adalah :

1. Bagaimana pengaturan hukum yang mengatur tentang kebijakan kriminal dalam penanggulangan korupsi secara non penal dan implementasinya.?

2. Bagaimana implementasi kebijakan penegakan hukum terhadap penanggulangan tindak pidana korupsi dalam memberikan perlindungan hukum terhadap korban?

3. Bagaimana kebijakan penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi berdasarkan pendekatan non penal dalam rangka perlindungan hukum terhadap korban?

Adapun hasil dari penelitian ini adalah Pengaturan tentang kebijakan kriminal penanggulangan tindak pidana korupsi berdasarkan pendekatan non penal dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dapat dilihat dari kebijakan substantif tentang perampasan aset, pencabutan hak-hak tertentu, pembayaran uang pengganti, penghentian kegiatan sementara atau pencabutan izin operasional suatu perusahaan. Kebijakan substantif di Pasal 17, Pasal 18 ayat (1), Pasal 19 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ditujukan kepada orangnya (in personam), bukan kepada asetnya sekaligus merupakan karakter criminal forfeiture. Penggunaan gugatan perdata sebagaimana dalam Pasal 32, Pasal 33, Pasal 34, dan Pasal 38 C Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ditujukan kepada asetnya juga termasuk bagian dari criminal forfeiture, bukan termasuk civil forfeiture, melainkan civil procedure sebab diajukannya gugatan perdata dengan syarat menunggu terlebih dahulu berjalannya proses tuntutan pidananya dan tidak boleh menyita aset/harta melebihi dari yang dirugikan. Implementasi kebijakan penegakan hukum terhadap penanggulangan tindak pidana korupsi dalam memberikan perlindungan

hukum terhadap korban (Negara dan masyarakat) belum mampu menimbulkan efek penjeraan (deterrence effect) bagi pelaku dan masyarakat serta tidak maksimal melindungi hak-hak korban karena orientasi penghukuman masih mengarah pada penderitaan fisik/badan di samping denda dan ganti rugi, tidak menyita semua aset/harta yang tercemar/ternodai kejahatan. Upaya kebijakan penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi secara non penal dalam rangka perlindungan hukum terhadap korban dapat dilakukan melalui penggunaan civil forfeiture terutama pada aspek NCB Asset Forfeiture untuk memulihkan aset-aset yang tercemar/ternodai kejahatan dengan menggunakan jalur perdata khusus melalui penetapan hakim pengadilan. NCB Asset Forfeiture lebih memberikan jaminan perlindungan hukum terhadap korban karena berorientasi pada upaya perbaikan atau pemulihan hak-hak perdata korban daripada penjatuhan pidana penjara, denda, dan ganti rugi. Upaya non penal terbentuk dari berbagai jalur baik jalur pidana, perdata, maupun administrasi. NCB Asset Forfeiture menegaskan kejahatan korupsi benar-benar extra ordinary crime sehingga argumentasi penggunaannya pun mutlak demi melindungi hak asasi korban seluruh warga negara daripada melindungi hak asasi koruptor.

2. Hidayat, Tesis: Analisis Hukum Perlindungan Korban Dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi Di Kabupaten Aceh Timur, Medan : Universitas Medan Area, 2016. Adapun permasalahan dalan tesis ini adalah:

1. Bagaimana pengaturan hukum tentang perlindungan terhadap korban tindak pidana korupsi?

2. Bagaimana faktor penyebab terjadi korban dalam tindak pidana korupsi di Kabupaten Aceh Timur?

3. Bagaimana Penerapan hukum oleh hakim terhadap perlndungan korban tindak pidana korupsi dalam Putusan Nomor 56/Pid.B/2008/PN.IDI?

Adapun hasil dari penelitian adalah Pengaturan hukum tentang perlindungan terhadap korban tindak pidana korupsi diatur di dalam UndangUndang Nomor 20 tahun 2001 Mengubah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Tetapi di dalam undang-undang ini tidak diatur mengenai perlindungan korban. Sedangkan Faktor penyebab terjadi korban dalam tindak pidana korupsi yaitu Faktor Aparat Penegak Hukum, dimana penegakan hukum dalam tindak pidana korupsi memang harus dilakukan dengan serius, mengingat tindak pidana korupsi di Indonesia merupakan kategori kejahatan luar biasa (extra ordinary crime).

Dalam penegakan hukum pemberantasan korupsi sering juga dipaksakan.

Misalnya penyidik Polri atau Kejaksaan melakukan penyidikan tindak pidana korupsi dan memaksakan perkara tersebut untuk dimajukan ke persidangan, walaupun bukti-bukti tidak kuat. Sehingga terdakwa yang juga merupakan korban menjadi kehilangan haknya. Faktor Kewenangan Penegakan Hukum, dimana Penegakan hukum dalam pemberantasan korupsi terus dilakukan oleh penegak hukum. Tetapi terkadang kewenangan penegakan hukum tidak dipahami oleh beberapa penegak hukum, yang pada akhirnya tersangka atau terdakwa kehilangan haknya. Misal pada kasus Anas Urbaningrum yang ditetapkan

tersangka oleh KPK. Padahal bukti hanya mobil Harier bekas dengan harga Rp.

500.000.000,- (lima ratus juta rupiah). Apabila dilihat dari kewenangan KPK yang menyatakan bahwa kasus yang diangani KPK adalah kerugian negara diatas 1 milyar. Jadi seharusnya KPK tidak menangani kasus Anas Urbaningrum. Serta Penerapan hukum terhadap perlindungan korban tindak pidana korupsi. Putusan yang dikeluarkan Majelis Hakim yang menjatuhkan pidana penjara selama 4 (empat) tahun dan denda sebesar Rp. 200.000.000,- (dua ratus jutas rupiah) dan membayar uang pengganti sebesar Rp. 476.000.000,- (empat ratus tujuh puluh enam juta rupiah) adalah tidak tepat. Mengingat dalam fakta hukum yang ada, dalam persidangan tidak ada menerangkan tentang kerugian negara, sebagaimana biasanya diterangkan melalui audit BPK atau BPKP. Apalagi keterangan saksi-saksi tidak ada yang bisa menunjukkan bukti penyerahan uang kepada terdakwa atau bukti lainnya yang dapat mendukung.

Berdasarkan beberapa karya ilmiah yang diuraikan di atas secara umum pokok bahasannya hampir bersamaan yaitu berkaitan dengan perlindungan korban Dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi. Namun pada penulisan disertasi ini penulis lebih menitikberatkan mengenai perlindungan korban tidak langsung (indirect victim) dalam tindak pidana korupsi, serta didalam rumusan permasalahan juga terdapat banyak perbedaan.

F. Kerangka Teori dan Kerangka Konsep