PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KORBAN TIDAK LANGSUNG (INDIRECT VICTIM) ATAS PUTUSAN
PENGADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA
DISERTASI
Untuk Memperoleh Gelar Doktor Dalam Bidang Ilmu Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Di Bawah Pimpinan Rektor Universitas Sumatera Utara
Prof. Dr. Runtung, S.H., M.Hum.
Untuk Dipertahankan di Hadapan Sidang Terbuka Senat Universitas Sumatera Utara
OLEH WESSY TRISNA 128101019 / S3 - HK
PROGRAM STUDI DOKTOR ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
2020
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KORBAN TIDAK LANGSUNG (INDIRECT VICTIM) ATAS PUTUSAN
PENGADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA
DISERTASI
Untuk Memperoleh Gelar Doktor Dalam Bidang Ilmu Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Di Bawah Pimpinan Rektor Universitas Sumatera Utara
Prof. Dr. Runtung, S.H., M.Hum.
Untuk Dipertahankan di Hadapan Sidang Terbuka Senat Universitas Sumatera Utara
OLEH WESSY TRISNA 128101019 / S3 - HK
PROGRAM STUDI DOKTOR ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
2020
ABSTRAK
Perlindungan hukum korban kejahatan sebagai bagian dari perlindungan kepada masyarakat, dapat diwujudkan dalam berbagai bentuk seperti melalui pemberian restitusi dan kompensasi, pelayanan medis dan bantuan hukum.
Perlindungan korban secara tidak langsung dapat berupa perlindungan terhadap hak- hak korban yang turut menjadi korban dalam tindak pidana. Hal ini dapat dilihat terkait dengan tindak pidana korupsi dimana korban dalam perkara tindak pidana korupsi dibagi atas 2 (dua) yaitu: korban langsung (Negara) dan korban tidak langsung. Korban tidak langsung tersebut meliputi individu dan badan hukum/korporasi. Adapun yang menjadi permasalahan dalam disertasi ini adalah bagaimana bentuk perlindungan hukum secara konkrit terhadap korban pihak ketiga dalam tindak pidana korupsi, bagaimana kedudukan hukum korban tidak langsung dalam tindak pidana korupsi dan bagaimana pertimbangan hakim terhadap perlindungan hukum bagi korban tidak langsung (indirect victim) atas putusan tindak pidana korupsi di Indonesia.
Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum normatif dengan pendekatan Perundang-undangan, pendekatan kasus dan pendekatan konseptual. Pengumpulan data dilakukan melalui studi kepustakaan dan studi lapangan. Analisis data yang digunakan adalah analisis kualitatif.
Bentuk perlindungan hukum secara konkrit terhadap korban pihak ketiga dalam tindak pidana korupsi adalah restitusi dan kompensasi. Restitusi merupakan bentuk perlindungan hukum secara materil yang berorientasi pada pemulihan korban, dimana pelaku melalui pertanggungjawaban pidananya mengganti kerugian korban, sedangkan kompensasi adalah ganti kerugian yang diberikan oleh negara karena pelaku tidak mampu memberikan ganti kerugian sepenuhnya yang menjadi tanggungjawabnya. Kompensasi kerugian akibat tindak pidana korupsi diatur di dalam Pasal 35 UNCAC yang maksudnya bahwa Negara harus mengambil tindakan yang dianggap perlu untuk memberikan kewenangan ke pengadilan untuk memerintahkan orang-orang yang melakukan kejahatan tindak pidana korupsi untuk membayar kompensasi atau ganti rugi kepada pihak lain yang telah dirugikan oleh kejahatan tersebut; Kedudukan hukum korban dalam kasus tindak pidana korupsi dapat dilihat dari Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, Declaration of Basic Principles Of Justice For Victims Of Crime And Abuse Of Power dan United Nations Convention Against Corruption (UNCAC). Sedangkan Pertimbangan hakim terhadap perlindungan hukum bagi korban tidak langsung (isndirect victim) atas tindak pidana korupsi di Indonesia dibagi menjadi 2 kategori yaitu pertimbangan yuridis dan pertimbangan non yuridis. Dalam putusan tindak pidana korupsi terhadap upaya perlindungan korban tidak langsung, hakim lebih memberikan pertimbangan berdasarkan fakta- fakta yuridis yang terungkap dalam persidangan dimana korban merasa dirugikan atas putusan tersebut.
Kata Kunci : Perlindungan Hukum, Korban Tidak Langsung, Putusan Tindak PIdana Korupsi.
ABSTRACT
The Legal protections for the crime of victims as the part of protections for the society, could be created in all sort of shapes such as giving repayment and compensation, medical service and legal aid. The indirect victim‟s protections could be as a protection for their right that included to be victims in the criminal actions.
This could be seen concerning to the corruption criminal actions where the victims in the corruption criminal actions are divided into two classifications, they are, direct victims (State) and indirect victims (individuals and corporations). The polemics to be prescribe in this dissertation are how is the concreted legal protections for the victims as the third party in the corruption criminal actions, how is the indirect victim legal positions in the corruption legal protections and how are the Judges considerations to the legal protections for the indirect victims on the judges‟ verdicts over the corruption criminal actions in Indonesia.
This is a legal normative research with Legislations approaches, cases approaches and conceptual approaches. Collecting data is being done by library studying and field study. Data analysis is used qualitative analysis.
The concreted legal protection model against the victims of the third party in the corruption criminal actions are repayment and compensation. Repayment is the legal protection as material protection that oriented to restore the victims, where the corruptors through their criminal responsibilities compensate the victims‟ harms, while the compensation is a substitute for the victim‟s harms by the State because the corruptors cannot give the compensations fully that become their responsibilities.
Compensations by the corruption criminal actions are ruled on the Article 35 UNCAC that means the State must take an action considered necessarily to delegate the authorities to the courts to order the perpetrators who commit the corruption of criminal actions to compensate the compensations against the other parties that has been inflicted by the crime. The legal position of victims in the case of corruption criminal actions are able to be seen from the Criminal Code (KUHAP), The Declaration of Basic principles of justice For Victims of Crime and Abuse of Power and United Nations Convention Against Corruption (UNCAC). While the Judges‟
considerations against the legal protections for the indirect victims over the corruption criminal actions in Indonesia are divided into two categories, juridical consideration and non juridical consideration. In the verdicts of corruption criminal actions against the effort protections of indirect victims, the judges do more considerations based on the juridical facts that are described on the court sessions where the victims feel harm over those verdicts.
Key Words : The Legal Protections, The Indirect Victims, Verdicts of Corruption Criminal Actions
KATA PENGANTAR Bismillahirrahmanirrahim
Assalamu‟alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan yang tiada henti-hentinya akan kehadirat Allah SWT karena atas rahmat dan hidayahnya yang telah memberikan kesempatan penulis untuk dapat menyelesaikan penelitian Disertasi ini, yang merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor dalam bidang Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum di Universitas Sumatera Utara.
Shalawat dan salam tak lupa penulis panjatkan kepada junjungan Nabi Muhammad SAW yang telah memberikan jalan dan menuntut jalan dari yang gelap hingga menuju jalan yang terang yang disinari oleh imam dan islam. Adapun Disertasi ini berjudul : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Tidak Langsung (Indirect Victim) Atas Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia.
Untuk itu pada kesempatan ini izinkan saya selaku penulis menyampaikan rasa hormat dan terima kasih yang tidak terhingga kepada bapak Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH. MS. selaku Promotor, yang telah banyak memberikan arahan, masukan dan perhatian kepada penulis serta ucapan terima kasih penulis juga sampaikan dengan rasa hormat dan terima kasih kepada bapak Prof. Dr. Syafruddin Kalo, SH.
M.Hum. dan bapak Dr. Hamdan, SH. M.Hum. masing-masing selaku Co-Promotor, yang banyak juga memberikan perhatian, masukan dan arahan kepada penulis untuk menyusun disertasi ini.
Selanjutnya ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak Prof.
Dr. Suhaidi, SH. MHum., Bapak Prof. Dr. Tan Kamello, SH. MHum., dan Bapak Prof. Dr. Ismansyah, SH. MHum., bertindak selaku penguji yang telah banyak memberikan nasehat, motivasi, kritikan maupun saran-saran untuk penyempurnaan disertasi ini.
Penulis juga sadar bahwa masih adanya keterbatasan dalam pengerjaan Disertasi ini. Selama penyusunan Disertasi ini, penulis mendapatkan banyak dukungan, semangat, saran, motivasi dan doa dari berbagai pihak. Untuk itu, pada kesempatan ini penulis juga mengucapkan terima kasih kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH. MHum., selaku Rektor Universitas Sumatera Utara yang selalu memberikan semangat kepada penulis untuk menyelesaikan pendidikan program doctor (S3) di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH. M.Hum., beserta seluruh Pembantu Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
3. Ibu Prof. Dr. Sunarmi, SH. MHum., selaku kedua Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara dan Bapak Dr. Muhammad Ekaputra, SH. M.Hum selaku Sekretaris Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah banyak membantu dan memberikan dukungan moral kepada penulis selama mengikuti pendidikan Program Doktor ini, sehingga akhirnya penulis dapat menyelesaikan Disertasi ini.
4. Seluruh Guru Besar dan Dosen Program Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan ilmu dan membuka cakrawala penulis untuk membuat disertasi.
5. Seluruh Pegawai Tata Usaha dan Security di lingkungan Program Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
6. Orang tua tercinta Prof. Dr. Ediwarman, SH. M.Hum dan Hj. Jasmi Rivai, SH.
Yang telah banyak memberikan bimbingan, motivasi, dorongan dan doa, kepada penulis untuk tetap bersemangat menyelesaikan pendidikan Program Doktor Ilmu Hukum di Univeristas Sumatera Utara.
7. Selain itu penulis tidak lupa mengucapkan terima kasih kepada Saudara-saudara penulis yaitu dr. Raufen Risyamdani, M.Kes., Serli Dwi Warmi, SH. M.Kn., dan Ahmad Fadli, SH. MH., Indah Pratiwi, SE., Aldi Subhan Lubis, SH. MKn., Amelia Sirait, SH. yang banyak mendorong serta memberikan inspirasi untuk terus maju yang kadang kala menanyakan kapan selesai kuliahnya. Semua ini semakin mendorong penulis untuk tetap semangat menyelesaikan pendidikan Program Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum di Universitas Sumatera Utara.
8. Terima kasih tidak terhingga penulis sampaikan kepada Keluarga Besar Yayasan Pendidikan Haji Agus Salim, Bapak Drs. M. Erwin Siregar, M.B.A dan Bapak Dr. H. M. Akbar Siregar, MSi. yang telah banyak membantu penulis dalam segala bentuk baik dalam bentuk materiil maupun in materiil, motivasi, semangat dan dorongan sehingga penulis dapat menyelesaikan disertasi ini.
9. Bapak Prof. Dr. Dadan Ramdan, M.Eng, M.Sc, Selaku Rektor Universitas Medan Area, beserta seluruh Wakil Rektor Universitas Medan Area.
10. Dr. Rizkan Zulyadi, SH. MH., Selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Medan Area, beserta seluruh Wakil Dekan Fakultas Hukum Universitas Medan serta seluruh Dosen Fakultas Hukum Universitas Medan Area yang tidak pernah lelah menanyakan kapan Penulis dapat menyelesaikan Program Doktornya di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
11. Penulis juga ucapkan terima kasih kepada abangda Ridho Mubarak, SH. MH, yang selalu menemani penulis selama penelitian dan menyemangati penulis disaat penulis sedang terpuruk dan kepada Apryan, SH. MH., Mahalia Nola Pohan, SH. MKn, Nita Nilam Pulungan, SH. MKn, Revi Putra Mina, SH. MH, Immanuel, SH. MH, M. Yusril Mahendra serta Anggi Nasution yang selalu menemani penulis, menghibur serta membantu penulis dalam segala hal.
12. Teman-teman seperjuangan di lingkungan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Syarifah Lisa, SH. MHum., Faradilla Yulistari Sitepu, SH. MH, Dr.
Marianne Magda Ketaren SH.,M.Kn, Tri Murti Lubis, SH. MH dan Dr. Detania Sukarja, S.H., L.L.M yang telah banyak membantu, selalu setia mendampingi dan memberikan semangat serta motivasi kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan disertasi ini, serta tidak lupa juga penulis ucapkan kepada Finna Nazran, SH. M.Kn. yang juga ikut membantu dalam segala hal dan selalu memberikan semangat hingga penulis dapat menyelesaikan disertasi ini.
13. Para Mahasiswa Himadana (Himpunan Mahasiswa Pidana) UMA yang selalu memberikan semangat dan motivasi kepada penulis.
Penulis menyadari bahwa Disertasi ini masih jauh dari kesempurnaan, masih banyak kekurangan dan masih banyak yang perlu diperbaiki dan disempurnakan baik tentang subtantifnya maupun cara penulisannya dan salah pengetikan. Dengan segala kerendahan hati peneliti dengan senang hati menerima kritik dan saran guna membantu perbaikan dan penyempurnaan disertasi ini. Semoga penelitia ini dapat menambahkan perbendaharaan pengetahuan ilmu hukum khususnya dibidang hukum pidana dalam tindak pidana korupsi. Atas segala kesalahan dan kekurangannya penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya. Atas perhatiannya saya ucapkan terima kasih.
Wassalamu‟alaikum Wr. Wb.
Medan, Januari 2020
Wessy Trisna
DAFTAR ISI
ABSTRAK ………. i
ABSTRACT……….. ii
KATA PENGANTAR………. iii
DAFTAR ISI... viii
DAFTAR GRAFIK………. xi
DAFTAR TABEL………... xii
DAFTAR GAMBAR………... xiii
BAB I PENDAHULUAN... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Perumusan Masalah... 45
C. Tujuan Penelitian ... 46
D. Kegunaan Penelitian ... 46
E. Keaslian Penelitian ... 47
F. Kerangka Teori dan Konsepsi ... 52
a. Kerangka Teori ... 52
b. Kerangka Konsepsi ... 77
G. Metode Penelitian... 80
1. Spesifikasi Penelitian ... 80
2. Metode Pendekatan... 81
3. Alat Pengumpulan Data……….. 82
4. Prosedur Pengambilan dan Pengumpulan Data... 83 5. Analisis Data ... 84 BAB II BENTUK PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP
KORBAN TIDAK LANGSUNG ATAS PUTUSAN
PENGADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI…………..… 85 A. Korban Tidak Langsung Belum Memiliki Arti Yuridis
Yang Jelas………. 85 B. Bentuk – Bentuk Korban Dalam Tindak Pidana Korupsi.. 100 C. Bentuk Perlindungan Hukum Terhadap Korban Tidak
Langsung……….. 120 D. Ganti Kerugian Terhadap Korban Tidak Langsung
Dalam Tindak Pidana Korupsi ...………. 159 BAB III KEDUDUKAN HUKUM KORBAN TIDAK LANGSUNG
DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI………….………… 180 A. Kedudukan Korban Tidak Langsung Dalam Tindak
Pidana Korupsi menurut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana ……….…………..…….. 180 B. Kedudukan Korban Tidak Langsung Dalam Tindak
Pidana Korupsi menurut Undang-Undang Perlindungan
Saksi dan Korban ……….. 201 C. Kedudukan Korban Tidak Langsung Dalam Tindak
Pidana Korupsi menurut Declaration of Basic Principles
Of Justice For Victims Of Crime And Abuse Of Power… 211 D. Kedudukan Korban Tidak Langsung Dalam Tindak
Pidana Korupsi menurut United Nations Convention
Against Corruption………. 220
BAB IV PERTIMBANGAN HAKIM TERHADAP PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KORBAN TIDAK LANGSUNG (INDERECT VICTIM) ATAS PUTUSAN TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA………. 237
A. Terminologi Pertimbangan Hakim………. 237
B. Nilai Keadilan Dalam Putusan Hakim.………. 252
C. Bentuk Pertimbangan Hakim dalam Perlindungan Hukum Bagi Korban Tidak Langsung (Inderect Victim) Atas Putusan Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia……… 264
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN………. 323
A. Kesimpulan………. 323
B. Saran……… 327
Daftar Pustaka ... 329
Curriculum Vitae……….. 349
DAFTAR GRAFIK
GRAFIK 1. Tren Penindakan Kasus Korupsi Selama Tiga Tahun
Dalam Semester Yang Sama………. 12
DAFTAR TABEL
TABEL 1. Pemetaan Korupsi Berdasarkan Modus ………... 13 TABEL 2. Bentuk Korban Dalam Tindak Pidana Korupsi…………. 112
DAFTAR GAMBAR
GAMBAR 1 Bagan Alur Korupsi……… 36
GAMBAR 2 Kerangka Teori……….... 54
GAMBAR 3 Segitiga Kecurangan………. 106
GAMBAR 4 Hierarki Kebutuhan Maslow……….………... 108
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Undang-Undang Dasar 1945 menegaskan bahwa negara Republik Indonesia berdasarkan hukum (rechtstaat1) tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtstaat). Hal ini berarti Indonesia adalah Negara Hukum yang demokratis berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, menjungjung tinggi Hak Asasi Manusia (HAM) dan menjamin semua warganegara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan serta wajib menjunjung hukum dan pemerintahan hukum dengan tidak ada kecualinya. 2
Reformasi tahun 1998 telah membawa dampak yang sangat berarti bagi bangsa Indonesia, diantaranya adalah perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945). Perubahan tersebut tentunya akan membawa dampak yang penting dalam ketatanegaraan Indonesia. Ir. Soekarno menyatakan bahwa Undang-Undang Dasar 1945 merupakan “Revolutie-Grondwet”
1 Rechtstaat yang merupakan sebuah konsep Negara hukum yang berasal dari pemikiran Eropa continental awalnya dipinjam dari hukum Jerman, yang dapat diterjemahkan sebagai "legal state", "state of law", "state of justice", or "state of rights" dimana pelaksanaan kekuasaan pemerintahan yang dibatasi oleh hukum, lihat Friedrich A. Hayek, The Constitution of Liberty, Chicago, USA: University of Chicago Press, 1960, halaman 199. Seperti pendapatnya, Frederich Stahl mengungkapkan setidaknya terdapat 4 unsur dari Rechtstaat, yaitu: Jaminan terhadap Hak Asasi Manusia, Adanya pembagian kekuasaan, Pemerintah berdasarkan Peraturan Perundang-undangan, Adanya Peradilan Administrasi Negara yang berdiri sendiri (independent), lihat Adi Sulistiyono, Negara Hukum: Kekuasaan, Konsep, dan Paradigma Moral, Surakarta : UPT Penerbitan dan Percetakan UNS (UNS Press) , 2008, halaman 32.
2 Evi Hartanti, Tindak Pidana Korupsi, Sinar Grafika, Jakarta, 2005, halaman 1
atau “Undang-Undang Dasar Kilat” yang disusun sekedar untuk memenuhi kebutuhan dalam rangka sesegera mungkin memproklamasikan Indonesia sebagai negara merdeka. Namun demikian, dalam pemberlakuannya terus-menerus dipertahankan oleh para penguasa baik penguasa Orde Lama maupun saat pemerintahan Orde Baru sebagai dokumen hukum dasar yang bersifat sakral dan tak tersentuh oleh ide perubahan3. Salah satu sebabnya ialah karena pokok ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 itu memang sangat menguntungkan pihak yang berkuasa, karena sifatnya yang sangat executive heavy.4
Pada tahun 2012, Indonesia menduduki peringkat ke-118 sebagai negara paling korup dari 182 negara dan Peringkat Indonesia di indeks korupsi pada tahun 2015 yang dikeluarkan Transparency International5 naik dari 114 ke 107. Tapi masih jauh di bawah negara-negara tetangga seperti Filipina, Thailand, Malaysia dan Singapura. Hal ini berarti, kondisi buruk korupsi di Indonesia masih belum banyak
3 Filosofi perubahan dikemukakan oleh Herakleitos yang terkenal lewat kata-katanya Panta rhei kai uden menei, yakni segala keadaan senantiasa berubah, berproses, mengalir, dan tidak satupun yang berada dalam keadaan tetap. Herakleitos meyakini bahwa tiap-tiap benda terdiri atas hal-hal yang saling berlawanan dan bahwa hal-hal yang berlawanan itu tetap mempunyai kesatuan. Ia menyatakan bahwa segala sesuatu merupakan sintesis dari hal-hal yang beroposisi. Ada air ada api, ada panas ada dingin, ada siang ada malam. Menurut Herakleitos tidak ada sesuatu pun yang tetap dan mantap. Lihat, K. Bertens, Sejarah Filsafat Yunani: Dari Thales ke Aristoteles, Yogyakarta: Kanisius, 1975. Halaman 44. Dunia senantiasa dalam kejadian, berproses dan beredar menurut logos yang kekal untuk selama-lamanya. Lihat, Mohammad Hatta, Alam Pikiran Yunani, Jakarta: Tintamas, 1986, halaman 56. Lihat juga, Mohammad Maiwan, Kosmologi Sejarah Dalam Filsafat Sejarah: Aliran, Teori, Dan Perkembangan, Jurnal: Literasi, Volume 3, No. 2, Desember 2013, halaman 162.
4 Jimly Assiddiqie, Telaah Kritis Mengenai Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, Jurnal:
Forum Indonesia Satu “Civility”, Volume 1, No. 2, November 2001, halaman 28-29.
5 Transparency International adalah lembaga internasional dibawah Universitas Goettingen, Jerman yang berkedudukan di Berlin dengan lebih dari 50 cabang di seluruh dunia. Misi utamanya adalah membangun koalisi-koalisi untuk melawan korupsi dalam transaksi bisnis internasional yang melibatkan pemerintah, sector swasta dan lembaga-lembaga pembangunan internasional. Lihat Zulkarnain, Reintegrasi Kebijakan Kriminal Dengan Kebijakan Pendidikan Dini Anti Korupsi Untuk Memberantas Korupsi Di daerah, Simposium Nasional Hukum Pidana Dan Kriminologi Kerjasama Fakultas Hukum UNHAS dan MAHUPIKI, Makassar, tanggal 18-19 Maret 2013, halaman 2.
berubah dari tahun ke tahun. Peningkatan korupsi di Indonesia kini tidak hanya terjadi dari segi kuantitas, namun kualitas korupsi di Indonesia juga semakin meningkat. Maraknya pemberitaan mengenai jual-beli perkara, mafia hukum, mafia peradilan, mafia pajak, dan makelar kasus, mengindikasikan bahwa korupsi telah menjangkiti hukum itu sendiri.6
Korupsi di Indonesia saat ini menjadi semakin sistematis dan terorganisir karena melibatkan para aparat penegak hukum. Hal ini menjadi sangat ironis, sebab aparat penegak hukum yang seharusnya berfungsi menegakkan hukum justru mempermainkan hukum demi keuntungan pribadi dan golongan. Berbicara tentang korupsi sebenarnya bukanlah masalah baru di Indonesia. Bahkan berbagai kalangan menilai bahwa korupsi telah menjadi bagian dari kehidupan, menjadi suatu sistem dan menyatu dengan penyelenggaraan pemerintahan negara. Penanggulangan korupsi dengan menggunakan perangkat perundang-undangan yang ada masih banyak menemui kegagalan. Keadaan demikian akan menggoyahkan demokrasi sebagai sendi utama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, melumpuhkan nilai-nilai keadilan dan kepastian hukum serta semakin jauh dari tujuan tercapainya masyarakat sejahtera. Dengan melihat latar belakang timbulnya korupsi, salah satu faktor yang menyebabkan meningkatnya aktivitas korupsi di beberapa negara disebabkan terjadinya perubahan politik yang sistemik, sehingga tidak saja memperlemah atau menghancurkan lembaga sosial politik, tetapi juga lembaga hukum. Penegakkan
6 Suratno, Perlindungan Hukum Saksi dan Korban Sebagai Whistleblower dan Justice Collaborators Pada Pengungkapan Kasus Korupsi Berbasis Nilai Keadilan, Jurnal: Pembaharuan Hukum Volume IV No. 1, Januari 2017, halaman 130.
hukum terhadap tindak pidana korupsi, kehadiran saksi (termasuk pelapor) sangat diperlukan mengingat sulitnya bagi aparat penegak hukum dalam menyelesaikan suatu tindak pidana yang ditangani apabila tidak adanya kehadiran saksi (termasuk pelapor). Tidak banyak orang yang bersedia mengambil resiko untuk menjadi whistleblower7 dan mengungkapkan fakta suatu tindak pidana korupsi jika dirinya, keluarganya dan harta bendanya tidak mendapat perlindungan dari ancaman yang mungkin timbul karena pengungkapan kasus tersebut. Begitu pula dengan saksi pelaku yang bekerja sama (justice collaborator8), jika tidak mendapat perlindungan yang memadai, akan enggan memberikan keterangan sesuai dengan fakta yang dialami, dilihat, dan dirasakannya sendiri.9
7 Whistleblowers diatur dalam SEMA No. 4 tahun 2011 tentang Pelaku Bagi Pelapor Tindak Pidana (Whistleblowers) Dan Saksi Pelaku Yang Bekerjasama (justice collaborator) Di Dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu, yang diartikan sebagai pelapor tindak pidana. Pelapor tindak pidana yang dimaksud oleh SEMA ini adalah mereka yang mengetahui dan melaporkan tindak pidana tertentu sebagaimana dimaksud dalam SEMA dan bukan merupakan bagian dari pelaku kejahatan yang dilaporkannya. Pelapor tindak pidana (whistleblower) sebagaimana dijelaskan SEMA memiliki dua kapasitas atau peran, yaitu sebagai pelapor yang hanya sebatas melaporkan suatu tindak pidana tertentu dan bisa juga pelapor tersebut tidak hanya sebatas bertugas melaporkan saja, tetapi juga berperan sebagai saksi. Lihat, Lilik Mulyadi, Perlindungan Hukum Terhadap Whistleblower dan Justice Collaborator Dalam Upaya Penanggulangan Organized Crime di Indonesia, Bandung: Alumni, 2015, halaman 56-57.
8 Istilah justice collaborator dapat disebut juga sebagai pembocor rahasia atau peniup pluit yang mau bekerjasama dengan aparat penegak hukum atau participant whistleblower. Si pembocor rahasia haruslah orang yang ada didalam organisasi yang dapat saja terlibat atau tidak terlibat didalam tindak pidana yang dilaporkan itu. Lihat, Firman Wijaya, Whistleblower dan Justice CollaboratorDalam Perspektif Hukum, Jakarta: Penaku, 2012, halaman 11. justice collaborator dalam SEMA No. 4 tahun 2011 tentang Pelaku Bagi Pelapor Tindak Pidana (Whistleblowers) Dan Saksi Pelaku Yang Bekerjasama (justice collaborator) Di Dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu, adalah seseorang yang merupakan salah satu dari pelaku tindak pidana, mengakui kejahatan yang dilakukannya, bukan pelaku utama dalam kejahatan tersebut, serta memberikan keterangan sebagai saksi di dalam proses peradilan yang sangat signifikan sehinggadapat mengungkap tindak pidana dimaksud secara efektif, mengungkap pelaku-pelaku lainnya yang memiliki peran yang lebih besar dan mengembalikan aset-aset/hasil suatu tindak pidana.
9 Suratno, Op. Cit., halaman 131.
Proses pembangunan dapat menimbulkan kemajuan dalam kehidupan masyarakat selain itu dapat juga mengakibatkan perubahan kondisi sosial masyarakat yang memiliki dampak sosial negatif, terutama menyangkut masalah peningkatan tindak pidana yang meresahkan masyarakat, salah satu tindak pidana yang dapat dikatakan cukup fenomenal adalah masalah korupsi. Tindak pidana ini tidak hanya merugikan keuangan negara tetapi juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat. Di berbagai belahan dunia korupsi selalu mendapatkan perhatian yang lebih dibandingkan dengan tindak pidana lainnya.
Fenomena ini dapat dimaklumi mengingat dampak negatif yang ditimbulkan oleh tindak pidana ini langsung menyentuh berbagai bidang kehidupan.
Korupsi merupakan masalah serius yang dapat membahayakan stabilitas dan keamanan masyarakat, membahayakan pembangunan sosial ekonomi, dan juga politik, serta dapat merusak nilai-nilai demokrasi dan moralitas karena lambat laun perbuatan ini seakan menjadi sebuah budaya. Korupsi merupakan ancaman bagi masyarakat adil dan makmur.
Masalah korupsi sebenarnya bukanlah masalah baru di Indonesia karena telah ada sejak era tahun 1950. Bahkan berbagai kalangan menilai korupsi menjadi bahagian dari kehidupan, menjadi suatu sistem dan menyatu dengan penyelenggara pemerintahan negara. Korupsi akhir-akhir ini semakin ramai diperbincangkan baik media cetak, elektronik maupun dalam seminar-seminar, loka karya, diskusi maupun sebagainya. Korupsi telah menjadi masalah serius bagi bangsa Indonesia karena telah merambah keseluruh lini kehidupan masyarakat yang dilakukan secara sistematis,
sehingga memunculkan stigma negatif bagi negara dan bangsa Indonesia dalam pergaulan Internasional. Berbagai cara telah ditempuh dalam pembarantasan korupsi bersamaan dengan semakin canggihnya modus operandi tidak pidana korupsi.10
Selama ini korupsi lebih banyak dimaklumi oleh berbagai pihak daripada memberantasnya, padahal tindak pidana korupsi adalah salah satu jenis kejahatan yang dapat menyentuh berbagai kepentingan yang menyangkut hak asasi, ideologi negara, perekonomian, keuangan negara, moral bangsa, dan sebagainya, yang merupakan perilaku jahat yang cenderung sulit untuk ditanggulangi. Sulitnya penanggulangan tindak pidana korupsi terlihat dari banyak diputusbebasnya terdakwa kasus tindak pidana korupsi atau minimnya pidana yang ditanggung oleh terdakwa yang tidak sebanding dengan apa yang dilakukannya. Hal ini sangat merugikan negara dan menghambat pembangunan bangsa. Jika ini terjadi secara terus-menerus dalam waktu yang lama, dapat meniadakan rasa keadilan dan rasa kepercayaan atas hukum dan peraturan per Undang-Undangan oleh warga negara. Perasaaan tersebut memang telah terlihat semakin lama semakin menipis dan dapat dibuktikan dari banyaknya masyarakat yang ingin melakukan aksi main hakim sendiri kepada pelaku tindak pidana di dalam kehidupan masyarakat dengan mengatasnamakan keadilan yang tidak dapat dicapai dari hukum, peraturan perUndang-undangan, dan juga para penegak hukum di Indonesia.11
10 Chaerudin dkk, Strategi Pencegahan dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi, Bandung : Refika Aditama, 2009, halaman 1
11 Evi Hartanti, Op.Cit.,, halaman 1 -2.
Di berbagai belahan dunia, korupsi selalu mendapatkan perhatian yang lebih dibandingkan dengan tindak pidana lainnya. Fenomena ini dapat dimaklumi mengingat dampak negatif yang ditimbulkan oleh tindak pidana ini. Dampak yang ditimbulkan dapat menyentuh berbagai bidang kehidupan. Korupsi merupakan masalah serius, tindak pidana ini dapat membahayakan stabilitas dan keamanan masyarakat, membahayakan pembangunan sosial ekonomi, dan juga politik, serta dapat merusak nilai-nilai demokrasi dan moralitas karena lambat laun perbuatan ini seakan menjadi budaya. Korupsi merupakan ancaman terhadap cita-cita menuju masyarakat adil dan makmur.12
Menurut perspektif hukum, definisi korupsi di jelaskan dalam 13 buah pasal dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang No 20 Tahun 2001 yang dirumuskan ke dalam 30 (tiga puluh) bentuk/jenis tindak pidana korupsi.13 Pasal-pasal tersebut menerangkan secara terperinci mengenai perbuatan yang bisa dikenakan sanksi pidana karena korupsi. Ketiga puluh bentuk/jenis tindak pidana korupsi tersebut pada dasarnya dapat dikelompokkan sebagai berikut:
1. Kerugian Keuangan Negara (Pasal 2 dan Pasal 3);
12 Dahlan, Distorsi Beban Pembuktian Dalam Tindak Pidana Korupsi Menurut Sistem Pembuktian, Jurnal: Hukum Samudera Keadilan, Volume 10, No. 1, Januari-Juni 2015
13 Adapun 30 (Tiga puluh) bentuk tindak pidana korupsi yang tersebar dalam 13 (tiga belas) pasal yaitu Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 ayat (1) huruf a, Pasal 5 ayat (1) huruf b, Pasal 5 ayat (2), Pasal 6 ayat (1) huruf a, Pasal 6 ayat (1) huruf b, Pasal 6 ayat (2), Pasal 7 ayat (1) huruf a, Pasal 7 ayat (1) huruf b, Pasal 7 ayat (1) huruf c, Pasal 7 ayat (1) huruf d, Pasal 7 ayat (2), Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10 huruf a, Pasal 10 huruf b, Pasal 10 huruf c, Pasal 11, Pasal 12 huruf a, Pasal 12 huruf b, Pasal 12 huruf c, Pasal 12 huruf d, Pasal 12 huruf e, Pasal 12 huruf f, Pasal 12 huruf g, Pasal 12 huruf h, Pasal 12 huruf i, Pasal 12 B jo. Pasal 12 C, dan Pasal 13. Lihat, Komisi Pemberantasan Korupsi, Memahami Untuk Membasmi : Buku Panduan Untuk Memahami Tindak Pidana Korupsi, Jakarta: Komisi Pemberantasan Korupsi, 2006, halaman 19.
2. Suap Menyuap (Pasal 5 ayat (1) huruf a, Pasal 5 ayat (1) huruf b, Pasal 13, Pasal 5 ayat (2), Pasal 12 huruf a, Pasal 12 huruf b, Pasal 11, Pasal 6 ayat (1) huruf a, Pasal 6 ayat (1) huruf b, Pasal 6 ayat (2), Pasal 12 huruf c, Pasal 12 huruf d);
3. Penggelapan dalam jabatan (Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10 huruf a, Pasal 10 huruf b, Pasal 10 huruf c);
4. Pemerasan (Pasal 12 huruf e, Pasal 12 huruf g, Pasal 12 huruf h);
5. Perbuatan curang (Pasal 7 ayat (1) huruf a, Pasal 7 ayat (1) huruf b, Pasal 7 ayat (1) huruf c, Pasal 7 ayat (1) huruf d, Pasal 7 ayat (2), Pasal 12 huruf h);
6. Benturan kepentingan dalam pengadaan (Pasal 12 huruf i);
7. Gratifikasi (Pasal 12 B jo. Pasal 12 C).
Kompleksitas tindak pidana korupsi, tidak saja menuntut pembaharuan metode pembuktiannya, tetapi telah menuntut dibentuknya suatu lembaga baru di dalam upaya pemberantasannya yaitu lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Komisi Pemberantasan Korupsi merupakan lembaga Negara yang dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun. Komisi Pemberantasan Korupsi dibentuk dengan tujuan meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap upaya pemberantasan tindak pidana korupsi.
Berbagai upaya telah dilakukan dalam usaha memberantas tindak pidana korupsi, baik yang bersifat preventif maupun represif14. Bahkan peraturan perundang-undangan korupsi sendiri telah mengalami beberapa kali perubahan, sejak diberlakukannya Peraturan Penguasa Militer Nomor PRT/PM/011/1957 tentang Pemberantasan Korupsi kemudian diganti dengan Peraturan Penguasa Perang Pusat Angkatan Darat Nomor PRT/PEPERPU/013/1958 tentang Pengusutan, Penuntutan, Dan Pemeriksaan Perbuatan Korupsi, Pidana Dan Pemilik Harta Benda dan kemudian keluar Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan, Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi yang menjadi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1961, sebagai konsekuensi bahwa Peraturan Penguasa Perang Pusat tentang pemberantasan korupsi itu bersifat darurat, temporer, yang berlandaskan kepada Undang-Undang Keadaan Bahaya, dicabut karena keadaan
14 Upaya preventif adalah usaha pencegahan korupsi yang diarahkan untuk meminimalkan penyebab dan peluang korupsi. Adapun upaya preventif yang dilakukan untuk mencegah terjadinya korupsi adalah : (1) Pemberlakuan berbagai undang-undang yang mempersempit peluang korupsi, (2) Pembentukan berbagai lembaga yang diperlukan untuk mencegah korupsi, misalnya Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggaraan Negara (KPKPN), (3) Pelaksanaan sistem rekrutmen aparat secara adil dan terbuka, (4) Peningkatan kualitas kerja berbagai lembaga independen masyarakat untuk memantau kinerja para penyelenggara negara, (5) Kampanye untuk menciptakan nilai anti korupsi secara nasional. Dan Upaya Represif adalah usaha yang diarahkan agar setiap perbuatan korupsi yang telah diidentifikasi dapat diproses secara cepat, tepat dengan biaya murah sehingga kepada para pelakunya dapat segera diberikan sanksi sesuai peraturan perundang- undangan yang berlaku. Adapun upaya represif yang dilakukan untuk mencegah terjadinya korupsi adalah (1) Pembentukan Badan/Komisi Anti Korupsi; (2) Penyidikan, penuntutan, peradilan, dan penghukuman koruptor besar (Catch some big fishes); (3)Penentuan jenis-jenis atau kelompok- kelompok korupsi yang diprioritaskan untuk diberantas; (4) Pemberlakuan konsep pembuktian terbalik; (5) Meneliti dan mengevaluasi proses penanganan perkara korupsi dalam sistem peradilan pidana secara terus menerus; (6) Pemberlakuan sistem pemantauan proses penanganan tindak pidana korupsi secara terpadu; (7)Publikasi kasus-kasus tindak pidana korupsi beserta analisisnya; (8)Pengaturan kembali hubungan dan standar kerja antara tugas penyidik tindak pidana korupsi dengan penyidik umum, PPNS dan penuntut umum. Lihat http://www.bpkp.go.id/public/upload/unit/investigasi/files/uppk_layan_masyarakat.pdf, diakses pada tanggal 12 September 2019.
sudah kembali normal.15 Selanjutnya digantikan dengan Undang-Undang nomor 3 tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan kemudian diganti lagi dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang selanjutnya di ubah oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. Selain itu dikeluarkan juga Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK).
Selain beberapa regulasi di atas, juga telah dibentuk berbagai tim atau komisi, seperti Tim Pemberantasan Korupsi (TPK) pada tahun 1967 diketahui oleh jaksa agung Sugiharto, komisi 4 pada tahun 1970 diketuai Wilopo, Komite Anti Korupsi (KAK) Juni-Agustus 1970 diketuai Akbar Tanjung,16 operasi penerbitan (Inpres No.
9 Tahun 1997) beranggotakan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara (Menpan), Panglima Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Pangkobkamtib) dan Jaksa Agung dibantu pejabat di daerah dan Kepala Kepolisian Negara Republik Indoesia (Kapolri), tim pemberantasan korupsi (tahun 1982) diketuai Mahkamah Agung Mudjono, tim gabungan pemberantasan tindak pidana korupsi (Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2000) diketuai Adi Handoyo dan yang terakhir Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN) yang diketui oleh Yusuf Syakir, yang semuanya dimaksud untuk mendukung institusi penegak hukum dalam pemberantasan korupsi.
15 Oce Madril & Hasrul Halili, Pengertian Korupsi dalam Hukum Anti Korupsi, Bandung:
USAID, 2011, halaman 18.
16 Chaerudin dkk, Op.Cit, Halaman 17
Vito Tanzi mengemukakan bahwa korupsi perilaku yang tidak mematuhi prinsip, dilakukan perorangan di sektor swasta atau pejabat publik, keputusan yang dibuat berdasarkan hubungan pribadi atau keluarga akan menimbulkan korupsi termasuk juga konflik kepentingan dan nepotisme. Sedangkan Huntington menyebutkan bahwa korupsi adalah perilaku menyimpang dari public official atau para pegawai dari norma-norma yang diterima dan dianut oleh masyarakat dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan-keuntungan pribadi.17
Data dari Indonesia Corruption Watch (ICW), Indeks Persepsi Korupsi (IPK) tahun 2018 Indonesia menempati posisi ke-89 dari 180 negara. Nilai yang didapatkan oleh Indonesia yakni 38 dengan skala 0-100, semakin rendah nilainya maka semakin korup negaranya, begitu pun sebaliknya. Apabila dibandingkan dengan tahun 2017, Indonesia menempati urutan ke-96 dengan nilai 37. Peningkatan 1 (satu) poin dalam IPK tidak menjadikan penegakan hukum dalam pemberantasan korupsi maksimal meskipun dari segi posisi meningkat. Kondisi ini perlu menjadi bahan evaluasi bagi aparat penegak hukum dalam menyusun strategi pemberantasan korupsi.18 Upaya penegakan hukum dalam kasus tindak pidana korupsi dapat dilihat dalam grafik dibawah ini:
17 Ibid, halaman 2.
18 Indonesia Corruption Watch, Laporan Tren Penindakan Kasus Korupsi Tahun 2018, https://antikorupsi.org/sites/default/files/laporan_tren_penindakan_kasus_korupsi_2018.pdf, diakses pada tanggal 20 Maret 2019.
Grafik 1. Tren Penindakan Kasus Korupsi Selama Tiga Tahun Dalam Semester Yang Sama
Sumber : Indonesia Corruption Watch 2015 s/d 2018
Berdasarkan tabel di atas penindakan kasus korupsi yang dilakukan oleh penegak hukum dilihat dari jumlah kasus korupsi yang disidik yaitu menurun baik dari segi kasus maupun jumlah aktor yang ditetapkan sebagai tersangka. Lain hal dengan kerugian negara yang ditimbulkan dimana dalam 2 (dua) tahun terakhir kerugian negara yang ditimbulkan sangat besar dibandingkan tahun 2015 dan 2016.
Meskipun demikian, ada penurunan yang terjadi dari tahun 2017 ke 2018 terkait kerugian negara.
Kasus dugaan korupsi yang ditangani oleh penegak hukum berdasarkan data diatas selama 4 (empat) tahun sebanyak 392 kasus per tahun. Rata-rata aktor yang
550 482
576
454
1124 1101
1298
1087
3.107
1.450
6.500
5.645
0 1.000 2.000 3.000 4.000 5.000 6.000 7.000
2015 2016 2017 2018
0 250 500 750 1000 1250 1500
Jumlah Kasus Jumlah Tersangka Nilai Kerugian Negara
ditetapkan sebagai tersangka korupsi sebanyak 1.153 orang. Rata-rata kerugian negara yang ditimbulkan akibat korupsi sebesar Rp. 4,17 triliun. Sementara itu apabila dihitung berdasarkan rata-rata per bulan, kasus dugaan korupsi yang ditangani oleh penegak hukum cenderung sedikit. Seluruh penegak hukum hanya mampu menangani 33 kasus dugaan korupsi dengan menetapkan tersangka sebanyak 96 orang tiap bulannya. Artinya secara rata-rata, tiap kasus dugaan korupsi yang ditindak oleh penegak hukum hanya berhasil menangkap 3 (tiga) orang tersangka korupsi . Hal ini menandakan bahwa secara umum kinerja penegak hukum belum maksimal dalam memberantas korupsi apabila dilihat secara kuantitas berdasarkan jumlah penanganan kasus dan aktor yang ditetapkan sebagai tersangka. Sebab tindak pidana korupsi tidak hanya dilakukan oleh segelintir pihak melainkan adanya para pihak yang terlibat, baik aktif maupun pasif dalam merencakanan sebuah kejahatan.19
Berikut hasil pemantauan yang dilakukan oleh ICW sepanjang tahun 2018, yaitu :20
Tabel 1. Pemetaan Korupsi Berdasarkan Modus No Modus Jumlah
Kasus
Nilai Kerugian
Negara
Nilai Suap/Gratifikasi/
Nilai Pungutan Liar
Nilai Pencucian
Uang
1 Mark Up 76 Rp. 541 miliar - -
2 Penyalahgunaan
Anggaran
68 Rp. 455 miliar - -
3 Penggelapan 62 Rp. 441 miliar - -
4 Laporan Fiktif 59 Rp. 160 miliar - -
5 Suap 51 - Rp. 67,9 miliar Rp. 57 miliar
19 Ibid, halaman 5
20 Ibid, halaman 6
6 Kegiatan/Proyek Fiktif
47 Rp. 321 miliar - -
7 Pungutan Liar 43 - Rp. 6,7 miliar -
8 Penyalahgunaan
Wewenang
20 Rp. 3,6 triliun - -
9 Penyunatan/Pem
otongan
16 Rp. 38,2 miliar - -
10 Gratifikasi 7 - Rp. 65,9 miliar Rp. 34 miliar
11 Pemerasan 2 - Rp. 80 juta -
12 Anggaran Ganda 2 Rp. 2,7 miliar - -
13 Mark Down 1 Rp. 1,4 miliar - -
Total 454 Rp. 5,6 triliun Rp. 140, 8 miliar Rp. 91 miliar Sumber : Indonesia Corruption Watch 2018
Berdasarkan modus yang dilakukan di atas ada sebanyak 13 modus yang ICW klaster kerap digunakan oleh tersangka korupsi, Modus yang paling banyak dilakukan oleh tersangka korupsi yakni mark up. Namun modus yang paling besar yang mengakibatkan terjadinya kerugian keuangan negara adalah modus penyalahgunaan wewenang. Walaupun jumlah kasus penyalahgunaan wewenang sebanyak 20 kasus tapi efek kerugian Negara yang ditimbulkan cukup signifikan.
Upaya-upaya yang telah dilakukan nampaknya selama ini belum juga memuaskan masyarakat, karena itu tudingan miring dan sorotan tajam tetap saja diarahkan kepada institusi penegak hukum, meskipun kita tahu bahwa instrumen pidana hanya bersifat simptomatik, mengingat sebagai faktor yang menstimulasi terjadinya tindak pidana korupsi, yang seharusnya turut juga ditanggulangi secara komperhensif.21
Tindak pidana korupsi sudah meluas dalam masyarakat, baik dari jumlah kasus yang terjadi dan jumlah kerugian Negara, maupun dari segi kualitas tindak
21 Chaerudin dkk, Op. Cit., Halaman 18.
pidana yang dilakukan semakin sistematis serta lingkupnya yang memasuki seluruh aspek kehidupan masyarakat. Meningkatnya tindak pidana korupsi yang tidak terkendali akan membawa bencana, tidak saja bagi kehidupan perekonomian nasional, juga pada kehidupan berbangsa dan bernegara. Masyarakat pada umumnya sepakat pelaku tindak pidana korupsi harus dihukum dan diberikan sanksi seberat- beratnya, agar timbulnya efek jera kepada pelaku tindak pidana korupsi, harapan efek jera ini juga ditujukan agar masyarakat secara individu maupun kolektif tidak melakukan tindak pidana korupsi, tapi apakah pemberian sanksi yang seberat- beratnya adalah solusi dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Hakikatnya hukum bukan hanya melihat beratnya sanksi yang diberikan, tapi bagaimana hukuman tersebut dapat memberikan efek jera.
Penjatuhan pidana dalam kasus korupsi di Indonesia dapat dilihat dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Adapun jenis penjatuhan pidana dalam tindak pidana korupsi adalah berupa pidana mati22, pidana penjara23, pidana denda24 dan pidana tambahan25.
22 Dapat dipidana mati karena kepada setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara sebagaimana ditentukan dalam Pasal 2 ayat (1) Undang- undang nomor 31 tahun 1999 jo Undang-undang nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, yang dilakukan dalam keadaan tertentu.
23 Pidana penjara dalam tindak pidana korupsi dapat berupa: a. Pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) bagi setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan Negara atau perkonomian Negara. (Pasal 2 ayat 1); b. Pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan
Sanksi hukuman yang diterapkan dalam tindak pidana korupsi mengenai hukuman mati terdapat didalam Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang ancaman hukuman mati bagi pelaku tindak pidana korupsi sehingga membuktikan bahwa ancaman hukuman bagi pelaku tindak pidana korupsi memang
paling banyak satu Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) bagi setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara (Pasal 3); c. Pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp.150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta) bagi setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di siding pengadilan terhadap tersangka atau terdakwa ataupun para saksi dalam perkara korupsi. (Pasal 21); d. Pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah) bagi setiap orang sebagaimana dimaksud dalam pasal 28, pasal 29, pasal 35, dan pasal 36.
24 Pidana denda dengan ketentuan maksimal ditambah 1/3 (sepertiga). Penjatuhan pidana ini melalui procedural ketentuan pasal 20 ayat (1)-(5) undang-undang 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi adalah sebagai berikut: a. Dalam hal tindak pidana korupsi dilakukan oleh atau atas nama suatu korporasi, maka tuntutan dan penjatuhan pidana dapat dilakukan terhadap korporasi dan/atau pengurusnya; b. Tindak pidana korupsi dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang baik berdasarkan hubungan kerja maupun berdasarkan hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut baik sendiri maupun bersama-sama.; c.
Dalam hal ini tuntutan pidana dilakukan terhadap suatu korporasi maka korporasi tersebut diwakili oleh pengurus, kemudian pengurus tersebut dapat diwakilkan kepada orang lain.; d. Hakim dapat memerintahkan supaya pengurus korporasi menghadap sendiri di pengadilan dan dapat pula memerintahkan supaya penguruh tersebut dibawa ke siding pengadilan; e. Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap korporasi, maka panggilan untuk menghadap dan menyerahkan surat panggilan tersebut disampaikan kepada pengurus di tempat tinggal pengurus atau ditempat pengurus berkantor.
25 Pidana Tambahan berupa: a. Perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud atau barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana dimana tindak pidana korupsi dilakukan, begitu pula dari barang yang menggantikan barang-barang tersebut.; b. Pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta yang diperoleh dari tindak pidana korupsi; c. Penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama 1 (satu) tahun.; d. Pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan tertentu yang telah atau dapat diberikan oleh pemerintah kepada terpidana.; e. Jika terpidana tidak membayar uang pengganti paling lama dalam waktu 1 (satu) bulan sesudah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap maka harta bendanya dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut.; f. Dalam hal terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti maka terpidana dengan pidana penjara yang lamanya tidak memenuhi ancaman maksimum dari pidana pokoknya sesuai ketentuan undang-undang nomor 31 tahun 1999 jo undang-undang nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi dan lamanya pidana tersebut sudah ditentukan dalam putusan pengadilan.
sudah cukup maksimal, namun hukum kiranya bukan hanya meletakkan sanksi hukuman diatas segalanya tapi bagaimana hukum mampu melindungi tujuannya untuk melindungi masyarakat, dalam hal ini juga termasuk masyarakat yang menjadi korban tindak pidana korupsi disamping Negara dan korporasi (BUMN).
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, menyebutkan tindak pidana korupsi dapat dilihat dari 2 (dua) segi yaitu korupsi aktif dan korupsi pasif. Yang dimaksud dengan korupsi aktif adalah sebagai berikut:26
1. Secara melawan hukum memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi, yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara (Pasal 2 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999).
2. Dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatannya atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara (Pasal 3 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999)
3. Memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri dengan mengingat kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukannya, atau oleh pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan tersebut. (Pasal 13 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999).
4. Percobaan, pembantuan atau pemufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi (Pasal 15 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999)
5. Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara Negara dengan maksud supaya berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya (Pasal 5 ayat (1) huruf a Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001).
6. Memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara Negara karena atau berhubung dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajibannya dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya (Pasal 5 ayat (1) huruf b Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001).
7. Memberikan atau menjanjikan sesuatu kepada hakim dengan maksud untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan padanya untuk diadili (Pasal 6 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001).
26 Evi Hartanty, Op. Cit., halaman 25.
8. Pemborong atau ahli bangunan yang pada waktu membuat bangunan, atau penjual bangunan yang pada waktu menyerahkan bahan bangunan, melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan keamanan orang atau barang, atau keselamatan Negara dalam keadaan perang (Pasal 7 ayat (1) huruf a Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001).
9. Setiap orang yang bertugas mengawasi pembangunan atau penyerahan bahan bangunan, sengaja membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam huruf a (Pasal 7 ayat (1) huruf b Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001).
10. Setiap orang yang pada waktu menyerahkan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia atau Kepolisian Negara Republik Indonesia melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan keselamatan Negara dalam keadaan perang (Pasal 7 ayat (1) huruf c Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001).
11. Setiap orang yang bertugas mengawasi penyerahan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia atau Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan sengaja membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam huruf c (Pasal 7 ayat (1) huruf c Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001).
12. Pegawai Negeri atau orang lain selain pegawai negeri yang ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum terus menerus atau sementara waktu, dengan sengaja menggelapkan uang atau surat berharga yang disimpan karena jabatannya, atau membiarkan uang atau surat berharga tersebut diambil atau digelapkan oleh orang lain, atau membantu dalam melakukan perbuatan tersebut (Pasal 8 Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001).
13. Pegawai Negeri atau selain pegawai negeri yang diberi tugas menjalankan suatu jabatan umum terus secara terus menerus atau sementara waktu, dengan sengaja memalsukan buku-buku atau daftar-daftar yang khusus untuk pemeriksaan administrasi.(Pasal 9 Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001).
14. Pegawai negeri atau orang lain selain pegawai negeri yang diberi tugas menjalankan jabatan umum secara terus menerus atau sementara waktu dengan sengaja menggelapkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat atau daftar yang digunakan untuk menyakinkan atau untuk membuktikan di muka pejabat yang berwenang, yang dikuasai karena jabatannya, atau membiarkan orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan atau membuat tidak dapat dipakai baeang, akta, surat atau daftar tersebut (Pasal 10 Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001).
15. Pegawai negeri atau penyelenggara Negara yang :
a. Dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu atau menerima pembayaran dengan potongan atau mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri (Pasal 12 huruf e Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001).
b. Pada waktu menjalankan tugas meminta, menerima, atau memotong pembayaran bagi pegawai negeri atau penyelenggara Negara yang lain atau kas umum tersebut mempunyai utang kepadanya, padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan merupakan hutang (huruf f).
c. Pada waktu menjalankan tugas meminta atau menerima pekerjaan atau penyerahan barang seolah-olah merupakan utang pada dirinya, padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan merupakan utang (huruf g).
d. Pada waktu menjalankan tugas telah menggunakan tanah Negara yang diatasnya terdapat hak pakai, seolah-olah sesuai dengan peraturan perundang-undangan, telah merugikan orang yang berhak, padahal diketahuinya bahwa perbuatan tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
e. Baik langsung maupun tidak langsung dengan sengaja turut serta dalam pemborongan, pengadaan atau persewaan yang pada saat dilakukan perbuatan untuk seluruhnya atau sebagian ditugaskan untuk mengurus atau mengawasinya (huruf i).
16. Memberi hadiah kepada pegawai negeri dengan mengingat kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukannya, atau oleh pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan itu (Pasal 11 Undang-undang Nomor 20 Tahun 2011).
Adapun korupsi pasif adalah sebagai berikut:27
1. Pegawai negeri atau penyelenggara Negara yang menerima pemberian atau janji karena berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya (Pasal 5 ayat (2) Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001).
2. Hakim atau advokat yang menerima pemberian atau janji untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan padanya untuk diadili atau untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang diberikan berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili (Pasal 6 ayat (2) Undang-undang Nomor 20 tahun 2001).
3. Orang yang menerima penyerahan bahan bangunan atau orang yang menerima penyerahan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia atau Kepolisian Negara Republik Indonesia yang membiarkan perbuatan curang sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) huruf a dan huruf c, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 (Pasal 7 ayat (2) Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001).
4. Pegawai negeri atau penyelenggara Negara yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji itu diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan
27Ibid, halaman 27.
dengan jabatannya, atau menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya (Pasal 11 Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001).
5. Pegawai negeri atau penyelenggara Negara yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya; atau sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya (Pasal 12 huruf a dan huruf b Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001)
6. Hakim yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili (pasal 12 huruf c Undang- undang Nomor 20 Tahun 2001).
7. Advokat yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji itu diberikan untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang diberikan berhubungan dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili (Pasal 12 huruf d Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001).
8. Setiap pegawai negeri atau penyelenggara Negara yang menerima gratifikasi yang diberikan berhubungan dengan jabatannya dan berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya (Pasal 12 B Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001).
Tindak pidana korupsi dalam hukum positif Indonesia termasuk dalam kategori penyalahgunaan kekuasaan oleh pejabat negara. Disisi lain, masyarakat luas diartikan sebagai political victimology yang diwakili oleh negara dalam hal ini aparat penegak hukum. Pada dasarnya reaksi kepada pelaku kejahatan sepenuhnya merupakan hak para korban. Setiap korban yang merasa hak-haknya dilanggar, berhak melakukan pembalasan secara langsung kepada yang melakukan pelanggaran atas dirinya. Dalam perkembangannya, pelanggaran hak yang dilakukan oleh seseorang tidak hanya berdampak kepada korban saja, melainkan berdampak pula pada masyarakat luas. Seperti korban tindak pidana korupsi, maka yang mengalami kerugian ialah masyarakat luas, namun bila merujuk pada Pasal 2 dan Pasal 3
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, maka yang disebut korban tindak pidana korupsi adalah negara, sehingga negara kemudian mengambil alih proses pembalasan (penghukuman) kepada pelaku karena dianggap telah merusak tatanan masyarakat luas. Negaralah yang memonopoli hak penuntutan kepada pelaku (dominus litis) sekaligus mewakili pihak korban untuk melakukan penuntutan kepada pelaku.28
Dalam konteks tindak pidana korupsi, tersangka perbuatan korupsi harus dijamin hak-hak dan rasa keadilannya, namun yang lebih penting dari itu hak-hak dan rasa keadilan dari para korban tindak kejahatan lebih diutamakan. Dalam semua tindak kejahatan, seberat apapun pembalasan (penghukuman) yang dijatuhkan hakim pada pelaku, tidak dapat sepenuhnya memenuhi rasa keadilan para korban, begitu juga dengan seberat apapun vonis putusan hakim yang dijatuhkan pada pelaku tindak pidana korupsi, korban (dalam hal ini negara yang mewakili), tidak dapat mengembalikan secara penuh uang negara yang hilang, meskipun pelaku (koruptor) telah dijatuhi hukuman dengan demikian semua perkara tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh pejabat negara, masyarakat luas yang menjadi korban (political victimology), sehingga diperlukan bentuk perlindungan hukum terhadap korban tindak pidana korupsi.
28 http://www.kompasiana.com/hendra_budiman/tindak-pidana-korupsi-dari-tinjauan- viktimologi_54f34878745513962b6c6ee9, diakses pada tanggal 23 Januari 2017.