• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI

C. Bentuk Perlindungan Hukum Terhadap Korban Tidak Langsung

C. Bentuk Perlindungan Hukum Terhadap Korban Tidak Langsung

Asas persamaan di depan hukum (equality before the law) merupakan salah satu ciri negara hukum. Demikian juga terhadap korban yang harus mendapat pelayanan hukum berupa perlindungan hukum. Bukan hanya tersangka atau terdakwa yang dilindungi hak-haknya, tetapi juga korban wajib untuk dilindungi.168

Perlindungan hukum merupakan bagian dari proses penegakan hukum (law inforcement). Proses penegakan hukum sebagai tahap selanjutnya dari proses pembuatan hukum (legislatif policy). Ini menandakan bahwa proses pembuatan hukum masih harus disusul tahap pelaksanaannya secara konkrit dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Apabila tahap ini masih belum selesai, masih ada tahap peradilan yang harus dijalankan. Dengan demikian hukum tidak akan tegak jika tanpa proses peradilan, sebab dengan proses peradilan inilah hukum akan dapat di tegakkan.169

168 Bambang Waluyo, Victimologi : Perlindungan Korban & Saksi, Op. Cit., halaman 34.

169 T. Subarsyah Sumadikara, Penegakan Hukum (Sebuah Pendekatan Politik Hukum dan Politik Kriminal), Bandung: Kencana Utama, 2010, halaman 33.

Pentingnya perlindungan korban, dilatarbelakangi adanya perspektif pergeseran dari keadilan retributif170 kepada keadilan restoratif171. Pergeseran ini merupakan pergeseran filsafat keadilan dari hukum positif yang mendasarkan kepada asas hukum materiil dalam sistem peradilan pidana. Pergeseran ini telah membawa cara pandang baru dalam hukum pidana dan sistem peradilan pidana, yakni sebagai berikut:172

1. Keadilan dalam hukum pidana berorientasi pada kepentingan atau penderitaan korban (victimisasi atau dampak kejahatan) dan pertanggungjawaban pelanggar terhadap perbuatan dan akibatnya pada diri korban.

2. Kejahatan atau pelanggaran hukum pidana adalah melanggar kepentingan publik dan kepentingan korban adalah bagian pertama dan utama dari kepentingan publik. Jadi, kejahatan merupakan konflik antara pelanggar dengan antarperseorangan (korban) sebagai bagian dari kepentingan publik.

3. Korban adalah orang yang dirugikan karena kejahatan (pelanggaran hukum pidana), pertama dan terutama adalah korban (langsung), masyarakat, negara dan sesungguhnya juga pelanggar itu sendiri.

4. Penyelenggaraan peradilan pidana berfungsi sebagai sarana penyelesaian konflik (conflict resolution).

5. Pidana dan jenis pidana yang hendak dijatuhkan kepada pelanggar adalah bagian dari penyelesaian konflik dengan menekankan tanggungjawab pelanggar terhadap perbuatan beserta akibat-akibatnya.

6. Korban, masyarakat, negara dan pelanggar dalam proses peradilan pidana bersifat aktif.

Pergeseran dari restributif justice ke arah restoratif justice memberikan dampak positif bagi pencegahan dan penanggulangan kejahatan, atau pihak-pihak

170 Keadilan Retributif adalah keadaan dimana pihak-pihak yang melanggar martabat manusia dan tatanan hidup bersama dalam suatu negara harus membayar hutang atau memberi retribusi dengan mendapatkan hukuman atas pelanggaran mereka. Lihat Yoachim Agus Tridiatno, Keadilan Restoratif, Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka, 2015, halaman 16.

171 Keadilan Restoratif adalah bentuk keadilan yang berpusat pada kebutuhan korban, pelaku kejahatan dan masyarakat. Lihat Yoachim Agus Tridiatno, Ibid, halaman 27.

172 Siswanto Sunarso, Op. Cit., halaman 47.

yang terlibat dalam sistem peradilan pidana.173 Restorative Justice bekerja untuk menyelesaikan konflik dan memperbaiki/kerusakan. Dalam hal pemidanaan, ini berarti suatu “reparation” atau “compensation” yang diperintah oleh pengadilan, mendorong pelaku untuk mengetahui dampak dari apa yang diperbuatnya dan memberi kesempatan bagi pelaku untuk membuat perbaikan. Restorative Justice memahami bahwa kejahatan membahayakan masyarakat. Kejahatan bukan semata-mata pelanggaran hukum. Korban dan masyarakat juga terkena dampak dari kejahatan, sehingga harus ambil peranan dalam proses peradilan pidana (criminal justive system). Restorative Justice bukan hanya bermaksud memperbaiki korban, tapi juga memperbaiki masyarakat, dan juga memperbaiki pelaku.174

Heni Susila Wardoyo175 menyatakan bahwa penanganan Tindak Pidana Korupsi dapat dilakukan dengan penerapan konsep Restorative Justice melalui penyelesaian penanganan perkara diluar peradilan (out of court settlement). Solusi alternatif ini diperlukan agar penerapan Restorative Justice dapat dilakukan oleh para penegak hukum sekaligus dapat meminimalisir dampak negatifnya. Restorative Justice ini ditujukan agar aparat penegak hukum di daerah mengedepankan konsep

173 Ibid, halaman 48

174 Topo Santoso, Makalah Politik Pemidanaan, Pelatihan Hukum Pidana Dan Kriminologi, Surabaya, 9-11 Maret 2017, halaman 12.

175 Heni Susila Wardoyo, Asisten Deputi Koordinasi Materi Hukum, dalam pelatihan bersama Penerapan Restorative Justice dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi Dihubungkan dengan Asset Recovery di Hotel Aryaduta, Pekanbaru Provinsi Riau, lihat https://parliamentmagazine.co.id/penerapan-restorative-justice-dalam-pemberantasan-korupsi/, diakses pada tanggal 20 Desember 2017

Restorative Justice yang mengutamakan pengembalian aset (Asset Recovery)176. Menurut Welgrave,177 teori keadilan retributif adalah setiap perbuatan yang berorientasi pada penegakan keadilan dengan memperbaiki kerugian yang diakibatkan dari tindak pidana. Teori ini menyatakan bahwa korban dan keluarganya dapat kembali kepada keadaan semula seperti sebelum terjadi tindak pidana. Dengan demikian pemulihan kerugian yang diakibatkan tindak pidana korupsi dengan perampasan aset adalah sejalan dengan tujuan pemidanaan yaitu untuk mewujudkan keadilan restoratif.

Pengembalian aset (Asset Recovery) diharapkan hasilnya akan dapat digunakan untuk mendorong pembangunan infrastruktur dalam rangka meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional, serta dapat mengidentifikasi perkara tindak pidana korupsi yang dinilai merugikan keuangan negara dengan menghitung perbandingan nilai dana operasional penanganan perkara dengan nilai kerugian keuangan negara yang berhasil diselamatkan, agar dapat diselesaikan melalui bentuk out of court settlement. sehingga dengan penyelesaian perkara diluar peradilan (out of court settlement), penanganan perkara tersebut akan lebih tepat waktu, berkeadilan dan berkepastian hukum.

176 Pengembalian aset korupsi merupakan sistem penegakan hukum yang menghendaki adanya suatu proses peniadaan hak atas aset pelaku dari negara korban dengan cara meniadakan hak atas aset pelaku secara perdata maupun pidana, dilakukan dengan cara penyitaan, pembekuan, perampasan, baik dalam kompetensi lokal, regional, maupun internasional, sehingga kekayaan dapat dikembalikan kembali kepada negara korban yang sah. Lihat I. S. Adji, Korupsi dan Penegakan Hukum, Jakarta: Diadit Media. halaman 149.

177Purwaning M. Yanuar, Pengembalian Aset Hasil Korupsi: Berdasarkan Konvensi PBB Anti Korupsi 2003 Dalam Sistem Hukum Di Indonesia, Bandung: Alumni, 2007, halaman 103.

Adapun prinsip-prinsip keadilan restorative menurut Andrius Meliala adalah sebagai berikut:178

a. Menjadikan pelaku tindak pidana bertanggung jawab memperbaiki kerugian yang ditimbulkan akibat kesalahannya.

b. Memberikan kesempatan kepada pelaku tindak pidana membuktikan kapasitas dan kualitasnya disamping mengatasi rasa bersalahnya secara konstruktif.

c. Melibatkan korban, keluarga dan pihak-pihak lain dalam hal penyelesaian masalah

d. Menciptakan forum untuk bekerjasama dalam penyelesaian masalah.

e. Menetapkan hubungan langsung dan nyata antara perbuatan yang dianggap salah atau jahat dengan reaksi social yang formal.

Berdasarkan Surat Edaran Jaksa Agung (Jaksa Agung Muda Pidana Khusus) Nomor : B-113/F/Fd.1/05/2010 tanggal 18 Mei 2010179, salah satu poin dalam isinya adalah menginstruksikan kepada seluruh kejaksaan tinggi yang isinya imbauan agar dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi, masyarakat yang dengan kesadaran telah mengembalikan kerugian negara yang nilainya kecil perlu dipertimbangkan untuk

178 Riani Atika Nanda Lubis, Skripsi: Pengembalian Aset Hasil Tindak Pidana Korupsi Salah Satu Bentuk Penerapan Keadilan Restoratif (Restorative Justice), Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok, 2011, halaman 79.

179 Isi Surat Edaran Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jaksa Agung Muda Pidana Khusus) Nomor : B-113/F/Fd.1/05/2010 tanggal 18 Mei 2010:

a. Pengungkapan perkara yang bersifat big fish (berskala besar, dilihat dari pelaku dan atau nilai kerugian keuangan negara) dan still going on (tindak pidana korupsi yang dilakukan terus menerus atau berkelanjutan)

b. Terhadap pelaku Tipikor yang dengan kesadarannya telah mengembalikan kerugian keuangan negara (asset recovery) terutama perkara yang nilai kerugian negaranya relatif kecil, perlu dipertimbangkan untuk tidak ditindaklanjuti, tidak membawa ke ranah hukum.

tidak ditindaklanjuti atas berlaku asas Restorative Justice. Surat Edaran ini melihat bahwa penanggulangan korupsi yang terkait dengan kerugian negara, sepanjang kerugiannya tidak terlalu besar dan pelaku dengan kesadaran sendiri telah mengembalikan seluruh kerugian tersebut bisa diselesaikan diluar pengadilan (prinsip asas Restorative Justice).180

Adanya pendekatan Restorative Justice ditandai dengan perubahan prinsip pemberantasan korupsi dari Primum Remedium menjadi Ultimum Remedium. Sarana sanksi pidana digunakan setelah sanksi lain berupa administrasi atau perdata tidak mampu secara efektif dan efisien menanggulangi kejahatan beserta pemulihan kerugian negara yang diakibatkannya. Perkara korupsi masih mengacu pada ketentuan bahwa pengembalian kerugian negara akibat korupsi tidak dapat menghapuskan pemidanaan. Padahal Tujuan dari hukum itu sendiri bukanlah penghukuman. Tujuan Hukum tidak semata menghukum siapa yang bersalah, tapi yang paling krusial bagaimana hubungan yang telah rusak dikarenakan adanya pelanggaran dapat dipulihkan kembali. Pemulihan itu hanya dapat dimanifestasikan dengan adanya pengembalian kerugian keuangan negara.

Menurut Jeremy Bentham dalam teori utilitarianisme menyebutkan tujuan hukum adalah memberikan kemanfaatan dan kebahagiaan sebanyak-banyaknya

180 http://hendriesipahutar.blogspot.co.id/2014/02/normal-0-false-false-false-in-x-none-x.html, Penyelesaian Korupsi Dengan Prinsip Restrorative Justice, diakses 20 Desember 2017.

kepada warga masyarakat.181 Sehingga yang ditekankan bukanlah adil atau tidaknya suatu hukum, melainkan sampai sejauh mana hukum dapat memberikan kebahagiaan kepada manusia atau tidak. Berdasarkan tujuan hukum tersebut, maka sebenarnya terjadinya pengembalian kerugian negara oleh pelaku tindak pidana korupsi adalah jauh lebih berfaedah daripada menghukum pelaku sementara kerugian negara tidak bisa dikembalikan. Sebagaimana diungkapkan oleh Marthin Luther, Peace is more important than all justice; and peace was not made for the sake of justice, but justice for the sake of peace (Perdamaian adalah jauh lebih penting dari semua keadilan, dan Perdamaian tidak diciptakan demi keadilan, melainkan keadilan untuk perdamaian), atau boleh dikatakan asas restrorative justice dalam pemberantasan korupsi mengandung makna, Jauh lebih besar manfaatnya bagi bangsa dan negara apabila uang hasil korupsi dapat ditarik kembali atau dikembalikan oleh pelaku ketimbang menghukum pelaku.182 Namun dalam prakteknya Restorative Justice masih belum dapat dilakukan oleh sebagian penegak hukum dalam menyelesaikan permasalahan tindak pidana korupsi.

Tindak Pidana Korupsi di Indonesia sudah meluas dalam masyarakat.

Perkembangannya terus meningkat dari tahun ke tahun, baik dari jumlah kasus yang terjadi dan jumlah kerugian keuangan negara maupun dari segi kualitas tindak pidana yang dilakukan semakin sistematis serta lingkupnya yang memasuki seluruh aspek

181 Bentham berpendapat bahwa keberadaan Negara dan hukum semata-mata sebagai alat untuk mencapai manfaat yang hakiki yaitu kebahagiaan mayoritas rakyat, lihat Zainuddin Ali, Op.Cit., halaman 59.

182 http://hendriesipahutar.blogspot.co.id/2014/02/normal-0-false-false-false-in-x-none-x.html, Penyelesaian Korupsi Dengan Prinsip Restrorative Justice, diakses 20 Desember 2017.

kehidupan masyarakat. Meningkatnya tindak pidana korupsi yang tidak terkendali akan membawa bencana tidak saja terhadap kehidupan perekonomian nasional tetapi juga pada kehidupan berbangsa dan bernegara pada umumnya. Tindak pidana korupsi yang meluas dan sistematis juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan hak-hak ekonomi masyarakat dan karena itu semua maka tindak pidana korupsi tidak lagi dapat digolongkan sebagai kejahatan biasa melainkan telah menjadi suatu kejahatan luar biasa (extra ordinary crime).183

Adapun sifat extra ordinary crime dari tindak pidana korupsi adalah bahwa unsur lost of the state monetary akan berdampak kepada basic economic life of the nation.184 Korban dan kerugian yang diderita oleh negara berakibat sangat luar biasa.

Sebagai sebuah extra ordinary crime, korupsi yang dilakukan oleh pejabat publik sudah mendapat perhatian Perserikatan Bangsa-Bangsa. Dalam resolusi tentang Corruption in goverment yang diterima Kongres Perserikatan Bangsa-Bangsa ke 8 mengenai The Prevention of Crime and The Treatment of Offenders, tahun 1990 antara lain dinyatakan bahwa : Korupsi di kalangan pejabat publik (corrupt activities of public official) dapat menghancurkan efektifitas sosial dari semua jenis program pemerintah (can destroy the potential efectiveness of all types of governmental proframmes), dapat menggangu/menghambat pembangunan (hinder development)

183 Penjelasan Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi.

184 Firman Halawa dan Edi Setiadi, Korupsi Dengan Nilai Kerugian Sedikit, Bandung:

Mega Rancage dan UNISBA, 2016, halaman 186.

dan menimbulkan korban individual maupun kelompok masyarakat (victimize individuals and groups).185

Perkembangan kejahatan korupsi yang sudah merupakan masalah universal akan berpengaruh kepada usaha pencapaian pembangunan. Korupsi dinyakini akan mengganggu proses pembangunan secara keseluruhan yang pada akhirnya akan menjauhkan kesejahteraan masyarakat. Secara teoritis, korupsi dapat mengganggu:186 1. Kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Banyaknya kasus korupsi yang

dilakukan oleh pejabat publik atau korupsi yang dilakukan kalangan swasta dan tidak mendapat perhatian dari pemerintah akan meruntuhkan kepercayaan rakyat kepada pemerintah.

2. Kepercayaan investor terhadap sistem investasi.

3. Mengurangi kepastian hukum, karena penegak hukum dijalankan tidak semestinya.

4. Mantan Wakil Presiden Amerika Serikat Al Gore mengatakan bahwa korupsi bisa menyebabkan runtuhnya suatu pemerintahan.

Dalam perspektif Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, kerugian keuangan negara adalah yang disebabkan karena perbuatan melawan hukum atau tindakan menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada pada seseorang karena jabatan atau kedudukannya dan hal tersebut dilakukan dalam hubungannya dengan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi.

185 Ibid, halaman 189.

186 Ibid, halaman 114.

Dengan memperhatikan rumusan keuangan negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, maka kerugian keuangan negara tersebut dapat berbentuk:187

1. Pengeluaran suatu sumber/kekayaan negara/daerah (dapat berupa uang, barang) yang seharusnya tidak dikeluarkan.

2. Pengeluaran suatu sumber/kekayaan negara/daerah lebih besar dari yang seharusnya menurut kriteria yang berlaku.

3. Hilangnya sumber/kekayaan negara/daerah yang seharusnya diterima (termasuk diantaranya penerimaan dengan uang palsu, barang fiktif).

4. Penerimaan sumber/kekayaan negara/daerah lebih kecil/rendah dari seharusnya diterima (termasuk penerimaan barang rusak, kualitas tidak sesuai).

5. Timbulnya suatu kewajiban negara/daerah yang seharusnya tidak ada.

6. Timbulnya suatu kewajiban negara/daerah yang lebih besar dari yang seharusnya.

7. Hilangnya suatu hak negara/daerah yang seharusnya dimiliki/diterima menurut aturan yang berlaku.

8. Hak negara/daerah yang diterima lebih kecil dari yang seharusnya diterima.

Kajian kriminologi mendapatkan korupsi secara umum sebagai white collar crime atau kejahatan kerah putih. Hal ini dikarenakan salah satu pihak yang terlibat atau keduanya berhubungan dengan pekerjaan atau profesinya. Sesuai dengan karakteristik white collar crime, pelaku adalah orang yang memiliki status sosial yang tinggi (pejabat), memiliki kepandaian, berkaitan dengan pekerjaan, yang dengannya memungkinkan pelaku bisa menyembunyikan bukti. Kriminologi menempatkan korupsi sebagai salah satu bentuk perilaku menyimpang khususnya yang bersumber pada penggunaan kekuasaan. Kriminologi mengkaji perkembangan bentuk-bentuk

187 Eddy Mulyadi Soepardi, Memahami Kerugian Negara Sebagai Salah Satu Unsur Tindak Pidana Korupsi, disampaikan pada ceramah ilmiah pada Fakultas Hukum Universitas Pakuan Bogor, tanggal 24 Januari 2009, halaman 3-4. Lihat Firman Halawa dan Edi Setiadi, Op. Cit., halaman 146.

perilaku korupsi, sebab-sebabnya dan perlakuan terhadap pelaku dan korban.188 Korban Korupsi tidak berwajah karena korban korupsi sering tidak langsung tampak sebagai pribadi, terutama yang terkait dengan penyelewenggan uang Negara atau Rakyat. Selain itu kerugian yang diakibatkan oleh prilaku korupsi biasanya tidak dengan mudah dan cepat dirasakan oleh korban.

Istilah white collar crime pertama kali dikemukakan oleh Edwin Hardin Sutherland. Pendapatnya tentang white collar crime meruntuhkan teori lama tentang kejahatan yaitu bahwa kejahatan selalu dilakukan oleh kalangan bawah. Dengan pendapatnya mengenai white collar crime, Sutherland ingin menegaskan bahwa kejahatan bisa saja terjadi di kalangan atas.189

White collar crime dapat didefinisikan sebagai suatu perbuatan (atau tidak berbuat) dalam sekelompok kejahatan yang spesifik dan bertentang dengan hukum pidana yang dilakukan oleh pihak profesional, baik oleh individu, organisasi atau sindikat kejahatan, ataupun dilakukan oleh badan hukum atau menurut Sutherland, white collar crime adalah kejahatan yang dilakukan oleh orang yang mempunyai status sosial ekonomi yang tinggi dan terhormat dan melakukan kejahatan tersebut dalam kaitannya dengan pekerjaannya. Demikian juga Hazel Croall merumuskan white collar crime is defined as the abuse of a legilitimate occupational role which is regulated by law. Selanjutnya dikatakan the term white collar crime with fraud, embezzlement and other offences associated with high status employees.

188 Aditya W.P., Kejahatan Kerah Putih (White Collar Crime) Tindak Pidana Korupsi, http.//dunia-belajar.blogspot.co.id, diakses pada tanggal 25 Desember 2017.

189 Firman Halawa dan Edi Setiadi, Op. Cit., halaman 113.

Dalam konteks white collar crime, kejahatan korupsi sebenarnya bisa dilakukan oleh badan hukum atau korporasi, akan tetapi saat ini aparat penegak hukum masih berfokus kepada pelaku individual. Kejahatan korupsi yang dilakukan oleh sebuah korporasi bisa saja kerugian negara dan korbannya melibatkan banyak pihak, yaitu negara dan masyarakat serta kredibilitas pemerintah didunia Internasional.190 Seperti diketahui korban white collar crime sukar untuk ditentukan secara tepat, karena pelaku tindak pidana tersebut adalah pejabat publik baik pemerintah maupun badan usaha swasta dan milik negara. Sedangkan yang menjadi korban masih bersifat abstrak dan general serta sangat membahayakan bagi kelangsungan kehidupan kepentingan baik individu, masyarakat, bangsa dan negara.

Oleh karena itu maka perlu diberikan perlindungan hukum yang konkrit kepada korban kejahatan, khususnya korban tindak pidana korupsi. Menurut Barda Nawawi Arief, pengertian Perlindungan terhadap korban dapat dilihat dari dua makna, yaitu:191 Pertama, dapat diartikan sebagai perlindungan hukum untuk tidak menjadi korban tindak pidana (berarti perlindungan HAM atau kepentingan hukum seseorang). Kedua, dapat diartikan sebagai “perlindungan untuk memperoleh jaminan/santunan hukum atas penderitaan/kerugian orang yang telah menjadi korban tindak pidana (identik dengan penyantunan korban).” Bentuk santunan itu dapat berupa pemulihan nama baik (rehabilitasi), pemulihan keseimbangan batin (antara

190 Ibid, halaman 116.

191 Barda Nawawi Arief, Op. Cit., halaman 61.

lain dengan pemanfaatan), pemberian ganti rugi (restitusi, kompensasi, jaminan/santunan kesejahteraan sosial), dan sebagainya.

Dari dua makna perlindungan korban tersebut, pada dasarnya ada dua sifat perlindungan yang dapat diberikan secara langsung oleh hukum, yaitu bersifat preventif berupa perlindungan hukum untuk tidak menjadi korban tindak pidana dan represif berupa perlindungan untuk memperoleh jaminan/santunan hukum atas penderitaan/kerugian orang yang telah menjadi korban tidak pidana. Terkait dua sifat perlindungan korban tindak pidana yang dapat diberikan oleh hukum tersebut, maka pada hakikatnya perlindungan yang bersifat preventif dan represif memegang peranan yang sama pentingnya dalam memberikan perlindungan terhadap masyarakat mengingat masyarakat yang telah menjadi korban tidak boleh begitu saja dibiarkan menderita tanpa ada upaya perlindungan apapun dari negara dan sebaliknya mencegah masyarakat menjadi korban juga merupakan titik tekan yang utama.

Pentingnya perlindungan korban kejahatan memperoleh perhatian yang serius, hal ini dapat dilihat dari dibentuknya Declaration of Basic Principal of Justice for Victims of Crime and Abuse of Power oleh PBB, sebagai hasil dari The sevent United Nation Conggres on the Prevention of Crime and Treatment Ofenders, yang berlangsung di Milan, Italia, September 1985, dalam salah satu rekomendasinya disebutkan: “Offenders or third parties responsible for their behaviour should, where appropriate, make fair restitution to victims, their families or dependents. Such restitution should include the return of property or payment for the harm or loss suffered, reimbursement of expenses incurred as a result of the victimization, the

provision of services and the restoration of rights”. (Pelaku atau mereka yang bertangung jawab atas suatu perbuatan melawan hukum, harus memberi restitusi kepada korban, keluarga atau wali korban. Restitusi tersebut berupa pengembalian hak milik atau mengganti kerugian yang diderita korban, kerugian biaya atas kelalaian yang telah dilakukannya sehingga menimbulkan korban, yang merupakan suatu penetapan Undang-Undang sebagai bentuk pelayanan dan pemenuhan atas hak).192

Dalam Deklarasi Milan 1985 tersebut, bentuk perlindungan yang diberikan mengalami perluasan yang tidak hanya ditujukan pada korban kejahatan (victims of crime), tetapi juga perlindungan terhadap korban akibat penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power).

Mardjono Reksodipuro mengemukakan beberapa alasan perlunya perlindungan korban (kejahatan) harus mendapat perhatian yaitu:193

1. Sistem peradilan pidana dianggap terlalu memberikan perhatian pada permasahan dan peran pelaku kejahatan (offender centered);

2. Terdapat potensi informasi dari korban untuk memperjelas dan melengkapi penafsiran tentang statistik kriminal melalui riset tentang korban dan harus dipahami bahwa korbanlah yang menggerakkan mekanisme sistem peradilan pidana;

3. Semakin disadari bahwa selain korban kejahatan konvensional, tidak kurang pentingnya untuk memberikan perhatian kepada korban kejahatan non konvensional maupun korban penyalahgunaan kekuasaan.

192 Jurnal Lex Crimen Vol. 1/No.2/Apr-Jun/2012, Johan Runtu, Perlindungan Hukum Terhadap Korban Tindak Pidana Perkosaan Dalam Peradilan Pidana, halaman 22

193 Mardjono Reksodipuro, HAM dalam Sistem Peradilan Pidana Kumpulan Karangan, Buku II, LKUI, 1994, halaman 75, lihat Soeharto, Perlindungan Hak Tersangka, Terdakwa, dan Korban Tindak Pidana Terorisme, Bandung: Refika Aditama, 2007, halaman 79.

Perlindungan kepada korban meliputi pelaksanaan kepentingan yang meliputi hak dan kewajibannya secara seimbang dan manusiawi positif berdasarkan hukum.

Dalam Pasal 5 Undang-undang No. 13 Tahun 2006 jo Undang-undang No. 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban diatur beberapa hak-hak korban (saksi), yaitu meliputi:

1. Memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, Keluarga, dan harta bendanya,serta bebas dari Ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya;

2. Ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan dukungan keamanan;

3. Memberikan keterangan tanpa tekanan;

4. Mendapat penerjemah;

5. Bebas dari pertanyaan yang menjerat;

5. Bebas dari pertanyaan yang menjerat;