• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI

A. Korban Tidak Langsung Belum Memiliki Arti Yuridis Yang Jelas

Pada prinsipnya secara yuridis, belum ada ditemukan pengertian mengenai korban tidak langsung dalam tindak pidana korupsi, sehingga penulis ingin memberikan gambaran mengenai definisi korban tidak langsung dalam tindak pidana korupsi tersebut. Namun, sebelum menguraikan define korban tidak langsung tersebut maka penulis terlebih dahulu akan menguraikan mengenai korban.

Korban mempunyai peranan yang fungsional dalam terjadinya suatu kejahatan. Pada kenyataannya dapat dikatakan bahwa tidak mungkin timbul suatu kejahatan kalau tidak ada korban kejahatan, yang merupakan peserta utama dari penjahat dalam hal terjadinya suatu kejahatan dan hal pemenuhan kepentingan penjahat yang berakibat penderitaan korban. Dengan demikian korban mempunyai tanggungjawab fungsional dalam terjadinya kejahatan.124

Korban kejahatan diartikan sebagai seseorang yang telah menderita kerugian sebagai akibat suatu kejahatan dan atau yang rasa keadilannya secara langsung telah

124 Arif Gosita, Op. Cit., halaman 65.

terganggu sebagai akibat pengalamannya sebagai target (sasaran) kejahatan.125 Pada tahap perkembangannya, korban kejahatan bukan saja orang perorangan, tetapi meluas dan kompleks yakni korporasi, institusi, pemerintah, bangsa dan Negara.

Lebih luas dijabarkan mengenai korban perseorangan, institusi, lingkungan hidup, masyarakat, bangsa dan Negara sebagai berikut:126

1. Korban persorangan adalah setiap orang sebagai individu mendapat penderitaan baik jiwa, fisik, materiil, maupun non materiil.

2. Korban institusi adalah setiap institusi mengalami penderitaan kerugian dalam menjalankan fungsinya yang menimbulkan kerugian berkepanjangan akibat dari kebijakan pemerintah, kebijakan swasta maupun bencana alam.

3. Korban lingkungan hidup adalah setiap lingkungan alam yang didalamnya diberikan kehidupan tumbuh-tumbuhan, binatang, manusia dan masyarakat serta semua jasad hidup yang tumbuh berkembang dan kelestariannya sangat tergantung pada lingkungan alam tersebut yang telah mengalamigundul, longsor, banjir dan kebakaran yang ditimbulkan oleh kebijakan pemerintah yang salah dan perbuatan manusia baik individu maupun masyarakat yang tidak bertanggung jawab.

4. Korban masyarakat, bangsa dan Negara adalah masyarakat yang diperlakukan diskriminatif tidak adil, tumpang tindih, pembagian hasil pembangunan serta hak sipil, hak politik, hak ekonomi, hak sosial, hak budaya tidak lebih baik setiap tahun.

Selain hal tersebut, korban institusi, masyarakat, bangsa dan Negara dikaitkan maraknya kejahatan baik kualitas maupun kuantitas antara lain:127

1. Dalam perkara korupsi dapat menjadi korban tidak pidana korupsi berupa kerugian keuangan Negara dan perekonomian Negara, kualitas kehidupan, rusaknya infrastruktur dan sebagainya.

2. Dalam tindak pidana terorisme, dapat mengalami korban jiwa masyarakat, keresahan masyarakat, kerusakan insfrastruktur, terusiknya ketenangan, kerugian materiil, dan immaterial lainya.

3. Dalam tindak pidana narkotika, dapat menjadi korban rusaknya generasi muda, menurunnya kualitas hidup masyarakat dan sebagainya.

4. Dalam tindak pidana perusakan lingkungan hidup, pembabatan hutan dan illegal logging, dapat menyebabkan rusaknya lingkungan, tanah tandus, banjir bandang, serta merusak insfrastruktur dan penderitaan rakyat yang berkepanjangan.

Berdasarkan uraian di atas, pada prinsipnya masyarakat, bangsa dan Negara merupakan korban dari suatu perbuatan tindak pidana baik secara langsung maupun tidak langsung. Dikaji dari perspektif ilmu viktimologi pengertian korban dapat diklasifikasikan secara luas dan sempit. Dalam pengertian luas korban diartikan sebagai orang yang menderita atau dirugikan akibat pelanggaran baik bersifat pelanggaran hukum pidana (penal) maupun diluar hukum pidana (non penal) atau dapat juga termasuk korban penyalahgunaan kekuasaan (victim abuse of power).

Sedangkan pengertian korban dalam arti sempit dapat diartikan sebagai victim of crime yaitu korban kejahatan yang diatur dalam ketentuan hukum pidana.128

Menurut Muladi, pengertian korban kejahatan adalah seseorang yang telah menderita kerugian sebagai akibat suatu kejahatan dan atau rasa keadilannya secara langsung telah terganggu sebagai akibat pengalamannya sebagai target (sasaran) kejahatan (A Victims is a person who has suffered damage as a result of a crime and/or whose sense of justice has been directly disturbed by the experirnce of having been the target of a crime).129

128 Lilik Mulyadi, Kapita Selekta: Hukum Pidana Kriminologi & Victimologi, Op. Cit., halaman 2.

129 Ibid, halaman 2, lihat juga Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Semarang:

Universitas Diponegoro, 2002, halaman 66.

Menurut Arif Gosita, korban adalah mereka yang menderita jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat tindakan orang lain yang bertentangan dengan kepentingan diri sendiri atau orang lain yang mencari pemenuhan kepentingan diri sendiri atau orang lain yang bertentangan dengan kepentingan hak asasi yang menderita.130 Yang dimaksud Arif Gosita dalam pengertian korban ini adalah :

1. Korban orang perorangan atau korban individual (viktimisasi primair).

2. Korban bukan perorangan, misalnya suatu badan, organisasi, lembaga. Pihak Korban adalah impersonal, komersial, kolektif (victimisasi sekunder) adalah keterlibatan umum, keserasian social dan pelaksanaan perintah, misalnya pada pelanggaran peraturan dan ketentuan-ketentuan Negara (viktimisasi tersier).

Selanjutnya secara yuridis pengertian korban menurut Undang-undang Nomor 13 Tahun 2016 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban adalah seseorang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana. Maka berdasarkan rumusan tersebut, korban adalah :131 1. Setiap orang,

2. Mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau 3. Kerugian ekonomi,

4. Akibat tindak pidana

Korban juga didefinisikan oleh van Boven yang merujuk kepada Deklarasi Prinsip-Prinsip Dasar Keadilan bagi Korban Kejahatan dan Penyalahgunaan

130 Rena Yulia, Op. Cit., halaman 79

131 Bambang Waluyo, Victimologi : Perlindungan Korban & Saksi, Jakarta: Sinar Grafika, Edisi Kedua, 2018, halaman 10.

Kekuasaan adalah orang yang secara individual maupun kelompok telah menderita kerugian, termasuk cedera fisik maupun mental, penderitaan emosional, kerugian ekonomi, atau perampasan nyata terhadap hak-hak dasarnya, baik karena tindakan (by act) maupun karea kelalaian (by omission).132

Pengertian korban menurut Pasal 1 angka (3) Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2002 tentang Kompensasi, Restitusi, Dan Rehabilitasi Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat, yaitu: orang perseorangan atau kelompok yang mengalami penderitaan, baik fisik, mental, maupun emosional, kerugian ekonomi atau mengalami pengabaian, pengurangan dan perampasan hak-hak dasarnya, sebagai akibat pelanggaran hak-hak asasi menusia yang berat, termasuk korban dan ahli warisnya.

Dengan demikian pengertian korban disesuaikan dengan masalah yang diatur dalam beberapa perundang-undangan tersebut, dimana pada hakikat korban adalah

“pihak yang menderita kerugian”, sehingga menjadi relevan manakala pihak yang menderita kerugian akibat tindak pidana korupsi merupaka frase lain yang diidentifikasikan sebagai korban kejahatan. Dan kerugian yang harus diperhitungkan tidak harus selalu berasal dari kerugian karena menjadi korban kejahatan, akan tetapi kerugian atas terjadinya pelanggaran atau kerugian yang ditimbulkan karena tidak dilakukannya suatu pekerjaan, sehingga pihak yang dirugikan termasuk dalam

132 Siswanto Sunarso, Op. Cit., halaman 242, Lihat Theo vam Boven, Mereka yang Menjadi Korban, Jakarta: Elsam, 2002, halaman xiii.

kategori korban karena ia mengalami kerugian baik secara materiil ataupun secara mental.

Ketentuan angka 1 “Declaration of basic principles of justice for victims of crime and abuse of power” tanggal 6 September 1985 dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sesuai Deklarasi Nomor A/Res/40/34 Tahun 1985 mengklasifikasikan korban menjadi dua yaitu korban kejahatan (Victim of crime) dan korban akibat dari penyalahgunaan kekuasaan (victim of abuse of power). Eksplisit Deklarasi Nomor A/res/40/34 Tahun 1985 menentukan,bahwa victim of crime sebagai133 : “victims”

means persons who, individually or collectively, have suffered harm, including physical or mental injury, emotional suffering, economic loss or substantial impairment of their fundamental right, through acts or omissions that are in violation of criminal laws operative within member states, including those laws proscribing criminal abuse power”. (korban adalah orang-orang, baik secara individual maupun kolektif, yang menderita kerugian baik kerugian fisik maupun mental, penderitaan emosional, kerugian ekonomi atau kerusakan substansial dari hak-hak asasi mereka, yang melanggar hukum pidana yang berlaku disuatu Negara, termasuk peraturan-peraturan yang melarang penyalahgunaan kekuasaan). Sedangkan Victim of abuse of power sebagai : “victimsmeans persons who, individually or collectively, have suffered harm, including physical or mental injury, emotional suffering, economic loss or substantial impairment of their fundamental right, through acts or omissions that do not yet constitute violations of national criminal laws but of internationally

133 Lilik Mulyadi, Op.Cit, halaman 3-4.

recognized norms relating to human right”. (korban adalah orang-orang, baik secara individual maupun kolektif, yang menderita kerugian baik kerugian fisik maupun mental, penderitaan emosional, kerugian ekonomi atau kerusakan substansial dari hak-hak asasi mereka, yang melanggar hukum pidana yang tidak lagi merupakan pelanggaran hukum pidana Nasional tapi norma-norma yang diakui secara Internasional yang berkaitan dengan hak asasi manusia).

Abuse of power adalah tindakan penyalahgunaan wewenang yang dilakukan seorang pejabat untuk kepentingan tertentu, baik untuk kepentingan diri sendiri, orang lain atau korporasi. Kalau tindakan itu dapat merugikan keuangan atau perekonomian negara, maka tindakan tersebut dapat dianggap sebagai tindakan korupsi. Adakalanya tindakan penyalahgunaan wewenang jabatan tersebut disebabkan karena kebijakan publik yang hanya dipandang sebagai kesalahan prosedur dan administratif, akan tetapi apabila dilakukan dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau korporasi yang berakibat pada kerugian perekonomian dan keuangan negara, maka sesungguhnya itu adalah tindak pidana.134

Dalam tindak pidana korupsi, unsur “menyalahgunakan kewenangan” dapat ditemukan dalam rumusan Pasal 3 Undang-undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang selalu dikaitkan dengan jabatan yang

134 Khairunas. Penyalahgunaan Wewenang Jabatan (Abuse Of Power), IAIN Pontianak, 2015, Diakses pada 14 Maret 2019. http://khairunas.iainptk.ac.id/penyalahgunaan-wewenang-jabatan-abuse-of-power/

dimiliki seseorang pejabat publik (menyalahgunakan kewenangan karena jabatan), yang rumusannya sebagai berikut:

“Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000.- (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000.- (satu miliar rupiah).”

Kewenangan yang dimaksud dalam Pasal 3 Undang-undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi merupakan kewenangan dari Pegawai Negeri. Korban dalam tindak pidana korupsi, dapat digolongkan menjadi 2 (dua) bagian yaitu : korban langsung (Direct Victims) yaitu Negara dan korban tidak langsung (Indirect Victims) yaitu individu /masyarakat dan korporasi.

Menurut Angkasa135, menyatakan bahwa selain Negara yang mengalami kerugian, masyarakat juga dapat mengalami kerugian karena sumber pemasukan negara terbesar adalah dari pajak yang dipungut kepada masyarakat serta sebagian lainnya adalah penerimaan Negara bukan pajak atau dikenal dengan istilah PNBP.136 Sehingga dalam perspektif viktimologi maka berdasarkan klasifikasi korban dapat dikatagorikan sebagai korban kolektif artinya masyarakat secara bersama dalam jumlah yang banyak telah menjadi korban. Misalnya dalam hal pembangunan suatu

135 Angkasa, Restitusi bagi Korban Tindak Pidana Korupsi dalam Perspektif Viktimologi, lihat https://www.bphn.go.id/data/documents/materi_cle_4_dr_angkasa.pdf, diakses pada 16 Mei 2016.

136 Dalam perspektif viktimolgi maka berdasarkan klasifikasi korban dapat dikatagorikan sebagai korban kolektif artinya masyarakat secara bersama dalam jumlah yang banyak telah menjadi korban.

proyek ketika terdapat mark up anggaran dan/atau tidak sesuai dengan spesifikasi yang disepakati, hasil pekerjaan atau jasa yang diberikan atau barang yang di dapat dipastikan di bawah standar. Hal ini jelas berdampak kerugian bagi masyarakat pengguna atas jasa dan/atau fasilitas. Sehingga indikator terjadinya tindak pidana korupsi yaitu adanya 4 tindakan meliputi mark-up, tidak sesuai dengan pagu, kegiatan fiktif dan tidak sesuai dengan prosedur. Dalam hal ini masyarakat dapat mengalami penderitaan (rusaknya jalan menyebabkan ketidak nyamanan penguna jalan dan menjadi faktor kondusif bagi terjadinya kecelakaan lalu lintas, dapat mula membahayakan pengguna fasilitas misalnya runtuhnya jembatan, dll).

Penyalahgunaan terhadap kewenangan dalam hal perizinan atau pemeriksaan kelayakan kendaraan dapat berakibat kecelakaan dan menimbulkan kerugian dan/atau penderitaan bagi korbannya.

Kerugian dan/atau penderitaan akibat tindak pidana korupsi dalam perkembangannya sangat signifikan berdampak meluas tidak hanya sebatas kerugian negara dan perekonomian nasional tetapi juga pada kehidupan berbangsa dan bernegara137. Kebocoran APBN selama 4 (empat) Pelita sebesar 30 persen telah menimbulkan kemiskinan dan kesenjangan sosial yang besar dalam kehidupan masyarakat karena sebagian rakyat tidak dapat menikmati hak yang seharusnya di

137 Pandangan ini apabila cuma mempertahankan bangsa masih terlalu sempit, oleh karenanya perlu ketahanan politik, ekonomi, sosial dan budaya.

peroleh. Konsekuensi logis dari keadaan sedemikian, maka korupsi telah melemahkan ketahanan sosial bangsa dan negara Republik Indonesia.138

Ditinjau dari perspektif viktimologi, bahwa norma hukum positif (Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi) belum menerapkan hak-hak korban (masyarakat) secara langsung dan konkrit, mengingat bentuk pertanggungjawaban pelaku tindak pidana korupsi hanya sebatas menjalani pidana dan pengembalian kerugian keuangan negara, sehingga belum mampu mengurangi penderitaan masyarakat secara langsung. Masyarakat sebagai korban yang dirugikan secara tidak langsung dalam tindak pidana korupsi harus mendapatkan keadilan atas hak-haknya.

Keadilan berusaha memberikan kepada siapapun hal-hal apa yang menjadi haknya yang dilakukan secara proporsional dan tidak melanggar hukum. Menurut Rudolf Stammler, keadilan adalah usaha atau tindakan mengarahkan hukum positif kepada cita hukum, sehingga hukum yang adil (richtsges recht) ialah hukum positif yang memiliki sifat yang diarahkan oleh cita hukum untuk mencapai tujuan masyarakat.139 Keadilan disini memberikan gambaran kepada korban tidak langsung untuk mendapatkan hak-haknya sebagai akibat dari perbuatan tindak pidana korupsi.

138 Romli Atmasasmita, Sekitar Masalah Korupsi Aspek Nasional dan Aspek Internasional, Bandung: Mandar Maju, 2004, halaman 4 – 5

139 Zainuddin Ali, Op. Cit., halaman 136. Cita hukum menurut Rudolf Stammler adalah konstruksi pikir yang merupakan keharusan untuk mengarahkan hukum kepada cita-cita yang diinginkan oleh masyarakat. Meskipun titik akhir yang tidak mungkin untuk dicapai, namun cita hukum memberi manfaat karena ia mengandung dua sisi, yaitu cita hukum bangsa Indonesia dapat menguji hukum positif yang berlaku dan kepada cita hukum dapat mengarahkan hukum positif sebagai usaha dengan sanksi pemaksa menuju sesuatu yang adil.

Terminologi korban tidak langsung atau Pihak ketiga dalam tindak pidana korupsi dapat dilihat pada Pasal 19 Undang-Undang No 31 tahun 1999 Jo UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi140, namun Undang-Undang tersebut tidak memberikan definisi atau pengertian dari pihak ketiga dan itikad baik.

KUHAP memberikan istilah pihak ketiga pada pasal 80 KUHAP141 tentang pemeriksaan untuk memeriksa sah atau tidaknya suatu penghentian penyidikan atau penuntutan dapat diajukan oleh penyidik atau penuntut umum, pihak ketiga yang berkepentingan kepada Ketua Pengadilan Negeri dengan menyebutkan alasannya.

Pengertian pihak ketiga yang berkepentingan tidak secara tegas dijelaskan oleh pembuat undang-undang sehingga menimbulkan berbagai penafsiran. Namun dalam konteks pengertian pihak ketiga menurut pasal 19 Undang-Undang No 31 Tahun

140 Pasal 19 : (1) Putusan pengadilan mengenai perampasan barang-barang bukan kepunyaan terdakwa tidak dijatuhkan, apabila hak-hak pihak ketiga yang beritikad baik akan dirugikan.

(2) Dalam hal putusan pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) termasukjuga barang pihak ketiga yang mempunyai itikad baik, maka pihak ketiga tersebutdapat mengajukan surat keberatan kepada pengadilan yang bersangkutan, dalam waktu paling lambat 2 (dua) bulan setelah putusan pengadilan diucapkan disidang terbuka untuk umum.

(3) Pengajuan surat keberatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) untukmenangguhkan atau menghentikan pelaksanaan putusan pengadilan.

(4) Dalam keadaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), hakim meminta keterangan penuntut umum dan pihak yang berkepentingan.

(5) Penetapan hakim atas surat keberatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dapat dimintakan kasasi ke Mahkamah Agung oleh pemohon atau penuntut umum.

141 Pasal 80 KUHAP : Permintaan untuk memeriksa sah atau tidaknya suatu penghentian penyidikan atau penuntutan dapat diajukan oleh penyidik atau penuntut umum atau pihak ketiga yang berkepentingan kepada ketua pengadilan negeri dengan menyebutkan alasannya.

1999 Jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 adalah pemilik atau yang berhak atas suatu barang yang disita secara sah menurut hukum, dimana pihak tersebut tidak ada kaitannya secara hukum dalam proses terwujudnya suatu delik.

Demikian halnya dengan pengertian itikad baik, pembuat undang-undang, tidak menjelaskan definisi atau pengertian dari itikad baik. Dari beberapa konsep

142 Pasal 1963 KUHPerdata : Siapa yang dengan itikad baik, dan berdasarkan suatu alas hak yang sah, memperoleh suatu benda tak bergerak, suatu bunga, atau suatu piutang lain yang tidak harus dibayar atas tunjuk, memperoleh hak milik atasnya, dengan jalan daluwarsa, dengan suatu penguasaan selama dua puluh tahun. Siapa yang dengan itikad baik menguasainya selam tiga puluh tahun, memperoleh hak milik, dengan tidak dapat dipaksa untuk mempertunjukkan alas haknya.

Pasal 1977 KUHPerdata :

Barangsiapa menguasai barang bergerak yang tidak berupa bunga atau piutang yang tidak harus di bayar atas tunjuk, dianggap sebagai pemiliknya sepenuhnya.

Walaupun demikian, barangsiapa kehilangan atau kecurian suatu barang, dalam jangka waktu tiga tahun, terhitung sejak hari barang itu hilang atau dicuri itu dikembalikan pemegangnya, tanpa mengurangi hak orang yang disebut terakhir ini untuk minta ganti rugi kepada orang yang menyerahkan barang itu kepadanya, pula tanpa mengurangi ketentuan Pasal 582.

Pasal 531 KUHPerdata : Besit dalam itikad baik terjadi bila pemegang besit memperoleh barang itu dengan mendapatkan hak milik tanpa mengetahui adanya cacat cela di dalamnya

Pasal 1338 KUHPerdata : Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.Suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu. Suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.

masyarakat yang lebih tertib. Ketiadaan itikad baik dalam hubungan masyarakat mengarah pada perbuatan yang secara umum di cela oleh masyarakat, celaan datang dari sikap batin pembuat yang tidak memiliki itikad baik, sikap batin disini mengarah pada kesengajaan sebagai kesalahan pembuat yang secara psikologi menyadari perbuatannya serta akibat yang melekat atau mungkin timbul dari pada perbuatan tersebut. Berdasarkan uraian tentang pihak ketiga dan itikad baik tersebut diatas, dikaitkan dengan pengembalian barang bukti kepada yang berhak sebagai pihak ketiga yang dipandang memiliki itikad baik, maka yang harus dibuktikan sebaliknya oleh pihak ketiga adalah:143

1. Orang yang beritikad baik menaruh kepercayaan sepenuhnya kepada pihak lawan, yang dianggapnya jujur dan tidak menyembunyikan sesuatu yang buruk yang dikemudian hari akan menimbulkan kesulitan-kesulitan.

2. Kejujuran seseorang dalam melakukan suatu perbuatan hukum yaitu apa yang terletak pada sikap batin seseorang pada waktu diadakan perbuatan hukum.

3. Harus mengindahkan norma-norma kepatutan dan kesusilaan.

Dengan demikian, korban tidak langsung dalam hal ini sebagai pihak ketiga dapat mengajukan keberatan atas putusan pengadilan, dan atas keberatan dari pihak ketiga, Hakim telah mempertimbangkan tentang kedudukan pihak ketiga, jangka

143 Muhamad Nur Ibrahim, Perlindungan Hukum Pihak Ketiga Terhadap Keberatan Atas Putusan Pengadilan Dalam Perkara Korupsi, Jurnal Katalogis, Vol. 4 No. 55, Mei 2016, halaman 220.

waktu pengajuan keberatan serta alat bukti dan barang bukti yang diajukan oleh pihak ketiga dalam satu produk hukum yaitu penetapan.144 Namun demikian perlindungan hukum bagi pihak ketiga beritikad baik dalam ketentuan-ketentuan tindak pidana korupsi sangat minim, begitupun ketentuan yang ada dalam Hukum Acara Pidana sebagai ketentuan pokok dari hukum formil yang ada.

Menurut penulis, peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang perlindungan terhadap korban tidak langsung khususnya dalam tindak pidana korupsi hanya mengatur tentang pihak ketiga terhadap perampasan barang bukan kepunyaan terdakwa sebagaimana tertera dalam Pasal 19 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001, walaupun Pasal 34 dan Pasal 35 United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) memuat tentang pemberian kompensasi atau kerugian kepada pihak lain yang telah dirugikan atas terjadinya tindak pidana korupsi, namun terhadap masyarakat dan/atau individu yang turut menjadi korban dalam tindak pidana korupsi tidak ada diatur dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sehingga perlu adanya pembaharuan hukum terhadap perlindungan korban tidak langsung dalam tindak pidana korupsi yang dimasukkan dalam rancangan peraturan perundang-undangan yang akan datang. Sehingga perlu penyempurnaan didalam undang-undang tindak pidana korupsi untuk memasukkan Pasal 34 dan Pasal 35 (kompensasi dan restitusi) UNCAC terhadap pihak ketiga yang dirugikan atas terjadinya peristiwa tindak pidana korupsi.

144 Ibid.

Sejatinya Pembaharuan Hukum Pidana menurut Gustav Radbruch menyatakan bahwa memperbaharui hukum pidana tidak berarti memperbaiki hukum pidana akan tetapi menggantinya dengan lebih baik.145 Pembaharuan hukum pidana yang sifatnya menyeluruh harus meliputi pembaharuan pidana materiil (Substantif), hukum pidana formil (hukum Acara Pidana) dan hukum pelaksanaan pidana. Ketiga bidang hukum pidana itu harus bersama sama diperbaharui, sehingga hukum yang diciptakan harus mengakomodasikan nilai-nilai central dalam masyarakat. Penekanan nilai sentral masyarakat ini tidak terlepas dari fungsi hukum yang mana hukum dan masyarakat bagaikan dua sisi mata uang „Ubi societas ibi ius” dimana ada masyarakat disana hukum, dimana keduanya tidak dapat dipisahkan. Sehingga dalam pembaharuan terhadap perlindungan korban tidak langsung dalam tindak pidana korupsi harus menekankan kepada nilai-nilai yang hidup didalam masyarakat.

Berdasarkan hal tersebut maka, terkait dengan korban tidak langsung dapat di

Berdasarkan hal tersebut maka, terkait dengan korban tidak langsung dapat di