• Tidak ada hasil yang ditemukan

KOMUNITAS PEDAGANG DI KOTA SEMARANG

2) Bentuk Campur Kode

Campur kode yang terjadi pada peristiwa tutur komunitas pedagang di Kota Semarang berbentuk kata, frasa, baster, perulangan, dan ungkapan.

Campur kode berupa kata dapat disimak pada contoh berikut ini.

(21) Konteks : Percakapan pedagang dan pembantunya pada sore hari ketika akan tutup P-1 : Jangan lupa besuk datang

pagi-pagi lho.

P-2 : Nurunin apa lagi ta, Nyah? P-1 : Lha itu ta, kan berase mau

datang lagi.

P-2 : Ala, Nyah, nurunin gula tadi saja dah kemeng kok besuk masih ditambah lagi. ‘Ala, Nyah, nurunin gula tadi saja sudah pegal kok besuk masih ditambah lagi.’

P-1 : Lha gimana, Narto sakit ya terpaksa kamu sendiri.

P-2 : Besuk kalau aku lempoh gimana, Nyah? ‘Besuk kalau aku ’tidak dapat berjalan’ bagaimana, Nyah?

Pada peristiwa tutur (21) terdapat campur kode berbentuk kata, yaitu kemeng ‘pegal’ pada tuturan P-2 (pembantu) Ala, Nyah, nurunin gula tadi saja dah kemeng kok besuk masih ditambah lagi dan kata lempoh ‘tidak dapat berjalan’ pada tuturan P-2 Besuk kalau aku lempoh gimana, Nyah?. Kata kemeng dan lempoh adalah kata bahasa Jawa yang digunakan dalam bahasa Indonesia. Kata tersebut digunakan dengan maksud menyangatkan keadaan. Dengan digunakannya kata itu, maksud penutur lebih mudah ditangkap dan dirasakan daripada digunakan kata pegal dan lumpuh.

Campur kode dalam bentuk frasa adalah penggunaan frasa suatu bahasa ke bahasa lain, seperti pada tuturan berikut ini.

Jalabahasa, Vol. 12, No. 1, Mei 2016, hlm. 61—80

p r o o f

(22) Konteks : Pedagang bertanya kepada pemasok tentang kedatangannya di kiosnya P-1 : Lho, memang aku kurang

berapa?

P-2 : Nggak kurang kok, Pak. P-1 : Lha mau ngapain?

P-2 : Mau minta tapak asma Ibu. ‘Mau minta tanda tangan Ibu.’ P-1 : Ya, tunggu sebentar lagi

datang!

Peristiwa tutur (22) menunjukkan campur kode berbentuk frasa bahasa Jawa ragam krama, yaitu tapak asma ‘tanda tangan’, dalam tuturan berbahasa Indonesia Mau minta tapak asma Ibu. Frasa tersebut digunakan oleh penutur sebagai bentuk hormat pada orang yang akan dimintai tanda tangan. Selain itu, pemasok memang sudah terbiasa menggunakan BJK ketika bertutur dengan istri pedagang itu. Kebiasaan itu memengaruhi tuturannya ketika sedang berbicara sesuatu yang menyangkut istri pedagang itu.

Campur kode berbentuk baster adalah penggunaan kata pada suatu bahasa yang dalam pembentukannya mendapatkan unsur afi ks dari bahasa yang lain.

(23) Konteks : Percakapan sesama penjual tentang pesanan P-1 : Pesenane sampun kula caoske

ibu, Pak. ‘Pesananya sudah saya berikan ibu, Pak.’

P-2 : Dados setunggal napa

dhewe-dhewe? ‘Jadi satu atau

sendiri-sendiri?’

P-1 : Dados setunggal nika, lha

dhawuhe Ibu dados setunggal.

‘Jadi satu itu, lha perintahnya Ibu jadi satu.’

P-2 : O, nggih, mboten napa-napa, turnuwun nggih. ‘O, ya, tidak apa-apa, trimakasih ya.’

Pada peristiwa tutur (23) P-1 dan P-2 menggunakan bahasa Jawa ragam krama. Pada tuturan itu terdapat campur kode berbentuk baster, yaitu kata pesenane, caoske, dan dhawuhe, yang berasal dari kata bahasa Jawa ragam krama, pesenan ‘pesanan’, caos ‘beri’, dan dhawuh ‘perintah’ yang dalam pembentukannya mendapatkan afi ks berupa akhiran –e (bahasa Jawa ragam ngoko). Akhiran –e pada kata pesenane ‘pesanannya’dan dhawuhe ‘perintahnya’ seharusnya –ipun sehingga bentuk kata itu adalah pesenanipun dan dhawuhipun. Kemudian, akhiran –e pada kata caoske ‘berikan’ pada tuturan P-1 seharusnya –aken sehingga kata itu berbentuk caosaken ‘berikan’.

Campur kode berbentuk perulangan adalah pengunaan kata ulang dalam satu bahasa yang pembentukannya identik dengan perulangan pada bahasa lain, seperti perulangan dalam bahasa Indonesia yang identik dengan bentuk perulangan bahasa Jawa, yaitu kata ulang boleh-boleh dan apa-apa.

(24) Konteks : Percakapan antarsesama

pedagang tentang pemindahan pasar

P-1 : Hasile pertemuan piye? P-2 : Ya, begitulah.

P-1 : Begitu gimana ta?

P-2 : Yah, dipindah itu boleh-boleh saja, tapi yang jelas gitu lho. Kalau nanti pasar jadi, kita dapat jatas kios lagi.

P-1 : Wah, kudu didemo wae. P-2 : Demo piye? Kalau ada

apa-apa, awak-awak ini juga yang disalahkan.

Penggunaan Bahasa Komunitas Pedagang di Kota Semarang ... (Suryo Handono)

p r o o f

Pada peristiwa tutur (24) terdapat penggunaan campur kode berbentuk perulangan, yaitu kata ulang boleh-boleh pada tuturan Yah, dipindah itu

boleh-boleh saja, tapi yang jelas gitu

lho dan apa-apa pada tuturan Demo piye? Kalau ada apa-apa, awak-awak ini juga yang disalahkan. Pembentukan kata ulang boleh-boleh dan apa-apa tersebut identik dengan bentuk perulangan bahasa Jawa olah-oleh atau entak-entuk dan apa-apa.

Campur kode berbentuk ungkapan adalah penyisipan ungkapan dari bahasa lain pada suatu bahasa yang digunakan, seperti pada tuturan berikut ini.

(25) Konteks : P e r c a k a p a n antarpedagang tentang teguran kepala pasar kepada mereka

P-1 : Kowei piye ta, ora sportif, ditakoni Bu Titik kok meneng wae? “Kamu itu bagaimana, tidak sportif, ditanya oleh Bu Titik kok diam saja?’

P-2 : Heeh, ra mutu tenan. Kita ndak tahu apa-apa melu dimarahi. ‘Iya, benar-benar tidak mutu. Kita tidak tahu apa-apa ikut dimarahi.’

P-3 : Tenang wae, Bu Titik sudah pulang. ‘Tenang saja, Bu Titik sudah pulang.’

P-2 : Kowe kudu nemoni Bu Titik, ngaku yen sing nulis kowe. ‘Kamu harus menemui Bu Titik, mengakui jika yang menulis kamu.’

P-3 : Ala, ngono ae dipikir berat. ‘Ala, begitu saja dipikir berat.’ P-1 : Aja nggampangke, berani

berbuat berani tanggung jawab. ‘Jangan dianggap

mudah, berani berbuat berani tanggung jawab.

P-3 : Ya, ya, mengko tak neng omahe Bu Titik. ‘Ya, ya, nanti aku ke rumah Bu Titik.’

P-2 : Kancani, Van, ben ana saksine. ‘Temani, Van, biar ada saksinya.’

P-1 : Aja aku ta, sing padha lanange ta. ‘Jangan aku, yang sama-sama laki-laki saja.’

Pada peristiwa tutur (25) terdapat campur kode berbentuk ungkapan, yaitu berani berbuat berani tanggung jawab pada tuturan P-1. Ungkapan BI itu digunakan dalam BJN. Penyisipan ungkapan itu disebabkan oleh keterbatasan kemampuan berbahasa Jawa penutur (P-1). Ia tidak memiliki perbendaharaan ungkapan bahasa Jawa yang mengandung makna seperti ungkapan tersebut, misalnya jagung bakarane, wani tanggung akibate. Pada sisi lain, penutur ingin menegaskan tuntutannya kepada mitra tuturnya (P-3) untuk memertanggungjawabkan perbuatannya sehingga ia merasa lebih tepat menggunakan ungkapan berbahasa Indonesia.

Faktor yang Memengaruhi Penggunaan Bahasa Komunitas Pedagang di Kota Semarang a. Status Sosial

Status sosial yang memengaruhi penggunaan bahasa adalah perbedaan status sosial peserta tutur. Penutur yang memunyai status sosial lebih tinggi akan lebih leluasa dalam menggunakan bahasa yang digunakan pada saat berinteraksi. Sebaliknya, penutur yang memunyai status sosial lebih rendah

Jalabahasa, Vol. 12, No. 1, Mei 2016, hlm. 61—80

p r o o f

akan menghormati mitra tuturnya dengan menggunakan bahasa yang bernilai rasa hormat.

(26) Konteks : Seorang pedagang

memberi tahu pembantunya bahwa dia

dicari Ibu Nur

P-1 : Sampeyan mau digoleki Bu Nur wis ketemu, Pak? ‘Kamu tadi dicari Bu Nur sudah bertemu, Pak?’

P-2 : Dereng, ajeng dhawuh napa ta? ‘Belum, akan menyuruh apa?’

P-1 : Wah, ra ngerti, temonana sik ta, mbok menawa diwehi dhuwit! ‘Wah, tidak tahu, temui dulu, barangkali diberi uang!’

P-2 : Walah, dhuwit napa, paling ajeng utusan mendhet barang. ‘Walah, uang apa, mungkin akan menyuruh mengambil barang (dagangan).’

P-1 : Njupuk barang apa radiwehi dhuwit? ‘Mengambil barang apa tidak diberi uang?’

P-2 : Lha nggih ta, napa kula sing ken mbayar? ‘Lha iya, apa saya yang disuruh membayar?’ P-1 : Mula, temoni sik kana! ‘Oleh

karena itu, temui dulu!’ P-2 : Nggih, nggih. ‘Ya, ya.’

Pada peristiwa tutur (26) P-1 dengan status sosial lebih tinggi memiliki keleluasaan menggunakan bahasa. Ia menggunakan bahasa yang tidak bernilai rasa hormat untuk berkomunikasi dengan P-2, yaitu BJN. Namun, ia tidak meninggalkan rasa hormatnya, yang diwujudkan dengan campur kode berupa kata sampeyan ‘kamu’ (BJK) alih-alih

kata kowe ‘kamu’ (BJN). Sebaliknya, P-2 dengan status sosial lebih rendah menggunakan bahasa yang bernilai rasa hormat dengan menggunakan BJK walaupun P-1 selalu menggunakan BJN. Data (26) tersebut menunjukkan bahwa penutur dengan status sosial lebih tinggi dapat leluasa menggunakan kosabahasa tanpa harus memertimbangkan nilai rasa hormat. Akan tetapi, keleluasaan itu tidak digunakan dengan semena-mena. Penutur dengan status sosial lebih tinggi pun tetap memertimbangkan rasa hormat.

b. Jarak Sosial

Jarak sosial adalah tingkat keakraban antara penutur dan mitra tuturnya. Tingkat keakraban ini sangat menentukan penggunaan bahasa. Penutur dengan jarak sosial renggang akan menggunakan bahasa yang bersifat formal atau bernilai rasa hormat, yaitu bahasa Indonesia (BI) atau bahasa Jawa ragam krama (BJK). Sebaliknya, penutur dengan jarak sosial akrab akan menggunakan bahasa yang bersifat akrab, yaitu menggunakan bahasa Jawa ragam ngoko (BJK).

Dokumen terkait