• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II HAK DAN KEWAJIBAN PIHAK DALAM PERJANJIAN

A. Bentuk Perjanjian Distributor PT Frisian Flag Indonesia

2. Bentuk Perjanjian Disributor

Pada dasarnya isi dan bentuk standar perjanjian yang dibuat dalam melakukan

kegiatan perjanjian kerjasama dagang adalah kebebasan para pihak untuk

membuatnya yang berdasarkan atas asas kebebasan berkontrak. Dan hal ini diatur

dalam Buku III KUHPerdata mengenai hukum perjanjian yang menganut asas

kebebasan dalam hal membuat perjanjian.

Hukum perjanjian menganut sistem terbuka, artinya bahwa hukum perjanjian

memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk mengadakan

perjanjian yang berisi apa saja. Asalkan tidak melanggar ketertiban umum dan

kesusilaan yang berlaku, asas kebebasan berkontrak itu berpangkal pada adanya

kedudukan kedua belah pihak yang sama kuat, sedangkan kenyataannya tidaklah

demikian.

Pasal-pasal dari hukum perjanjian merupakan ketentuan hukum pelengkap,

53 BPHN Departemen Kehakiman, Laporan Pengkajian Tentang Beberapa Aspek Hukum Perjanjian Keagenan dan Distribusi, 1992/1993, hal. 10.

yang berarti bahwa pasal-pasal itu boleh disingkirkan manakala dikehendaki oleh

pihak-pihak yang membuat suatu perjanjian. Para pihak diperbolehkan membuat

ketentuan-ketentuan sendiri yang menyimpang dari pasal-pasal hukum

perjanjian-perjanjian yang mereka adakan.

Walaupun setiap orang diberi kebebasan untuk membuat perjanjian tetapi

Undang-Undang mengatur batasan-batasan dari kebebasan tersebut. Suatu perjanjian

dikatakan tidak boleh bertentangan dengan:

1. Pasal 1337 KUHPerdata yang mengatur bahwa suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh Undang-Undang atau apabila berlawanan dengan kesusilaan atau ketertiban umum.

2. Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata yang mengatur bahwa suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.

3. Pasal 1339 KUHPerdata yang mengatur bahwa suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan didalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau Undang-Undang.

Berdasarkan ketiga pasal tersebut maka ada 2 (dua) hal yang harus

diperhatikan di dalam membuat suatu perjanjian baku, yaitu :

1. Tidak bertentangan dengan Undang-Undang, moral (kesusilaan), ketertiban

umum, kepatutan, dan kebiasaan (Pasal 1337 dan Pasal 1339 KUHPerdata).

2. Memiliki itikad baik (Pasal 1338 KUHPerdata).

Moral (kesusilaan) diartikan sebagai moral yang dalam suatu masyarakat

diakui oleh umum/khalayak ramai. Sedangkan ketertiban umum adalah kepentingan

masyarakat yang dilawankan dengan kepentingan perseorangan, yang dalam

berhadapan dengan kepentingan perseorangan itu dipermasalahkan apakah

Keadilan dapat dimasukan ke dalam arti kepatutan. Dengan demikian

sesuatu yang tidak adil berarti tidak patut. Dengan kata lain bila dikaitkan dengan

kepatutan dalam arti keadilan, maka isi/klausula-klausula suatu perjanjian tidak

boleh tidak adil. Klausula-klausula perjanjian yang secara tidak wajar

sangat memberatkan pihak lainnya adalah syarat-syarat yang bertentangan dengan

keadilan.

Sedangkan kebiasaan pada umumnya dapat diartikan sebagai kebiasaan

setempat yaitu aturan-aturan yang diindahkan dalam lingkungan tertentu. Itikad

baik adalah niat dari pihak yang satu dalam suatu perjanjian untuk tidak merugikan

salah satu pihak maupun tidak merugikan kepentingan umum. Niat tersebut harus

merupakan niat yang jujur untuk tidak merugikan salah satu pihak ataupun merugikan

kepentingan umum.

Dalam perjanjian antara PT Frisian Flag Indonesia dengan salah satu

distributornya yaitu PT. Permata Niaga, tidak semua unsur dalam asas kebebasan

berkontrak terpenuhi. Hal ini dikarenakan posisi tawar menawar (bargaining

position) PT Frisian Flag Indonesia lebih kuat dari pihak PT. Permata Niaga

(distributor).

Pelaksanaan kebebasan berkontrak akan tercapai bila para pihak mempunyai

posisi seimbang. Jika salah satu pihak lemah maka pihak yang memiliki posisi lebih

kuat dapat memaksakan kehendaknya untuk menekan pihak yang lemah demi

Klausul baku yang berisi ketentuan dan persyaratan dikenal sebagai klausula

eksonerasi(exoneration clouse)atau klausa eksemsi(exsemtion clause)”.54

Menurut Rijken klausula eksonerasi adalah “klausul yang dicantumkan dalam

suatu perjanjian yang mana satu pihak akan menghindarkan diri untuk memenuhi

kewajibannya dengan membayar ganti rugi seluruhnya atau terbatas, yang disebabkan

karena wanprestasi atau perbuatan melawan hukum”.55

Klausula berat sebelah ini dalam bahasa Belanda disebut dengan

onredelijk bezwarend atau dalam bahasa Inggris disebut dengan unreasonably

onerrous. ”Dalam pustaka-pustaka Hukum Amerika Serikat, klausula itu

disebut juga dengan istilah exculpatory clause; warranty disclaimer clause atau

limitation of liability clause”.56

Sutan Remy Sjahdeni memberi pengertian klausula eksonerasi dengan istilah

klausul eksemsi, yaitu: “klausul eksemsi adalah klausul yang bertujuan untuk

membebaskan atau membatasi tanggung jawab salah satu pihak terhadap gugatan

pihak lainnya dalam yang bersangkutan tidak atau tidak dengan semestinya

melaksanakan kewajibannya yang ditentukan di dalam perjanjian tersebut”.57

Klausula eksonerasi hanya dapat digunakan dalam pelaksanaan perjanjian

dengan itikad baik. ”Eksonerasi terhadap kerugian yang timbul karena kesengajaan

pengusaha adalah bertentangan dengan kesusilaan. Karena itu pengadilan dapat

54 Johannes Gunawan, Reorientasi Hukum Kontrak di Indonesia, Jurnal Hukum Bisnis, Volume 22 No.6 Tahun 2003, hal. 45.

55Munir Fuady,Op.cit.,hal. 80.

56

Ibid., hal. 76.

57 Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak Dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredt Bank di Indonesia, Institut Bankir Indonesia, Jakarta, 1993, hal. 75.

mengesampingkan klausula eksenorasi tersebut”.58

Bagaimanapun juga eksonerasi hanya dapat digunakan jika tidak dilarang oleh

undang-undang dan tidak bertentangan dengan kesusilaan, dan jika terjadi sengketa

mengenai tanggung jawab tersebut, konsumen dapat mengajukan permohonan

kepada pengadilan untuk menguji apakah eksonerasi yang ditetapkan pengusaha itu

adalah layak, tidak dilarang oleh undang-undang, dan tidak bertentangan dengan

kesusilaan.

Suatu perjanjian dengan memakai syarat-syarat eksonerasi disebut pula

perjanjian dengan syarat-syarat untuk pembatasan berupa penghapusan ataupun

pengalihan tanggung jawab. ”Melalui syarat-syarat semacam ini oleh salah satu

dari pihak dibatasi atau dibedakan dari sesuatu tanggung jawab berdasarkan

hukum. Beban tanggung jawab yang diberikan oleh peraturan

perundang-undangan dihapus oleh penyusun perjanjian melalui syarat-syarat eksonerasi

tersebut”.59

Dalam sistem hukum Indonesia, tentang klausul baku yang berisi klausul

eksonerasi telah diatur dalam Undang-undang Nomor 8 tahun 1999 tentang

Perlindungan Konsumen, pada Bab V, Ketentuan Pencantuman Klausul Baku,

Pasal 18 yang berbunyi:

1. Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klasul baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila:

a. Menyatakan pengalihan tanggungjawab pelaku usaha;

58

Abdulkadir Muhammad,Perjanjian Baku Dalam Praktek Perusahaan Perdagangan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1992, hal. 20.

59 Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004, hal. 115.

b. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen;

c. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan

kembali uang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen;

d. Menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran;

e. Mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh kosumen;

f. Memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi objek jual beli jasa;

g. Menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak pelaku usaha dalam asa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya;

h. Menyatakan bahwa konsumen memberikan kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.

2. Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausul baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit dimengerti.

3. Setiap klausul baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau perjanjian yang memenuhi kententuan sebagimana dimaksud pada ayat 1 dan 2 dinyatakan batal demi hukum.

4. Pelaku usaha wajib menyesuaikan klausul baku yang bertentangan dengan undang-undang ini

Perjanjian kerjasama dagang antara PT Frisian Flag Indonesia dengan

PT. Permata Niaga dapat dikatakan tidak sejalan dengan asas kebebasan berkontrak,

hal ini dikarenakan perjanjian kerjasama dagang yang dibuat menggunakan bentuk

perjanjian baku (standar), dimana perjanjian yang didalam pembuatannya hanya

ditentukan oleh salah satu pihak saja yaitu pihak PT Frisian Flag Indonesia,

sementara pihak yang lain yaitu PT. Permata Niaga selaku distributor tidak

diikutkan dalam pembuatan perjanjian tersebut. Oleh karena tidak dalam posisi

ketentuan-ketentuan yang telah ada walaupun sebetulnya tidak sesuai dengan

keinginannya.