• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II HAK DAN KEWAJIBAN PIHAK DALAM PERJANJIAN

C. Hak dan Kewajiban PT. Frisian Flag Indonesia Sebagai

Akibat hukum suatu kontrak/perjanjian pada dasarnya lahir dari adanya

hubungan hukum dari suatu perikatan, yaitu dalam bentuk hak dan kewajiban.

Pemenuhan hak dan kewajiban inilah yang merupakan salah satu bentuk dari

pada akibat hukum suatu kontrak/perjanjian. Kemudian hak dan kewajiban ini

kewajiban dipihak kedua merupakan hak bagi pihak pertama. Dengan demikian

akibat hukum di sini tidak lain adalah pelaksanaan dari pada suatu kontrak/perjanjian

itu sendiri.35

Hak adalah wewenang yang diberikan hukum objektif kepada subjek hukum

untuk melakukan segala sesuatu yang dikhendakinya sepanjang tidak bertentangan

dengan peraturan perundangan.36

Sedangkan yang dimaksud dengan kewajiban adalah beban yang diberikan

oleh hukum kepada subjek hukum.37

Prestasi merupakan kewajiban yang harus dipenuhi para pihak dalam suatu

kontrak. Prestasi pokok tersebut dapat berwujud: benda, tenaga atau keahlian, tidak

berbuat sesuatu.38 Sebagaimana disebut dalam Pasal 1234 KUHPerdata prestasi

terbagi kepada tiga macam: menyerahkan sesuatu, berbuat sesuatu dan tidak berbuat

sesuatu.39

Sehubungan dengan kewajiban pihak-pihak sebagaimana disebutkan defenisi

perjanjian suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lain, atau dimana

dua orang saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu.40 Dalam perjanjian hal yang

harus dilaksanakan (kewajiban) itu dinamakan prestasi.

35 Daeng Naja, Contract Drafting: Seri Keterampilan Merancang Kontrak Bisnis, Cet 2, Bandung, Citra Aditya Bakti, 2006, hal. 21

36 Ade Didik Irawan, Pengantar Ilmu Hukum, http://www.mypulau.com/adedidikirawan/ blog/731632, diakses tanggal 20 Januari 2011.

37Ibid.

38

Ahmadi Miru, Hukum Kontrak Perancangan Kontrak, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2010, hal. 68.

Dalam perjanjian kerjasama distributor antara PT. Frisian Flag Indonesia

dengan PT. Permata Niaga telah mengatur mengenai hak dan kewajiban para pihak

sebagaimana ditentukan dalam Pasal 11 Perjanjian Distributor (Distributor

Agreement), No: 16/SO1/Legal/FFI/XII/10, disebutkan bahwa :

1. PT. Frisian Flag Indonesia akan berusaha sebaik-baiknya untuk memenuhi pesanan yang diterima olehnya dari distributor dari waktu ke waktu.

2. Apabila dianggap perlu, PT. Frisian Flag Indonesia dapat memberikan kepada distributor selama jangka waktu, bantuan sebagai berikut:

a. Saran dan konsultasi berkenaan dengan strategi dan teknik pemasaran produk;

b. Saran dan konsultasi yang umum berkenaan dengan pengiklanan dan promosi produk;

c. Pelatihan atas staff distributor dan tim eksklusif penjualan dengan biaya ditanggung distributor dalam jangka waktu tertentu selama jangka waktu; d. Menyediakan bentuk pengiklanan dan promosi PT. Frisian Flag Indonesia,

sampel-sampe dan data-data lain, sebagaimana dirancang atau dibuat oleh PT. Frisian Flag Indonesia yang dianggap relevan oleh PT. Frisian Flag Indonesia, dengan memperhatikan hak PT. Frisian Flag Indonesia atas kerahasiaan. Distributor setuju untuk menghormati hak milik intelektual yang dimiliki PT. Frisian Flag Indonesia.

3. PT. Frisian Flag Indonesia dari waktu ke waktu menyerahkan usulan harga jual kepada distributor yang terakhir berkaitan dengan produk.

4. PT. Frisian Flag Indonesia dapat memberikan kursus/seminar atas instruksi para karyawan, staff dan agen distributor untuk memberikan presentasi mengenai prodok pada waktu dan agenda yang disepakati oleh para pihak.

Perjanjian merupakan sumber terpenting yang melahirkan perikatan, memang

perikatan itu paling banyak diterbitkan oleh suatu perjanjian disamping perikatan

lahir dari undang-undang, hak dan kewajiban timbul berdasarkan perjanjian, setiap

perjanjian berisi kewajiban pokok yang menjadi dasar perjanjian tersebut. Suatu

yang telah dijanjikan oleh pihak lainnya itu.41

Suatu perikatan merupakan suatu hubungan hukum antara dua pihak,

berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu dari pihak lain dan pihak

lain berkewajiban memenuhi tuntutan itu.

Sesuai dengan sistem terbuka yang dianut dalam hukum perjanjian, para pihak

bebas untuk membuat perjanjian sesuai dengan kehendak dan kepentingan

masing-masing asalkan tidak melanggar ketertiban umum, kesusilaan dan Undang-Undang.

Menurut Pasal 1339 KUHPerdata, suatu perjanjian tidak hanya mengikat

untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan dalam perjanjian, tetapi juga untuk

segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian diharuskan (diwajibkan) oleh kepatutan,

kebiasaan dan undang-undang.42 Dengan demikian, setiap perjanjian diperlengkapi

dengan aturan-aturan yang terdapat dalam undang-undang, dalam adat kebiasaan

(disuatu tempat dan disuatu kalangan tertentu), sedangkan kewajiban-kewajiban yang

diharuskan oleh kepatutan (norma-norma kepatutan) harus juga diindahkan.

Dalam Pasal 1339 KUHPerdata tersebut, bahwa adat kebiasaan telah ditunjuk

sebagai sumber norma di samping undang-undang ikut menentukan hak-hak dan

kewajiban-kewajiban kedua belah pihak dalam suatu perjanjian. Suatu persoalan di

sini, bila terdapat suatu adat kebiasaan yang berlainan atau menyimpang dari

undang-undang, meskipun sudah ada suatu adat kebiasaan yang menyimpang, masih tetap

41Abdulkadir Muhammad, Op.cit,hal. 94.

berlaku dan barang siapa pada suatu hari menunjuk pada peraturan undang-undang

tersebut, harus dibenarkan dan tidak boleh dipersalahkan.

Sehubungan dengan hak dan kewajiban dalam perjanjian terbit dalam

yurisprudensi suatu perkara terkenal antara seorang penyewa rumah dan pemilik

rumah yang kedua-duanya berkepala batu. Pemilik rumah menghendaki sesuai

dengan apa yang ditentukan oleh Pasal 1393 KUHPerdata. Supaya uang sewa diantar

ke rumahnya. Memang, menurut pasal tersebut segala piutang yang berupa uang,

harus dibayar di rumah atau tempat tinggal si berpiutang (kreditur), dengan kata lain

harus diantarkan ke rumahnya kreditur. Tetapi, sebagaimana kita semua mengetahui,

menurut adat kebiasaan dimana-mana, uang sewa rumah itu ditagih atau dipungut di

rumah si penyewa atau penghuni.

Penyewa rumah tersebut di atas, yang juga memegang teguh pada peraturan

adat kebiasaan ini, membandel dan tidak suka mengantarkan uang sewa ke rumah

untuk si pemilik. Akhirnya, setelah uang sewa menunggak cukup banyak, si penyewa

itu digugat lewat pengadilan.

Sudah tentu dan semestinya si penyewa itu dihukum untuk membayar

tunggakan uang sewa kepada pemilik rumah. Tetapi ia oleh pengadilan juga dihukum

untuk membayar biaya perkara. Dengan kata lain, si penyewa itu dianggap salah dan

pemilik rumah dianggap pihak yang benar. Sebab menurut Hukum Acara

Perdata, biaya perkara itu selalu dibebankan kepada pihak yang dianggap oleh hakim

bersalah.

Jadi kesimpulan, pihak yang mengacu pada suatu pasal undang-undanglah

menyimpang dari undang-undang.43Sebagai kesimpulan dari apa yang dibicarakan di

atas, dapat ditetapkan bahwa ada tiga sumber norma yang ikut mengisi suatu

Perjanjian, yaitu: Undang-udang, kebiasaan dan kepatutan.44

Sedangkan akibat adanya hak dan kewajiban, maka konsekuensinya adalah

menimbulkan tanggung jawab hukum bagi para pihak yang terlibat dalam perjanjian

tersebut. Konsep tanggung jawab hukum merupakan bagian dari konsep kewajiban

hukum. “Kewajiban hukum berasal dari suatu norma trasendental yang mendasari

segala peraturan hukum. Norma dasar kemudian merumuskan kewajiban untuk

mengukuti peraturan hukum, dan mempertanggungjawabkan kewajiban untuk

mengikuti peraturan-peraturan hukum tersebut”.45

Menurut Johannes Gunawan menjelaskan Undang-Undang Perlindungan

Konsumen mengandung materi pertanggungjawaban dengan struktur yaitu:

a. Contract Liability

Contract Liability atau pertanggungjawaban kontrak adalah tanggung jawab perdata atas dasar perjanjian/kontrak dari pelaku usaha (baik barang maupun jasa), atas kerugian yang dialami konsumen akibat mengkonsumsi barang yang dihasilkan atau memanfaatkan jasa yang diberikan.

b. Product Liability

Product Liability atau tanggung jawab produk adalah tanggung jawab para produsen untuk produk yang dibawanya ke dalam peredaran, yang menimbulkan atau menyebabkan kerugian karena cacat yang melekat pada produk tersebut.

c. Profesional Liability

Profesional Liability atau tanggung jawab profesional adalah tanggung jawab hukum (legal liability) dalam hubungan dengan jasa profesional yang diberikan kepada klien.

d. Criminal Liability

Criminal Liability adalah tanggung jawab pidana yang mengatur tentang tindak atau perbuatan pidana dalam Undang-undang Perlindungan Konsumen

43Subekti,Op.cit, hal. 39-40.

44Ibid, hal. 40-41.

Pasal 61, 62, dan Pasal 63, di mana maksimum sanksi pidananya penjara lima tahun atau denda dua miliar.46

Klausul dari suatu perjanjian distributor yang sudah dibakukan antara lain

mengenai wilayah penjualan produk, produk yang didistribusikan, hak dan kewajiban

para pihak, pembatasan tanggung jawab distributor, potongan harga, dan syarat

pemberian jaminan.