BAB IV PENYELESAIAN PERSELISIHAN DALAM PELAKSANAAN`
B. Penyelesaian Perselisihan Dalam Perjanjian Kerjasama
Prestasi yang harus dilakukan oleh para pihak telah ditentukan dalam
perjanjian atau diharuskan oleh kebiasaan, kepatutan, atau undang-undang, tidak
dilakukannya prestasi tersebut berarti telah terjadi ingkar janji atau disebut
wanprestasi.80
Syarat-syarat yang tegas adalah syarat-syarat yang secara khusus disebutkan
dan disetujui oleh pihak-pihak pada waktu membuat perjanjian,81 Syarat-syarat
perjanjian lisan atau tulisan berbeda pentingnya, dan dapat diklasifikasikan menjadi
syarat pokok (condition), dan syarat pelengkap (warranty).
Syarat pokok (condition) adalah syarat yang penting yang merupakan syarat
vital bagi setiap pertjanjian sehingga tidak adanya ketaatan akan dapat dituntut
pemenuhannya, secara alternatif pihak yang dirugikan mempunyai hak untuk
membatalkan atau melepaskan perjanjian itu. Secara alternatif pihak yang dirugikan
itu jika menginginkan dapat meneruskan perjanjian itu tetapi memperoleh
penggantian bagi kerugian yang telah dideritanya.82
Untuk melaksanakan suatu perjanjian, lebih dahulu harus ditetapkan secara
tegas dan cermat apa saja isi perjanjian tersebut, atau dengan kata lain, apa saja
hak dan kewajiban masing-masing pihak. Biasanya orang mengadakan suatu
80Ahmadi Miru,Op.cit., hal. 70.
81Abdulkadir Muhammad,Op.cit, hal. 139.
perjanjian dengan tidak mengatur atau menetapkan secara teliti hak dan kewajiban
mereka. Mereka itu hanya menetapkan hal-hal yang pokok dan penting saja.83
Syarat pelengkap (warranty) adalah syarat yang kurang penting tidak adanya
ketaatan terhadap syarat ini akan menyebabkan kerugian, tetapi tidak mempengaruhi
tujuan utama perjanjian itu. Pelanggaran syarat pelengkap ini hanya akan
memberikan kepada pihak yang dirugikan hak untuk menggugat pembayaran ganti
rugi bukan melepaskan atau membatalkan perjanjian.84
Dalam Perjanjian adanya azas tidak boleh main hakim sendiri, dalam
perjanjian yang dibuat dengan kesepakatan bersama antara para pihak dan kemudian
ternyata tidak bisa dipenuhi oleh salah satu pihak yang seharusnya berkewajiban
melaksanakan perjanjian sebagaimana yang telah dibuat, dengan sendirinya terjadi
breach of contract atau pelanggaran terhadap kesepakatan. Oleh karena itu, dalam
keadaan demikian pihak yang melakukan wan prestasi harus dapat di paksa untuk
memenuhi kewajibannya.85
Meskipun hukum menjamin hak seorang sebagai pihak yang beritikad baik
untuk memperoleh perlindungan atas hak-haknya yang dilanggar dengan adanya asas
tidak boleh main hakim sendiri pihak yang merasa dirugikan dapat menegakkan
haknya menurut prosedur dan ketentuan yang berlaku. Dengan kata lain, yang
bersangkutan tidak boleh sekehedak hatinya meminta kepada pihak lain
supaya perjanjian itu segera dipenuhi atau dengan cara-caranya sendiri memaksa
83
Subekti,Op.cit., hal. 39.
84Ibid, hal. 140.
85I.G Rai Wijaya,Merancang Suatu Kontrak (Contract Drafting), Kesaint Blanc Indonesia, Jakarta, 2008, hal. 31.
pihak lain untuk memenuhi perjanjian atau yang biasa disebut “main hakim
sendiri”.86
Bukan berarti bahwa hak yang dimiliki oleh yang bersangkutan untuk
menegakkan kepentingannya akan hilang atau tidak ada. Melainkan atau harus
ditegakkan melalui prosedur yang berlaku yaitu melalui pengadilan atau meminta
bantuan hakim.87
Dengan kata lain pihak yang dirugikan dapat melakukan executie yang
disebutreele executie, dalam arti bahwa kreditur dapat mewujudkan sendiri prestasi
yang telah dijanjikan atas biaya debitur, namun, hal tersebut harus dengan kuasa atau
izin hakim.88
Berbeda halnya dengan apa yang disebut parate executie, yaitu kreditur
dapat melakukan eksekusi atau executie secara langsung tanpa melalui hakim. Hal
ini bisa terjadi, misalnya dalam fidusia dan Hak Tanggungan karena mengenai hal
ini sebelumnya sejak awalnya sudah diperjanjikan oleh para pihak, yang merupakan
syarat atau suatu klausula yang secara tegas telah disiapkan dan dicantumkan dalam
perjanjian.
Jadi, dalam suatu perikatan dengan prestasi “untuk berbuat sesuatu” apabila
debitur atau siberutang tidak memenuhi kewajibannya, penyelesainnya adalah si
berutang berkewajiban untuk memberikan penggantian biaya rugi dan bunga.
Dalam hal ini, si berpiutang atau kreditur berhak menuntut penghapusan atas
segala sesuatu yang telah dikerjakan secara berlawanan dengan isi perikatan. Dia atau
86Ibid.,hal. 32.
87Ibid.
kreditur boleh meminta dikuasakan oleh hakim untuk menyuruh menghapuskan
segala sesuatu yang telah dibuat tadi atas biaya debitur, dengan tidak mengurangi hak
untuk menuntut penggantian biaya, rugi dan bunga apabila terdapat alasan untuk itu
(Pasal 1240 KUHPerdata).89
Umumnya kontrak sebagai instrument pertukaran hak dan kewajiban
diharapkan dapat berlangsung dengan baik, fairdan proporsional sesuai kesepakatan
para pihak. Terutama pada kontrak komersial, baik pada tahap pra kontraktual,
pembentukan kontrak maupun pelaksanaannya.90 Para pihak yang berkontrak
senantiasa berharap kontraknya berakhir dengan “Happy Ending” namun tidak
menutup kemungkinan kontrak dimaksud menemui hambatan bahkan berujung pada
kegagalan kontrak.
Terkait dengan kegagalan kontrak, dapat terjadi karena faktor internal para
pihak maupun eksternal yang berpengaruh terhadap eksistensi kontrak yang
dimaksudkan. Ada beberapa faktor penting yang mengakibatkan kegagalan
pelaksanaan pemenuhan kewajiban kontraktual meliputi:
a. Wanprestasi,
Wanprestasi berasal dari bahasa Belanda yang berarti prestasi buruk.
Seseorang yang berjanji, tetapi tidak melakukan apa yang dijanjikannya, ia alpa, lalai
atau ingkar janji atau juga ia melanggar perjanjian, bila ia melakukan atau berbuat
sesuatu yang tidak boleh dilakukannya, maka ia dikatakan wanprestasi.91
89 I.G Rai Wijaya, Op.cit,hal. 32.
90Agus Yudha Hernoko,Op.cit, hal. 260.
Perikatan yang bersifat timbal balik senantiasa menimbulkan sisi aktif dan sisi
pasif. Sisi aktif menimbulkan hak bagi kreditor untuk menuntut pemenuhan prestasi,
sedangkan sisi pasif menimbulkan beban kewajiban bagi debitor untuk melaksanakan
prestasinya. Pada situasi normal antara prestasi dan kontra prestasi akan saling
bertukar, namun pada kondisi tertentu pertukaran prestasi tidak berjalan sebagaimana
mestinya sehingga muncul peristiwa yang disebut dengan wanprestasi.
Pelanggaran hak-hak kontraktual tersebut menimbulkan kewajiban ganti rugi
berdasarkan wanprestasi, sebagaimana diatur dalam Pasal 1236 KUHPerdata (untuk
prestasi memberikan sesuatu), dan Pasal 1239 KUHPerdata, untuk prestasi berbuat
sesuatu. Selanjutnya terkait dengan wanprestasi tersebut Pasal 1243 KUHPerdata
menyatakan, bahwa:
Penggantian biaya, rugi dan bunga karena tak dipenuhinya suatu perikatan, barulah mulai diwajibkan, apabila si berutang, setelah dinyatakan lalai memenuhi perikatannya, tetap melalaikannya, atau jika sesuatu yang harus diberikan atau dibuatnya, hanya dapat diberikan atau dibuat dalam tenggang waktu yang telah dilampaui.92
Secara umum, wanprestasi adalah tidak ditepatinya suatu perjanjian atau
kesepakatan yang telah dibuat atau dengan kata lain adanya salah satu pihak dalam
suatu perjanjian yang telah melakukan suatu perbuatan yang merugikan pihak lain
dengan cara tidak memenuhi kewajiban sebagaimana yang harus ia lakukan
berdasarkan kesepakatan yang telah mereka capai. Wanprestasi (kelalaian atau
kealpaan) seorang debitur dapat dibagi atas 4 (empat) macam yaitu:
1. tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukan;
2. melaksanakan apa yang dijanjikan, tetapi tidak sebagaimana dijanjikan;
3. melakukan apa yang dijanjikan, tetapi terlambat;
4. melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.93
Debitor dinyatakan lalai apabila, tidak memenuhi prestasi, terlambat
berprestasi, berprestasi tetapi tidak sebagaimana mestinya. Namun demikian pada
umumnya wanprestasi baru terjadi setelah adanya pernyataan lalai (in mora stelling,
ingebereke stelling) dari pihak kreditor kepada Debitor. Pernyataan lalai ini pada
dasarnya bertujuan menetapkan tenggang waktu yang wajar kepada debitur untuk
memenuhi prestasinya dengan sanksi tanggung gugat atas kerugian yang dialami
kreditor. Menurut undang-undang, peringatan (somatie) kreditor mengenai lalainya
debitor harus dituangkan dalam bentuk tertulis. Jadi lembaga pernyataan lalai
merupakan upaya hukum untuk sampai pada fase debitur dinyatakan wanprestasi.94
Menurut Pasal 1238 KUHPerdata dinyatakan bahwa: “Si berutang adalah
lalai, apabila ia dengan surat perintah atau dengan sebuah akta sejenis itu telah
dinyatakan lalai, atau demi perikatannya sendiri, ialah jika ini menetapkan, bahwa si
berutang harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan.”
Adakalanya dalam keadaan tertentu untuk membuktikan adanya wanprestasi
debitur tidak diperlukan lagi pernyataan lalai, ialah95:
a) Untuk pemenuhan prestasi berlaku tenggang waktu yang fatal (fatale termijn), b) Debitur menolak pemenuhan,
c) Debitur mengakui kelalaiannya,
d) Pemenuhan prestasi tidak mungkin (diluarovermacht), e) Pemenuhan tidak berarti (zinloos),
f) Debitur melakukan prestasi tidak sebagaimana mestinya.
93 Subekti,Hukum Perjanjian, Op.cit.,hal. 45.
94Agus Yudha Hernoko,Op.cit, hal. 262.
Dalam praktek penyusunan kontrak seringkali dimasukkan klausul yang
isinya sebagaimana tersebut diatas, misalnya fatale termijn sehingga dengan tidak
dipenuhi salah satu kewajiban debitur dalam kontrak, secara otomatis telah terjadi
wanprestasi. Biasanya untuk menindak lanjuti kondisi dicantumkan juga klausul
pemutusan kontrak sebagai salah satu bentuk sanksi yang mungkin ditempuh pihak
kreditor.96
Dengan adanya wanprestasi, pihak kreditor yang dirugikan sebagai akibat
kegagalan pelaksanaan kontrak oleh pihak debitur mempunyai hak gugat dalam
upaya menegakkan hak-hak kontraktualnya. Hal ini sebagaimana yang diatur dalam
ketentuan Pasal 1267 KUHPerdata yang menyatakan bahwa97: “Pihak yang
terhadapnya perikatan tidak dipenuhi, dapat memilih memaksa pihak yang lain untuk
memenuhi kontrak, jika hal itu masih dapat dilakukan, atau menuntut pembatalan
persetujuan, penggantian biaya, kerugian dan bunga”.
Menurut 1267 KUHPerdata tersebut, pihak kreditur dapat menuntut si debitur
yang lalai dengan pemenuhan perjanjian atau pembatalan disertai dengan ganti rugi
sesuai dengan perhitungan kerugian yang diderita kreditur dan bunga. Terhadap si
debitur yang lalai, terdapat beberapa tindakan yang dapat dilakukan oleh kreditur,
yaitu:
a. Kreditur dapat meminta pelaksanaan perjanjian, meskipun pelaksanaan atas prestasi yang diperjanjikan sudah terlambat.
b. Kreditur dapat meminta penggantian kerugian saja, yakni kerugian yang diderita olehnya karena terlambat atau tidak dilaksanakan atau dilaksanakan tetapi tidak sebagaimana mestinya.
c. Kreditur dapat menuntut pelaksanaan perjanjian disertai dengan penggantian
96 Ibid,hal. 262.
kerugian yang diderita olehnya sebagai akibat terlambatnya pelaksanaan perjanjian.
d. Kreditur dapat melakukan pembatalan perjanjian. Dalam halnya suatu perjanjian yang meletakkan kewajiban bertimbal-balik, kelalaian dari satu pihak memberikan hak kepada pihak yang lainnya untuk meminta kepada Hakim supaya perjanjian dibatalkan, tuntutan mana juga dapat disertai dengan permintaan penggantian kerugian. Hak ini diberikan oleh Pasal 1266 KUHPerdata.98
Pemenuhan (nakoming) merupakan prestasi primer sebagaimana yang
diharapkan dan diasepakati para pihak pada saat penutupan kontrak. Gugatan
pemenuhan prestasi hanya dapat diajukan apabila pemenuhan prestasi dimaksud telah
tiba waktunya untuk dilaksanakan (opeisbaar-dapat ditagih).99
Ganti rugi merupakan upaya untuk memulihkan kerugian yang prestasinya
bersifat subsidair. Artinya, apabila pemenuhan prestasi tidak lagi dimungkinkan atau
sudah tidak diharapkan lagi maka ganti rugi merupakan alternative yang dapat dipilih
oleh kreditor. Sesuai dengan ketentuan Pasal 1243 KUHPerdata, ganti rugi meliputi
biaya kosten, rugi (schaden) dan bunga (interessen).100
Ganti rugi di sini meliputi ganti rugi pengganti (vervangende vergoeding) dan
anti rugi pelengkap (aanvullend vergoeding). Merupakan Ganti rugi sebagai akibat
terlambat atau tidak dipenuhinya prestai debitur sebagaimana mestinya atau karena
adanya pemutusan kontrak.101
Untuk membuktikan kerugian kreditor, sehingga menimbulkan hak baginya
untuk memperoleh ganti rugi, Dalam hal ini harus dikaji ada atau tidak hubungan
kausal antara peristiwa yang merupakan penyebab (wanprestasi) dengan akibat yang
98
Subekti,Hukum Perjanjian, Op.cit.,hal. 147-148.
99 Agus Yudha Hernoko,Op.cit, hal. 263.
100Ibid, hal. 264.
ditimbulkan (kerugian). Oleh karena itu, kunci keberhasilan gugatan ganti rugi
terletak pada pembuktian adanya hubungan kausal antara wanprestasi dan
kerugian.102
b. Overmacht (force majeure, daya paksa),
Terkait dengan overmacht, buku II KUHPerdata mengaturnya secara
fragmenteris (tersebar) dalam beberapa pasal, yaitu Bagian IV tentang penggantian
Biaya, Rugi dan Bunga karena tidak dipenuhinya suatu perikatan (Pasal 1244 s/d
1245 KUHPerdata) dan bagian VII tentang musnahnya barang yang terutang (Pasal
1444 s/d 1445 KUHPerdata).
Rumusan overmacht menurut pasal-pasal tersebut, adalah sebagai berikut,
Pasal 1244 KUHPerdata menyatakan:
Jika ada alasan untuk itu, si berutang harus dihukum untuk mengganti biaya, rugi dan bunga apabila ia tak dapat membuktikan, bahwa tidak pada waktu yang tepat dilaksanakannya perikatan itu, disebabkan oleh sesuatu hal yang tak terduga,pun tak dapat dipertanggungjawabkan padanya, kesemuanya itu jika tidak itikad buruk padanya.
Selanjutnya dalam ketentuan Pasal 1245 KUHPerdata menyatakan bahwa:
“Tidak ada penggantian biaya, rugi dan bunga, bila karena keadaan memaksa atau
karena suatu kejadian yang tidak disengaja, siberutang debitur terhalang untuk
memberikan atau berbuat sesuatu yang diwajibkan, atau karena hal-hal yang sama
telah melakukan perbuatan yang terlarang”.
Berdasarkan rumusan pasal tersebutovermacht dapat disimpulkan merupakan
peristiwa yang tidak terduga yang terjadi diluar kesalahan debitur setelah
penutupan kontrak yang menghalangi debitur untuk memenuhi prestasinya,
sebelum ia dinyatakan lalai dan karenanya tidak dapat dipersalahkan serta tidak
menanggung risiko atas kejadian tersebut. Untuk itu, sebagai sarana bagi debitur
melepaskan diri dari gugatan kreditor, maka dalil adanyaovermacht harus memenuhi
syarat, bahwa103:
a) Pemenuhan prestasi terhalang atau tercegah,
b) Terhalangnya pemenuhan prestasi tersebut diluar kesalahan debitor,
c) Peristiwa yang menyebabkan terhalangnya prestasi tersebut bukan merupakan
resiko debitor.
Adanya peristiwa yang dikategorikan sebagai overmacht membawa
konsekwensi (akibat hukum) sebagai berikut:
a) Kreditor tidak dapat menuntut pemenuhan prestasi,
b) Debitor tidak dapat lagi dinyatakan lalai,
c) Debitor tidak wajib membayar ganti rugi,
d) Risiko tidak beralih kepada debitor,
e) Kreditor tidak dapat menuntut pembatalan dalam perjanjian timbal balik,
f) Perikatan dianggap gugur
Sebagaimana di pahami bahwa dengan adanyaovermachtakan berkait dengan
resiko tanggung gugat bagi para pihak. Undang-undang memberikan mekanisme
penyelesaian terkait dengan resiko terjadinyaovermacht pada perjanjian timbal balik
(misal dalam pasal 1545, 1553 dan 1563 KUHPerdata).
Dalam mencermati uraian diatas, maka dalil overmacht tidak akan berhasil,
apabila:104
a) Overmacht terjadi di luar kesalahan debitor, namun debitor telah dalam keadaan lalai,
b) Tercegahnya pemenuhan prestasi dapat diduga pada waktu penutupan perjanjian,
c) Tercegahnya pemenuhan disebabkan oleh cacat-cacat benda yang digunakan debitur dalam melaksanakan perikatannya.
KUHPerdata memberikan sekedar petunjuk dalam persoalan apakah suatu
perjanjian mungkin dieksekusikan (dilaksanakan) secara riil itu, petunjuk itu kita
dapatkan dalam Pasal 1240 dan 1241 KUHPerdata. Pasal-pasal ini, mengenai
perjanjian-perjanjian yang tergolong dalam macam kedua dan macam ketiga, yaitu
perjanjian untuk berbuat sesuatu (melakukan suatu perbuatan) dan
perjanjian-perjanjian untuk tidak berbuat sesuatu (tidak melakukan sesuatu perbuatan).
Mengenai perjanjian macam-macam inilah di sebutkan bahwa eksekusi riil itu
mungkin dilaksanakan. Pasal 1240 KUHPerdata menyebutkan tentang perjanjian
untuk tidak berbuat sesuatu (tidak melakukan sesuatu perbuatan), bahwa si berpiutang
(kreditur) berhak menuntut penghapusan segala sesuatu yang telah dibuat berlawanan
dengan perjanjian dan bolehl ia minta supaya dikuasakan oleh hakim untuk
menyuruh menghapuskan segala sesuatu yang telah dibuat tadi atas biaya si berutang
(debitur), dengan tidak mengurangi haknya untuk menuntut ganti rugi, jika ada alasan
untuk itu.
Pasal 1241 KUHPerdata menerangkan tentang perjanjian untuk berbuat
sesuatu (melakukan suatu perbuatan), bahwa, apabila perjanjian tidak dilaksanakan
(artinya: apabila si berutang tidak menetapi janjinya), maka si berpiutang (kreditur)
boleh juga dikuasakan supaya dia sendirilah mengusahakan pelaksanaannya atas
biaya si berutang (debitur).
Mengenai perjanjian untuk tidak melakukan suatu perbuatan, memang dalam
perjanjian semacam itu, bila janji dilanggar, dapat secara mudah hasil dari perbuatan
yang melanggar perjanjian itu dihapuskan atau ditiadakan.
Pihak yang berkepentingan (kreditur tentunya juga dapat meminta kepada
Pengadilan. supaya ditetapkan sejumlah uang paksa untuk mendorong si debitur
supaya ia meniadakan apa yang sudah diperbuat itu. Dan juga ia dapat meminta
supaya orang yang melanggar perjanjian itu dihukum untuk membayar sejumlah uang
sebagai ganti rugi, tetapi sudah barang tentu tiada sesuatu yang lebih memuaskan
laginya dari pada penghukuman si pelanggar perjanjian itu untuk meniadakan segala
apa yang telah diperbuat itu.105