• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

2.2 Landasan Teori

2.2.7 Bentuk Tuturan Kebencian

Tuturan kebencian adalah ungkapan atau ujaran yang mengandung kebencian.

Tuturan tersebut bisa berbentuk macam-macam. Ada yang berbentuk kata, frasa, klausa, kalimat, dan/atau paragraf.

a. Kata

Kata adalah dua macam satuan, yaitu satuan fonologis dan satuan gramatis (Ramlan, 1980:10). Yang dimaksud satuan fonologis adalah gabungan dari suku kata yang berasal dari satu atau beberapa fonem. Gabungan suku kata tersebut akhirnya membentuk makna pada kata. Ada morfem terikat dan morfem bebas.

Secara umum, kata adalah bentuk bebas yang paling kecil (Ramlan, 1980:12).

Berdasarkan pendapat ahli tersebut, dapat disimpulkan bahwa kata adalah satuan terkecil dalam bentuk bebas. Contoh kata dalam tuturan kebencian adalah sebagai berikut.

Dasar pemimpin biadab dan zalim!

Tuturan kebencian terlihat pada kata biadab. Biadab adalah morfem bebas yang berarti kejam. Contoh kata kebencian yang lain adalah zalim. Zalim memiliki makna kejam dan tidak memiliki belas kasihan.

b. Frasa

Menurut Ramlan (1980:137), frasa adalah satuan gramatik yang terdiri atas dua kata atau lebih yang tidak melampaui batas fungsi. Frasa terbentuk dari unsur-unsurnya. Unsur yang dimaksud adalah kata. Frasa bisa saja berisi dua kata, tiga kata, atau bahkan empat kata. Frasa bisa menduduki salah satu fungsi atau beberapa fungsi dalam klausa. Tentunya dengan frasa yang berbeda. Klausa sendiri terbentuk dari gabungan kata dan frasa.

Parera menyatakan persetujuannya dengan definisi Ramlan. Menurut Parera (1983:42), frasa atau disebut juga frase adalah sebuah konstruksi yang dapat dibentuk oleh dua kata atau lebih, tetapi yang tidak mempunyai ciri konstruksi klausa. Frasa biasanya mengisi fungsi-fungsi pada klausa. Secara umum, frasa memiliki dua jenis yaitu frasa endosentris dan frasa eksosentris (Parera, 1983:44).

Frasa endosentris adalah frasa yang memiliki distribusi dan fungsi yang sama antaranggota pembentuknya. Frasa eksosentris adalah frasa yang salah satu anggota pembentuknya tidak memiliki kesamaan fungsi dan distribusinya.

Dengan demikian, frasa adalah gabungan dua kata atau lebih yang bersifat nonpredikatif. Nonpredikatif artinya frasa hanya menduduki salah satu fungsi dalam kalimat. Yang dimaksud dengan frasa menduduki salah satu fungsi adalah frasa hanya mendudukin fungsi subjek, fungsi predikat, fungsi objek, fungsi keterangan, atau fungsi pelengkap saja. Frasa tidak bisa melebihi batas fungsi.

Sebagai contoh:

Guru itu sedang menjelaskan pelajaran matematika di kelas.

Frasa guru itu hanya menduduki fungsi subjek. Frasa sedang menjelaskan hanya menduduki fungsi predikat. Frasa pelajaran matematika hanya menduduki fungsi objek. Frasa di kelas hanya menduduki fungsi keterangan. Inilah yang dimaksud dengan frasa hanya menduduki salah satu fungsi.

Dalam tuturan kebencian, sering juga ditemukan frasa frasa yang mengandung kebencian. Contohnya adalah rezim penipu dan rezim zalim. Kedua contoh ini digolongkan sebagai frasa karena bersift nonpredikatif. Rezim penipu menjelaskan bahwa masa pemerintahan yang dipenuhi orang-orang yang suka menipu. Rezim zalim adalah masa pemerintahan yang kejam.

c. Klausa

Menurut Ramlan (1983:78), klausa adalah satuan gramatik yang terdiri atas beberapa fungsi. Fungsi tersebut adalah S, P, O, K, dan/atau Pel. Klausa paling sedikit terdiri atas subjek dan predikat. Yang membedakan klausa dan kalimat adalah penggunaan intonasi akhir dan huruf kapital. Klausa tidak memiliki intonasi akhir dan huruf kapital, sedangkan kalimat harus diawali dengan huruf kapital dan diakhiri dengan intonasi akhir.

Klausa adalah gabungan frasa dan sudah memiliki predikat (Keraf, 1984:138).

Klausa tersebut bisa menjadi kalimat apabila memiliki intonasi akhir dan ditandai dengan pemberian tanda baca. Klausa tidak diakhiri dengan tanda baca dan tidak diawali dengan huruf kapital. Oleh sebab itu, klausa sering disebut dengan cikal bakal kalimat. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa klausa adalah gabungan frasa yang sudah memiliki unsur-unsur kalimat, tetapi tidak menggunakan huruf kapital di awal dan tidak menggunakan intonasi akhir.

Ada tuturan kebencian yang ditemukan berbentuk klausa. Contoh tuturan kebencian berbentuk klausa:

dia penjahat lingkungan

Contoh tersebut digolongkan sebagai klausa karena contoh tersebut memiliki fungsi S dan P. Akan tetapi, contoh tersebut tidak memiliki huruf kapital di awal kalimat dan tidak menggunakan intonasi akhir. Oleh karena itu, contoh tersebut digolongkan menjadi klausa.

d. Kalimat

Seperti yang dijelaskan oleh Ramlan dan Keraf, klausa adalah cikal bakal dari kalimat. Kalimat adalah satuan gramatik yang dibatasi oleh adanya jeda panjang yang disertai nada akhir turun atau naik (Ramlan, 1983:22). Kalimat dibatasi oleh intonasi akhir. Intonasi akhir adalah tanda baca apabila dalam bahasa tulis, dan berupa nada naik atau turun apabila dalam bahasa lisan. Kalimat bisa saja hanya terdiri atas satu kata. Asalkan ia memenuhi syarat intonasi dan huruf kapital, ia bisa disebut sebagai kalimat.

Menurut Bloomfield, kalimat adalah “a maximum form in any utterance is a sentence. Thus, a sentence is a form which, in given utterance, is not part of a larger

construction” (Parera, 1988:2). Berdasarkan pengertian Bloomfield, kalimat bisa saja tidak memenuhi kaidah ketatabahasaan. Artinya, kalimat bisa saja tidak terdapat unsur S, P, O, K, dan Pel. Ia bisa juga hanya berbentuk kata tunggal seperti Aduh! Jangan!

Parera (1988:4) mengatakan bahwa kalimat adalah sebuah bentuk ketatabahasaan yang maksimal yang tidak merupakan bagian dari bentuk ketatabahasaan yang lebih besar dan mempunyai kesenyapan final. Maksud dari Parera adalah kalimat adalah bentuk terbesar dari satuan gramatikal. Tidak ada satuan yang lebih besar daripada kalimat. Kesenyapan final adalah tanda baca dan nada akhir. Tanda baca berperan dalam bahasa tulis, sedangkan nada akhir berperan pada bahasa lisan.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kalimat adalah gabungan kata dan/atau frasa yang menduduki unsur-unsur kalimat. Gabungan tersebut diawali dengan huruf kapital dan diakhiri dengan intonasi akhir. Saat ini, tuturan kebencian muncul pada sosial media. Bentuknya pun bermacam-macam. Salah satu bentuk tuturan kebencian adalah kalimat. Contoh tuturan kebencian dalam bentuk kalimat:

Turunkan Presiden!

Berdasarkan contoh tersebut, tuturan kebencian yang dituliskan berbentuk kalimat. Hal ini dapat dilihat adanya unsur P dan O. Contoh tersebut diawali dengan huruf kapital dan diakhiri dengan intonasi akhir. Intonasi akhir dalam tulisan tersebut berupa tanda seru. Dengan demikian, contoh tersebut memenuhi syarat untuk digolongkan sebagai kalimat.

Selain bentuk tuturan berdasarkan linguistik, terdapat pula bentuk tuturan kebencian berdasarkan jumlah penuturnya. Terdapat tiga bentuk yaitu monolog, dialog, dan polilog.

a. Monolog

Monolog adalah tuturan yang memiliki satu penutur (Baryadi, 2002:11).

Tuturan tersebut berjalan satu arah dan tidak melibatkan pihak lain untuk menanggapi tuturan tersebut. Tuturan kebencian berbentuk monolog berarti tuturan kebencian yang melibatkan satu penutur dan tidak ada mitra tutur yang menanggapinya.

b. Dialog

Dialog adalah tuturan yang memiliki dua orang yang terlibat (Baryadi, 2002:12).

Kedua orang tersebut saling bergantian dalam bertutur. Tuturan kebencian berbentuk dialog artinya terdapat dua orang yang menuturkan tuturan bernada benci terhadap orang lain. Mereka saling mengemukakan perasaan tidak senang atau rasa benci mereka terhadap topik tertentu.

c. Polilog

Polilog adalah tuturan yang memiliki tiga orang atau lebih yang terlibat dalam kegiatan tersebut (Baryadi, 2002, hlm 11). Ketiga orang tersebut saling bergantian dalam menyampaikan maksud tuturannya. Tuturan kebencian berbentuk polilog artinya terdapat tiga orang atau lebih yang menuturkan maksud bernada benci terhadap suatu topik. Ketiganya saling bergantian mengemukakan pendapatnya dalam tuturan tersebut.

Dokumen terkait