• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAJIAN PRAGMATIK SIBER TUTURAN KEBENCIAN KELOMPOK OPOSISI PRESIDEN JOKO WIDODO PADA INSTAGRAM PERIODE JANUARI-JUNI 2020 SKRIPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KAJIAN PRAGMATIK SIBER TUTURAN KEBENCIAN KELOMPOK OPOSISI PRESIDEN JOKO WIDODO PADA INSTAGRAM PERIODE JANUARI-JUNI 2020 SKRIPSI"

Copied!
176
0
0

Teks penuh

(1)

KAJIAN PRAGMATIK SIBER TUTURAN KEBENCIAN KELOMPOK OPOSISI PRESIDEN JOKO WIDODO PADA INSTAGRAM

PERIODE JANUARI-JUNI 2020

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Disusun oleh:

Jasmine Belinda Budijanto 171224005

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

2021

(2)

i

KAJIAN PRAGMATIK SIBER TUTURAN KEBENCIAN KELOMPOK OPOSISI PRESIDEN JOKO WIDODO PADA INSTAGRAM

PERIODE JANUARI-JUNI 2020

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Disusun oleh:

Jasmine Belinda Budijanto 171224005

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

2021

(3)

ii

SKRIPSI

KAJIAN PRAGMATIK SIBER TUTURAN KEBENCIAN KELOMPOK OPOSISI PRESIDEN JOKO WIDODO PADA INSTAGRAM

PERIODE JANUARI-JUNI 2020

Oleh:

Jasmine Belinda Budijanto

NIM: 171224005

Telah disetujui oleh

Dosen Pembimbing

Dr. R. Kunjana Rahardi, M.Hum. Tanggal: 27 Januari 2021

(4)

iii

SKRIPSI

KAJIAN PRAGMATIK SIBER TUTURAN KEBENCIAN KELOMPOK OPOSISI PRESIDEN JOKO WIDODO PADA INSTAGRAM

PERIODE JANUARI-JUNI 2020

Dipersiapkan dan ditulis oleh Jasmine Belinda Budijanto

NIM: 171224005

Telah dipertahankan di depan Panitia Penguji pada tanggal 29 Januari 2021

dan dinyatakan telah memenuhi syarat

Susunan Panitia Penguji

Nama Lengkap Tanda Tangan

Ketua : Rishe Purnama Dewi, S.Pd., M.Hum. ……….

Sekretaris : Danang Satria Nugraha, S.S., M.A. ……….

Anggota 1 : Prof. Pranowo, M.Pd. ……….

Anggota 2 : Dr. Yuliana Setyaningsih, M.Pd. ……….

Anggota 3 : Dr. R. Kunjana Rahardi, M.Hum. ……….

Yogyakarta, 29 Januari 2021

Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sanata Dharma

Dekan,

Dr. Yohanes Harsoyo, S.Pd., M.Si.

(5)

iv

HALAMAN PERSEMBAHAN

Atas berkat, rahmat, dan penyertaannya Tuhan Yesus, saya dapat menyelesaikan tugas akhir ini. Saya mempersembahkan tugas akhir ini untuk:

1. Tuhan Yesus yang tidak pernah berhenti memberikan berkat-Nya pada saya.

2. Keluarga saya, Bapak Teguh Budijanto, Ibu Arlina, dan Grace Narwastu Budijanto, yang selalu menyemangati, membimbing, mendoakan saya, dan membantu saya selama proses belajar dan penyelesaian tugas akhir ini.

3. Nenek saya, Ibu Dewi Halim, yang selalu mengirimkan doa dan restunya pada saya.

4. Sahabat-sahabat saya, Indah, Ivana, Oliv, David, Natalia, dan Sani, yang selalu menolong dan menyemangati saya di berbagai situasi.

5. Kaprodi PBSI, Ibu Rishe Purnama Dewi, S.Pd., M.Hum., yang selalu mendorong saya untuk berkembang lebih dan lebih lagi.

6. Dosen pembimbing saya, Bapak Dr. R. Kunjana Rahardi, M.Hum., yang selalu memberikan terobosan-terobosan baru, membimbing, dan membantu saya dalam penyelesaian tugas akhir ini.

7. Dosen pembimbing akademik, Bapak Drs. Petrus Hariyanto, M.Pd., dan Ibu Septina Krismawati, S.S., M.A., yang selalu memberikan motivasi dan saran kepada saya selama berkuliah di PBSI.

8. Para dosen dan teman-teman di PBSI yang selalu mendorong saya untuk

menjadi lebih baik.

(6)

v

HALAMAN MOTO

“Tidak perlu menjadi hebat untuk memulai, tapi Anda harus memulai untuk menjadi orang hebat” (Zig Ziglar)

“Percayalah kepada Tuhan dengan segenap hatimu, dan janganlah bersandar kepada pengertianmu sendiri. Akuilah Dia dalam segala lakumu, maka Ia akan meluruskan jalanmu.” (Amsal 3:5 -6)

“Sesungguhnya aku ini adalah hamba Tuhan; jadilah padaku menurut

perkataanmu itu” (Lukas 1:38)

(7)

vi

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya menyatakan dengan kesungguhan bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka sebagaimana layaknya sebuah karya ilmiah.

Yogyakarta, 29 Januari 2021 Penulis

Jasmine Belinda Budijanto

(8)

vii

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK AKADEMIS

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswi Universitas Sanata Dharma Nama : Jasmine Belinda Budijanto

NIM : 171224005

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma, skripsi saya yang berjudul

KAJIAN PRAGMATIK SIBER TUTURAN KEBENCIAN KELOMPOK OPOSISI PRESIDEN JOKO WIDODO PADA INSTAGRAM PERIODE

JANUARI-JUNI 2020

Dengan demikian, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikannya di internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta izin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di Yogyakarta

Pada tanggal: 29 Januari 2021 Yang menyatakan

Jasmine Belinda Budijanto

(9)

viii

ABSTRAK

Budijanto, Jasmine Belinda. 2021. Kajian Pragmatik Siber Tuturan Kebencian Kelompok Oposisi Presiden Joko Widodo pada Instagram Periode Januari-Juni 2020. Skripsi. Yogyakarta: PBSI, FKIP, USD.

Penelitian ini memaparkan mengenai ujaran kebencian yang ditujukan pada Presiden Joko Widodo. Ujaran kebencian tersebut disampaikan oleh kelompok oposisi dan ujaran tersebut ditemukan di media sosial Instagram. Ujaran kebencian tersebut diperoleh pada periode Januari-Juni 2020. Tujuan dari penelitian ini adalah (1) mendeskripsikan bentuk tuturan kebencian kelompok oposisi Presiden Joko Widodo pada periode Januari-Juni 2020 dan (2) mendeskripsikan makna pragmatik tuturan kebencian kelompok oposisi Presiden Joko Widodo pada Instagram periode Januari-Juni 2020.

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif. Sumber data penelitian ini yaitu Instagram dan data penelitian berupa unggahan dan komentar ujaran kebencian untuk Presiden Joko Widodo. Peneliti menggunakan teknik simak bebas libat cakap dan pencatatan. Peneliti mengumpulkan, mengidentifikasi, dan mengelompokkan data-data tuturan bermuatan tuturan kebencian. Kemudian peneliti menganalisis data-data tersebut menggunakan kajian pragmatik siber, bentuk ujaran kebencian, dan makna ujaran kebencian.

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, peneliti mendapatkan data berupa bentuk dan makna ujaran kebencian. Dalam penelitian ini, peneliti menemukan empat (4) bentuk ujaran kebencian. Bentuk-bentuk ujaran kebencian meliputi: 1) 13 data berupa kata; (2) 19 data berupa frasa; (3) 42 data berupa klausa; dan (4) 26 bentuk berupa kalimat. Selain itu, peneliti juga menemukan lima (5) makna ujaran kebencian. Makna ujaran kebencian yang ditemukan yaitu (1) penghinaan sebanyak 51 data; (2) pencemaran nama baik sebanyak 12 data; (3) perbuatan tidak menyenangkan sebanyak 5 data; (4) provokasi sebanyak 26 data; dan (5) penyebaran berita bohong sebanyak 6 data.

Kata Kunci: pragmatik siber, konteks virtual, ujaran kebencian, bentuk kebencian,

makna kebencian, Instagram.

(10)

ix

ABSTRACT

Budijanto, Jasmine Belinda. 2021. Cyberpragmatics Study of Hate Speech by President Joko Widodo’s Opposition on Instagram Between January- June 2020. Thesis. Yogyakarta: Indonesian Language and Literature Education Study Program, Department of Language and Art Education, Faculty of Teacher Training and Education, Sanata Dharma University.

This research delineates the hate speech aimed at President Joko Widodo. The hate speech was delivered by an opposition group and was found on Instagram over the January-June 2020 period. The objectives of this study are (1) to describe the types of hate speech from President Joko Widodo’s opposition group over the January-June 2020 period and (2) to describe the pragmatics meaning of hate speech from President Joko Widodo’s opposition group on Instagram over the January-June 2020 period.

This research is a qualitative descriptive study. The source of the research data was Instagram and the data was in the form of posts and comments containing hate speech toward President Joko Widodo. The researcher used the uninvolved conversation observation technique and the note-taking technique. The researcher collected, identified, and classified the data of utterances containing hate speech.

Then, the researcher analyzed the data using the cyberpragmatics study, the types of hate speech, and the meaning of hate speech.

Based on the research conducted, the researcher obtained 100 data in the form of the types and meanings of hate speech. In this research, the researcher found four (4) types of hate speech. The types of hate speech include: (1) 13 data in the form of words; (2) 19 data in the form of phrases; (3) 42 data in the form of clauses;

and (4) 26 data in the form of sentences. In addition, the researcher also found five (5) meanings of hate speech. The meanings of hate speech found were (1) 51 data of insults; (2) 12 data of defamation; (3) 5 data of harassment; (4) 26 data of provocation; and (5) 6 data of fake news spread.

Keywords: cyberpragmatics, virtual context, hate speech, hate speech types,

hate speech meaning, Instagram.

(11)

x

KATA PENGANTAR

Puji syukur saya haturkan pada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmat-Nya, saya dapat menyelesaikan tugas akhir saya yang berjudul Kajian Pragmatik Siber Tuturan Kebencian Kelompok Oposisi Presiden Joko Widodo pada Instagram Periode Januari-Juni 2020. Penulisan tugas akhir ini saya susun untuk memenuhi syarat mendapatkan gelar sarjana pendidikan di Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Saya menyadari bahwa penyusunan tugas akhir ini selalu mendapat dukungan, bimbingan, bantuan, dorongan, semangat, doa, dan kerja sama dari berbagai pihak. Oleh sebab itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Dr. Yohanes Harsoyo, S.Pd., M.Si., selaku Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

2. Rishe Purnama Dewi, S.Pd., M.Hum., selaku Ketua Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia.

3. Dr. R. Kunjana Rahardi, M.Hum., selaku dosen pembimbing yang selalu memberikan bimbingan, bantuan, nasihat, arahan, dan motivasi kepada peneliti.

4. Prof. Pranowo, M.Pd., yang telah bersedia menjadi triangulator data penelitian tugas akhir ini.

5. Segenap dosen Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia yang telah membimbing dan memberikan ilmunya pada peneliti.

6. Theresia Rusmiyati, selaku karyawati sekretariat PBSI yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi

7. Perpustakaan Universitas Sanata Dharma yang telah membantu peneliti dalam penyediaan referensi.

8. Keluarga saya, Bapak Teguh Budijanto, Ibu Arlina, dan Grace Narwastu Budijanto, yang selalu memberikan doa, semangat, bimbingan, dan bantuan kepada peneliti sehingga peneliti mampu menyelesaikan penelitian ini.

9. Nenek saya, Ibu Dewi Halim, yang selalu mengirimkan doa dan restunya pada

peneliti.

(12)

xi

10. Keluarga besar saya yang selalu menyemangati dan mendoakan peneliti.

11. Sahabat-sahabat saya, Indah, Ivana, Olivia, David, Natalia, dan Sani yang selalu menolong dan menyemangati peneliti di berbagai situasi.

12. Teman-teman seperjuangan, Agatha Erma Yulita, Fransisca Meivin Rantam Tambuwun, Paskalia Wulandari, dan Mateus Ryan Marga Ripten, yang selalu berbagi informasi dan ilmunya pada peneliti.

13. Teman-teman seperjuangan di kelas A PBSI 2017 yang selalu mendorong peneliti untuk menjadi lebih baik.

14. Semua orang yang tidak bisa peneliti sebutkan satu per satu, terima kasih atas senyum dan semangat kalian.

Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari yang diharapkan. Akan tetapi, penulis berharap tugas akhir ini dapat bermanfaat bagi pembaca.

Yogyakarta, 29 Januari 2021 Penulis

Jasmine Belinda Budijanto

(13)

xii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv

HALAMAN MOTO ... v

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

HALAMAN LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS ... vii

ABSTRAK ... viii

ABSTRACT ... ix

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xii

DAFTAR BAGAN ... xiv

DAFTAR TABEL ... xv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Identifikasi Masalah ... 4

1.3 Rumusan Masalah... 5

1.4 Tujuan Penelitian ... 5

1.5 Manfaat Penelitian ... 5

1.6 Batasan Istilah... 6

BAB II KAJIAN PUSTAKA ... 9

2.1 Penelitian Terdahulu ... 9

2.2 Landasan Teori ... 10

2.2.1 Pragmatik ... 10

2.2.2 Pragmatik Siber ... 14

2.2.3 Konteks ... 16

2.2.4.1 Konteks Virtual ... 20

2.2.4.2 Komunitas Virtual ... 22

2.2.4 Kelompok Oposisi ... 24

2.2.5 Media Sosial ... 25

2.2.6 Tuturan Kebencian ... 26

(14)

xiii

2.2.7 Bentuk Tuturan Kebencian ... 28

2.2.8 Makna Tuturan Kebencian ... 32

2.3 Kerangka Berpikir ... 36

BAB III METODOLOGI PENELITIAN... 39

3.1 Jenis Penelitian ... 39

3.2 Metode Penelitian ... 39

3.3 Objek Penelitian ... 40

3.4 Data Penelitian ... 40

3.5 Instrumen Pengumpulan Data ... 41

3.6 Sumber Data Substansif... 41

3.7 Metode dan Teknik Pengumpulan Data ... 41

3.8 Teknik Analisis Data ... 43

3.9 Triangulasi ... 44

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 45

4.1 Deskripsi Data ... 45

4.2 Hasil Penelitian ... 46

4.2.1 Bentuk Ujaran Kebencian ... 46

4.2.2 Makna Ujaran Kebencian ... 49

4.3 Pembahasan ... 52

BAB V KESIMPULAN ... 93

5.1 Kesimpulan ... 93

5.2 Saran ... 94

DAFTAR PUSTAKA ... 95

LAMPIRAN ... 98

BIOGRAFI PENELITI ... 159

(15)

xiv

DAFTAR BAGAN

Halaman

Bagan 2.1 Kerangka Berpikir ... 38

(16)

xv

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 4.1 Bentuk Ujaran Kebencian ... 46

Tabel 4.2 Makna Ujaran Kebencian... 49

(17)

xvi

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1 Surat Permohonan Triangulator... 98

Lampiran 2 Triangulasi Data ... 99

(18)

1

BAB I PENDAHULUAN

Pada bab pendahuluan ini, peneliti akan memaparkan: a) latar belakang, b) identifikasi masalah, c) rumusan masalah, d) tujuan penelitian, e) manfaat, f) batasan istilah. Pemaparan secara lengkap akan disampaikan sebagai berikut:

1.1 Latar Belakang

Manusia adalah makhluk sosial. Makhluk sosial berarti ia hidup berdampingan dengan yang lain. Ia tidak bisa hidup sendiri. Untuk menghubungkan setiap orang dan melandasi hubungan tersebut, orang-orang memerlukan alat komunikasi yaitu bahasa. Bahasa adalah sebuah alat komunikasi yang menghubungkan antarorang.

Bahasa memiliki tiga fungsi yaitu pengembang akal budi, pemelihara kerja sama dan pewujud saling menjadi sesama (Sudaryanto, 1990:21).

Fungsi pertama adalah pengembang akal budi. Dalam fungsi ini, bahasa berkaitan dengan akal budi. Bahasa menjadi sarana untuk menangkap, mengolah, membentuk, menafsirkan, menerjemah, dan lain-lain dan dibantu dengan akal budi.

Hubungan dari akal budi dan bahasa disebut sebagai hubungan vertikal karena hubungan tersebut terjadi dalam diri seseorang.

Fungsi kedua adalah pemelihara kerja sama. Pemelihara kerja sama adalah hubungan horizontal antara penutur dan mitra tutur. Untuk menjalin kerja sama, tentu diperlukan bahasa sebagai alat komunikasi. Seperti yang sudah disinggung di awal, manusia adalah makhluk sosial sehingga memerlukan bantuan dari orang lain.

Di sinilah peran dari bahasa demi memelihara kerja sama.

Fungsi ketiga adalah pewujud saling menjadi sesama. Fungsi pewujud saling menjadi sesama adalah fungsi lanjutan dari pemelihara kerja sama. Setelah bekerja sama, kita menyadari bahwa kita memiliki persamaan dengan yang lain sehingga kita merasa menjadi sesama. Tentu kerja sama tidak akan berhasil jika kita selalu melihat perbedaan dan tidak mau menerimanya. Kerja sama akan terjadi jika kita mau menerima perbedaan dan persamaan (Sudaryanto, 1990: 21–23).

Berkaitan dengan ketiga fungsi bahasa, bahasa menjadi sarana untuk

berpendapat. Pendapat ini berfungsi untuk pemelihara kerja sama dan juga

(19)

mengasah akal budi manusia untuk bersosialisasi. Setiap pribadi memiliki kebebasan untuk mengeluarkan pendapat. Kebebasan berpendapat dijamin oleh Undang-Undang Dasar Tahun 1945 pasal 28E ayat (3). Undang-Undang Dasar Tahun 1945 pasal 28E ayat (3) berbunyi: “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”. Namun pada penerapannya, kebebasan berpendapat pernah dibatasi oleh pemerintah. Pembatasan berpendapat terjadi di masa pemerintahan Presiden Soeharto. Masyarakat dilarang mengkritik pemerintah atau berkomentar buruk terhadap kinerja pemerintah. Apabila seseorang diketahui mengkritik pemerintahan Soeharto, orang tersebut akan ditangkap dan dipenjara.

Pembatasan berpendapat mulai hilang ketika muncul Orde Reformasi pada tahun 1998. Masyarakat mulai diberi kebebasan untuk berpendapat mengenai berbagai hal. Masyarakat bisa menggunakan kebebasannya untuk menyukai atau tidak menyukai, menyetujui atau tidak menyetujui, dan sebagainya. Masyarakat juga bebas untuk memberi saran, nasihat, dan kritik. Kebebasan berpendapat mulai hidup kembali pada masa Reformasi.

Seiring berkembangnya zaman dan teknologi, kebebasan berpendapat juga mulai muncul di berbagai media, salah satunya adalah media sosial. Dulu ketika seseorang ingin berpendapat, ia harus mengutarakan langsung, melalui surat, atau melakukan demonstrasi. Tetapi, saat ini seseorang bisa berpendapat dengan mudah melalui media sosial. Terdapat banyak media sosial yang digunakan, seperti Facebook dan Twitter. Saat ini media sosial yang banyak digunakan oleh masyarakat adalah Instagram. Pada Instagram, seseorang bisa memberikan komentar terhadap postingan atau unggahan orang lain. Komentar dapat ditemukan di kolom setelah penulisan takarir atau caption. Kolom komentar tersebut bisa diisi oleh semua orang apabila kolom komentar tersebut tidak dikunci oleh pemilik akun tersebut.

Dengan adanya kebebasan berpendapat di media sosial, muncullah fenomena

bahasa baru. Fenomena bahasa yang saat ini terjadi adalah tuturan kebencian. Di

media sosial, kita dapat menemukan tuturan kebencian dengan mudah. Tuturan

kebencian tersebut disampaikan dari menggunakan bahasa halus sampai bahasa

(20)

yang kasar. Mereka tidak segan-segan mengeluarkan berita palsu demi memperoleh komentar-komentar kebencian. Bagi orang-orang yang memiliki rasa benci terhadap suatu hal, munculnya komentar-komentar kebencian sangat memuaskan perasaan mereka. Mereka juga merasa memiliki banyak pendukung apabila mereka mendapatkan komentar kebencian dan satu suara dengan mereka.

Kita juga dapat menemukan tuturan kebencian yang ditujukan kepada orang lain, misalnya postingan yang berkaitan dengan Presiden Joko Widodo. Apabila kita membuka Instagram dan muncul postingan terkait beliau, kita akan menemukan banyak komentar yang berisi kebencian. Orang-orang tersebut adalah kelompok oposisi Presiden Joko Widodo. Kelompok oposisi adalah sekumpulan orang-orang yang memiliki pemikiran yang berseberangan dengan seseorang (KBBI V, 2016). Untuk saat ini, pengertian kelompok oposisi juga menjadi sangat luas. Kelompok oposisi juga berarti sekumpulan orang-orang yang tidak menyukai seseorang. Mereka tidak menyukai Presiden Joko Widodo karena berbagai hal dan akhirnya muncul rasa benci terhadap Presiden Joko Widodo.

Ketika ada kesempatan untuk melontarkan kata-kata kebencian, mereka tidak segan-segan memberi komentar yang mengandung kebencian. Meskipun postingan yang diunggah adalah prestasi beliau selama menjabat menjadi Presiden, kelompok oposisi tetap memberikan berbagai komentar kebencian. Tidak jarang komentar tersebut berisi kata-kata kasar (umpatan/makian). Akan tetapi, mereka mengatasnamakan kebebasan berpendapat untuk mengungkapkan kebencian mereka kepada Presiden Jokowi.

Tuturan kebencian yang diucapkan sering kali menggunakan bahasa yang sangat kasar. Ungkapan-ungkapan kebencian yang kasar menunjukkan bahwa orang tersebut tidak memiliki akal budi. Oleh karena itu, fungsi bahasa yang disinggung di awal menjadi hilang. Kelompok oposisi menjadi berkurang akal budinya karena menggunakan bahasa yang mengandung kebencian yang kasar.

Selain itu, tuturan kebencian menimbulkan perpecahan pada masyarakat.

Masyarakat menjadi terpecah menjadi dua yaitu masyarakat yang pro dengan Presiden Joko Widodo dan masyarakat yang kontra dengan Presiden Joko Widodo.

Tidak jarang juga tuturan kebencian menimbulkan tuturan kebencian lainnya dan

(21)

pada akhirnya tidak terjalin kerja sama pada anggota masyarakat. Selain itu, tuturan kebencian tersebut membuat kelompok masyarakat menjadi terpecah belah dan akhirnya tidak menjadi sesama (kompak). Mereka menganggap orang-orang yang pro dengan Presiden Joko Widodo bukanlah kelompok mereka. Begitu pula sebaliknya. Kelompok yang mendukung Presiden menganggap kelompok oposisi bukanlah bagian dari mereka. Dengan demikian, tidak lagi ada persatuan antarkelompok masyarakat.

Penelitian ini mengambil objek kelompok oposisi Presiden Joko Widodo karena peneliti menemukan banyak komentar yang ditujukan pada Presiden Jokowi.

Presiden memiliki peranan sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan. Ia adalah sosok yang mengatur keadaan negara dari berbagai sektor. Akan tetapi, banyak sekali orang-orang yang memiliki pendapat yang berbeda dengan Presiden.

Tidak jarang mereka mengungkapkan pendapat mereka dengan kecaman dan kebencian. Kelompok-kelompok yang memiliki perbedaan pemikiran dan berseberangan dengan kebijakan pemerintah inilah yang disebut dengan kelompok oposisi.

1.2 Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang, peneliti mengidentifikasi masalah yang muncul.

Permasalahan tersebut timbul dari munculnya tuturan kebencian yang ditutupi dengan dalih kebebasan berpendapat. Masyarakat pun menerima tuturan tersebut sebagai bentuk dari pendapat yang disampaikan. Jika dianalisis lebih mendalam, fenomena penerimaan ujaran kebencian oleh masyarakat ini disebabkan oleh kurangnya pengetahuan dan pemahaman masyarakat tentang ujaran kebencian.

Tuturan kebencian yang dikeluarkan oleh masyarakat sebenarnya menunjukkan

bahwa akal budi masyarakat menjadi menurun. Hal ini ditunjukkan dengan

mudahnya masyarakat mengeluarkan makian dan rasa bencinya secara kasar. Selain

itu, tuturan kebencian menimbulkan dua akibat. Akibat pertama adalah kerja sama

antarmasyarakat menjadi buruk karena tuturan kebencian dapat menyinggung

perasaan antarorang. Akibat kedua adalah masyarakat terpecah belah dan saling

membenci.

(22)

1.3 Rumusan Masalah

Berdasarkan identifikasi masalah, peneliti merumuskan masalah sebagai berikut:

(a) Apa sajakah bentuk tuturan kebencian kelompok oposisi Presiden Joko Widodo pada Instagram periode Januari-Juni tahun 2020?

(b) Apa sajakah makna pragmatik dari tuturan kebencian kelompok oposisi Presiden Joko Widodo pada Instagram periode Januari-Juni tahun 2020?

1.4 Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah penelitian di atas, peneliti merumuskan tujuan sebagai berikut:

(a) mendeskripsikan bentuk tuturan kebencian kelompok oposisi Presiden Joko Widodo pada periode Januari-Juni 2020.

(b) mendeskripsikan makna pragmatik tuturan kebencian kelompok oposisi Presiden Joko Widodo pada Instagram periode Januari-Juni 2020.

1.5 Manfaat Penelitian

Penelitian mengenai tuturan kebencian kelompok oposisi Presiden Joko Widodo pada Instagram periode Januari-Juni 2020 diharapkan dapat memberikan manfaat untuk berbagai pihak. Ada dua manfaat yaitu manfaat teoretis dan manfaat praktis.

Berikut adalah pemaparan dari kedua manfaat tersebut:

(a) Manfaat Teoretis

Penelitian dapat memberikan informasi lebih dalam mengenai tuturan kebencian. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dalam wujud tersebut. Selain itu, diharapkan dengan adanya penelitian ini, masyarakat dapat lebih memahami bentuk dan makna tuturan kebencian.

(b) Manfaat Praktis

Penelitian ini dapat digunakan dalam bidang komunikasi bahasa. Tuturan kebencian bisa berbentuk tulisan dan lisan. Dalam penelitian ini, tuturan kebencian yang difokuskan adalah tuturan kebencian yang berbentuk tulisan.

Diharapkan dari penelitian ini, masyarakat dapat menghindari penggunaan

tuturan kebencian.

(23)

1.6 Batasan Istilah (a) Pragmatik

Menurut Rahardi (2017: 124), pragmatik adalah cabang linguistik baru dan berada di luar hierarki linguistik. Pragmatik mengkaji makna dan berlandaskan dengan konteks. Penutur dan mitra tutur perlu memiliki latar bekalang pengetahuan dan pemahaman yang sama sehingga pembicaraan dapat terus berlangsung. Apabila tidak ada kesepahaman antara penutur dan mitra tutur, pembicaraan akan salah arah dan tidak dapat berjalan dengan baik.

(b) Pragmatik Siber

Yus (2011: 13) mengatakan bahwa “Its main interest is the analysis of how information is produced and interpreted within the Internet environment.”

Pragmatik siber adalah salah satu cabang pragmatik. Pragmatik siber menganalisis informasi yang dihasilkan dan diinterpretasikan dalam dunia internet. Perbedaan pragmatik dan pragmatik siber terletak pada pemerolehan data dan sumber data. Data dan sumber data pragmatik siber harus diambil dari internet atau dunia maya, sedangkan data dan sumber data pragmatik diperoleh di luar dunia maya atau internet.

(c) Konteks

Rahardi (2017: 184) menyatakan bahwa “konteks adalah hal-hal yang harus dipahami bersama oleh penutur dan mitra tutur yang sifatnya di luar kebahasaan maupun intrakebahasaan.” Terdapat perbedaan konteks dalam konteks pragmatik dan pragmatik siber. Kedua ilmu tersebut memiliki elemen yang sama. Perbedaannya terletak pada aspek-aspek di dalam elemen tersebut.

(d) Tuturan Kebencian

Menurut Post, tuturan kebencian lebih dikenal dengan istilah hate crimes (Christianto, 2018: 2). Ujaran kebencian adalah ungkapan yang menunjukkan rasa benci dan ketidaksukaan terhadap golongan masyarakat. Golongan yang dimaksud adalah gender dan ras.

(e) Bentuk Tuturan Kebencian

Tuturan dapat berbentuk kata, frasa, klausa, dan kalimat. Kata adalah dua

macam satuan, yaitu satuan fonologis dan satuan gramatis (Ramlan, 1980: 10).

(24)

Menurut Ramlan (1980: 137), frasa adalah satuan gramatik yang terdiri dari dua kata atau lebih yang tidak melampaui batas fungsi. Menurut Ramlan (1983: 78), klausa adalah satuan gramatik yang terdiri atas beberapa fungsi. Kalimat adalah satuan gramatik yang dibatasi oleh adanya jeda panjang yang disertai nada akhir turun atau naik (Ramlan, 1983: 22). Terkait dengan tuturan kebencian, bentuk- bentuk tersebut tentu memiliki makna kebencian di dalamnya. Tuturan kebencian memiliki tiga bentuk jika didasarkan pada jumlah penutur. Bentuk tuturan tersebut adalah monolog, dialog, dan polilog. Monolog adalah percakapan satu orang. Dialog adalah percakapan yang terdiri atas dua orang.

Polilog adalah percakapan yang diikuti lebih dari dua orang.

(f) Makna Tuturan Kebencian

Ada tujuh makna tuturan kebencian, yaitu: (1) penghinaan, (2) pencemaran nama baik, (3) penistaan, (4) perbuatan tidak menyenangkan, (5) memprovokasi, (6) menghasut, dan (7) menyebarkan berita bohong (Syafyahya, 2018:9).

Masing-masing makna memiliki indikasi yang berbeda. Indikasi inilah yang membedakan makna tiap tuturan. Indikasi penghinaan yaitu adanya cemoohan, merendahkan seseorang, dan mencela orang lain. Indikasi pencemaran nama baik adalah adanya tuduhan tidak benar yang membuat nama baik seseorang atau lembaga menjadi buruk.

Indikasi penistaan adalah adanya hinaan atau perbuatan menodai dan

efeknya adalah membuat aib untuk seseorang. Indikasi perbuatan tidak

menyenangkan yaitu adanya suatu tindakan yang membuat seseorang atau

sekelompok merasa tidak nyaman. Indikasi dari memprovokasi yaitu adanya

ajakan yang menyebabkan seseorang berubah pikiran dan menyetujui cara

pandang provokator. Biasanya provokasi ini melahirkan keinginan untuk

melawan atau memberontak. Penghasutan atau menghasut adalah makna lanjut

dari provokasi. Penghasutan inilah yang membentuk tindakan seseorang setelah

diprovokasi. Makna yang terakhir adalah penyebaran berita bohong. Indikasi

dari makna tersebut adalah ditemukan hoaks atau tidak adanya fakta dalam

berita tersebut.

(25)

(g) Kelompok Oposisi

Rooney mengatakan bahwa kelompok oposisi adalah lawan terhadap suatu hal (Noor, 2016:5). Pendapat tersebut ditegaskan kembali oleh Noor. Kelompok oposisi adalah sekelompok orang yang memiliki sikap anti-pemerintah, kritik, dan tawaran atas kebijakan pemerintah (Noor, 2016:6).

(h) Instagram

Instagram adalah salah satu media sosial yang digunakan oleh masyarakat.

Instagram memberikan terobosan baru dalam berinteraksi di media sosial

(Ma’ruf, 2017:29).

(26)

9

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

Dalam bab II, peneliti membagi bab II menjadi beberapa subbab. Subbab-subbab tersebut adalah penelitian terdahulu, landasan teori, dan kerangka berpikir. Berikut adalah penjabarannya.

2.1 Penelitian Terdahulu

Penelitian terdahulu berfungsi sebagai gambaran dan panduan peneliti untuk mengembangkan penelitiannya. Ada beberapa penelitian yang diambil untuk penelitian ini. Peneliti mengambil tiga artikel penelitian untuk menjadi penelitian terdahulu. Artikel penelitian tersebut yaitu Fransisco Yus, Puspa Dewi dan Risa Simanjutak, serta Margaretha Evi dan Widi Nugrahaningsih.

Penelitian pertama diambil dari Yus (2016:7–26) dalam buku yang berjudul Yearbook of Corpus Linguistics and Pragmatics 2016: Global Implications for Society and Education in the Networked Age. Yus menuliskan artikel yang berjudul Towards a Cyberpragmatics of Mobile Instant Messaging. Ia menuliskan mengenai pragmatik siber di dalam pesan singkat bermedia internet. Ia menggunakan data dari Whatsapp, WeChat, Snapchat, dan lain-lain. Ia menggunakan pragmatik siber untuk mengetahui cara pengguna memahami pesan yang dikirimkan melalui pesan internet. Penelitian yang dilakukan oleh Yus memiliki persamaan dengan penelitian ini yaitu penggunaan teori pragmatik siber. Penelitian Yus dan penelitian ini juga menggunakan penelitian kualitatif. Perbedaannya terletak pada objek yang dikaji.

Penelitian Yus mengkaji data-data dalam pesan singkat internet, sedangkan penelitian ini mengkaji komentar kebencian yang dilontarkan pada Instagram.

Penelitian kedua diambil dari artikel yang ditulis Dewi & Simanjuntak (2017).

Artikel tersebut berjudul Social Networking and Identity Construction in

Computer-Mediated Communicaton: Cberpragmatics Analysis of Fandom Online

Community in YouTube Commentaries. Artikel tersebut berisi mengenai

komunikasi fans yang terdapat pada komentar di Youtube. Tujuan yang ingin

dicapai adalah mengamati konstruksi identitas dan mendefinisikan karakteristik

(27)

fandom. Perbedaan dari artikel tersebut dan penelitian ini terletak pada tujuan dan objeknya. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan bentuk dan makna tuturan kebencian yang terdapat pada kolom komentar Instagram. Oleh karena itu, objek yang digunakan adalah komentar dalam Instagram.

Penelitian ketiga diambil dari artikel milik Yuliana & Nugrahaningsih (2017).

Penelitian tersebut berjudul Ujaran Kebencian dalam Komentar Akun Instagram.

Artikel tersebut berisi tentang ujaran kebencian yang timbul akibat postingan dari salah satu akun gosip yaitu @lambe_turah. Akun tersebut sering memposting foto atau video yang berkaitan dengan selebritis. Namun, sering kali, komentar yang diberikan adalah kometar kebencian. Perbedaan dari artikel tersebut dan penelitian ini terletak pada metode penelitian yang digunakan. Untuk metode dari artikel milik Yuliana dan Nugrahaningsih, mereka menggunakan metode kuantitatif. Hasil akhir yang diberikan berupa angka, sedangkan penelitian ini menggunakan metode padan ekstralinguistik.

Berdasarkan ketiga penelitian tersebut, peneliti menggunakan penelitian milik Fransisco Yus untuk menjadi pedoman penelitian ini. Hal ini berdasarkan kesamaan metodologi dan teori yang digunakan. Yang berbeda hanyalah objek penelitiannya.

Objek penelitian ini adalah postingan dan komentar yang mengandung kebencian terhadap Presiden Joko Widodo dan diutarakan oleh kelompok oposisinya.

2.2 Landasan Teori

Penelitian ini memiliki beberapa teori. Teori tersebut berkaitan dengan pragmatik, pragmatik siber, konteks, konteks virtual, komunitas virtual, tuturan kebencian, bentuk tuturan kebencian, dan makna pragmatik dari tuturan kebencian. Berikut adalah teori-teorinya.

2.2.1 Pragmatik

Ada beberapa ahli yang mengungkapkan tentang pragmatik. Menurut

Kridalaksana (1993:177), pragmatik diartikan sebagai syarat-syarat yang

mengakibatkan serasi tidaknya pemakaian bahasa dalam komunikasi. Aspek-aspek

pemakaian bahasa atau konteks luar bahasa yang memberikan sumbangan kepada

makna ujaran. Makna ujaran pada pragmatik sangat bergantung pada konteks.

(28)

Konteks inilah yang akan menimbulkan pemahaman bagi mitra tutur tentang keinginan dari penutur.

Berdasarkan pendapat Kridalaksana, dapat disimpulkan bahwa pragmatik adalah ilmu kebahasaan yang memiliki kaitan dengan konteks. Dalam pragmatik, konteks memegang peranan terpenting dalam komunikasi. Konteks inilah yang membentuk makna yang berbeda-beda antara satu percakapan dengan percakapan lainnya.

Selain Kridalaksana, Verhaar juga memberikan pendapatnya mengenai pragmatik. Menurut Verhaar (1996:14), pragmatik merupakan cabang ilmu linguistik yang membahas yang termasuk struktur bahasa sebagai alat komunikasi antara penutur dan pendengar, dan sebagai pengacuan tanda-tanda bahasa pada hal- hal ekstralingual yang dibicarakan. Verhaar mengatakan bahwa pragmatik masih termasuk dalam cabang ilmu dari linguistik. Menurut Verhaar, pragmatik berkaitan dengan struktur yang digunakan oleh penutur dan konteks yang digunakan adalah konteks ekstralingual.

Pendapat Verhaar tidak jauh berbeda dengan pendapat Kridalaksana. Namun, perbedaan pendapat antara Verhaar dan Kridalaksana terdapat dalam pengacuan hal-hal ekstralingual. Kridalaksana tidak menjelaskan secara rinci mengenai syarat- syarat dalam pragmatik. Verhaar mengungkapkan lebih dalam mengenai hal-hal yang diperhatikan dalam pragmatik. Verhaar mengungkapkan bahwa pragmatik memerlukan unsur ekstralingual. Akan tetapi, dalam pendapatnya, Verhaar tidak menjelaskan secara rinci mengenai unsur-unsur ekstralingual.

Pendapat dari Verhaar dan Kridalaksana kemudian diringkas oleh Yule. Yule mengatakan bahwa pragmatik adalah ilmu mengenai makna yang diutarakan oleh penutur dan diinterpretasi oleh mitra tutur, atau dapat dikatakan bahwa pragmatik adalah ilmu tentang maksud penutur (Yule, 2006:3). Bagi Yule, penutur meliputi pembicara dan penulis, sedangkan mitra tutur meliputi pendengar dan pembaca. Hal ini dikarenakan tuturan memiliki dua jenis yaitu tuturan lisan dan tuturan tulis.

Yule menjelaskan bahwa pragmatik tidak berfokus pada maksud dari tata

bahasa sendiri, tetapi pragmatik lebih mengkaji mengenai analisis maksud penutur

melalui tuturannya dan bentuk linguistiknya (Yule, 2006:5). Pragmatik melibatkan

(29)

interpretasi maksud dengan konteks tuturan. Oleh karenanya, pragmatik juga menganalisis maksud tuturan yang diutarakan secara tidak langsung oleh penutur.

Pragmatik menurut Rahardi (2017:124) diartikan sebagai ilmu yang mempelajari makna. Pragmatik memiliki kesamaan dengan semantik yaitu ilmu yang membahas makna. Perbedaannya adalah semantik berfokus pada makna sebenarnya dan tidak terikat konteks. Pragmatik adalah ilmu yang mempelajari makna yang tidak diungkapkan penutur secara langsung.

Rahardi mengungkapkan pengertian pragmatik secara singkat namun jelas.

Pragmatik adalah ilmu yang mempelajari makna dan terikat dengan konteks. Hal yang dimaksud penutur sering kali tidak diungkapkan secara langsung. Untuk memahami makna penutur, mitra tutur tentu harus mengerti konteks tuturan yang sedang terjadi. Apabila penutur dan mitra tutur tidak sepaham, tidak akan terjadi pemerolehan makna yang dimaksud.

Untuk memberikan gambaran yang lebih jelas, peneliti memberikan beberapa contoh kalimat.

(a) Indah memiliki tangan kanan.

(b) Tangan Budi panjang.

(c) Tanpa disadari, anak itu telah ringan tangannya.

Dari ketiga kalimat di atas, kita dapat memaknainya secara langsung. Pemaknaan secara langsung inilah yang dinamakan makna semantik. Akan tetapi, kalimat tersebut akan berubah makna apabila diberi konteks. Penjelasannya sebagai berikut.

(a) Indah memiliki tangan kanan.

Penjelasan:

Secara langsung, pembaca atau pendengar akan mengartikan bahwa Indah memiliki bagian tubuh yaitu tangan kanan. Ia dinyatakan normal dalam hal bagian tubuh. Namun, jika kalimat tersebut diberi konteks tentang pembicaraan mengenai kepercayaan, kalimat tersebut akan berubah makna. Terkait dengan konteks tersebut, tangan kanan adalah orang kepercayaan. Oleh karena itu, secara pragmatik, kalimat (a) memiliki makna Indah memiliki seseorang yang ia dipercayai.

(b) Tangan Budi panjang.

(30)

Penjelasan:

Secara semantik, pembaca atau pendengar akan mengartikan bahwa tangan Budi memiliki ukuran yang panjang. Tapi, kalimat tersebut akan berubah maknanya apabila diberi konteks. Pada lingkungannya, Budi tidak disenangi teman-temannya. Ia selalu meminta barang teman-temannya. Apabila ia tidak diberi, Budi akan memanjangkan tangannya. Secara pragmatik, kalimat (b) memiliki makna bahwa Budi adalah seorang pencuri. Panjang tangan memiliki makna pencuri. Tentu makna ini akan berbeda jika dilihat dari makna aslinya.

(c) Tanpa disadari, anak itu telah ringan tangannya.

Penjelasan:

Kalimat (c) memiliki makna semantik dan makna pragmatik. Dilihat dari sisi semantik, kalimat (c) bermakna anak tersebut memiliki tangan yang kecil sehingga mudah diangkat atau digerakkan. Akan tetapi, secara pragmatik, kalimat (c) memiliki dua makna. Makna-makna tersebut disebabkan oleh perbedaan konteks.

1. Konteks pertama adalah anak tersebut adalah anak yatim piatu. Setiap hari, ia bangun pagi untuk mempersiapkan diri untuk sekolah. Selain itu, ia membantu neneknya berjualan kue. Kue tersebut dibawanya ke sekolah untuk dititipkan di kantin. Anak itu juga disukai oleh teman-temannya karena ia mau membantu teman-temannya. Berdasarkan konteks tersebut, kalimat (c) dapat disimpulkan bahwa anak tersebut memiliki sifat suka menolong. Ringan tangan dapat bermakna suka menolong atau mudah menolong orang lain.

2. Konteks kedua adalah anak tersebut terlahir di keluarga yang broken home atau orang tuanya mengalami perceraian. Sejak kecil, ia selalu melihat ayahnya memukul ibunya. Ingatan tersebut sangat membekas dan akhirnya anak itu menirunya. Kebiasaan buruk tersebut terbawa sampai ia beranjak dewasa. Ia gemar sekali memukul orang lain tanpa alasan yang jelas.

Berdasarkan konteks tersebut, kalimat (c) dapat disimpulkan bahwa anak

tersebut suka memukul. Ringan tangan dapat pula diartikan sebagai suka

memukul.

(31)

Berdasarkan pendapat para ahli dan contoh kalimat di atas, peneliti menyimpulkan bahwa pragmatik adalah ilmu yang mengkaji makna tuturan dengan memerhatikan konteks. Dalam menginterpretasi tuturan, mitra tutur memerlukan pengetahuan yang luas terkait konteks sehingga makna tuturannya bisa tersampaikan dengan benar. Konteks inilah yang membuat makna tuturan menjadi berbeda-beda.

2.2.2 Pragmatik Siber

Pragmatik siber adalah cabang pragmatik terbaru. Pragmatik siber muncul karena adanya perkembangan dunia internet. Internet memiliki sumbangan yang cukup besar dalam bahasa karena memiliki banyak pengguna dari berbagai bahasa, komunitas, dan negara. Pragmatik siber masih merupakan ilmu baru sehingga teori- teori mengenai pragmatik siber belum terlalu banyak. Pragmatik dan pragmatik siber memiliki sebuah perbedaan yang cukup signifikan. Sumber data pragmatik berasal dari tuturan secara langsung, sedangkan sumber data pragmatik siber berasal dari internet. Adapun teori pragmatik siber yang terkenal adalah teori milik Fransisco Yus.

Pragmatik siber menurut Yus (2011:13) yaitu Its main interest is the analysis of how information is produced and interpreted within the Internet environment.

Pragmatik siber menganalisis informasi yang dihasilkan dan diinterpretasi.

Informasi didapat dari internet. Makna yang dianalisis juga berdasarkan konteks yang berada pada internet. Tentu elemen dalam konteks pragmatik dan konteks pragmatik siber tidak berbeda. Yang berbeda adalah aspek-aspek yang terdapat dalam elemen tersebut. Konteks pragmatik siber disebut juga dengan konteks virtual.

Locher mengatakan bahwa pragmatik siber disebut juga sebagai internet

pragmatik (Rahardi, 2020:13). Istilah tersebut muncul karena tuturan-tuturan

tersebut ditemukan pada internet, khususnya di sosial media. Sosial media

digunakan oleh masyarakat untuk menjalin komunikasi. Tuturan-tuturannya

diinterpretasi dengan menggunakan konteks virtual juga. Pada dunia internet,

(32)

muncul istilah komunitas virtual. Komunitas inilah yang akan menghubungkan antarorang dalam dunia internet.

Ada beberapa hipotesis yang membentuk dasar dari pragmatik siber (Yus, 2011:14):

a. Penutur harus memiliki niat yang komunikatif dan menyusun ucapan terlebih dahulu. Hal ini bertujuan agar ucapan dan maksud penutur dapat tersampaikan dengan baik ke mitra tutur.

b. Pengguna internet harus menggunakan strategi inferensial ketika menafsirkan pesan di internet. Kemampuan menginterpretasi sebenarnya sudah dimiliki manusia. Dalam menginterpretasi tuturan, tidak ada bedanya antara menginterpretasi secara konteks biasa dan konteks virtual.

c. Pengguna internet berharap mitra tutur mencari berbagai informasi kontekstual.

Hal ini bertujuan agar mitra tutur dapat memahami ucapan dan makna yang disampaikan oleh pengguna internet (penutur).

d. Perbedaan media siber dapat mempengaruhi kualitas akses informasi kontekstual, jumlah informasi yang diperoleh, interpretasi terpilih, efek kognitif (pengetahuan yang diperoleh), dan upaya yang digunakan dalam mencapai efek tersebut.

Pragmatik siber menganalisis pertukaran informasi komunikatif yang terdapat di berbagai media siber. Persamaan antara pragmatik dan pragmatik siber adalah makna yang dianalisis. Kedua bidang tersebut sama-sama menganalisis makna yang sesuai dengan konteks. Perbedaannya adalah sarana yang digunakan.

Pragmatik menitikberatkan tuturan secara lisan dan tulis tanpa perantara media internet, sedangkan pragmatik siber menitikberatkan tuturan yang terdapat pada media sosial atau media siber.

Rahardi (2020:152) mengungkapkan bahwa pragmatik siber adalah bidang

transdisipliner. Hal ini dikarenakan pragmatik siber memiliki cakupan dimensi atau

bidang-bidang lainnya. Jika dianalisis lebih jauh, pragmatik siber menganalisis

penggunaan bahasa dan diikuti dengan konteks dalam internet. Penggunaan bahasa

dan konteks tersebut tidak bisa lepas dari teknologi dan internet karena media yang

digunakan bukan lagi tuturan antarpersonal, melainkan tuturan yang dicantumkan

(33)

pada internet dan teknologi. Oleh karena itu, pragmatik siber termasuk ilmu yang memiliki bidang yang sangat kompleks. Dalam menganalisisnya, seseorang tidak bisa berpatok pada satu bidang saja.

Berdasarkan pendapat ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa pragmatik siber adalah ilmu yang mengkaji makna tuturan dalam internet. Makna tuturan tersebut diinterpretasi dengan menggunakan konteks-konteks yang terdapat pada internet.

Tuturan tersebut dapat ditemukan di berbagai sosial media internet.

2.2.3 Konteks

Stockwell & Carter (2002:2) mengatakan bahwa konteks pragmatik adalah

“focus on the meaning of words in interaction and how interactors communicate more information than the words they use”. Konteks pragmatik berpengaruh terhadap makna yang dihasilkan. Oleh karena itu, pragmatik berfokus pada makna setiap kalimat di dalam percakapan dan informasi yang terkandung dalam percakapan tersebut. Tentu harus ada kesepahaman antara penutur dan mitra tutur dalam percakapan.

Menurut Stockwell & Carter (2002:3), ada tiga konteks dalam pragmatik yaitu konteks situasional, konteks latar belakang pengetahuan, dan konteks ko-teks.

Konteks situasional adalah konteks yang berkaitan dengan situasi saat implikatur antara penutur dan mitra tutur terjadi. Konteks situasi berkaitan dengan ruang, waktu, dan suasana saat terjadinya percakapan. Gestur tubuh tidak akan mempengaruhi dan menambah arti dalam percakapan.

Konteks latar belakang pengetahuan berkaitan dengan budaya dan

interpersonal. Kesamaan latar belakang budaya akan mempengaruhi konteks. Jika

penutur dan mitra tutur berasal dari tempat yang sama, akan terjadi kesepahaman

ketika membicarakan sebuah topik. Persamaan latar belakang budaya ini juga dapat

ditemukan dalam komunitas tutur. Konteks latar belakang interpersonal berkaitan

dengan hubungan antarpribadi. Hubungan antarpribadi ini dapat terbentuk dari

pengalaman kegiatan bersama dan komunikasi bersama. Dengan adanya hubungan

tersebut, akan timbul kesepahaman antarpribadi (Stockwell & Carter, 2002:4).

(34)

Konteks ko-teks adalah konteks yang berkaitan dengan pemahaman konsep.

Konsep yang dimaksud adalah koherensi grammatikal dan leksikal. Ko-teks adalah rujukan pada kalimat sebelumnya. Kalimat tersebut tidak bisa berdiri sendiri untuk memahaminya secara utuh. Oleh sebab itu, diperlukan koherensi antarkalimat.

Koherensi adalah keterpaduan makna pada kalimat-kalimat (Stockwell & Carter, 2002:6).

Pragmatik siber lebih menekankan pada atribut media sosial, hal yang paling sering ditemui, kesamaan sosial dan pandangan, kebutuhan pengguna internet, dan lain-lain (Yus, 2011:53). Konteks-konteks yang disebutkan oleh Stockwell dan Carter menjadi berubah ketika berada pada dunia siber. Konteks situasional dalam pragmatik siber bisa muncul tanpa harus memiliki ruang, waktu, dan situasi. Saat ini, ruang dan waktu sudah dikenal dengan dunia virtual. Dunia tersebut kemudian mengaburkan batas wilayah dan waktu. Suasana yang dibuat pun bisa menyesuaikan pengguna (user).

Konteks latar belakang budaya dan interpersonal juga menjadi tidak penting dalam dunia virtual. Jika dulu, kita perlu menjalin komunikasi dengan komunitas tutur agar mendapat teman, saat ini kita tidak memerlukan komunitas tutur tersebut.

Kita tidak perlu bertatap muka untuk berbincang-bincang. Karena tidak bisa melihat dan berbicara langsung, muncullah keberanian berlebih dalam diri setiap orang.

Pengguna (user) bisa membuat gendernya sendiri dalam dunia virtual. Mereka juga bisa berbicara dengan seseorang tanpa harus takut ketahuan identitas aslinya.

Konteks yang masih sama antara pragmatik dan pragmatik siber adalah konteks ko-teks. Pengguna perlu memahami keseluruhan kalimat agar bisa menentukan makna dari tuturan. Akan tetapi, saat ini pengguna dunia virtual sudah mulai berkurang untuk memahami keseluruhan makna sehingga sering muncul kesalahpahaman pada dunia virtual.

Pendapat dari Stockwell & Carter, serta Yus ditegaskan kembali oleh Rahardi.

Rahardi (2017:184) menyatakan bahwa konteks adalah hal yang perlu dipahami penutur dan mitra tutur, baik intrakebahasaan dan ekstrakebahasaan.

Intrakebahasaan adalah bahasa itu sendiri. Ekstrakebahasaan adalah hal-hal di luar

bahasa. Konteks intrabahasa dan ekstrabahasa inilah yang berperan dalam

(35)

penafsiran makna tuturan. Dalam penerapannya, konteks dalam pragmatik tentu akan berbeda dengan konteks pragmatik siber. Perbedaannya terletak pada aspek yang melekat dengan elemen. Akan tetapi, secara umum, elemen-elemen antara pragmatik dan pragmatik siber adalah sama.

Dalam menginterpretasi makna dengan menggunakan konteks, ada beberapa elemen yang perlu diperhatikan. Hymes (1974) mengemukakan ada delapan (8) elemen konteks sosial yang dapat dikemukakan. Elemen-elemen tersebut disingkat menjadi SPEAKING (Rahardi, 2019:75–78). Berikut penjabaran dari elemen tersebut adalah:

(a) Speaker

Speaker atau penutur adalah orang yang membuka percakapan atau tuturan pertama kali. Biasanya, aspek penutur ini berkaitan dengan usia, latar belakang budaya, gender, dan sebagainya (Rahardi, 2019:75).

(b) Participant

Participant atau mitra tutur adalah orang yang menjadi lawan bicara penutur.

Selain itu, orang-orang yang terlibat dalam tuturan tersebut dapat disebut sebagai mitra tutur. Aspek mitra tutur sama dengan aspek dari penutur. Aspek mitra tutur meliputi budaya, latar belakang, usia, gender, pendidikan, dan sebagainya (Rahardi, 2019:75).

(c) Ends

Ends atau tujuan tuturan adalah elemen yang menentukan bentuk dari informasi yang terdapat dalam tuturan. Tujuan tuturan ini berkaitan dengan maksud dan fungsi dan tuturan tersebut. Tujuan inilah yang akan mengarahkan maksud dalam pembicaraan (Rahardi, 2019:76).

(d) Act sequence

Act sequence atau urutan tuturan adalah elemen yang menjelaskan mengenai

urutan tuturan. Elemen ini berisi mengenai intensitas tuturan dan kronologi

tuturan. Sebagai contoh, seorang pembina upacara melakukan pidato. Awalnya

pidato tersebut sangat menarik dan menggebu-gebu. Akan tetapi, pertengahan

pidato, pembina upacara mulai mendatar dalam pengucapannya. Hal ini

dikarenakan intensitas tuturan mulai menurun. Pada akhir pidato, penutur mulai

(36)

menggebu-gebu kembali untuk meraih perhatian dari mitra tutur. Hal ini yang disebut dengan urutan tuturan. Urutan tuturan dapat menentukan wujud dan maksud tuturan (Rahardi, 2019:76).

(e) Key

Key atau kunci tuturan yaitu elemen yang menjabarkan mengenai cara bertutur, nada, dan perasaan ketika tuturan berlangsung. Dalam percakapan lisan, kita dapat langsung mengetahui nada-nada yang digunakan oleh penutur.

Nada tinggi untuk mengemukakan perintah atau kemarahan. Nada datar untuk menyampaikan pernyataan, dan sebagainya. Akan tetapi, dalam tuturan tulis, nada-nada tersebut terdapat pada tanda baca. Tanda baca inilah yang akan membantu pembaca dalam menafsirkan nada.

Dalam tuturan, cara bertutur akan menunjukkan sifat dari seseorang.

Apabila penutur sering menggunakan kata-kata kasar dalam tuturannya, kita dapat menyimpulkan bahwa sifat penutur tersebut tidak santun. Sebaliknya, jika penutur menggunakan kata-kata yang santun dalam berbicara, penutur tersebut memiliki sifat yang santun. Selain itu, dalam tuturan lisan dan tulis, kita dapat mengetahui perasaan yang dirasakan oleh penutur. Setiap perasaan memiliki wujud yang berbeda.

Perasaan tersebut juga akan memengaruhi nada dan cara bertutur. Misalnya, ketika seseorang sedang gembira, biasanya nada tuturannya akan terasa lebih riang dan naik. cara tuturannya pun akan mencerminkan bahwa dia sedang gembira. Begitu pula dengan perasaan-perasaan yang lain. Oleh karenanya, nada tuturan, cara bertutur, dan perasaan akan membentuk wujud dan makna tuturan yang berbeda (Rahardi, 2019:77)

(f) Instrumentalities

Instrumentalities disebut juga dengan saluran tutur. Elemen ini menjelaskan

mengenai peranti yang digunakan saat tuturan sedang terjadi. Tentu dalam

pragmatik siber, peranti tersebut berbeda dengan peranti pragmatik. Pragmatik

siber menggunakan peranti internet untuk menyampaikan informasinya,

sedangkan pragmatik menggunakan peranti yang tidak terhubung dengan

internet (Rahardi, 2019:77).

(37)

(g) Norms

Norms atau norma adalah elemen mengenai aturan atau kaidah. Dalam bertutur, penutur dan mitra tutur perlu memenuhi atau menggunakan norma yang berlaku di masyarakat. Ada beberapa norma yang digunakan dalam masyarakat yaitu norma agama, norma kesusilaan, norma kesantunan, dan norma hukum. Norma ini perlu perhatikan oleh penutur dan mitra tutur karena norma tersebut akan memengaruhi makna dan wujud tuturan. Oleh karenanya, terdapat dua dimensi norma yaitu norma ketika berinteraksi dan norma ketika menafsirkan makna tuturan (Rahardi, 2019:77).

(h) Genre

Genre disebut juga dengan ragam tutur. Ragam tutur yang digunakan disesuaikan dengan situasi atau suasana saat tuturan sedang berlangsung.

Ragam tutur yang digunakan perlu diperhatikan agar penutur dan mitra tutur dapat berkomunikasi dengan baik dan lancar (Rahardi, 2019:77–78).

Berdasarkan pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa konteks adalah latar belakang yang perlu dipahami oleh penutur dan mitra tutur. Kesepahaman ini akan menimbulkan hubungan antara penutur dan mitra tutur sehingga pembicaraan dapat terus berlanjut. Apabila salah satu pihak tidak memahami latar belakang, tidak akan terjadi pembicaraan lebih lanjut antara penutur dan mitra tutur. Ada beberapa elemen yang perlu diperhatikan dalam menginterpretasi makna tuturan. Elemen tersebut adalah speaker, participant, ends, act sequence, key, instrumentalities, norms, dan genre.

2.2.4.1 Konteks Virtual

Pragmatik siber memiliki perbedaan konteks dengan pragmatik. Terdapat

pergeseran konteks dalam pragmatik siber. Pragmatik menitikberatkan kepada

konteks kultur, gender, umur, ras, kebangsaan, dan lain-lain. Ada beberapa konteks

yang mencakup konteks individual yaitu terkait gender, umur, status sosial,

kebangsaan, dan sebagainya. Konteks yang mencakup kelompok adalah kelompok

tutur.

(38)

Konteks ini berbeda dengan konteks virtual. Yus (2011:23) menyebutkan bahwa dalam konteks pragmatik siber, konteks tersebut dikenal dengan konteks virtual. Yang membedakan adalah aspek-aspek dalam konteks pragmatik biasa.

Pada konteks pragmatik, seseorang harus memperhatikan gender, umur, dan sebagainya. Tetapi, konteks virtual tidak lagi memandang gender, umur, dan kebangsaan. Hal ini disebabkan oleh munculnya globalisasi. Globalisasi mengaburkan atau menutupi realita. Oleh sebab itu, sering kali di media sosial, seorang pria menggunakan akun dengan nama perempuan. Sebaliknya, seorang perempuan menggunakan akun dengan nama pria. Tidak hanya terkait nama, umur pun sering dipalsukan oleh pengguna internet.

Pada era digital, seseorang dapat dengan mudah mengganti identitasnya.

Lawan bicara belum tentu dapat mengetahui identitas asli dari pembuat akun (Yus, 2011:23). Hal tersebut akhirnya mengaburkan fakta dan membuat identitas menjadi tidak penting. Akhirnya, pengguna media sosial merasa bebas untuk mengganti identitas tanpa harus takut ketahuan identitas aslinya.

Rahardi (2020:145) mengatakan bahwa konteks virtual memiliki elemen yang mirip dengan konteks eksternal pragmatik. Yang membedakan konteks virtual dan konteks eksternal pragmatik adalah unsur-unsur di dalam elemen. Pada elemen penutur dan mitra tutur, konteks eksternal pragmatik memperhatikan gender, umur, kebudayaan, status sosial, dan sebagainya. Akan tetapi, apek-aspek tersebut tidak berlaku pada konteks virtual. Hal ini disebabkan karena adanya pengaburan identitas. Oleh karenanya, konteks virtual lebih berfokus pada pola pikir dan cara pandang seseorang terhadap postingan, komentar, atau kejadian yang terjadi di dunia maya.

Contoh lain elemen konteks pragmatik yang berbeda dengan konteks virtual

yaitu elemen instrumentalities atau saluran tutur. Dalam konteks pragmatik, saluran

yang digunakan misalnya pelantang. Hal ini akan membantu penutur dalam bertutur

dengan mitra tutur yang jaraknya jauh dari penutur. Penutur tidak perlu berteriak

untuk menyampaikan maksudnya (Rahardi, 2019:77). Akan tetapi, dalam konteks

virtual, saluran yang digunakan adalah teknologi dan internet. Saat ini, penutur

dapat menggunakan gawainya untuk mengirim teks berupa SMS atau bisa

(39)

menelpon mitra tutur untuk menyampaikan maksudnya. Penutur juga dapat menggunakan aplikasi yang terhubung dengan internet, misalnya Whatsapp, surel (email), WeChat, Twiter, dan sebagainya.

Berdasarkan pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa konteks virtual adalah latar belakang pengetahuan yang terjadi pada dunia maya dan harus dipahami oleh dua belah pihak. Pemahaman tersebut akan membawa penutur dan mitra tutur kepada penyampaian pesan. Dalam konteks virtual, penutur dan mitra tutur perlu memiliki latar belakang yang sama. Apabila tidak memiliki kesepahaman, tuturan pada dunia maya akan terhenti dan berubah makna.

2.2.4.2 Komunitas Virtual

Komunitas virtual adalah sekelompok orang yang menjalin interaksi dan komunikasi pada internet (Rahardi, 2020:13). Komunitas virtual muncul pada pragmatik siber. Komunitas virtual tidak lagi terbatas pada gender, usia, kebangsaan dan lain-lain. Ada beberapa ahli yang mengungkapkan pendapatnya terkait komunitas virtual.

Del’Aquila berpendapat komunitas virtual adalah:

“Groups of people who congregate electronically to discuss specific topics which range from academic research to hobbies. They are linked by a common interest or profession. There are no geographic boundaries to on- line communities and participants anywhere in the world can participate”

(Yus, 2011:27).

Ia menjelaskan bahwa komunitas virtual hadir karena adanya kelompok orang yang terhubung di dunia elektronik (internet). Mereka membicarakan berbagai topik dan tidak dibatasi oleh keadaan geografis. Seluruh orang di dunia boleh bergabung di komunitas tersebut. Pendapat ini tentu mematahkan penjelasan terkait komunitas tutur. Pada komunitas fisik, sering kali orang melihat dari gender, usia, ras, daerah, dan sebagainya. Akan tetapi, pada komunitas virtual, aspek-aspek pada komunitas tutur tidak lagi menjadi hal yang diperhatikan.

Rheingold mengatakan bahwa komunitas virtual adalah:

(40)

“Social aggregations that emerge from the Net when enough people carry on those public discussions long enough, with sufficient human feeling, to form webs of personal relationships in cyberspace” (Yus, 2011:27).

Rheingold mengatakan bahwa perkumpulan sosial secara fisik yang membentuk hubungan di dunia maya. Diskusi publik sudah berlangsung sejak dulu. Diskusi tersebut melibatkan berbagai aspek, termasuk perasaan manusia. Perasaan tersebut yang menghubungkan tiap pribadi pada dunia maya.

Pendapat dari Del’Aquila dan Rheingold memiliki persamaan. Persamaan tersebut terletak pada keterhubungan seseorang dengan yang lain pada dunia maya.

Tidak dapat diingkari bahwa dunia maya memiliki cakupan wilayah yang sangat luas. Seseorang dapat dengan leluasa berkomunikasi dengan yang lain tanpa harus bertemu secara langsung. Kedua ahli tersebut sependapat bahwa seseorang tetap dapat menjalin relasi atau hubungan di dalam dunia virtual.

Akan tetapi, kedua ahli tersebut juga memiliki ciri khas pendapat masing- masing. Ciri khas tersebut yang akhirnya memberi perbedaan pada pernyataan kedua ahli tersebut. Perbedaannya terletak pada hubungan antarorang. Bagi Rheingold, komunitas fisik membentuk hubungan yang lebih dekat di dunia maya.

Akan tetapi, menurut Del’Aquila, semua bisa berhubungan baik di dunia maya dengan syarat memiliki persamaan topik pembicaraan.

Pendapat Rahardi memiliki persamaan dengan pendapat Del’Aquila. Kedua ahli tersebut berpendapat bahwa komunitas virtual adalah sekelompok orang yang menjalin komunikasi dan hubungan di dunia internet. Perbedaan dari kedua ahli tersebut adalah perluasan pengertian komunitas virtual. Rahardi mengungkapkan pengertian komunitas virtual secara umum. Del’Aquila menyampaikan pengertian komunitas virtual secara rinci. Ia mengungkapkan bahwa seluruh orang bisa ikut dalam komunitas tutur tanpa menitikberatkan unsur-unsur fisik.

Sebagai contoh, dalam Instagram, ada beberapa akun yang mengkhususkan

diri untuk membahas topik-topik tertentu. Akun-akun tersebut memiliki banyak

pengikut. Pengikut tersebut sering membalas unggahan-unggahan yang terdapat

pada akun tersebut. Pengikut akun tersebut memiliki kesamaan persepsi dan

kesamaan pemahaman topik dengan akun yang membahas topik tersebut. Apabila

(41)

ditemukan akun yang menentang pernyataan si pengunggah, pengikut yang lain akan menyatakan bahwa akun penentang bukanlah bagian dari mereka.

Berdasarkan ketiga pendapat ahli tersebut, komunitas virtual dapat disimpulkan sebagai kelompok orang yang memiliki persamaan topik diskusi di dunia maya (internet). Kelompok tersebut tidak menitikberatkan pada unsur-unsur fisik, seperti kebangsaan, umur, gender, dan lain-lain. Batas geografi juga tidak dapat membatasi partisipan untuk bergabung dalam komunitas virtual.

2.2.4 Kelompok Oposisi

Demokrasi memiliki dua kelompok yaitu oposisi dan koalisi. Kedua kelompok tersebut memiliki pandangan yang berbeda terhadap kebijakan pemerintah. Oposisi bertugas untuk mengontrol dan mengkritisi kebijakan pemerintah (Munadi, 2019:3).

Hal ini bertujuan agar pemerintah tetap mengeluarkan kebijakan yang mencakup seluruh elemen masyarakat.

Pengertian milik Munadi ditegaskan dengan pengertian dari KBBI V. Menurut KBBI V (Departemen Pendidikan Nasional, 2016), kelompok adalah kumpulan, golongan, dan gugusan. Oposisi adalah partai penentang di dewan perwakilan yang menentang dan mengkritik kebijakan partai politik yang berkuasa. Secara umum, kelompok oposisi adalah sekelompok orang yang menentang dang mengkritik kebijakan pemerintah.

Sejalan dengan pengertian KBBI V, Rooney menyampaikan hal yang sama.

Rooney mengatakan bahwa oposisi adalah lawan terhadap suatu hal (Noor, 2016:5).

Dalam politik, oposisi adalah sekelompok orang yang berada di luar pemerintahan yang mengungkapkan kritik dan kontrol atas kebijakan pemerintah. Kelompok oposisi diperlukan agar kebijakan pemerintah dapat diimplementasikan untuk seluruh lapisan masyarakat. Kelompok oposisi berhak untuk mengemukakan kritikannya atas kebijakan pemerintah jika dirasa kebijakan pemerintah tidak benar.

Secara umum, oposisi adalah sekelompok orang yang memiliki sikap anti-

pemerintah, kritik, dan tawaran atas kebijakan pemerintah (Noor, 2016:6). Hampir

sebagian orang mengira bahwa oposisi hanya kelompok yang mengajukan kritik

pada pemerintah. Kelompok oposisi juga dapat melakukan penawaran atas

(42)

kebijakan pemerintah. Penawaran tersebut berupa perubahan kebijakan yang dirasa belum mencakup seluruh elemen masyarakat.

Pada awalnya, kelompok oposisi berfungsi sebagai penyeimbang dan pengawas kebijakan pemerintah. Kelompok oposisi selalu mengawasi kebijakan pemerintah. Apabila ditemukan kejanggalan dalam kebijakan pemerintah, kelompok oposisi berhak menyuarakan kritik mereka. Kelompok oposisi tersebut bisa bersifat kumpulan orang yang memiliki pandangan yang sama dan bisa bersifat partai politik. Biasanya, kelompok oposisi adalah kelompok yang kalah dalam pemilihan lembaga eksekutif dan legislatif. Oleh karenanya, kelompok tersebut disebut penyeimbang kebijakan pemerintah.

Akan tetapi, saat ini fungsi kelompok oposisi mulai berubah. Hariyadi mengatakan bahwa banyak orang juga mulai menyalahartikan arti oposisi. Mereka mengartikan bahwa oposisi adalah “sikap untuk menentang atau menjegal kebijakan pemerintah” (Munadi, 2019:3). Saat ini, kelompok oposisi tersebut tetap mengemukakan ketidaksetujuannya, namun dengan menggunakan kata-kata yang kasar. Kelompok oposisi tersebut tidak segan-segan memberikan umpatan apabila kebijakan pemerintah tidak sesuai dengan keinginnya. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kelompok oposisi adalah sekelompok orang yang memiliki pandangan berseberangan dengan pemerintah. Kelompok oposisi saat ini tidak segan-segan mengemukakan pernyataan tidak setuju dengan kata-kata kasar dan selalu menentang kebijakan pemerintah.

2.2.5 Media Sosial

Di era digital, media sosial adalah sebuah media yang dapat menghubungkan antarorang. Dengan adanya media sosial, orang-orang dapat terhubung dengan mudah. Menurut Badan Pengawas Pemilihan Umum (2020:9), media sosial adalah

“platform media yang memfokuskan pada eksistensi pengguna yang memfasilitasi mereka dalam beraktivitas maupun berkolaborasi”. Hal ini menunjukkan bahwa media sosial adalah media penghubung antarorang melalui jaringan internet.

Pengguna media sosial dapat mengunggah atau megirim aktivitas mereka ke media

Referensi

Dokumen terkait

Belt Wagon merupakan alat yang berfungsi sebagai alat transfer material dari bucket wheel excavator ke hopper car, belt wagon digunakan untuk memperpanjang

Terbitnya Perpres 109 tahun 2020 yang ditandatangani pada 17 November 2020 oleh Presiden Joko Widodo, menjadikan 2 (dua) proyek PTBA masuk kembali menjadi PSN (Proyek

Pengertian Kinerja Pengertian kinerja seperti yang dikemukakan oleh Bastian (2001: 329) adalah gambaran mengenai tingkat pencapaian pelaksanaan suatu

Dalam beberapa tempat itu penguasa Jawa yang belum menganut Islam kemudian menganut Islam, dan maulana-maulana dan pedagang- pedagang muslim ini menggambil

Perencanaan pemasaran kakao yang akan dihasilkan dalam kegiatan kemitraan merupakan penilaian evaluatif terhadap penentuan rencana pemasaran kakao yang dihasilkan, dapat

Tidak jauh berbeda dengan konsep iman, Allah harus diyakini dengan hati tentang kehadiran-Nya, diucapkan dengan lisan melalui lantunan dzikir, dan menjadi ruh

individu sendiri. Faktor intrinsik tersebut yaitu berupa kecerdasan, perhatian,minat, bakat, motivasi, kematangan, dan kesiapan. Sedangkan faktor ekstrinsik

Berdasarkan tabel 4.3 dari hasil penelitian yang dilakukan didapatkan frekuensi gejala terbanyak pada masyarakat suspek TB yang kontak serumah dengan pasien TB adalah batuk