• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

2.2 Landasan Teori

2.2.3 Konteks

Stockwell & Carter (2002:2) mengatakan bahwa konteks pragmatik adalah

“focus on the meaning of words in interaction and how interactors communicate more information than the words they use”. Konteks pragmatik berpengaruh terhadap makna yang dihasilkan. Oleh karena itu, pragmatik berfokus pada makna setiap kalimat di dalam percakapan dan informasi yang terkandung dalam percakapan tersebut. Tentu harus ada kesepahaman antara penutur dan mitra tutur dalam percakapan.

Menurut Stockwell & Carter (2002:3), ada tiga konteks dalam pragmatik yaitu konteks situasional, konteks latar belakang pengetahuan, dan konteks ko-teks.

Konteks situasional adalah konteks yang berkaitan dengan situasi saat implikatur antara penutur dan mitra tutur terjadi. Konteks situasi berkaitan dengan ruang, waktu, dan suasana saat terjadinya percakapan. Gestur tubuh tidak akan mempengaruhi dan menambah arti dalam percakapan.

Konteks latar belakang pengetahuan berkaitan dengan budaya dan interpersonal. Kesamaan latar belakang budaya akan mempengaruhi konteks. Jika penutur dan mitra tutur berasal dari tempat yang sama, akan terjadi kesepahaman ketika membicarakan sebuah topik. Persamaan latar belakang budaya ini juga dapat ditemukan dalam komunitas tutur. Konteks latar belakang interpersonal berkaitan dengan hubungan antarpribadi. Hubungan antarpribadi ini dapat terbentuk dari pengalaman kegiatan bersama dan komunikasi bersama. Dengan adanya hubungan tersebut, akan timbul kesepahaman antarpribadi (Stockwell & Carter, 2002:4).

Konteks ko-teks adalah konteks yang berkaitan dengan pemahaman konsep.

Konsep yang dimaksud adalah koherensi grammatikal dan leksikal. Ko-teks adalah rujukan pada kalimat sebelumnya. Kalimat tersebut tidak bisa berdiri sendiri untuk memahaminya secara utuh. Oleh sebab itu, diperlukan koherensi antarkalimat.

Koherensi adalah keterpaduan makna pada kalimat-kalimat (Stockwell & Carter, 2002:6).

Pragmatik siber lebih menekankan pada atribut media sosial, hal yang paling sering ditemui, kesamaan sosial dan pandangan, kebutuhan pengguna internet, dan lain-lain (Yus, 2011:53). Konteks-konteks yang disebutkan oleh Stockwell dan Carter menjadi berubah ketika berada pada dunia siber. Konteks situasional dalam pragmatik siber bisa muncul tanpa harus memiliki ruang, waktu, dan situasi. Saat ini, ruang dan waktu sudah dikenal dengan dunia virtual. Dunia tersebut kemudian mengaburkan batas wilayah dan waktu. Suasana yang dibuat pun bisa menyesuaikan pengguna (user).

Konteks latar belakang budaya dan interpersonal juga menjadi tidak penting dalam dunia virtual. Jika dulu, kita perlu menjalin komunikasi dengan komunitas tutur agar mendapat teman, saat ini kita tidak memerlukan komunitas tutur tersebut.

Kita tidak perlu bertatap muka untuk berbincang-bincang. Karena tidak bisa melihat dan berbicara langsung, muncullah keberanian berlebih dalam diri setiap orang.

Pengguna (user) bisa membuat gendernya sendiri dalam dunia virtual. Mereka juga bisa berbicara dengan seseorang tanpa harus takut ketahuan identitas aslinya.

Konteks yang masih sama antara pragmatik dan pragmatik siber adalah konteks ko-teks. Pengguna perlu memahami keseluruhan kalimat agar bisa menentukan makna dari tuturan. Akan tetapi, saat ini pengguna dunia virtual sudah mulai berkurang untuk memahami keseluruhan makna sehingga sering muncul kesalahpahaman pada dunia virtual.

Pendapat dari Stockwell & Carter, serta Yus ditegaskan kembali oleh Rahardi.

Rahardi (2017:184) menyatakan bahwa konteks adalah hal yang perlu dipahami penutur dan mitra tutur, baik intrakebahasaan dan ekstrakebahasaan.

Intrakebahasaan adalah bahasa itu sendiri. Ekstrakebahasaan adalah hal-hal di luar bahasa. Konteks intrabahasa dan ekstrabahasa inilah yang berperan dalam

penafsiran makna tuturan. Dalam penerapannya, konteks dalam pragmatik tentu akan berbeda dengan konteks pragmatik siber. Perbedaannya terletak pada aspek yang melekat dengan elemen. Akan tetapi, secara umum, elemen-elemen antara pragmatik dan pragmatik siber adalah sama.

Dalam menginterpretasi makna dengan menggunakan konteks, ada beberapa elemen yang perlu diperhatikan. Hymes (1974) mengemukakan ada delapan (8) elemen konteks sosial yang dapat dikemukakan. Elemen-elemen tersebut disingkat menjadi SPEAKING (Rahardi, 2019:75–78). Berikut penjabaran dari elemen tersebut adalah:

(a) Speaker

Speaker atau penutur adalah orang yang membuka percakapan atau tuturan pertama kali. Biasanya, aspek penutur ini berkaitan dengan usia, latar belakang budaya, gender, dan sebagainya (Rahardi, 2019:75).

(b) Participant

Participant atau mitra tutur adalah orang yang menjadi lawan bicara penutur.

Selain itu, orang-orang yang terlibat dalam tuturan tersebut dapat disebut sebagai mitra tutur. Aspek mitra tutur sama dengan aspek dari penutur. Aspek mitra tutur meliputi budaya, latar belakang, usia, gender, pendidikan, dan sebagainya (Rahardi, 2019:75).

(c) Ends

Ends atau tujuan tuturan adalah elemen yang menentukan bentuk dari informasi yang terdapat dalam tuturan. Tujuan tuturan ini berkaitan dengan maksud dan fungsi dan tuturan tersebut. Tujuan inilah yang akan mengarahkan maksud dalam pembicaraan (Rahardi, 2019:76).

(d) Act sequence

Act sequence atau urutan tuturan adalah elemen yang menjelaskan mengenai urutan tuturan. Elemen ini berisi mengenai intensitas tuturan dan kronologi tuturan. Sebagai contoh, seorang pembina upacara melakukan pidato. Awalnya pidato tersebut sangat menarik dan menggebu-gebu. Akan tetapi, pertengahan pidato, pembina upacara mulai mendatar dalam pengucapannya. Hal ini dikarenakan intensitas tuturan mulai menurun. Pada akhir pidato, penutur mulai

menggebu-gebu kembali untuk meraih perhatian dari mitra tutur. Hal ini yang disebut dengan urutan tuturan. Urutan tuturan dapat menentukan wujud dan maksud tuturan (Rahardi, 2019:76).

(e) Key

Key atau kunci tuturan yaitu elemen yang menjabarkan mengenai cara bertutur, nada, dan perasaan ketika tuturan berlangsung. Dalam percakapan lisan, kita dapat langsung mengetahui nada-nada yang digunakan oleh penutur.

Nada tinggi untuk mengemukakan perintah atau kemarahan. Nada datar untuk menyampaikan pernyataan, dan sebagainya. Akan tetapi, dalam tuturan tulis, nada-nada tersebut terdapat pada tanda baca. Tanda baca inilah yang akan membantu pembaca dalam menafsirkan nada.

Dalam tuturan, cara bertutur akan menunjukkan sifat dari seseorang.

Apabila penutur sering menggunakan kata-kata kasar dalam tuturannya, kita dapat menyimpulkan bahwa sifat penutur tersebut tidak santun. Sebaliknya, jika penutur menggunakan kata-kata yang santun dalam berbicara, penutur tersebut memiliki sifat yang santun. Selain itu, dalam tuturan lisan dan tulis, kita dapat mengetahui perasaan yang dirasakan oleh penutur. Setiap perasaan memiliki wujud yang berbeda.

Perasaan tersebut juga akan memengaruhi nada dan cara bertutur. Misalnya, ketika seseorang sedang gembira, biasanya nada tuturannya akan terasa lebih riang dan naik. cara tuturannya pun akan mencerminkan bahwa dia sedang gembira. Begitu pula dengan perasaan-perasaan yang lain. Oleh karenanya, nada tuturan, cara bertutur, dan perasaan akan membentuk wujud dan makna tuturan yang berbeda (Rahardi, 2019:77)

(f) Instrumentalities

Instrumentalities disebut juga dengan saluran tutur. Elemen ini menjelaskan mengenai peranti yang digunakan saat tuturan sedang terjadi. Tentu dalam pragmatik siber, peranti tersebut berbeda dengan peranti pragmatik. Pragmatik siber menggunakan peranti internet untuk menyampaikan informasinya, sedangkan pragmatik menggunakan peranti yang tidak terhubung dengan internet (Rahardi, 2019:77).

(g) Norms

Norms atau norma adalah elemen mengenai aturan atau kaidah. Dalam bertutur, penutur dan mitra tutur perlu memenuhi atau menggunakan norma yang berlaku di masyarakat. Ada beberapa norma yang digunakan dalam masyarakat yaitu norma agama, norma kesusilaan, norma kesantunan, dan norma hukum. Norma ini perlu perhatikan oleh penutur dan mitra tutur karena norma tersebut akan memengaruhi makna dan wujud tuturan. Oleh karenanya, terdapat dua dimensi norma yaitu norma ketika berinteraksi dan norma ketika menafsirkan makna tuturan (Rahardi, 2019:77).

(h) Genre

Genre disebut juga dengan ragam tutur. Ragam tutur yang digunakan disesuaikan dengan situasi atau suasana saat tuturan sedang berlangsung.

Ragam tutur yang digunakan perlu diperhatikan agar penutur dan mitra tutur dapat berkomunikasi dengan baik dan lancar (Rahardi, 2019:77–78).

Berdasarkan pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa konteks adalah latar belakang yang perlu dipahami oleh penutur dan mitra tutur. Kesepahaman ini akan menimbulkan hubungan antara penutur dan mitra tutur sehingga pembicaraan dapat terus berlanjut. Apabila salah satu pihak tidak memahami latar belakang, tidak akan terjadi pembicaraan lebih lanjut antara penutur dan mitra tutur. Ada beberapa elemen yang perlu diperhatikan dalam menginterpretasi makna tuturan. Elemen tersebut adalah speaker, participant, ends, act sequence, key, instrumentalities, norms, dan genre.

2.2.4.1 Konteks Virtual

Pragmatik siber memiliki perbedaan konteks dengan pragmatik. Terdapat pergeseran konteks dalam pragmatik siber. Pragmatik menitikberatkan kepada konteks kultur, gender, umur, ras, kebangsaan, dan lain-lain. Ada beberapa konteks yang mencakup konteks individual yaitu terkait gender, umur, status sosial, kebangsaan, dan sebagainya. Konteks yang mencakup kelompok adalah kelompok tutur.

Konteks ini berbeda dengan konteks virtual. Yus (2011:23) menyebutkan bahwa dalam konteks pragmatik siber, konteks tersebut dikenal dengan konteks virtual. Yang membedakan adalah aspek-aspek dalam konteks pragmatik biasa.

Pada konteks pragmatik, seseorang harus memperhatikan gender, umur, dan sebagainya. Tetapi, konteks virtual tidak lagi memandang gender, umur, dan kebangsaan. Hal ini disebabkan oleh munculnya globalisasi. Globalisasi mengaburkan atau menutupi realita. Oleh sebab itu, sering kali di media sosial, seorang pria menggunakan akun dengan nama perempuan. Sebaliknya, seorang perempuan menggunakan akun dengan nama pria. Tidak hanya terkait nama, umur pun sering dipalsukan oleh pengguna internet.

Pada era digital, seseorang dapat dengan mudah mengganti identitasnya.

Lawan bicara belum tentu dapat mengetahui identitas asli dari pembuat akun (Yus, 2011:23). Hal tersebut akhirnya mengaburkan fakta dan membuat identitas menjadi tidak penting. Akhirnya, pengguna media sosial merasa bebas untuk mengganti identitas tanpa harus takut ketahuan identitas aslinya.

Rahardi (2020:145) mengatakan bahwa konteks virtual memiliki elemen yang mirip dengan konteks eksternal pragmatik. Yang membedakan konteks virtual dan konteks eksternal pragmatik adalah unsur-unsur di dalam elemen. Pada elemen penutur dan mitra tutur, konteks eksternal pragmatik memperhatikan gender, umur, kebudayaan, status sosial, dan sebagainya. Akan tetapi, apek-aspek tersebut tidak berlaku pada konteks virtual. Hal ini disebabkan karena adanya pengaburan identitas. Oleh karenanya, konteks virtual lebih berfokus pada pola pikir dan cara pandang seseorang terhadap postingan, komentar, atau kejadian yang terjadi di dunia maya.

Contoh lain elemen konteks pragmatik yang berbeda dengan konteks virtual yaitu elemen instrumentalities atau saluran tutur. Dalam konteks pragmatik, saluran yang digunakan misalnya pelantang. Hal ini akan membantu penutur dalam bertutur dengan mitra tutur yang jaraknya jauh dari penutur. Penutur tidak perlu berteriak untuk menyampaikan maksudnya (Rahardi, 2019:77). Akan tetapi, dalam konteks virtual, saluran yang digunakan adalah teknologi dan internet. Saat ini, penutur dapat menggunakan gawainya untuk mengirim teks berupa SMS atau bisa

menelpon mitra tutur untuk menyampaikan maksudnya. Penutur juga dapat menggunakan aplikasi yang terhubung dengan internet, misalnya Whatsapp, surel (email), WeChat, Twiter, dan sebagainya.

Berdasarkan pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa konteks virtual adalah latar belakang pengetahuan yang terjadi pada dunia maya dan harus dipahami oleh dua belah pihak. Pemahaman tersebut akan membawa penutur dan mitra tutur kepada penyampaian pesan. Dalam konteks virtual, penutur dan mitra tutur perlu memiliki latar belakang yang sama. Apabila tidak memiliki kesepahaman, tuturan pada dunia maya akan terhenti dan berubah makna.

2.2.4.2 Komunitas Virtual

Komunitas virtual adalah sekelompok orang yang menjalin interaksi dan komunikasi pada internet (Rahardi, 2020:13). Komunitas virtual muncul pada pragmatik siber. Komunitas virtual tidak lagi terbatas pada gender, usia, kebangsaan dan lain-lain. Ada beberapa ahli yang mengungkapkan pendapatnya terkait komunitas virtual.

Del’Aquila berpendapat komunitas virtual adalah:

“Groups of people who congregate electronically to discuss specific topics which range from academic research to hobbies. They are linked by a common interest or profession. There are no geographic boundaries to on-line communities and participants anywhere in the world can participate”

(Yus, 2011:27).

Ia menjelaskan bahwa komunitas virtual hadir karena adanya kelompok orang yang terhubung di dunia elektronik (internet). Mereka membicarakan berbagai topik dan tidak dibatasi oleh keadaan geografis. Seluruh orang di dunia boleh bergabung di komunitas tersebut. Pendapat ini tentu mematahkan penjelasan terkait komunitas tutur. Pada komunitas fisik, sering kali orang melihat dari gender, usia, ras, daerah, dan sebagainya. Akan tetapi, pada komunitas virtual, aspek-aspek pada komunitas tutur tidak lagi menjadi hal yang diperhatikan.

Rheingold mengatakan bahwa komunitas virtual adalah:

“Social aggregations that emerge from the Net when enough people carry on those public discussions long enough, with sufficient human feeling, to form webs of personal relationships in cyberspace” (Yus, 2011:27).

Rheingold mengatakan bahwa perkumpulan sosial secara fisik yang membentuk hubungan di dunia maya. Diskusi publik sudah berlangsung sejak dulu. Diskusi tersebut melibatkan berbagai aspek, termasuk perasaan manusia. Perasaan tersebut yang menghubungkan tiap pribadi pada dunia maya.

Pendapat dari Del’Aquila dan Rheingold memiliki persamaan. Persamaan tersebut terletak pada keterhubungan seseorang dengan yang lain pada dunia maya.

Tidak dapat diingkari bahwa dunia maya memiliki cakupan wilayah yang sangat luas. Seseorang dapat dengan leluasa berkomunikasi dengan yang lain tanpa harus bertemu secara langsung. Kedua ahli tersebut sependapat bahwa seseorang tetap dapat menjalin relasi atau hubungan di dalam dunia virtual.

Akan tetapi, kedua ahli tersebut juga memiliki ciri khas pendapat masing-masing. Ciri khas tersebut yang akhirnya memberi perbedaan pada pernyataan kedua ahli tersebut. Perbedaannya terletak pada hubungan antarorang. Bagi Rheingold, komunitas fisik membentuk hubungan yang lebih dekat di dunia maya.

Akan tetapi, menurut Del’Aquila, semua bisa berhubungan baik di dunia maya dengan syarat memiliki persamaan topik pembicaraan.

Pendapat Rahardi memiliki persamaan dengan pendapat Del’Aquila. Kedua ahli tersebut berpendapat bahwa komunitas virtual adalah sekelompok orang yang menjalin komunikasi dan hubungan di dunia internet. Perbedaan dari kedua ahli tersebut adalah perluasan pengertian komunitas virtual. Rahardi mengungkapkan pengertian komunitas virtual secara umum. Del’Aquila menyampaikan pengertian komunitas virtual secara rinci. Ia mengungkapkan bahwa seluruh orang bisa ikut dalam komunitas tutur tanpa menitikberatkan unsur-unsur fisik.

Sebagai contoh, dalam Instagram, ada beberapa akun yang mengkhususkan diri untuk membahas topik-topik tertentu. Akun-akun tersebut memiliki banyak pengikut. Pengikut tersebut sering membalas unggahan-unggahan yang terdapat pada akun tersebut. Pengikut akun tersebut memiliki kesamaan persepsi dan kesamaan pemahaman topik dengan akun yang membahas topik tersebut. Apabila

ditemukan akun yang menentang pernyataan si pengunggah, pengikut yang lain akan menyatakan bahwa akun penentang bukanlah bagian dari mereka.

Berdasarkan ketiga pendapat ahli tersebut, komunitas virtual dapat disimpulkan sebagai kelompok orang yang memiliki persamaan topik diskusi di dunia maya (internet). Kelompok tersebut tidak menitikberatkan pada unsur-unsur fisik, seperti kebangsaan, umur, gender, dan lain-lain. Batas geografi juga tidak dapat membatasi partisipan untuk bergabung dalam komunitas virtual.

Dokumen terkait