• Tidak ada hasil yang ditemukan

Berat Felix Siauw

Dalam dokumen Merry Christmas Felix Siauw (Halaman 128-137)

Saya punya ikatan sentimental dengan Islam. Sejak kecil, orang-orang tua di kampung saya berusaha sekuat tenaga agar saya bisa mengaji, salat dan puasa. Mereka pun memberikan teladan, hingga saya meyakini bahwa Islam adalah agama terbaik, terhebat. Islam adalah jalan bagi saya untuk menemukan kedamaian.

Makin dewasa, kecintaan saya terhadap Islam semakin besar. Melebihi kecintaan saya terhadap Indonesia. Melihat negeri ini, saya sering sedih. Anjing, amburadul betul. Tapi menyaksikan umat Islam di Indonesia, saya jauh lebih sedih lagi. Umatnya bodoh-bodoh mampus! Mereka semakin jauh dari ketentuan-ketentuan Islam yang sebenarnya.

Awal-awal kuliah di sebuah kampus Islam, saya perhatikan mahasiswa-mahasiswa yang konon muslim dan lulusan pesantren sangat urakan. Mereka pun berorganisi dengan nama tempelan Islam. Tapi kelakuan dan pikiran mereka aduhai kacau sekali.

Arlian Buana

Sok bebas. Sok liberal. Saya pikir saya tidak bisa tinggal diam, saya tidak boleh cuma damai sendiri. Lama-lama saya bisa saja menjadi kafir kalau hidup di tengah umat yang bebal. Saya harus berbuat sesuatu.

Tapi Allah memang maha adil, maha tahu apa yang dibutuhkan hambanya. Setelah beberapa semester di universitas, saya bertemu dengan sosok hebat luar biasa. Pengetahuan Islamnya luas dan mendalam. Ia sangat mumpuni untuk menjadi pemimpin spiritual. Dan yang paling penting, ia bisa bicara dalam bahasa saya, bahasa generasi saya, bahasa gue-elo. Ketika ia membicarakan Islam dan khilafah, topik ini terasa sangat dekat, membumi dan sangat masuk akal. Orang itu bernama Felix Siauw.

Lihatlah bagaimana perkembangan ustadz kebanggan saya itu sekarang. Sejak pertama saya mengenalnya lima tahun yang lalu, saya sudah yakin ia akan menjadi orang besar, orang terkenal yang mondar-mandir di televisi dengan jutaan pengikut.

Bukan hanya mengisi pengajian, Ustadz Felix juga menulis buku, menyebarkan tausiyahnya melalui facebook, twitter dan youtube. Bahkan di media sosial, ia biasa tertawa dengan “wkwkwk”. Gaul banget. Meski saya jarang menghadiri pengajiannya, berkat bantuan teknologi, perlahan-lahan saya pun meyakini apa yang diperjuangkan olehnya, khilafah adalah solusi semua persoalan anak manusia.

umat kehilangan pelindung. Setelah Perang Dunia I, umat Islam tercerai-berai, biang keroknya tak lain tak bukan adalah penjajah Inggris. Negara yang yang dipimpin seorang ratu itu tidak hanya menaklukkan dan memecah-belah kaum Muslim secara fisik, melainkan juga, lebih parah lagi, mereka menanamkan pemikiran kufurnya.

“Inggris mendoktrinasi kaum Muslim, bahwa demokrasi ialah sistem terbaik bagi mereka. Dalam demokrasi seolah mereka diperlakukan sama. Kafir Inggris juga berhasil membuat kaum Muslim lupa bahwa Khilafah-lah yang menghantarkan mereka menguasai 1/3 dunia selama 13 abad,” terang Ustadz Felix suatu kali.

Amerika Serikat, negara adidaya pengganti Inggris, juga melakukan hal yang sama, mendoktrinasi

seolah demokrasi sejalan dengan Islam. Mereka menyamakan demokrasi dengan musyawarah dalam Islam, padahal akar pengambilan hukum, daun, dan buahnya jelas berbeda jauh. Sistem yang diwariskan Nabi Muhammad SAW melalui lisannya nan mulia hanyalah khilafah. Dan hanya khilafah-lah sistem yang dipakai para sahabat Nabi.

“Dalam musyawarah, hanya hal mubah dan baik yang boleh didiskusikan. Pada hukum yang sudah ditentukan Allah, Islam melarang musyawarah. Salat Jumat di mana, itu boleh dimusyawarahkan, tapi salat Jumat atau tidak, itu sudah hukum Allah, tidak boleh dimusyawarahkan,” begitu pesan Ustadz Felix.

Arlian Buana

“Sedang demokrasi, semua hal bisa

dimusyawarahkan. Yang halal bisa jadi haram, dan yang haram bisa jadi halal, bila banyak yang suka. Dalam demokrasi, hukum Allah hanya opsi, bisa didebat, bahkan bisa dianggap lebih rendah dari hukum manusia. Hakikat demokrasi, manusia dianggap lebih tahu daripada Allah, karenanya boleh membuat hukum sendiri. Dalam Islam, hukum Allah mutlak.”

Berkat perjuangan Ustadz Siauw, Al Quran dan Sunnah telah jadi hukum di negara kita. Indonesia secara resmi sudah menerapkan Khilafah Islamiyah sebagai sistem pemerintahan. Khalifah kita

Prabowo Subianto, figur luar biasa yang–didukung seluruh umat Islam–berhasil memimpin revolusi menggulingkan rezim kafir liberal setahun yang lalu. Wajah Ustadz Felix kini setiap hari nongol di televisi, bicara banyak hal. Dalam sebuah kesempatan ia menyindir negara tetangga, “Sama Syiah dia temen, sama kafir kawan, sama atheis 11-12. Tapi sama Muslim, galaknya ampun-ampunan. Ada yang kayak begini? Ada.”

Yang paling fenomenal, dan membuatnya digandrungi semua generasi, Felix Siauw akhirnya jadi host Hunger Games menggantikan Caesar Flickerman. Ia berhasil menyisihkan Tantowi Yahya dan Tukul Arwana.

Jika memerintah diibaratkan bermain catur, maka sebenarnya Jokowi adalah pecatur yang buruk. Baiklah, kalau para pemilih Jokowi belum ikhlas dicap buruk: Jokowi telah memainkan pembukaan yang buruk. Amburadul sekali openingnya. Terlalu banyak menggerakkan satu-dua perwira, sementara banyak perwira lain lumutan di posnya, Jokowi bahkan belum sempat rokade agar posisi rajanya aman.

Dibanding pendahulunya, Si Pak Beye itu, Jokowi (setidaknya dari yang nampak hingga sekarang) jelas belum ada tai-tainya, baik secara posisional maupun taktik.

Di awal pemerintahannya, Pak Beye langsung dihantam tsunami (sungguhan, bukan istilah catur), posisinya tentu saja menjadi sulit. Tapi itu tak membuat Pak Beye memainkan pembukaan yang kacau, dia bersetia pada taktiknya, membangun formasi andalannya dengan sabar, meski tidak

Arlian Buana

mudah, lalu mengamankan posisinya di DPR dengan mencaplok semua kotak kuning.

Dan Pak Beye ternyata memang pecatur andal. Ia licin di middlegame (masih ingat strategi menurunkan harga BBM, mengorbankan menteri lama dan mempromosikan satu bidak untuk jadi ratu baru, “Katakan tidak pada korupsi”, “Terima kasih,

Pak SBY”, dan “Lanjutkan!”?) dan lincah di endgame

(mengorbankan beberapa perwira terdepannya yang menghalangi ruang tembak pasukan di

belakang, tentu dengan pertukaran yang tidak terlalu merugikan, lalu sesegera mungkin membawa raja ke tengah papan).

Lah, Jokowi?

Di sini lawan-lawan Jokowi punya kesempatan baik untuk mengalahkan atau setidaknya

mengimbanginya. Tapi apa yang dilakukan kubu seberang terhadap Jokowi selama ini? Cuma iseng-iseng gak mutu, seperti yang terakhir meribut-ributkan kesalahan penyebutan kota kelahiran Bung Karno, berputar-putar pada isu Jokowi tidak Islam, segala Jokowi minum dengan tangan kiri dibesar-besarkan.

Apa yang Anda harapkan dari situ? Kelahiran pemimpin yang jago menghafal? Terbitnya pemimpin yang minum selalu duduk dan menggunakan tangan kanan?

besar seorang pemimpin tercermin dari hal-hal kecil yang dilakukannya. Ya, boleh jadi begitu. Tapi masih banyak yang jauh lebih mengundang maslahat daripada meribut-ributkan hal-hal sesepele itu. Anda bisa menghantam kebijakan-kebijakan ekonominya, misalnya.

Apa yang kita dapatkan dari hestek

#SudahlahJokowi dan #SudahiJokowi? Selain olok-olok, saya tidak melihat sesuatu yang istimewa. Saya tidak menemukan kritik tajam atas kebijakan administrasi Jokowi, kecuali hujatan dan rundungan slapstik.

Sebagai awam di bidang kebijakan publik, saya sangat mengharapkan wawasan-wawasan mencerahkan dari kelompok opisisi mengenai cara pengelolaan negara. Sebagai orang biasa, saya ingin sekali melihat oposisi yang kuat dalam memainkan peran check and balances.

Dan pada gilirannya, dari oposisi yang tangguh itu, kita bisa berharap lahirnya pemimpin yang lebih hebat daripada Jokowi. Begitulah yang seharusnya terjadi di negara dengan demokrasi yang matang, pemimpin baru datang mengoreksi pemimpin lama. Koreksi yang bukan sekadar tak pernah lagi selip lidah dan selalu minum pakai tangan kanan—kalau begini doang sih, anak TK juga bisa nyalon presiden.

Bukankah Jokowi lahir dari oposan yang kuat dan selalu bersuara keras melawan kebijkan-kebijakan

Arlian Buana

SBY? Dan Jokowi muncul ke permukaan dengan gayanya yang gesit, tangkas, dan mengakar sebab Pak Beye dianggap plin-plan, tidak pernah bisa menyelesaikan masalah sampai ke akar-akarnya, penuh lipstik pencitraan dan lebih suka bikin album sebagai musisi karbitan daripada legasi atau mahakarya sebagai negarawan.

Dengan alur demikian pula saya berharap akan terbitnya pemimpin baru yang lebih mantap daripada Jokowi. Tapi jika kualitas oposisi terus-menerus seperti ini, saya kira saya harus siap-siap menelan ludah dan gigit jari.

Jika kehidupan bernegara kita dalam empat tahun ke depan masih saja didefinisikan dengan pembelahan antara Jokower dan Prabower, saya pesimis akan ada terobosan baik dari kubu pemenang pemilu maupun yang kalah. Karena sejauh ini, dengan pembagian dua kubu tersebut, yang kita saksikan hanyalah propaganda-propaganda khas pilpres, bukan kehidupan bernegara yang sehat dengan pemerintah yang bekerja dengan baik dan oposisi yang mengkritisi langkah-langkah penguasa dengan elegan.

Atau gegap-gempita dengan tagar #SudahiJokowi itu memang serius ingin

menjungkalkan Jokowi dari kursi caturnya? Yakin, bisa? Kayak 20 Mei tempo hari? Oh, seandainya memang bisa, alih-alih kubu seberang yang nanti

panggang dari api), justru para pengerikit kekuasaan di sekitar Jokowi itu yang akan berpesta-pora.

Hati-hati, GM Jokowi, kalau hanya memainkan satu langkah acak, dua langkah lagi Anda bisa kena

Merry Christmas,

Dalam dokumen Merry Christmas Felix Siauw (Halaman 128-137)