• Tidak ada hasil yang ditemukan

Orang-Orang Tegaldowo

Dalam dokumen Merry Christmas Felix Siauw (Halaman 81-103)

“Ini harus ada yang berani mati ini, biar pemerintah terbuka matanya. Harus ada yang jadi martir dulu biar pabrik semen angkat kaki dari desa kita,” kata Joko Priyanto, dalam bahasa Jawa, kepada teman-temannya yang sedang cangkrukan di Warung Kopi Yu Sumi. Ia satu dari beberapa motor utama gerakan menolak Semen Indonesia di Bukit Watu Putih, Pegunungan Kendeng bagian utara, Rembang.

Suwater, duduk berseberangan dengan Priyanto, hanya menanggapi ucapan itu dengan senyum. Kundono yang duduk di sebelah saya mulutnya ternganga. Di meja lain, pemilik warung beserta suaminya mengikuti percakapan.

“Kalau kamu saja bagaimana, Kam?” tanya Priyanto kepada Kamidan, suami Yu Sumi. Yang ditanya

reaksinya sama seperti Suwater, memamerkan barisan giginya yang putih.

hamil besar. Priyanto sejak kecil biasa dipanggil Prin, tapi kawan-kawan akrabnya lebih sering memangil “Peng”, kependekan dari “kerempeng” karena perawakannya yang kering.

“Kalau saya mati, nanti yang memberi makan anak saya siapa?”

“Lho ya kalau suami saya yang mati, nanti yang memberi makan bayi yang saya kandung ini siapa?”

“Kamu bagaimana, Ter?” Prin kembali pada karib yang di hadapannya. Lagi-lagi Suwater tidak menjawab, ia hanya menghisap rokoknya dalam-dalam lalu kembali menyunggingkan senyum.

“Ini sungguhan, Rek! Sudah dua tahun perjuangan kita dan hasilnya belum kelihatan. Kayaknya kita harus bikin aksi di depan Gubernuran, bawa tiang gantung. Empat atau lima orang gantung diri. Setelah kayak gitu, baru mungkin pemerintah mau sadar. Kalau tidak, ya, berat ini, Rek!”

Hening. Beberapa menit lalu ruangan ini masih dipenuhi tawa, kini hilang tak bersisa. Suwater bahkan tak lagi menyisakan senyum, tatapannya nyaris kosong pada bara api ujung rokoknya. Kundono memainkan telepon genggam seolah itu bisa mengurangi kekikukan.

“Memangnya kalau mengikuti proses hukum bakal masih lama ya, Mas?” Saya mencoba memecah kebisuan.

Arlian Buana

“Gak tahu, Mas. Lama banget, bisa jadi. Kambing tinggal dua, ayam sudah mau habis. Duh!”

Warung Kopi Yu Sumi terletak di tengah-tengah Desa Tegaldowo. Di pinggir sisi selatan jalan utama desa, jalan yang menghubungkan Tegaldowo dan Timbrangan di sebelah barat.

Sabtu menjelang malam di penghujung Januari 2015 itu, Tegaldowo mati lampu. Anak-anak muda yang berkumpul bersama saya di sana, tidak ada yang memikirkan malam minggu tanpa pacar. Semuanya jomblo, tentu saja. Priyanto duda beranak satu, kelahiran 1982. Suwater 27 tahun, duda belum beranak. Dan Kundono, sebaya Suwater yang masih bujangan dan belum punya pacar.

Jauh dari bayangan anak-anak kota generasi Twitter yang doyan galau, mereka bahkan tidak memusingkan listrik yang mati bermalam-malam. Listrik yang kadang menyala di siang hari mereka manfaatkan untuk mengisi daya telepon genggam yang diperlukan agar komunikasi bisa terus terjalin di antara mereka.

Warung kopi itu warung rumahan khas desa. Pelanggan harus masuk ke ruang utama; teras rumah hanya selebar semeter, berbatasan langsung dengan jalan, dipakai untuk parkir sepedamotor—itu pun

besar. Di ruang utama, ada sebuah meja panjang membujur dengan satu bangku panjang di sisi kirinya yang muat untuk empat atau lima orang dewasa. Ada televisi 14 inci yang kerap dipakai memutar video dangdut koplo bila listrik menyala.

Lampu teplok dan beberapa batang lilin dinyalakan ketika gelap telah sempurna

menampakkan muka. Obrolan seputar perjuangan warga terus berlanjut. Sesekali mereka memeriksa ponsel masing-masing. Terutama Pryianto yang hampir setiap lima menit menerima pesan masuk. Suara yang dikeluarkan ponselnya ketika menerima pesan cukup mencolok: denting lonceng tanda sebuah ronde dimulai dan diakhiri dalam pertandingan tinju, disetel dengan volume maksimal.

Priyanto dan Suwater membicarakan atap tenda ibu-ibu di tapal pabrik yang belum diganti sejak pertama berdiri tujuh bulan yang lalu. Ibu-ibu sudah mengeluhkan beberapa bagiannya yang bocor. Mereka berencana untuk membeli terpal pengganti esok hari. Mereka juga menimbang-nimbang rencana beberapa hari kemudian untuk Polres Rembang dan LBH Semarang. Setelahnya, mereka menyesap kopi dan menghisap rokok dengan nikmatnya. Lalu ngobrol-ngobrol ringan tentang hal-hal lucu yang mereka lewati, sejenak mereka terlihat lepas dari beban.

Beberapa jam sebelumnya, Piyanto dan Kundono baru saja tiba dari Blora, membawa stiker bertuliskan

Arlian Buana

“LAWAN PABRIK SEMEN! #saverembang” dan “WASPADA! Gunung ditambang, bencana datang. #SaveRembang”.

Berkat jasa Kundono, empat malam sebelumnya, saya bisa sampai di desa ini. Tidak ada angkutan umum untuk mencapai Tegaldowo, 35 kilometer dari Kota Rembang, apalagi di malam hari. Warga kebanyakan menggunakan sepeda motor pribadi sebagai moda transportasi sehari-hari. Ibu-ibu Berangkat ke pasar Gunem biasanya menumpang pikap telanjang, duduk di bak belakang, milik salah seorang warga.

Dinihari tiba di Lasem, turun dari bus jurusan Semarang-Surabaya, saya disambut Kundono dengan Satria F pinjaman. Kami menempuh 28 Kilometer yang berkelok-kelok dengan kanan-kiri yang gelap.

“Ini hutan jati ya, Mas?” tanya saya dalam perjalanan setelah beberapa saat dapat mengenali pohon-pohon yang menjulang di sekitar kami.

“Iya.”

“Punya warga?”

“Dikit yang punya warga. Sebagian besar punya Perhutani.”

Kami sampai setelah kira-kira setengah jam. Setelah melalui jalan yang penuh lubang. Jalan yang sehari-hari dilalui konvoi truk pengangkut alat-alat berat pabrik semen.

Priyanto sedang berada di luar kota di hari aparat negara pertama kali melakukan tindak kekerasan terhadap ibu-ibu Tegaldowo dan Timbrangan di tapak pabrik. Di hari yang naas itu pula, ibu-ibu memutuskan untuk bertahan di sana sampai PT Semen Indonesia menarik diri dari Pegunungan Kendeng—sampai waktu yang tidak bisa diperkirakan.

Warga baru tahu pada malam 16 Juni 2014 kalau pihak semen mau meletakkan batu pertama keesokan hari. Dalam publikasi resmi jauh-jauh hari, pihak semen tidak menggunakan kata peletakan batu pertama. Spanduk-spanduk yang mereka sebar menyebutkan, “Gelar Doa bersama untuk Rembang.” Sepandai-pandai pabrik semen menyimpan bangkai, akhirnya tercium juga.

Begitu mendengar rencana peletakan batu pertama, beberapa orang mendatangi rumah-rumah untuk menggelar rapat mendadak, warga dua desa langsung berkumpul. Pertemuan itu melahirkan kesepakatan untuk melakukan aksi pemblokiran.

“Itu rangkaian panjang setelah kami melakukan aksi protes, audiensi, dan diskusi dengan pihak-pihak terkait, yang ternyata tidak ada respons,” kenang Priyanto, yang baru pulang ke desanya pada tanggal 17. Dia tidak ikut aksi pemblokiran, yang disebutnya sebagai “puncak kekesalan warga”.

Arlian Buana

“Saya juga enggak tahu siapa yang mengunggah video bentrok di Youtube. Pemberitaan mulai ramai,” katanya.

Sejak pertengahan 2012, Priyanto bersama lima kawannya sudah bertanya ke pemerintah desa. Intinya mereka meminta kejelasan terkait pendirian pabrik semen, dan secara terang menyatakan penolakan. Sambil protes, mereka juga mulai mengorganisir pemuda kampung mengenai ancaman bahaya.

Mentok di desa, 17 April 2013, warga mulai mulai berdemonstrasi di kantor bupati. Juga mengirim surat ke Presiden Yudhoyono—entah dibaca entah tidak. Selain itu, mereka mulai rutin melakukan perlawanan lewat istighosah, pengajian di desa-desa.

Lantaran kegiatannya, Priyanto dan kawan-kawan mendapatkan intimidasi. Dari peringatan halus perangkat desa hingga ancaman kasar dari preman dan polisi. Mereka dituduh komunis. Dari mulut ke mulut disiarkan kabar, “Hanya orang-orang komunis yang melawan pemerintah.”

“Kira-kira September 2013, setiap minggu kami sering aksi di Rembang. Beberapa kali di Semarang. Terus begitu sampai tahun depannya. Tapi sampai sekarang pun, pemerintah belum menyikapi secara serius,” kata Priyanto.

Arlian Buana

Suwater menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri kebrutalan polisi menghajar ibu-ibu desanya. Kalau bukan karena ingat pesan para petua agar jangan macam-macam, untuk tidak melakukan apa pun kecuali mengambil gambar, ia tentu sudah melesakkan tendangan paling bertenaga yang bisa ia lesakkan ke muka para polisi itu. Ia sebenar-benarnya tak tahan mendengar jeritan para perempuan yang dianiaya polisi. Tapi ia menahan diri, berusaha fokus pada tugas dokumentasi.

Memotret pun tak berjalan lancar. Baru dapat sekitar belasan foto, tiba-tiba seorang polisi menghardik di depan hidungnya

“Heh, Kamu! Media dari mana?” “Saya media dari warga.”

“Kalau media dari warga, mana kartu persnya?” “Saya gak ada punya kartu pers, Pak. Saya hanya mendokumentasikan aksi ibu-ibu.”

Lalu Water diringkus, digiring ke mobil patroli, dan ia tidak berusaha melawan. Tapi ketika disuruh naik ke mobil, ia menolak, ia berkeras berdiri di bawah.

“Tau-tau ada yang buka tas saya. Di situ saya agak emosi, saya marah, berontak. Buka-buka tanpa izin! Polisinya balik marah dan mengancam, awas kalau ada senjata tajam. Saya tantang balik, buka saja.”

Meski akhirnya ia terpaksa menyerah, ditahan di dalam mobil patroli selama empat jam. Pukul dua siang, Water dibebaskan.

Lain Water, lain pula Deban. Bujangan tinggi besar usia 32 tahun itu, Deban, meronta-ronta ketika lima polisi menangkapnya. Tak tanggung-tanggung, perintah penangkapannya langsung keluar dari mulut Kasad Intel Rembang. Deban dituduh provokator, dan ia melawan.

Pagi itu, Deban adalah orang paling bikin pusing polisi. Ia yang mengatur titik kumpul massa aksi, memberi komando agar ibu-ibu hilir-mudik sebelum pemblokiran.

“Kalau polisi sudah duduk-duduk, saya komandoi ibu-ibu untuk pindah. Mereka pada bangun lagi. Saya bikin mondar-mandir, biar polisinya bekerja,” kenang Deban terkekeh-kekeh.

Karena aksinya yang menarik perhatian, beberapa polisi mendekatinya dan bertanya, “Kamu siapa?”

“Ya saya kenalin, saya Ngatiban,” katanya. Tak cukup sekali mengakali para polisi, setelah ditangkap, Deban kembali beraksi.

“Pak, saya mau izin ambil motor saya di bawah,” katanya setelah beberapa saat duduk santai di mobil tahanan.

“Ndak boleh,” jawab polisi yang jaga.

Arlian Buana

yang tanggungjawab ya..”

Entah karena ancaman Deban membuat si aparat ciut, atau memang polisinya berbudi baik sesuai nilai-nilai Pancasila, Deban diizinkan dan diantar ambil motor lalu dibiarkan mengendarai sepedamotornya sendiri kembali ke mobil patroli. Tiba di sana, ia melihat peluang kabur karena si polisi tidak langsung menyuruhnya naik ke atas mobil dan malah berbalik melihat ke lapangan tempat aksi pemblokiran sedang berlangsung. Deban tidak membuang waktu untuk melarikan diri.

“Ya saya kabur. Lolos,” kenang Deban penuh tawa kemenangan.

Ketika senja datang, acara peletakan batu pertama telah usai, ibu-ibu berikrar tidak akan pulang sebelum pabrik semen menarik alat berat. Polisi mulai kalap, dan main ancam, “Kalau ada bapak-bapak yang ketahuan ngumpet di semak-semak, akan langsung kami tembak.”

Barisan polisi pun menghadang di depan. Mereka yang datang membawa makanan dan minuman dan obat-obatan langsung diusir dengan bentakan dan hunusan senapan.

Situasi mencekam. Hingga menjelang isya, tidak ada kontak sama sekali antara ibu-ibu di tenda dan bapak-bapak di desa.

terlatih itu. Ia berhasil menyusup dari semak ke semak menuju tenda. Berkat Deban, kontak antara tenda dan desa bisa terjalin.

Pagi-pagi sekali, ibu-ibu sudah berkumpul di Posko Tolak Semen. Posko itu berdiri dua minggu sebelumnya, 1 Juni 2014, di tanah milik Sukinah, dekat dari Warung Kopi Yu Sumi. Warga bergotong-royong mendirikannya. Belakangan, setelah solidaritas tolak semen makin meluas, banyak seniman yang turut ambil bagian memperindah posko. Dinding-dindingnya ditempeli aneka ragam poster peduli lingkungan dan tolak semen dipadukan dengan kata-kata perlawanan nan apik.

Pukul setengah tujuh, semua ibu-ibu, kira-kira 80-an orang, siap melakukan aksi. Dua truk ukuan sedang bergerak menuju tapak pabrik.

“Kami melakukan aksi penolakan pabrik dan tambang semen. Gak ada bapak-bapak, untuk mengantisipasi gesekan dengan aparat. Selain itu, lahan kan diumpamakan seperti perempuan. Jadi kami yang maju mempertahankan tanah kami,” kata Sukinah.

Setelah mondar-mandir selama tiga jam di bawah komando Deban, pukul sepuluh mereka memulai pemblokiran. Truk tangki air pabrik yang mau lewat mereka hadang, dengan memasang lesung

Arlian Buana

besar di tengah jalan dan mendudukinya. Untuk menyingkikan hadangan, tanpa banyak basa-basi, polisi segera mengangkati ibu-ibu yang duduk di tengah jalan itu, dilempar ke semak-semak. Ibu-ibu menjerit histeris.

Dua ibu pingsan karena dilempar. Tapi ada saja oknum polisi yang bilang itu pura-pura. Sambil menolong yang pingsan, ibu-ibu berkeras bertahan di tengah jalan meski beberapa kali dilempar dan disingkirkan. Keadaan semakin kacau.

Aksi pembubaran dari polisi pun semakin

mengganas. Semakin tinggi matahari, semakin kasar perlakuan mereka terhadap ibu-ibu. Dan semakin kehilangan akal sampai-sampai salah tangkap.

“Korlapnya mana? Korlapnya mana?” teriak Kasad Intel mencari korlap aksi, setelah satu jam lebih tak berhasil memukul mundur ibu-ibu.

“Tapi waktu itu saya belum tahu korlap itu apa. Jadi saya diam saja,” kenang Sukinah, “yang mau ditangkap itu sebenanya saya, tapi malah Bu Yani yang ditangkap.”

Yani adalah salah satu dari puluhan ibu-ibu yang merasakan keberingasan polisi. Ia di barisan terdepan saat mengangkat dan menduduki lesung besar melintang jalan. Yani termasuk yang pertama diangkat dan dibuang ke siringan bersemak.

Saya digotong dua orang, terus dilempar di pinggir jalan,” katanya.

Meski kelihatan mustahil untuk kembali ke barisan, Yani tetap bertekad kuat untuk kembali menguatkan pemblokiran. Polisi yang diturunkan hari itu jauh lebih banyak dari jumlah ibu-ibu. Operasi gabungan dari Polres Rembang, Polsek Gunem, dan Polsek Sale. Sekitar dua kompi.

Tidak melihat jalan lain selain menerobos barikade polisi, ia melihat celah kecil yang masih mungkin dilaluinya: dua kaki polisi yang agak renggang.

Polisi semakin mudah naik darah. Beberapa ibu dipukuli. Berang karena belum juga menemukan korlap yang bertanggungjawab atas aksi blokir, mereka pun asal tangkap. Malang bagi Yani yang aksi penerobosannya mengundang banyak perhatian, ia kemudian dituduh provokator, dianggap korlap.

“Ini provokator ini, harus ditangkap ini!” kata seorang polisi sambil menunjuk Yani.

Habis dibilang provokator, ia diangkat diangkat dua polisi, diseret sampai beberapa meter, sampai sandalnya copot.

“Ada polisi yang teriak, ‘ngikut aja, Mbak, ngikut.’ Tapi saya tetap berontak. Itu posisi udah nggak pake alas kaki, pas diseret-seret itu gak pake alas kaki. Luka sih nggak, cuma sakit.”

Yani meronta-ronta dan berteriak kesakitan. Ia pun digotong lagi, sempat ada polisi yang mencekik

Arlian Buana

lehernya. Sampai di mobil patroli, ia mendapati sejumlah temannya yang sudah ditahan terlebih dahulu.

Masuk waktu salat zuhur, Yani minta izin salat tapi tidak diperbolehkan. “Izin sama Kasad Reskrim, Mbak,” kata polisi yang jaga.

“Orangnya yang mana? Solat saja kok mendadak harus izin to, Pak?”

“Saya ini tugas, Mbak. Nanti diamuk atasan saya.”

Rumah Sukinah terlihat kusam dan tua.

Dindingnya terbuat dari papan tampak menghitam, berdiri di atas fondasi 50 sentimeter, dengan dua anak tangga di muka teras. Setengah ruang depan dilantai semen adukan, tampak pecah-pecah di beberapa titik. Setengah lainnya, tempat satu meja panjang membujur bersama dua bangku, berlantai tanah.

Ketika saya datang pada Jumat malam

penghujung Januari, di atas lantai semen itu digelar tikar plastik bergambar Manchester United—klub sepakbola Inggris. Tikar gulung yang sebagian besar sablonannya telah terkelupas. Saya duduk di kursi panjang yang bersandar di dinding kanan rumah. Di seberang saya, salah satu dari dua kamar di rumah itu, gordennya terbuka sehingga terlihat ranjang

kamar paling depan, dimanfaatkan sebagai warung. Di dinding rumah dipajang beberapa foto: foto Sukinah seluruh badan dan foto seorang tua berjanggut yang saya duga adalah lukisan Syekh Abdul Qadir Jailani. Juga foto Sukinah dan Pesiden Jokowi bersama beberapa orang lainnya.

“Itu foto waktu saya ketemu Jokowi di kantor Gubernur DKI, sebelum dia dilantik presiden,” terangnya.

“Ngomongin apa aja sama Jokowi?” “Ya ngomongin semen ini.”

“Jawaban Jokowi?”

“Katanya sejak dari Solo dia sudah mengikuti isu semen di Jawa Tengah. Waktu itu, dia bilang lagi mempelajari lengkap. Nanti kalau sudah dilantik dia tindaklanjuti.”

“Oooh...”

“Semoga ucapannya dia buktikan ya, Mas.” Sukinah menyambut saya dengan hangat. Beberapa bapak datang bertamu ke rumahnya, duduk di atas tikar plastik, menghadap televisi yang sedang menyiarkan film Jackie Chan, Around

the world in 80 days. Sukinah bangkit ke dapur,

membuatkan kopi tamu-tamunya. Dalam hati saya mengutuk Jackie Chan yang telah melakukan blasfemi terhadap mahakarya Jules Verne. Tapi bapak-bapak yang menonton terlihat senang dan

Arlian Buana

bersemangat. Pelan-pelan saya berusaha memaafkan aktor asal Cina itu.

Film dipotong pariwara, bapak-bapak terlibat obrolan seputar penggalangan dana yang seminggu sebelumnya dilakukan di Yogyakarta. Sesekali terdengar suara Sukinah menimpali dari dapur. Tidak tampak beban mereka yang sedang melawan raksasa sebesar Semen Indonesia. Mereka memang berjuang, sebisa mungkin melindungi lahan pertanian mereka agar jangan sampai dirusak orang luar, selebihnya mereka tetap menjalani hidup dengan riang gembira, tidak kehilangan selera guyon.

Sukinah datang dengan enam gelas kopi, termasuk untuk saya, Jackie Chan kembali beraksi. Orang-orang Tegaldowo menikmati hidup dengan cara sederhana: minum kopi, menghisap kretek, dan menonton televisi.

Sebelum peristiwa 16 Juni 2013, Sukinah tak penah membayangkan akan bertahan di tapak pabrik sebagaimana dia tak menduga aksinya bakal kena gebuk polisi. Keputusan untuk bertahan di tapak pabrik diambil secara spontan, karena tak menyangka aparat begitu represif. Spontan saja Sukinah berikrar tak akan mundur sampai pabrik semen hengkang dari tanah kelahirannnya. Ibu-ibu lain mengamini

“Tenda-tenda juga dibikin seadanya. Kalau di truk kan banyak terpal, buat tiker, buat duduk, nah itu yang dipakai. Bambu-bambu diambil dari hutan,” katanya.

Sukinah juga tidak menyangka, apa yang dilakukannya bersama ibu-ibu Tegaldowo dan Timbrangan akan mendapat simpati yang luar biasa dari banyak pihak. Sukinah bersyukur, solidaritas untuk warga Kendeng mengalir dari berbagai penjuru, dari Yogyakarta, Jakarta, Bandung, dan lain-lain.

Beberapa hari setelah tenda berdiri, Camat Gunem datang ke lokasi. “Aku lupa tanggalnya. Pak Camat dateng katanya mau nengok ibu-ibu. Sehat-sehat apa gimana? Terus Pak Camat ditanyain (mengenai semen), gagap gitu. Pak Camat itu gak bisa jawab,” kata Sukinah

Dua hari kemudian, Plt Bupati datang. Plt yang sama dengan yang meresmikan kegiatan pabrik semen beberapa hari sebelumnya. Plt bertanya, apa saja tuntutannya? Ibu-ibu meminta Plt tarik alat berat, dijawabnya dengan berkilah bahwa dia tak punya wewenang. Tapi dia mencatat dengan seksama, katanya akan disampaikan ke atasannya.

“Atasan yang mana saya gak tahu. Mungkin nyangkut di pohon ya, Mas,” kata Sukinah.

Mereka mengerubungi dan memegangi Plt Bupati, sampai lepas maghrib. Sempat pula diajak

bersama-Arlian Buana

sama ke tapak pabrik, “Dia mau naik mobil, kami pegangi lagi. Pokoknya harus jalan. Biar merasakan sakitnya pejuangan ibu-ibu. Sakitnya bumi itu gimana.”

Sepanjang perjalanan itu, Plt Bupati cuma mengulang-ulang apa yang telah dikatakannya sebelumnya. “Katanya dia gak wewenang, gitu. Yang wewenang itu Pak Gubernur, gitu. Ini bukan wewenang saya, bukan wewenang saya. Gitu…”

27 Juni, giliran Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo yang datang. Dengan gaya flamboyan, begitu sampai Pranowo langsung membentak: “Mulehlah, oralah!” Lalu bertanya dengan jumawa, “Apa ibu-ibu sudah baca AMDAL?”

Sukinah memang diam ketika Pranowo bertanya begitu, tapi di hadapan saya, mengingat perilaku gubenurnya, ia tidak bisa lagi menyembunyikan kemarahan.

“Ganjar tanya ibu-ibu yang mukanya kayak gini kok tanya AMDAL? Yang bodoh itu Ganjar atau ibu-ibu petani? Kalau ibu-ibu ditanya apa sudah mencangkul, apa sudah ambil rumput, mungkin ibu-ibu bisa jawab. Tapi tanyanya Amdal?! Yang bodoh itu Ganjar-nya atau ibu-ibunya?”

Seharusnya Ganjar itu ya mikir, Amdal itu yang bikin ya siapa? Kalau yang bikin petani, ditanyain gitu ya mungkin pantes. Lumrah. Dari kapan

dikasihtahu. Lha aku sendiri ya bingung, Amdal itu

Dalam dokumen Merry Christmas Felix Siauw (Halaman 81-103)