© Arlian Buana, 2015
Hak cipta dilindungi Undang-undang Penulis : Arlian Buana
Layout : Agus Mulyadi Ilustrasi : Inez Kriya
Cover : Damar N. Sosodoro Cetakan Pertama, Desember 2015 12 x 18 cm, 140 halaman
Diterbitkan oleh:
EA Books
Drono, Gang Elang 6E No.8 RT 04 RW 33 Sariharjo, Ngaglik, Sleman, Yogyakarta ISBN : 978-602-1318-20-1
Bana, Pemuda
Harapan Akhir
Zaman
Sebuah pengantar
Anti-Islam. Menghina ulama. Liberal. Liberal lagi. Liberal bingitz. Saya yakin, sekian puluh persen dari total populasi manusia yang membaca judul buku Arlian Buana ini akan menangkap kesan demikian. Apalagi kalau sudah membaca keseluruhan isinya. Benar-benar anak ini punya otak yang berbahaya, dan layak diarak bugil secara syar’i.
Saya kira, tudingan demikian sangat pantas dilemparkan sebagai balasan setimpal atas dosa-dosa Bana—panggilan kesayangan Arlian—kepada para penulis Mojok.Co. Benar, kami para kontributor di situs-web-yang-happening-tiada-henti itu sejujurnya sudah terlalu lama memendam kengerian tertentu kepada Bana, yang juga merupakan salah satu dari duo redaktur Mojok ini. Setiap kali muncul suara “Ting!” di hape kami, lalu bentuk bundar avatar Bana nongol di Facebook Messenger, oh Tuhan, suasana hati kami agaknya sama persis dengan perasaan
membuka pintu kamar hotel sambil berbisik: “Kena kau Mbak...”
Ya, itu Si Bana mau menagih tulisan. Dan
standar tulisan Mojok acapkali membuat kami jiper ketakutan.
Mari kita lupakan dulu soal beban hidup Bana dalam menghadapi tudingan-tudingan tersebut. Biarlah dia tanggung-tanggung sendiri. Namun, terhadap konten pandangan-pandangan wagu yang tertuding ke arah mukanya, terang saja saya lebih memilih sikap kontra. Sebab bagi saya, justru anak muda cemerlang bernama Arlian Buana itu adalah prototipe ideal pemuda muslim akhir zaman.
Membaca tulisan-tulisan Bana di buku ini, saya ibarat diajak mengikuti paket safari ziarah wali. Atau jika itu berlebihan, bolehlah dikatakan semacam anjangsana seorang santri untuk berguru ke deretan kiai-kiai mumpuni.
Bana belajar kasih sayang dari simbah tukang masak di pesantren almamaternya. Bana belajar ketangguhan dari para perempuan perkasa yang melawan pendirian pabrik semen. Bana belajar kehidupan dari para sastrawan idola. Bana belajar kreativitas dari seorang sahabatnya yang pedagang minyak rambut. Bana belajar sikap ksatria dalam diam, dari seorang lelaki muda yang oleh jutaan orang di Indonesia mungkin dianggap sebagai
Arlian Buana
pendosa paling nista. Bahkan tulisan-tulisannya yang oleh sebagian orang pasti akan dianggap sebagai “pelecehan ulama”, pun pada hakikatnya adalah upaya Bana untuk belajar. Belajar bahwa pandangan-pandangan yang berpretensi religiositas sama sekali tak dapat diraih secara instan dan sambil lalu.
Belajar, dan terus belajar. Saya kira sisi itulah yang ‘krowak’ dari tradisi keberagamaan kita di Era Digital. Belajar sih belajar, tapi tidak dalam satu varian ketelatenan dan kedisplinan tertentu. Akibatnya, kejernihan hilang. Kita jadi makhluk yang serba terburu, lupa dengan ‘tumakninah’. Lebih banyak bicara daripada menyimak, lebih banyak menulis daripada membaca. Itulah juga yang mengawali kegelisahan Bana di salah satu tulisan awalnya, hingga alumnus Pondok Pesantren Pabelan ini memuncaki kegemasannya dengan dukungan total-totalan kepada Gerakan #AyoMondok.
Belajar, dan terus belajar. Karena itu jugalah, siapa pun yang membaca buku ini, jangan pula langsung percaya dan menelan bulat-bulat isinya. Sebab bisa jadi, suatu saat nanti Bana sendiri akan merevisi satu-dua atau bahkan tujuh belas pandangan-pandangannya yang tertuang di buku ini. Dan itu sah-sah saja. Bukannya ruh pembelajar adalah ruh yang gelisah, penuh pertanyaan, tak henti “bertukar tangkap dengan lepas”, dan tak kenal kata final?
Daftar Isi
Sebuah Pengantar iii
Daftar Isi vii
Mengislamkan dan Membukanislamkan 1
Mbah Ngah 5
Noah dan Puthut EA 11
Nyanyi Sunyi dari Gang Melati 15
Ariel 26
Jadi Lelaki ala Alawi 29
Pria Punya Selera yang Susunya Susu Bendera 39
Ajip Rosidi 49 PKI 58 Muara Dua 64 Orang-Orang Tegaldowo 71 Pomade Bung 93 Farhat Abbas 102 Habib Rizieq 107
Menjadi Muslim Pintar bersama Palu-Arit 113 Menjadi Penggemar Berat Felix Siauw 118
#SudahlahJokowi 122
Merry Christmas, Felix Siauw 127
Mengislamkan dan
Membukanislamkan
Akhir-akhir ini, seringkali saya gelisah melihat perilaku orang-orang yang konon muslim di internet. Di sela-sela kegiatan mengelola mojok.co, hampir setiap jam saya menyaksikan kebencian dan kemarahan direproduksi atas nama Islam. Orang-orang yang konon muslim itu gemar sekali teriak-teriak penuh kemurkaan, dan mudah sekali mengkafirkan orang lain.
Perkembangan teknologi memang seperti dua mata pisau. Ia bisa sangat bermanfaat, bisa juga berbahaya. Perkembangan internet pun begitu. Di satu sisi ia sangat berguna, misalnya untuk mempermudah komunikasi. Namun di sisi lain, seperti hari-hari ini kita saksikan, internet adalah media paling efektif yang digunakan Islamic State of Iraq-Syiria (ISIS) untuk menebar propapaganda kebencian dan peperangan. Dan di negeri ini, kita dengan mudah menemukan “ustadz-ustadz konon”
Mengingat fenomena tersebut, saya tidak tahu akan seperti apa wajah Islam-Indonesia ke depan. Indonesia adalah negara demokratis dengan penduduk muslim terbesar di dunia. Dan Islam-Indonesia, selama ini dikenal sebagai Islam yang ramah, yang rahmatan lil ‘alamin, bukan yang hobi marah-marah.
Namun rasanya, citra yang baik tersebut mungkin perlahan-lahan akan luntur jika melihat apa yang menjadi mainstream di berbagai media sosial seperti Facebook dan Twitter: munculnya gelombang besar generasi muslim yang membabi-buta, suka menyerang kelompok yang berbeda. Padahal kalau ditelusuri, pemahaman agama kelompok ini hanya sebatas didapat dari Google. Memprihatinkan sekali.
Untuk menahan derasnya arus kebencian itu, beberapa orang harus mengambil inisiatif untuk membuat dan memperbanyak konten yang
mencerahkan. Saya percaya, banyak sekali orang baik yang jengah terhadap ulah para makelar kebencian. Dan saya yakin, kelompok santri adalah kelompok yang pas untuk melawan pendangkalan Islam di internet, dan memiliki kemampuan berdakwah dengan cara yang baik, dengan mau’izhah hasanah.
Maka ketika beberapa teman mengkampanyekan Gerakan #AyoMondok di berbagai media sosial, dengan senang hati saya langsung mendukung dan ikut bersuara. Gerakan itu penting, agar anak-anak muda—yang selama ini memamah
informasi-Arlian Buana
informasi yang keliru tentang Islam—mau belajar di Pondok Pesantren, mendalami Islam dengan cara yang benar, belajar sampai ke akar-akarnya, bukan belajar dengan metode serampangan mengandalkan mesin pencari.
Ketika mendapati orang-orang yang sibuk bilang bahwa X kafir atau Y bukan Islam, saya selalu ingat lagi kisah yang pernah saya dapat semasa nyantri dulu. Kisah Kyai Hamam mendirikan Pondok Pesantren Pabelan selalu menjadi pengingat bagi saya.
Di usia 25 tahun, beliau keliling ke rumah-rumah di desanya yang ketika itu kebanyakan tidak memiliki jendela. Sebagian besar warga Pabelan di masa itu meyakini: rezeki masuk lewat pintu, jendela dan segala jenis ventilasi lain hanya akan membuat rezeki itu kabur lagi ke luar. Kyai Hamam dengan sabar memberi penjelasan tentang pentingnya sirkulasi udara di rumah, bahwa rumah tanpa ventilasi yang cukup alih-alih mendatangkan rezeki justru mengundang penyakit.
Selain itu, beliau juga menyampaikan keinginan untuk membangun pesantren dan meminta putra-putri Pabelan disekolahkan di sana saja. Akhirnya hanya sembilan orang yang bergabung menjadi santri pertama, para pemula, salah satunya adalah mantan Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Komaruddin Hidayat.
Selain belajar berbagai macam ilmu dasar, kesembilan orang itu setiap hari diajak Kyai Hamam ke Kali Pabelan.
“Ayo Islamkan batu-batu itu,” kata Kyai Hamam. Batu-batu itu kemudian sebagiannya
dimanfaatkan sebagai fondasi beberapa bangunan, sebagian lain dijual ke Pasar Muntilan—ditukar dengan alat-alat tulis. Begitulah batu-batu diislamkan. Kyai Hamam bersama Sembilan Pemula mengislamkan batu-batu, membangun pesantren. Selama mondok di Pabelan, saya sering sekali mendengar kisah itu diulang-ulang para guru, dengan berbagai varian, berikut pelajaran mengislamkan segala sesuatu.
Kyai Hamam tidak muluk-muluk dalam
mengajarkan Islam kepada santri-santrinya. Cukup dengan menunjukkan bagaimana mengislamkan batu-batu, mengislamkan sekalian manusia,
mengislamkan seluruh alam. Beda dengan beberapa orang yang dipanggil “ustadz” yang belakangan gampang sekali mengkafir-kafirkan orang lain dan melabeli X atau Y bukan Islam.
Kyai Hamam mengajak mengislamkan, “ustadz-ustadz sekadar” itu sibuk membukanislamkan. Selanjutnya, terserah Anda.
Mbah Ngah
Ialah yang paling bertanggungjawab atas apa yang masuk ke dalam perutku, setidaknya untuk lima tahun, tiga tahun pertama dan dua tahun terakhir saya mondok di Pabelan. Untuk waktu yang lama, tangan Mbah Ngah adalah penguasa lidahku dan puluhan ribu orang lainnya. Hingga kemarin, Tuhan memanggilnya, tugas memasaknya dicukupkan sampai di situ.
Tidak banyak yang seistimewa Mbah Ngah. Tidak banyak. Siapa yang pernah memasak untuk puluhan ribu orang selama puluhan tahun? Mengisi perut orang-orang itu, memanjakan lidah mereka dan memberikan tawa paling renyah yang tak ada tandingannya. Kegembiraan yang murni.
Selama di Pabelan, saya memang tidak pernah menganggap Mbah Ngah istimewa. Mungkin karena keberadaannya saya anggap sama seperti rutinitas yang lain, yang mesti dijalani, disentuh dan dilihat
Arlian Buana
setiap hari sehingga menjadi biasa saja. Baru setelah meninggalkan pondok, saat akan atau sedang menyantap makanan, saya sering tiba-tiba teringat Mbah Ngah dan keceriaannya, juga Mbak Urip yang baik, rekan kerja Mbah Ngah yang lebih muda.
Ketika pertama kali datang ke pondok, Bapak hampir menangis karena mendapati masakan manis di Ruang Tamu. Hanya nasi dan Tahu Kuah (belakangan saya menyebutnya Tahu Berenang, yang disajikan saban pagi) manis!
“Ai, Nak.. Kau bakal makan cak ini terus selamo
enam taun,” katanya dengan mata berkaca-kaca.
Bayangkanlah betapa menderitanya Lidah Palembang yang hobi pedas mencecap makanan manis. Bayangkan pula perasaan seorang bapak melow yang membayangkan anaknya akan menderita selama enam tahun karena makanan manis.
Mbah Ngah lantas menjadi juru selamat bagi Lidah Palembangku. Ia tak pernah memasak tahu berenang manis. Paling-paling sesekali ia bikin tahu dan
tempe bacem (menu makan siang atau malam) yang perlahan-lahan mulai kusukai.
Masakan di Ruang Tamu ternyata dari Dapur Putri, yang bukan Mbah Ngah juru masaknya. Ia juru masak dari Dapur Utara untuk santri putra kelas satu hingga kelas tiga. Begitulah Mbah Ngah menjadi penguasa
akhirnya saya bersama teman-teman harus ganti dapur, pindah tempat makan ke Dapur Selatan waktu mulai duduk di kelas empat.
Meski sudah pindah, tak jarang saya juga masih mencicipi masakan Mbah Ngah jika sedang ingin atau jika terlambat makan di Selatan. Tentu saja Mbah Ngah akan menyambut dengan omelan khasnya, tapi itu bukan berarti ia tidak mempersilakan. Sambil ngomel ia akan mengambilkan nasi, sayur, dan lauk-pauk. Lalu terjadilah perbincangan antara kami— perbincangan yang aneh, ia menggunakan Bahasa Jawa dan saya berbahasa Indonesia. Lebih banyak saya mengisengi atau menggodanya agar Mbah Ngah mencak-mencak. Mbah Ngah terlihat jauh lebih lucu dan menyenangkan kalau sedang marah-marah.
“Aku kangen masakan Mbah Ngah. Aku pindah dapur sini lagi aja ya, Mbah. Nanti aku lapor Pak Kyai.”
“Sak karepmu.” Bla-bla-bla dan panjang lebar dan
saya akan terkekeh-kekeh sepanjangan.
Ajong (nenek) meninggal dunia ketika saya kelas lima. Kesedihan itu semakin menjadi-jadi karena saya tak bisa pulang ke rumah, melihat wajah Ajong untuk terakhir kali dalam damainya, dan mengikuti prosesi pemakaman. Begitu mendengar kabar duka dari Bapak, yang langsung terlintas di benak saya hanya Mbah Ngah. Saat itu juga saya langsung berpikir menemui Mbah Ngah meski belum jam makan. Hanya demi melihat perwujudan Ajong dalam diri Mbah Ngah.
Arlian Buana
Keceriaan dan kegesitan Mbah Ngah cukup membantu. Tentu saya tak memberitahunya tentang berpulangnya nenek. Saya hanya datang untuk melihat Mbah Ngah melakukan aktivitas dapurnya, mendengar kebawelannya dan sesekali saja mengajaknya ngobrol.
Setelah cukup lama mengamati Mbah Ngah, saya pamit dan minta diperbolehkan untuk makan di sana di jam makan malam. Seperti biasa Mbah Ngah ngomel tapi tidak bisa bilang tidak. Saya lantas pulang dan ke kamar mandi, melakukan apa yang saya lakukan di hari pertama di sana: menangis sampai puas.
Tadi pukul tujuh malam, saya baru tiba di Stasiun Senen. Setelah perjalanan panjang dari Yogyakarta, saya ngaso sambil membuka email dan media sosial, barangkali ada yang penting yang harus segera dibalas. Di Facebook, saya mendapati kabar duka dari seorang kawan di grup teman-teman seangkatan. Saya buka video rekaman Mbah Ngah yang ditautkan kawan itu.
Saya harus segera pulang ke Ciputat, minum kopi di Kopi Marjinal sepuasnya. Saya hubungi beberapa teman untuk diajak ngobrol, untungnya ada satu yang sudah stand by di sana. Tapi sampai di Marjinal pun hanya sebentar kami ngobrol. Selebihnya saya banyak diam di depan layar laptop, menyunting tulisan untuk Mojok, menulis catatan ini.
sebagai Guru Praktek, tidak harus antre bersama para santri, tinggal ambil di bagian dalam dapur, dan yang paling penting kesempatan bercanda dengan Mbah Ngah setiap hari.
Di usianya yang semakin senja, tak banyak yang berubah dari Mbah Ngah. Di masa-masa terakhir di pondok itu, saya melihat Mbah Ngah yang sama seperti yang saya lihat pertama kali. Ia tetap gesit dan enerjik. Bicara selalu dengan gestur yang lincah, tak bisa diam, seperti sedang memasang jurus bermain silat dan selalu diikuti tawa renyah. Entah bagaimana menjelaskan stamina kegembiraan Mbah Ngah yang meluap-luap tanpa henti itu. Seolah kesedihan tak pernah berhasil memeluk dirinya.
Dan Mbah Ngah selalu minum teh dari cangkir yang sama, yang katanya tidak pernah dicuci sejak pertama kali dipakai. Dasar cangkir itu berwarna merah kecokelatan, endapan ampas teh menahun. Barangkali itu rahasianya.
Di Magelang, seperti berbagai tempat di Jawa, umpatan yang jamak terdengar adalah “Mbahmu!” Di saat-saat akhir mondok, teman-teman saya sering mengumpat “Mbahmu kungfu!” Atau “Mbahmu salto!” Terhadap itu saya sering menjawab dengan enteng. “Lha iya, mbahku kan Mbah Ngah.”
Noah dan Puthut EA
“Kenapa sih Bana harus malu kalau memang mengidolakan Noah dan Ariel? Apa salah?” begitu kicauan Puthut EA di twitter.
Sebentar. Saya singsingkan lengan baju terlebih dahulu sebelum kita bicara panjang lebar perkara darurat dunia- akhirat ini.
Saya tahu, 90 persen orang yang menggunakan Bahasa Indonesia tahu siapa itu Ariel dan apa itu Noah. Sebagaimana mereka tahu siapa Jokowi. Saya juga maklum, barangkali tak sampai 5 persen dari fans Ariel yang tahu siapa gerangan Puthut EA. Tapi percayalah, yang tak sampai 5 persen itu adalah orang-orang beruntung, manusia-manusia terpilih. Oh, tentu saja saya tak perlu memperkenalkan Puthut EA di sini. Anda tahu fungsi Google, bukan?
Saran saya, setelah Google memberi rute perjalanan untuk mengenali Mas Puthut—begitu
pernah ditorehkannya. Baiklah, tak perlu basa-basi, maksud saya belilah buku- bukunya. (Mas Puthut menyuap saya dengan dua tiket menonton film dan makan malam gratis agar menuliskan ini)
Enaknya bicara Mas Puthut dulu atau Ariel dulu? Oke, saya bisa tebak jawaban di otakmu.
Jadi, pertama-tama saya mengenalnya sebagai cerpenis. Saya ingat dulu waktu semester satu pernah membeli kumpulan cerpennya, Dua Tangisan pada
Satu Malam. Malang nian, buku itu raib sebelum saya
sempat menyelesaikannya. Barangkali kurang jodoh. Setelah itu, saya justeru semakin rajin
sembarangan menggondol setiap bukunya yang ada di depan mata. Entah itu di toko buku atau perpustakaan. Entah di pondokan teman. Persetan. Saya keranjingan membaca Puthut EA. Sementara di pasaran memang semakin jarang. Dan karena banyak hal, yang terlalu panjang untuk diungkapkan di sini, saya menggemari Mas Puthut.
Maka saya jauh lebih bahagia berjumpa dengannya ketimbang Ariel. (Saya menuliskan ini dengan harapan ditraktir ngopi-ngopi ganteng).
Saya bisa lupa bait lagu Peterpan, tapi saya selalu ingat ungkapan Mas Puthut: “Kamu harus belajar dari sejarah dan kenyataan, sejarah bangsa ini kan sejarah para makelar. Dan kenyataannya, makelar itu ada di mana-mana,” di buku Makelar Politik: Kumpulan Bola
Arlian Buana
sering terngiang-ngiang di kepala saya. Atau tentang betapa garis kerasnya ia sebagai seorang Romanisti: jika nanti anaknya mendukung klub selain AS Roma, ia akan persilakan anaknya mencari bapak lain selain dirinya. Anaknya boleh punya agama, keyakinan, pandangan dan ideologi politik berbeda dengannya, tapi tidak klub sepakbola. Ngeri-ngeri sedap.
Itulah, saya sangat terperanjat ketika seminggu yang lalu Mas Puthut mengajak saya nonton film
Noah Awal Semula. Dedik Priyanto, yang duduk di
sebelahnya, tertawa tanpa jeda tanpa alasan yang jelas. Siapa itu Priyanto? Tidak terlalu penting. Sejujurnya saya malas nonton film itu, baru sehari sebelumnya saya membeli Kisah Lainnya di bazar buku Bintaro Plaza dan dalam empat jam saya sudah beres membacanya. Lagipula, tak ada yang saya harapkan dari film Noah. Saya tak perlu lagi sebuah dokumenter untuk mengetahui perjalanan band dengan Mimpi yang Sempurna itu.
Ya, saya seorang sahabat Peterpan sejak dari pikiran, Sahabat Noah dari buaian hingga liang lahat. Banyak orang di lingkungan saya yang merendahkan pilihan ini. Apa boleh buat. Paling tidak, saya masuk golongan yang kurang dari 5 persen yang malahan lebih beruntung lagi hingga ditraktir Puthut EA— seorang Dewa Laut yang dengan rendah hati masih mengaku sebagai Detektif Partikelir.
Makanya Anda harus memborong semua bukunya. Ehm, tidak boleh tidak.)
Nah, lantaran enggan Noah, saya masih coba merayu Mas Puthut untuk menonton film lain saja. Misalnya Thor, di mana mantan kekasih saya Natalie Portman ikut ambil bagian. Tapi Mas Puthut bersikukuh mau nonton Noah saja. Sampai-sampai saya curiga kalau-kalau ia juga seorang penggemar Ariel dkk.
“Udahlah, anggap aja ini hadiah buat kamu,” katanya.
Priyanto semakin menjadi-jadi, terpingkal-pingkal tanpa alur berpikir yang runtut. Priyanto ini siapa sih? Nggak penting-penting amat sebenarnya, sebut saja lelaki yang mendermakan dirinya demi digulung badai kenangan.
Usaha saya memutar haluan untuk film lain akhirnya tak membuahkan hasil. Di depan antrean bioskop, diam-diam saya berani menyimpulkan bahwa Mas Puthut juga seorang Sahabat Noah. Lebih-lebih, ia tampak sumringah setelah pertunjukkan usai.
Pertanyaannya sekarang, benarkah seorang Puthut EA mengidolakan Noah dan Ariel? Apa salah?
Nyanyi Sunyi dari
Gang Melati
Aku mencintai Ciputat sebagaimana aku mencintai ketupat di hari lebaran. Di kota kecil ini, aku telah menghabiskan seperempat lebih umurku. Di sini, jutaan perempuan–errr, maksudku, jutaan pertemuan, percakapan, dan perdebatan telah mewarnai hidupku.
Aku juga suka buku-buku dan diskusi sebagaimana aku menyukai opor ayam.
Ah, Ciputat. Kota kecil yang menyebalkan, sebenarnya. Kemacetan. Kesemerawutan. Denyut hidup kaum pinggiran. Semuanya menyatu dalam diriku. Kautahu, betapapun menyebalkannya sesuatu, jika itu adalah bagian dari dirimu, mau tak mau kau akan menerimanya sebagai kewajaran dan perlahan-lahan kau belajar mencintainya. Misalnya perutmu yang buncit atau hidungmu yang pesek. Maka aku mencintai Ciputat sebagaimana aku mencintai perutku yang sedikit buncit.
Pertama kali aku menginjakkan kaki di daerah kekuasaan Komaruddin Hidayat ini pada pertengahan 2007. Waktu itu aku masih kurus, belum sesubur sekarang. Sebagai perantau, aku telah menancapkan keinginanku untuk bersungguh-sungguh belajar di kampus yang katanya sedang merintis jalan menjadi kampus kelas-dunia. Sampai tahun ketiga, semuanya memang berjalan lancar. Sampai aku menemukan kebosanan-kebosanan pada diktat-diktat, ruang kuliah, dan ceramah dosen yang tak menarik.
Di forum diskusi, aku lebih banyak dibuat
terpesona dengan warna-warna daripada di bangku kuliah. Aku menemukan banyak hal yang lebih menggairahkan pada kajian-kajian informal dengan kawan-kawan kelompok diskusi. Aku merasa lebih hidup membicarakan karya-karya sastra, telaah sosial-budaya dan politik, serta mendalami filsafat di Piramida Circle—forum studi yang kupilih sebagai pesantrenku selama di Ciputat.
Bagiku, kampus hanya mendiktekan kebosanan satu ke kebosanan lainnya. Kebanyakan aku
terjelengar dibuatnya. Di Fakultas Psikologi tempatku pernah kuliah, aku melihat banyak kawanku
digiring menjadi guru konseling atau bagian HRD di perusahaan-perusahaan. Tentu bukan dosa. Aku hanya tak mau menjadi bagian darinya.
Otakku tidak merasa merumah di kampusku sendiri. Otakku justru menemukan rumah di berbagai kajian dan tongkrongan. Salahkah bila aku alergi
Arlian Buana
dengan kegiatan perkuliahan di kampus ini? Oh, jangan salah, aku tak akan pernah berhenti belajar dari manapun. Meski aku merasa kampus ini bukan tempat yang cocok untukku, aku senantiasa mengejar apa, siapa dan ke mana saja agar aku bisa berguru. Jangan khawatir, aku tetap akan menjadi pembelajar seumur hidup.
Apalagi yang harus kukatan tentang Ciputat? Aku telah mengenal setiap inci tanahnya, rupa-rupa manusianya, tempat makan termurah sampai termahal, dan yang paling penting, pergolakan pemikiran mutakhir yang lahir di kawasan tak rapi ini. Seorang kawan pernah berseloroh, aku—dengan sekian pergelutanku di Ciputat selama ini—telah mencapai Puncak Makrifat Ciputat. Tanyakan kepadaku semua yang ingin kau tahu tentangnya, aku akan menjawab dalam satu-dua kedipan mata.
Asal jangan kau tanya cara memikat gadis Ciputat. Karena hingga kini aku pun masih bingung.
Itulah masalahnya. Aku tidak ingat kapan terakhir kali aku mendekati perempuan Ciputat. Barangkali karena aku terlampau sibuk dengan buku-buku, laptop, dan diskusi.
Aku gandrung akan sepakbola. Bukan hal aneh, bukan?
akhir pekan kulewatkan tanpa laga sepakbola. Oh, iya, fakta bahwa hanya 0,000000001 hidupku yang kuhabiskan dengan merasakan kehangatan malam minggu bersama pacar tentu berkontribusi besar atas pusing kepala itu, tapi sepakbola selalu berhasil menjadi obat mujarab. Sepakbola adalah keajaiban bagi hidupku. Sialnya, sepakbola juga bisa merusak hari-hariku.
Awalnya aku menikmati sepakbola sebagai permainan yang menyenangkan. Hanya itu. Permainan. Bermain. Main-main. Senang-senang. Berkejaran di bawah guyuran hujan memperebutkan dan menendang-nendang bola bersama kawan-kawan di desa tak pernah gagal membuatku riang-gembira, meski ketika pulang ke rumah pasti dimarahi orang tua. Tontonan sepakbola baik itu acara tujuh-belasan di kecamatan atau di televisi bagiku selalu lebih seru daripada film-film laga atau tembak-tembakan ala koboi mana pun.
Seiring berjalannya waktu, sepakbola tak lagi sekadar perwujudan dari kesenangan bagiku, lebih dari itu, sepakbola menjadi gengsi dan lambat-laun menjelma egoku. Semua bermula sejak aku memilih dan menentukan tim sepakbola kesayangan. Pilihan yang membuatku merasa memiliki klub sepakbola itu, atau, boleh dibilang, klub itu yang memilikiku. Emosiku jadi rentan dipengaruhi hasil pertandingan. Lama-lama aku curiga jangan-jangan skor akhir itu adalah emosiku sendiri. Menang, senangnya tak alang kepalang, bunyi nafiri terus bergema di rongga dada,
Arlian Buana
dan hari-hariku dalam sepekan akan berlangsung ringan. Kalah, bawaanku jadi marah-marah, pekanku terasa bencana.
Seperti malam ini, sehabis kekalahan Inter Milan dari seekor klub semenjana, rasanya aku ingin menghancurkan semua barang di atas meja. Piring, gelas, asbak, biar berdemprang paling garang. Aku ingin kegaduhan. Bukan keberisikan yang mengusik. Kegaduhan yang memompa epinefrina.
Di ujung meja sana, Zakky Zulhazmi dan Arlian Buana menciptakan keberisikan yang mengesalkan. Ingin rasanya menyumpal mulut dan membanting badan mereka berdua ke lantai lalu kutimpakan sengkang rak buku rak piring kompor gas sekalian wastafel lalu aku akan tertawa terbahak-bahak. Lalu kubakar markas besar ini dengan satu lemparan kecil korek kayu pada minyak tanah yang telah kusiramkan sebelumnya. Semua itu terjadi di kepalaku.
Kenyataannya, mereka berdua yang terpingkal-pingkal karena obrolan entah yang kesannya menertawakanku.
“Pernah skor laga klub favoritmu mempengaruhi
mood-mu dalam waktu yang panjang?” Bana
bertanya. Oh, mereka memang menyindirku. Tahu kau bagaimana rasanya ditimpuk laptop, Ban?
“Mempengaruhi sih iya. Tapi nggak lama juga. Paling-paling ya kecewa saja selepas nonton. Keyk-keyk gimana ya… Keyk-Keyk-keyk gak habis pikir aja, gitu.
dilajutkan? Banyak tugas lain menunggu. Buat apa melestarikan kekecewaan jika itu tak membantu kita berkarya?” Sok serius Zakky menjawab dengan pertanyaan-pertanyaan yang tak memerlukan jawaban. Menyebalkan. Pernah kau digebuk pakai dispenser beserta galon penuhnya, Jek?
Mau bilang kayak-kayak saja pakai keyk-keyk. Dasar alay!
Aku membolak-balik halaman Lapar-nya Knut Hamsun. Tapi otakku masih terpaku pada percakapan dua asu buntung itu.
“Bener banget. Aneh aja ada orang-orang yang gitu. Tapi ya boleh-boleh aja sih. Yang kelewatan gak jelasnya itu orang-orang yang berantem gara-gara membela klubnya. Kalo klubnya kalah, misalnya, terus di-cengin abis, dia ngamuk-ngamuk sampe ngajak berantem. Apa coba perlunya gontok-gontokan perkara klub?” Bana makin tajam menyilet. Perih ulu hatiku. Biarlah, biar dia mengoceh sampai tamam nafsunya.
Lebih baik aku masuk kamar daripada terjadi perkelahian seperti sinetron Indosiar.
“Iya, bener. Banyak banget emang yang gak jelas keyk-keyk gimana gitu. Ada tuh yang pernah jadi jurnalis bola tapi masih keyk gitu.” Zakky brengsek! Berani-beraninya dia terang-terangan menamparku. Nyamuk-nyamuk di sini pun tak kalah brengseknya.
Arlian Buana
Haruskah aku bersepeda untuk memuntahkan kemarahanku?
“Hahaha. Jonathan Wilson, kolumnis bola terkeren sejagad Inggris, nulis di Jurnal bola bikinannya, The Blizzard, edisi Sembilan kalo gak salah: bolakaki itu emang olahraga kemarahan. Angry sport. Kata dia, dari dulu emang gitu, dan booming-nya media sosial makin menelanjangkan fakta itu. Dia juga bilang, yang paling melelahkan dan membosankan jadi jurnalis bola itu bukan kerja sampai larut malam atau perjalanan panjang untuk liputan, tapi menghadapi fans yang marah dan tolol yang mayoritas itu...”
“Nah, kalo jurnalis bola, atau minimal mantan jurnalis bola keyk gitu, berarti anehnya kuadrat dong. Hahaha.”
Babi!
“Seenggaknya, jurnalis bola kan mempelajari banyak hal ya. Absurd memang kalo otaknya masih cupet. Hehehe.”
“Padahal jadi suporter itu nggak dibayar lhoh, ya. Malah harus membayar dengan harga yang nggak sedikit. Kita bahkan jadi papan iklan berjalan dengan jersey yang kita pakai.”
“Itulah. Absurd.”
Susah bicara dengan awam yang belum pernah mendengar apalagi beriman pada firman Bill Shankly. Lebih baik aku bersepeda.
Arlian Buana
Orang-orang yang menganggap sepakbola sebagai perkara hidup-mati saja mengecewakan Shankly, apalagi dua bedebah yang justru berolok-olok itu. Sepakbola lebih akbar daripada urusan hidup dan mati!
Lebih cepat aku mengayuh sepedaku kemungkinan pertumpahan darah akan semakin kecil.
Kau mungkin mengira aku orang yang jiwanya rusuh. Kau salah. Aku telah berdamai dengan apa pun. Dengan kesendirian, kegagalan dan
kekecewaan, juga dengan nyamuk dan kenangan. Iya, kenangan. Tak semuanya menyenangkan, memang. Tapi sungguh, aku telah berdamai dengan segala.
Zakky salah bila meyakini merawat kekecewaan tak membantu kita berkarya. Kau salah bila
beranggapan bahwa menggarami luka tak baik bagi produktivitas. Aku akan buktikan kalian salah. Aku sedang menulis novel tentang taman kesedihan yang kukunjungi setiap malam. Semua kisahnya bersumber dari kenangan-kenangan yang kerap menindih kepalaku. Aku akan buktikan. Di setiap kelas menulis, hal pertama yang selalu kuajarkan kepada peserta didikku adalah ritual memanggil
kenangan. Seburuk apa pun kenangannya tak akan
Goenawan Mohamad, sastrawan besar itu, toh tidak menamatkan pendidikannya di Fakultas Psikologi, fakultas yang sama denganku. Aku punya rencana untuk menyeriusi studi sastra, entah di kampus mana. Aku akan memenuhi nubuat kawan karibku: aku akan menjadi Lumba-Lumba Sastra, suksesor HB. Jassin Sang Paus Sastra Indonesia.
Kau kira aku belum pernah punya pacar? Enak saja. Gadis berkacamata itu memang tak terbit dari Ciputat. Ia datang dari kota kenangan. Ah, aku sedang tak ingin berpanjang-lebar tentangnya. Tapi kau harus tahu, paling tidak, aku pernah memenangi hatinya.
Ariel
Ia masih sibuk rapat peluncuran album terbaru ketika asistennya datang menginterupsi, membisikinya kabar mengejutkan.
”Ah, itu pasti hoax,” katanya tak ingin percaya. Rapat dilanjutkan dengan kegelisahan yang mulai menggelayuti hatinya. Konsentrasinya buyar. Selang beberapa menit, asistennya kembali menghampiri dengan wajah lebih pasti: wajah bencana di depan hidung. Ia menerima ponsel pintar yang disodorkan sang asisten untuk memastikan sendiri kebenaran kabar jahanam itu. Seketika pandangannya gelap. Kepalanya seperti hendak meledak.
Di luar sana, seluruh dunia mulai
membicarakannya. Riuh-rendah. Jejaring sosial. Portal berita dan forum-forum daring. Koran-koran. Stasiun-stasiun televisi tak mau ketinggalan. Hiruk-pikuk.
Demikianlah Ariel membuka Kisah Lainnya:
Catatan 2010-2012. Dramatis. Indonesia gempar oleh
tragedi kau-tahu-apa.
Dua video terkutuk itu tersebar begitu cepat, mustahil dihentikan. Ia tak mungkin lari. Rentetan hari-hari berkebalikan 180 derajat dengan hidupnya beberapa tahun belakang telah menanti. Dan ia memilih diam ketimbang berteriak dalam kerumunan tak karuan ini. Orang-orang berlomba menghakiminya.
Saya sangat ingat malam itu. Mendadak beberapa orang menghubungi, bertanya apakah saya sudah menonton, menanyakan pendapat, dan lain sebagainya, yang sebenarnya bukan urusan saya. Hanya karena saya pernah secara terbuka mendaku sebagai Sahabat Peterpan. Hanya karena semua orang tahu saya sering menyanyikan lagu-lagunya. Saya membayangkan apa yang berkecamuk di kepala Ariel saat itu. Tentu tak mudah.
Video itu tak akan mengubah kesukaan saya akan Peterpan. Lagipula itu urusan pribadi. Peduli setan dengan kelakuannya. Lebih penting lagi, ia tidak melakukan tindak kriminal.
Tapi sebagian orang ternyata lebih suka
menghakimi. Sebagian orang merasa punya otoritas moral untuk menghukum. Saya sempat teringat bahwa Ariel mengidolakan Kurt Cobain, jangan-jangan ia akan mengikuti jejak pentolan Nirvana itu bunuh diri di umur 27.
Kebetulan Ariel sedang di usia yang sama. Kita semua tahu, ia tak berakhir di situ. Ia masih punya cukup kekuatan untuk bertahan, mempertahankan diri.
Tentu ia bukan manusia paling suci. Tapi ia memilih sikap ksatria. Menghadapi apa pun yang harus dihadapi. Tanpa banyak bicara.
“Jika saya bercerita sekarang, maka itu hanya akan membuat sebagian orang memaklumi saya dan sebagian lagi akan tetap menyalahkan saya. Tetapi itu juga akan membuat mereka memaklumi dunia yang seharusnya tidak dimaklumi. Dan tidak ada yang dapat menjamin apakah, semua dapat memetik yang baik dari kemakluman itu, atau hanya mengikuti keburukannya. Maka saya lebih baik diam… Saya hanya akan bercerita kepada Tuhan, bersuara kepada yang berhak, berkata kepada diri sendiri, lalu diam kepada yang lainnya. Lalu biarkan seleksi Tuhan bekerja pada hati setiap orang.”
Jadi Lelaki ala Alawi
Cecunguk forum kajian di Ciputat mana yang tak kenal Abdullah Alawi?
“Mas, kenalkan, ini Alawi, calon menantu saya,” kata penyair D. Zawawi Imron memperkenalkan Abdullah Alawi kepada Atasi Amin, putra sulung penyair-cum-pelukis Jeihan Sukmantoro. Di samping Abah Zawawi, duduk pula Sapardi Djoko Damono— penyair yang puisinya sering dikutip di undangan pernikahan tapi namanya jarang tercantum.
“Tapi Alawi ini orangnya segan dengan perempuan. Kalau hanya berteman, memang banyak dia berteman dengan perempuan. Tapi kalau sudah menyangkut desir-desir hati, dia ndredeg, lalu menghindar.”
Abdullah Alawi, biasa saya panggil Bang Abah, diam triliunan bahasa. Tak pernah sebelumnya saya melihat ia sematikutu itu.
Tapi peristiwa itu beberapa jam kemudian justru menjadi senjata andalannya untuk menyerang lawan-lawannya.
Ada sebuah legenda suburban di Ciputat yang sukar dipercayai oleh orang-orang di manapun di belahan dunia ini. Dongeng tentang seorang lelaki tampan, dewasa, bersahaja, pintar dan humoris yang konon jomblo sejak dari pikiran. Ada.
Mula-mula saya sendiri tidak percaya kisah itu. Apalagi ketika tahu bahwa lelaki yang dimaksud adalah orang yang saya kenal baik. Semua definisi dan pujian tentang keagungannya tak kuasa saya bantah. Tapi cerita bahwa ia belum pernah punya hubungan istimewa dengan seorang perempuan bagi saya benar-benar tak masuk akal. Susah dinalar.
Ia orang baik. Sangat baik. Hatinya semulia Bajak Laut dalam novel Dataran Tortilla. Dalam hal beragama, ia sereligius Jesus Maria. Kesetiakawanannya tak kalah dengan Danny. Kemampuan menyimak dan menyimpan datanya setajam kecermatan Pilon. Karena itu, kegandrungannya dalam menulis serupa dengan tergila-gilanya para Paisano pada anggur.
Maka jangan heran bila suatu hari ia terdampar di tepi laut, yang pertama kali dicarinya adalah pena dan buku tulis. Seperti halnya para Paisano akan mencari setetes anggur.
Arlian Buana
Awal Desember 2009, saya mengetuai panitia bedah buku kumpulan cerpen berjudul Perawan yang diterbitkan oleh Yayasan Rahima. Ketika akan memilih moderator, para senior di kampus meyodorkan nama Abdullah Alawi. Menurut mereka, ia juga mahasiswa UIN, pecinta sastra dan pentolan kelompok diskusi Piramida Circle.
Dari beberapa kali interaksi di kegiatan itu, saya langsung tahu bahwa ia orang yang pintar dan menyenangkan. Kombinasi yang sulit didapati dalam diri setiap orang. Kombinasi yang hanya dimiliki oleh mereka yang terpilih. Ia adalah tipe orang yang, jika tanpa sengaja seperjalanan atau bertemu di kafé dengan Anda, akan dengan cepat bersahabat dan asyik dijadikan kawan bicara.
Sejak itu, saya jadi sering bergaul dengan Bang Abah. Ia tak pernah membentangkan jarak di tongkrongan, walaupun saya juniornya dengan angkatan yang terpaut cukup jauh.
Akhir Desember 2009, Gus Dur, tokoh yang kerap menjadi primadona dalam diskusi kami, wafat. Keesokan harinya, kami tahlilan, dilanjutkan dengan berbagi cerita dan berdiskusi tentang apa saja mengenai Gus Dur. Bang Abah cerita tentang bagaimana orang-orang di kampungnya memandang Gus Dur, lalu persentuhannya dengan pelbagai gagasan Gus Dur sejak bertungkus-lumus di forum kajian.
Saya semakin dalam mengenalnya ketika kami menggagas sebuah buletin bernama Bongkar— bersama Ahmad Makki dan Abi Setio Nugroho. Lebih sering begadang bersamanya, menerima penjelasan-penjelasan sederhananya tentang banyak konsep filsafat yang bikin pusing, dan yang paling menyenangkan, saya diperbolehkan membaca bermacam-macam tulisannya yang luar biasa tapi belum pernah dipublikasikan.
Saya mengagumi tulisan-tulisannya. Ia mampu mengangkat banyak hal sederhana menjadi menarik dan penting, dengan gaya yang santai, sederhana dan seringkali jenaka. Jika saya ditanya siapa penulis yang paling menginspirasi saya selama di Ciputat, nama Abdullah Alawi yang saya sebut pertama.
Mungkin bagi banyak penulis kawakan, tulisannya biasa saja, tapi bagi saya sungguh luar biasa, lantaran saya mengenalnya dari dekat, sedikit-banyak melihat langsung bagaimana proses kreatifnya. Ia adalah guru sesungguhnya bagi saya.
Masalahnya, saya benar-benar tak pernah tahu apakah guru saya itu pernah punya pacar atau belum. Bagaimana saya harus membelanya ketika tidak sedikit orang menuduhnya telah menjomblo sedari buaian? Sedang untuk bertanya kepadanya saya rasa kurang etis. Benarkah apa yang dikatakan Abah Zawawi, Si Celurit Emas, bahwa Bang Abah menghindari desir-desir hati?
Arlian Buana
Dengan segenap reputasinya, saya sangat yakin Bang Abah bisa memilih gadis single mana pun untuk dijadikan pacarnya. Asal pendekatannya tepat, pastinya. Entah bagaimana latar belakang dan latar depannya, ia sendiri sepertinya enggan mencari pacar.
Ia bahkan membangun demarkasi bagi perempuan-perempuan yang mencoba
mendekatinya. Ketika banyak remaja tanggung yang risau karena di laman profil Facebook-nya tak ada status perpacaran, Bang Abah ambil jalan pintas dengan membuat akun Nyai Ontosoroh. Akun yang hanya berteman dengan satu orang ini dijadikannya pacar. Penghias laman profilnya.
Menyedihkan? Tidak juga. Ia tetap melalui hidupnya dengan riang-gembira. Cerita tentang akun Nyai Ontosoroh tak pernah bisa dijadikan orang senjata untuk menghinanya. Sebaliknya, akun itu justru menjadi kebanggan luar biasa di tangannya. Ketika jomblowan-jomblowati dipandang hina seperti tahi kuda, Abdullah Alawi justru terlihat seperti buah semangka.
Menurut informasi yang telah saya himpun dari sumber-sumber terpercaya, bukan sekali dua ada gadis yang memujanya layaknya para jurnalis menyembah fakta. Gadis-gadis itu mengubernya seperti kuli tinta memburu berita. Tapi tak satu pun yang mampu merengkuh hatinya. Tak satu pun.
dekatnya Bang Abah dengan beberapa perempuan. Pernah dengan rekan kuliah seangkatannya, punya minat yang sama besar pada sastra dan kajian kebudayaan. Mereka berdua pada suatu masa saling tarik-menarik begitu kuatnya seperti sampo dan rambut, tapi hubungan itu berakhir entah. Ada beberapa perempuan pula yang bergantian meneleponnya berjam-jam hingga larut malam, tapi kesemuanya tak jelas juntrungannya.
Di Macondo, pondokan saya, suatu malam ia masuk angin dan minta minyak kayu putih. Tanpa saya minta, ia bercerita bagaimana aroma minyak itu membangkitkan kenangan-kenangannya tentang cinta di sekolah menengah.
“Gua itu…” katanya memulai. Begitulah Bang Abah, selalu bertutur tentang dirinya seolah-olah dirinya adalah orang lain.
“Kalo nyium bau kayu putih selalu keingetan cewek yang gua senengin waktu aliyah.”
“Dulu waktu kemah, gua itu berusaha biar baris deket-deket dia. Kebetulan mungkin waktu malem api unggun dia lagi nggak enak badan, jadi make minyak kayu putih. Dan gua itu menghirup aromanya dengan seksama.”
“Makanya sampai sekarang gua selalu menganggap, bau kayu putih itu aroma cinta. Hahaha.”
Arlian Buana
kelanjutan ceritanya. Tapi percakapan itu dicukupkannya. Penonton kecewa Alawi berlalu.
Di mana dan bagaimana gadis kayu putih itu kini, kita semua barangkali tak akan pernah tahu.
Sabtu, 28 September 2013, pasukan Surah Sastra menyerbu Bandung. Muhaji Fikriono, Hamzah Sahal, Abi Seti Sugroho, Dedik Priyanto, Zakky Zulhazmi, Ubay Prh dan saya berangkat dari markas di Gang Melati, Bintaro, kira-kira pukul sebelas malam. Bukan pasukan lengkap, dan dengan perbekalan seadanya. Tujuan kami, Studio Jeihan, di Jalan Padasuka.
Di sana, telah menunggu pameran lukisan dan puisi “Lima Rukun.” Pameran bersama lima maestro, Sapardi Djoko Damono, D. Zawawi Imron, Acep Zamzam Noor, A Mustofa Bisri dan Jeihan Sukmantoro. Sepanjang perjalanan, kami telah membayangkan bagaimana melihat para maestro itu dari dekat, ngobrol ngalor-ngidul dan tentu saja belajar dengan mereka.
Sebelum ke lokasi, kami terlebih dahulu
menjemput Abah Zawawi di stasiun. Abah Zawawi begitu hangat, lagi baik hati. Begitu mendengar berita wafatnya ibunda Bang Morenk Beladro, beliau langsung memimpin kami melafalkan doa-doa panjang saat itu juga, di dalam mobil. Kami yang lelah
rupa-rupa humor teranyar dari tanah Madura. Dan tak lupa ia bertanya, “Mana Alawi?”
Alawi yang dinanti baru tiba keesokan hari. Ia melewatkan beberapa momen puitik tentu saja. Tapi bukan Alawi namanya jika tidak membukukan kemenangannya sendiri. Meski lebih dulu kami sehari, koleksi fotonya bersama para tokoh dalam gelaran ini lebih lengkap daripada siapapun.
Alawi memang tak berkutik ketika pertama-tama diperkenalkan sebagai calon menantu Abah Zawawi. Menggelegar gelak tawa Dedik Priyanto, Abi Setio Nugroho cekikikan, Muhaji Fikriono dan Zakky Zulhazmi tersenyum simpul penuh arti. Tapi, sekali lagi, bukan Alawi namanya jika tidak membukukan kemenangannya sendiri. Selepas Abah Zawawi pergi, gelegar tawa Dedik Priyanto perlahan tapi pasti berubah menjadi air mata.
Ceng-cengan terus berlanjut. Alawi yang malu-malu dengan perempuan dan lain sebagainya terus diulang-ulang. Tatkala percakapan sedikit berbelok tentang kaos Lima Rukun, yang beberapa orang tidak kebagian, serangan balik Alawi mulai dilancarkan dengan cepat. Trengginas.
“Lu udah dapet kaos, Bah?” tanya Dedik. “Ya udahlah. Kalo gua kan udah dianggap menantu! Orang-orang udah pada hormat semua sama gua gara-gara dikenalin-menantu.”
Arlian Buana
terpingkal-pingkal. Sambil tertawa, Dedik mulai mengumpat jancuk.
“Kalo sampe gua gak dapet kaos, Abah Zawawi bisa-bisa turun tangan, ‘ini menantu saya belum dapet!’”
Secepat kilat ia membelokkan percakapan menuju Dedik. Serangan yang sepertinya memang telah disiapkannya cukup rapi, tanpa ampun, dan mematikan. Dedik semakin sering mengumpat.
“Emangnya elu?!” bla-bla-bla. Semua tentang Dedik, mantan kekasihnya, kenangan dan luka-lukanya mendadak dikorek-korek seperti selokan mampet yang dibersihkan. Habis. Tuntas tak bersisa. Kami semua tentu saja dengan sukarela menjadi tim hore. Sampai Dedik tak sanggup lagi mengumpat dan hanya bisa termangu.
Sepulang dari Bandung, beberapa kali saya terkenang tentang Bang Abah. Kisahnya membuat saya berpikir ulang tentang konsep ideal menjadi lelaki. Ia hipster sejati dalam hal percintaan. Ia tidak seperti kebanyakan orang yang berpikir dan berusaha keras mencari pasangan agar tidak dihina sebagai jomblo di perkumpulan. Jomblo tidak jomblo sepertinya tidak pernah mengganggu pikirannya.
Karena hipster dalam percintaan, ia tak perlu intim dengan berbagai kosa-kota basi anak muda masa kini: patah hati, galau, move on dan seterusnya.
perbendaharaannya untuk menulis dan ngobrol di warung kopi, tapi ia tak penah terganggu dengan hal-hal yang begitu. Berbeda dengan Dedik, misalnya, yang kerap gelisah ketika kenangan datang tanpa diundang. Caranya memperlakukan kenangan tentang Gadis Kayu Putih, jauh berbeda dengan cara
mainstream yang menggalau-balau.
Alih-alih berburu cinta, Alawi justru semakin giat mencintai dirinya sendiri. Ia lebih memilih untuk sibuk dengan apa yang menggairahkan hatinya: membaca, berkenalan dengan sebanyak mungkin orang baru, mengunjungi tempat-tempat baru dan menulis. Bukan mencintai diri secara berlebihan seperti Narcissus legenda Yunani. Hingga tiba orang seperti Abah Zawawi yang dengan senang hati menyodorkan jodoh yang cocok untuknya, cinta sejati sehidup-sematinya.
Bukankah mustahil kita bisa mencintai orang lain jika lalai mencintai diri sendiri?
Ps: Bang Abah akhirnya menikah akhir Oktober 2015,
Pria Punya Selera
yang Susunya Susu
Bendera
Di kantin Perpustakaan Universitas Indonesia, Faisal Kamandobat mengungkapkan keinginan terdalamnya sebagai penyair: puisinya dibaca atau dinyanyikan orang setiap hari layaknya puja-puji untuk nabi dan doa-doa yang dihayati para pemeluk agama yang teguh.
“Aku kan paling-paling baca puisiku sendiri di panggung, terus dikasih tepuk tangan, yang tepuk tangan itu temen-temenku sendiri, habis acara mereka udah gak inget puisiku. Atau koran Minggu, tapi apalah artinya koran Minggu selain honor?” katanya.
Diskusi itu sebenarnya tentang Poejangga Baroe. Majalah Surah berniat menerbitkan ulang polemik kebudayaan yang banyak digeluti oleh para punggawa Poejangga Baroe. Gagasan awalnya dari kritikus sastra sekaligus Dewan Redaksi Surah, Maman S. Mahayana, dalam rangka memperingati
dasawindu Poejangga Baroe dan sebagai upaya menyelami bagaimana akar kebudayaan Indonesia dibentuk.
“Karena dasar-dasar yang diletakkan Poejangga Baru itulah, kesusastraan modern Indonesia bekerja melalui negara, hanya lewat lembaga-lembaga pendidikan formal yang semakin lama semakin berjarak dengan masyarakatnya. Akibatnya, karya sastra tidak benar-benar dihayati, puisi Chairil Anwar hanya jadi hafalan di Sekolah Dasar. Tidak mendarah-daging dalam derap langkah manusia sehari-hari,” tambah Kamandobat.
Mahayana mengangguk pelan, matanya menerawang. Zakky Zulhazmi mengangguk-angguk sambil saling memandang dengan Ubay Prh. Abdullah Alawi mengangguk serius. Abi Setio Nugroho menghisap rokoknya dalam-dalam, matanya menyipit dan keningnya berkerut seperti memikirkan sesuatu yang sangat serius.
“Sebentar. Sebentar,” sela Kamandobat. “Ada puisi lewat.”
Seorang mahasiswi dengan blus putih dan rok tribal selutut melintas. Parasnya putih mulus, peralatan kecantikan modern sepertinya bekerja dengan baik di sana, kaki jenjangnya pun tanpa cacat dipercantik sepatu hak tinggi sehingga bentuk betisnya terlihat kencang meski kesan lembutnya tetep menempel. Hidung mancung. Menenteng tas
Arlian Buana
dan berjalan dengan irama terjaga, anggun. Bentuk tubuhnya seperti rata-rata model pakaian dalam. Saya menoleh, Nugroho dan Zulhazmi nyengir.
“Itu baru puisi. Berdarah-daging,” kata Kamandobat, tertawa.
Obrolan dilanjutkan ngalor-ngidul. Di kejauhan, saya melihat tiga mahasiswi keluar dari Books
& Beyond sambil bercengkerama. Tidak seperti
mahasiswi sebelumnya, mereka terlihat tanpa
polesan memadai, seperti tidak mengenal perawatan kulit yang mahal kecuali mungkin sabun cuci muka dan krim yang diiklankan televisi. Mereka semakin mendekat ke tempat kami ngobrol.
“Sebentar, sebentar,” giliran saya yang menyela. “Ada tiga puisi esai mau lewat.”
“Hahahaha.. Ada catatan kakinya gitu,” timpal Nugroho.
7 Maret 2014 pagi, belum tidur semalaman, saya membangunkan Alawi dan Nugroho. Rencana kami hari ini membuat kepala saya bekerja demikian kerasnya, demikian antusiasnya sampai-sampai tidur tak lagi menggoda. Setelah keduanya bangun lalu mandi bergantian, kami meluncur bersama ke Bintaro Plaza. Bazar Buku Murah Gramedia menanti kami dengan stok-stok baru yang menggiurkan.
Pukul setengah sebelas, di tengah lautan buku, Alawi terlihat gelisah. “Bung, ayo, udahan yuk. Pak Djoko udah nungggu kita nih,” katanya.
Tapi perkiraan saya bukan Pak Djoko benar yang merisaukan Alawi, tapi buku yang telah diangkatnya di tas belanja sudah terlalu banyak. Kantongnya tentu akan kempis dalam tiga pekan ke depan. Perburuan harus segera diakhiri kalau tak ingin dompetnya kosong-melompong.
Sesampainya di rumah Djokolelono, Pak Djoko yang dimaksud Alawi, saya baru sadar telepon genggam saya tak ada di tempatnya yang biasa, di kantong. Saya periksa di tas, nihil. Ada beberapa orang yang harus saya hubungi saat itu, saya mulai panik. Nugroho pun kelihatan khawatir, “Coba periksa lagi,” katanya. Saya periksa lagi di semua sudut yang mungkin secara seksama dan konsekuen. Alawi dengan wajah yang ikut gelisah bilang, “Ketinggalan di tempat makan tadi kali.”
Tanpa diinstruksi, Nugroho langsung memanggil nomor saya. Nyambung, tapi tidak diangkat.
Lalu dengan ringan, tanpa beban, dan wajah bercanda, si tuan rumah berkata, “Gimana? Mau pakai hape saya?” saya setengah kesal dibuatnya. Di tengah keadaan yang bagi saya saat itu sangat rumit dan memusingkan, bisa-bisanya ada orang yang menganggapnya enteng. “Lha ya gimana? Jangan bingung, toh?” lanjutnya. Duh! Saya segera mengambil langkah cepat, menghidupkan sepeda
Arlian Buana
motor, menjemput kemungkinan hape itu tertinggal di tempat makan.
Tuan rumah adalah orang yang sangat kami kagumi. Ia yang mengantarkan kami mengenal, menikmati kisah dan umrah ke Dataran Tortilla. Nama Djokolelono selamanya tak akan pernah kami lupakan karena jasanya menerjemahkan dengan sangat hebat novel karangan John Steinbeck itu. Karena sentuhan tangannya, kami bisa mengenal dari jarak yang sangat dekat perilaku para Paisano. Djokolelono, Paisano, John Steinbeck dan Tortilla Flat adalah para primadona yang sukar tergantikan saat kami masih hobi nongkrong di Warkop Tampomas. Alawi, bersama partner in crime abadinya, Ahmad Makki, bahkan membuat sebuah blog tribut untuk mereka dengan nama Anggur Torelli—air zam-zamnya Dataran Tortilla.
Puji Tuhan hape itu aman. Pemilik rumah makan berbaik hati menyimpannya sampai saya datang. Saya gembira sampai-sampai berniat menciumnya. Di jalan pulang ke rumah Pak Djoko, saya beli rambutan untuk oleh-oleh sebagai ungkapan senang.
Kegembiraan saya bertambah-tambah ketika ngobrol dengan Pak Djoko. Dalam waktu singkat, saya sudah lupa kekesalan saya sebelumnya. Ia ternyata memang menggemaskan dan lucu orangnya. Dalam bahasanya sendiri, ia memang kekanak-kanakan. Menurut pengakuannya, bukan
menggembirakan dan lebih enak baginya, tapi juga karena ia tak mau pusing dengan semua urusan orang dewasa. Ia tak suka hitung-hitungan, ia benci pertengkaran.
“Semua urusan orang dewasa, istri saya yang urus. Saya nulis aja,” katanya.
Alawi terlihat mengangguk-angguk khidmat sekali. Matanya tajam menatap Pak Djoko dengan kekaguman dari ujung kaki hingga ujung kepala. Alawi seperti bertatap-muka langsung dengan para Paisano. Ia seolah mengalami dua momen sekaligus: puitik dan orgasmik.
Alawi begitu bersemangatnya memberondong Pak Djoko pertanyaan demi pertanyaan. Nampak benar ia bernafsu menyedot ilmu kepenulisan
Djokolelono dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Dan Pak Djoko, selalu menjawab dengan cara yang imut dan menggemaskan. Pertama, mencoba
menjawab, tapi di tengah jalan selalu terdistraksi oleh apa yang diucapkannnya sendiri atau diceletukkan oleh Nugroho dan saya. Dari jawaban yang
melenceng itu, ia kemudian terdistraksi lagi oleh hal lain hingga omongannya tak tentu arah, yang penting senang. Jadilah ngalor-ngidul dan dengan sedikit cemberut, Alawi akan meluruskan kembali pertanyaannya.
Meski perhatiannya mudah terdistraksi, Pak Djoko adalah pencerita yang baik. Ada banyak cerita penting yang justru diungkapnya dengan jawaban
Arlian Buana
yang melenceng dari pertanyaan Alawi. Ia kaget ketika kami datang langsung
menanyainya tentang sastra terjemahan. Ia heran kok dia lebih dikenal sebagai penerjemah ketimbang pengarang. “Yang paling pertama, saya ini penulis. Setelah banyak menerbitkan buku, baru jadi penerjemah,” katanya terkekeh-kekeh.
Ia kemudian, karena tiba-tiba saja teringat, berkisah tentang anak keduanya, Astrid. Cintanya kepada anak perempuannya itu sangat besar. Ia sengaja menulis banyak cerita anak untuk anaknya, dengan tokoh utama menggunakan nama Astrid. Ada 14 serial Astrid, beberapa dihadiahkannya untuk kami, antara lain Astrid dan Bandit dan Astrid di
Palungloro. Diam-diam, dulu ia memelihara impian
suatu saat Astrid jadi bintang terkenal yang mondar-mandir di kotak televisi dan gambarnya dipajang di baliho hingga kemasan sampo.
Sebagai penulis cerita anak, ia punya saingan dari kalangan tentara. Nama rivalnya: Darto Singo. Seiring berjalannya waktu, Djokolelono jauh meninggalkan Darto Singo. “Darto beres nulis satu novel, saya selesai delapan,” katanya kembali terkekeh.
“Tapi ternyata, anaknya Darto yang jadi artis terkenal. Anak saya, Astrid, di rumah aja,” katanya sambil melirik ke dalam rumah, lalu kembali menghadapi kami dengan mata membulat lalu berbisik, “Si Astrid lagi di dalem. Pelan-pelan ya
“Tau siapa anaknya Darto?” kami saling menatap, menggeleng.
“Siapa, Pak?”
“Anggun C. Sasmi yang jadi artis internasional itu. Sebel saya kalo inget saya kalah sama Darto.” Ia terkekeh-kekeh lagi.
Meski sangat produktif menulis novel, pekerjaan utamanya adalah copy writer di biro iklan. Pernah suatu saat Ajip Rosidi menyarankan agar ia berhenti dari pekerjaan itu dan jadi penulis penuh-waktu, tapi ia menampiknya. Ia tahu betul, menjadi penulis tak menjamin kebutuhan hidupnya terpenuhi. Honor dan royalti tidak seberapa, sementara kebutuhan untuk riset sangat besar. Lagipula pekerjaannya di biro iklan juga menulis naskah.
“Rumah ini kan di kompleks Unilever. Ini rumah dari biro iklannya Unilever,” terangnya.
Karyanya sebagai copy writer membuat kami tercengang. Apa yang dibuatnya merupakan tagline produk-produk terkenal. Ialah otak di balik iklan
Gudang Garam: Pria Punya Selera. Alawi dan Nugroho
berdecak kagum. Saya hampir terlonjak dari kursi saking terpesonanya.
“Iya, dulu ‘Pria Punya Selera’ itu banyak yang kritik. Katanya gak sesuai EYD. Tapi biarin aja, mereka gak ngerti sastra sih.” Terkekeh-kekeh lagi.
“Saya bikin ‘Pria Punya Selera’ itu terinspirasi dari puisi Chairil Anwar, ‘Cerita Buat Dien Tamaela’”
Arlian Buana
Beta Pattirajawane, menjaga hutan pala. Beta api di pantai. Siapa mendekat Tiga kali menyebut beta punya nama.
“Siapa mendekat, tiga kali menyebut beta punya nama. Beta punya nama. Pria punya selera.” Ia terkekeh-kekeh lagi. Alawi dan Nugroho berdecak kagum lagi. Saya hampir terlonjak dari kursi lagi saking terpesonanya.
“Selain itu apa, Pak?”
“Banyak. Kamu pasti tau, ‘terus terang, Philips terang terus,’ sama ‘susu saya, susu Bendera.’” bahunya berguncang, terkekeh-kekeh lagi.
“Wow! wow.. ”
Saya langsung ingat Kamandobat dan keinginan terdalamnya.
Djokolelono, yang bukan penyair, justru telah berhasil menciptakan kata-kata yang menempel di otak banyak orang. Meski medianya berbeda, yang satu koran minggu atau jurnal sastra sementara yang lainnya media iklan, tetap saja kata-kata Pak Djoko dahsyat luar biasa. Dan fakta bahwa ia diingat bahkan dilagukan banyak orang itu tak bisa ditolak.
Dalam beberapa hal, ia lebih sublim daripada puisi terbaik Goenawan Mohamad, “Tempo: Enak dibaca dan perlu.”
Saya biasa melihat lelaki tua itu setiap Jumat di depan pintu tengah masjid Pondok Pabelan. Saban Jumatan, ia tak pernah bergeser, begitu setia di tempat yang sama. Persis di sana, di dua ubin kali tiga ubin itu.
“Itu Aki tuh,” kata Cici, sahabat saya semasa mondok, suatu Jumat, menunjuk di mana kakeknya berada.
Cici sering bercerita tentang Aki. Tentang Aki yang sering mengajak cucu-cucunya ke toko buku untuk memborong buku apa saja sesuka hati. Sayang, Cici tidak terlalu pandai memanfaatkan kesempatan emas itu. Paling-paling hanya Harry Potter atau biografi musisi idolanya saja yang diboyong.
Di kamar Kuwait D atau di Empang (Warung favorit kami untuk merokok diam-diam agar tak ketahuan Ustadz), Cici banyak bercerita
Arlian Buana
Mulai dari kebiasaan Aki yang berpuasa Senin-Kamis atau Dawud, menempuh jarak antara rumah dan kampus Osaka Gaidai dengan berjalan kaki, hingga kebiasaan Aki berlama-lama di meja kerja, membaca dan menulis. Ketika Aki mengantarkan Cici pulang ke Indonesia, Aki tak membawa apa-apa selain tumpukan kertas hasil karyanya berkoper-koper. Cici sampai kepayahan mengangkat koper-koper itu.
Setamat dari SD, Cici tidak langsung nyantri di Pondok Pabelan, pondok yang sampai sekarang dipimpin ayahnya, Pak Ahmad Mushtofa, melainkan di salah-satu SMP di Muntilan. Setamat SMP, Cici pernah mencoba nyantri di Gontor, tapi tak bertahan lama.
Setelah pulang dari Gontor itu, menurut cerita Cici, Aki mengkritisi pilihan pendidikan Pak Ahmad untuk anak-anaknya. “Kalau ada Kyai yang menyekolahkan anaknya di pesantren atau sekolah lain, berarti pesantren yang dipimpinnya itu bukan lembaga pendidikan yang bagus. Anaknya sendiri saja disekolahkan di tempat lain,” kata Aki, seperti dikisahkan Cici berulang kali. Cici pun akhirnya mau nyantri di Pabelan, pondok yang didirikan dan dibesarkan oleh almarhum pakdenya, KH. Hamam Dja’far.
Saya bisa bersahabat dengan Cici awalnya karena kami sama-sama hobi nge-band dan penggemar berat Harry Potter. Dari hobi ngeband, kami sering berkumpul mendengarkan musik bersama,
kebersamaan itu, kami semakin sering ngobrol dan berbagi cerita. Cici yang pertama kali membukakan mata saya pada internet. Dia yang pertama kali mengajari saya membuat email dan menggunakan mesin pencari, merekomendasikan beberapa portal berita, laman sastra dan situs porno terpercaya.
Bersama Cici dan beberapa teman lain, saya sering kabur dari kompleks pesantren untuk main band di Muntilan atau nonton konser di Magelang atau Semarang atau Yogyakarta. Pulang dari kabur itu, karena larut malam, kami selalu menumpang di bak truk pasir. Angkutan umum hanya ada sampai pukul 9 malam.
Cici, nama panjangnya Muhammad Citradi. Di buku Yang Datang Telanjang, Aki memuat salah-satu surat untuknya, bersama surat-surat kepada banyak tokoh besar, tentu saja. Isi surat itu baru saya baca belakangan setelah Yang Datang Telanjang terbit. Isinya pujian dan pesan untuk Cici yang mulai senang bersepeda, ditulis pada tanggal 1 juni 2007, kira-kira ketika Cici baru naik ke kelas 5 SD.
“Bagus sekali Cici suka naik sepeda. Mengayuh Sepeda, berjalan kaki dan berenang adalah tiga macam olahraga yang baik sekali. Dan murah. Olahraga lain umumnya lebih mahal biayanya daripada ketiga macam olahraga itu. Dan ketiga macam olahraga yang murah biayanya itu, tinggi nilai aerobiknya...
Aki juga dulu suka naik sepeda. Tempo hari juga waktu tinggal di Abenoku, Aki dan Nini suka naik
Arlian Buana
sepeda. Di jepang, di jalan besar selalu ada jalur khusus untuk speda. Jadi meskipun banyak mobil, pengendara sepeda aman. Tidak seperti di Indonesia sekarang, tak ada jalan untuk sepeda. Bahkan untuk orang berjalan kaki pun tak ada. Sehingga berjalan kaki dan mengayuh sepeda di Indonesia harus hati-hati. Kalau tidak, bisa disamber mobil yang ngebut.
Karena itu kalau naik sepeda, Cici harus selalu waspada. Lebih baik di jalan kampung saja, yang jarang atau tidak bisa dilalui mobil. Kalau di jalan bessar selalu diintip bahaya. Maklum sopir di Indonesia banyak yang ugal-ugalan suka ngebut..
Juga Cici harus hati-hati. Jangan seperti teman Cici yang sampai nabrak pagar. Masa pagar ditabrak! Pagar kan kelihatan dari jauh juga, kok sampai ditabrak. Dan nabrak pagar tentu saja terpental sendiri, sampai pingsan. pendeknya Cici harus hati-hati, jangan sampai main tabrak. Apa pun jangan ditabrak. Kalau mau nabrak sesuatu segera rem. Karena itu Cici harus sering periksa rem, jangan sampai los (tidak pakem).”
Perumahan itu tak seperti kebanyakan rumah lainnya di Desa Pabelan. Rumah utamanya cukup besar dengan tembok-tembok yang kukuh. Di kanan-kirinya, ada rumah besar tempat menyimpan buku-buku, ada beberapa saung tempat melakukan pertemuan atau sekadar bersantai. Mereka berdiri di
Di pintu masuk berdiri gapura bertuliskan “Jati Niskala.” Jalan dari Gapura ke kompleks itu beraspal. Dari rumah satu ke rumah atau saung lainnya ditaburi kerikil halus, agar penghuni rumah bisa berjalan-jalan tanpa alas kaki di pagi atau sore hari. Konon, itu baik untuk kesehatan.
Siang itu, saya memberanikan diri menemui pemilik rumah untuk keperluan wawancara. Waktu itu, saya pemimpin redaksi Majalah Dialog, majalah santri Pabelan. Tema yang kami pilih untuk edisi berikutnya adalah tentang Jepang, negerinya
Doraemon. Beberapa waktu sebelumnya, pemerintah Jepang memberi banyak bantuan untuk Pesantren Pabelan. Hingga kini di sana masih berdiri Gedung Jepang, dan beberapa kamar di kompleks puteri dinamai dengan nama-nama kota di Jepang.
Saya agak gugup sebenarnya. Ini wawancara pertama saya dengan tokoh terkenal, sastrawan yang saya kagumi karya-karyanya pula. Dan saya masih duduk di kelas enam—3 SMA. Tapi mau tak mau wawancara itu harus dilakukan. Melewati gapura Jati Niskala, gugup semakin menjadi-jadi. Padahal itu bukan kali pertama saya ke sana. Sebelumnya, saya sering diajak Cici mampir, mengantar atau mengambil surat, beberapa kali bahkan sempat makan di dapurnya.
Saya dipersilakan menunggu di salah-satu saung oleh Mbak Pon, pekerja di sana. Selama menunggu, saya semakin berdebar-debar dan waktu seperti
Arlian Buana
berjalan lamban. Apalagi ketika Aki menampakkan muka yang sepertinya tidak terlalu ramah untuk diwawancara.
“Ada perlu apa?” “Mau wawancara, Ki.” “Soal apa?”
“Banyak hal, Ki. Tentang sastra, dan terutama tentang Jepang.”
“Dari mana kamu tahu kalau saya bisa bicara tentang sastra?”
“Dari buku-buku Aki.”
“Buku saya yang mana yang pernah kamu baca?” “Lutung Kasarung, sama kumpulan puisi Cari
Muatan.”
“Dari mana kamu tahu kalau saya bisa bicara tentang Jepang?”
Sampai di sini saya ragu. Sampai saat itu saya belum pernah membaca buku mengenai Aki dan Jepang. Saya pun tak cukup berani untuk mengarang-ngarang cerita. Maka saya jawab sejujurnya, “dari Cici, sama Mbak Pon.”
“Masak Cici dan Mbak Pon dijadikan referensi?” “Pulang sana! Kembali lagi ke sini setelah kamu baca referensi yang lebih bisa dipercaya.”
mengingat jawaban bodoh itu. Tapi ketika itu, tak urung saya merutuk dalam hati. Apa salahnya Cici yang jadi referensi? Bukankah Cici cucunya sendiri? Apa masih tidak bisa dipercaya? Beberapa kerikil yang tergeletak di jalanan saya tendang.
Cici terbahak-bahak mendengar tragedi pengusiran itu. Semakin kesal saya dibuatnya.
Untungnya, keesokan harinya saya menemukan buku
Orang dan Bambu Jepang di perpustakaan.
Cici datang tergopoh-gopoh ke kamar Kuwait D. Ia mengajak saya bersegera ikut dengannya. Situasi sangat gawat nampaknya.
Beberapa pekan sebelumnya, saya kehilangan buku Protes, karangan Putu Wijaya, di kamar ini. Buku itu milik Aki, yang dipinjam Cici dari perpustakaan Jati Niskala. Buku yang hilang itu adalah buku pinjaman yang saya pinjam.
Kami telah mencari dan bertanya ke sana ke mari tentang keberadaan buku malang itu. Hasilnya nihil. Buku itu seakan raib ditelan kakus.
Cici bilang, Aki sangat berang setelah tahu buku itu hilang. “Kamu boleh pinjam uang Aki dan tidak mengembalikan. Tapi jangan sekali-sekali coba pinjam buku dan tidak kembali,” begitu dampratnya.
Karena rasa sangat bersalah, saya bersama Cici mondar-mandir mencari buku terbitan Grafiti itu.
Arlian Buana
Sayangnya usaha kami untuk mencari ganti pun gagal. Berbagai toko buku kami singgahi. Hingga Gramedia Yogyakarta kami sambangi. Stok 0.
Beberapa tahun kemudian, baru kami tahu si brengsek penyebab malapetaka yang menggondol buku itu. Dia adalah Danil Arifin, karib kami yang hobi membual dalam logat melayu kental dan sangat gandrung membaca apa saja sampai lupa lautan. Tak tanggung-tanggung, buku itu digondolnya sampai Pontianak tanpa seorang setan pun tahu. Dan dia dengan entengnya tertawa ketika mengaku melakukan kejahatan luar biasa itu. Setan alas!
Setelah sekian lama tak jumpa, saya bersalaman lagi dengan Aki pada April 2011, karena keterlibatan saya di Gerakan Koin Sastra. Aki adalah Ketua Dewan Pembina Pusat Dokumentasi Sastra (PDS) HB Jassin, yang ketika itu terancam bangkrut lantaran Gubernur Fauzi Bowo setiap tahun menyunat subsidinya.
Waktu Konser Koin Sastra di Bentara Budaya Jakarta, Aki bersama Nini hadir. Saya sangat senang bisa ngobrol-ngobrol santai dengan beliau berdua.
Bulan puasa kemarin, saya bertemu lagi dengan Aki di PDS, untuk keperluan wawancara. Kali ini saya bisa lebih santai, meski Aki tetap kelihatan sangat serius. Saya bersama Bang Abah, orang Sunda
Abah pernah mengutarakan niatnya berkunjung ke Pabelan, tapi sampai sekarang belum kesampaian. Bang Abah yang cukup flamboyan tampak grogi bertemu dengan idolanya.
Ketika kami datang, Aki tengah melakukan pekerjaan rutinnya, membaca dan menandai beberapa buku untuk difotokopi. “Saya sedang mengumpulkan tulisan Idrus di majalah-majalah lama yang saya anggap menarik,” katanya. Bahkan saat wawancara dimulai pun, pekerjaannya itu tidak dihentikan. Menambah kesan angker di mata Bang Abah.
Bang Abah baru bisa mengatasi demam panggungnya untuk bertanya selepas beberapa pertanyaan dari saya. Aki menjawab pertanyaan-pertanyaan sambil meneruskan pekerjaannya. “Saya sambil ngerjain ini ya, wawancaranya.”
Banyak hal yang dikatakan Aki yang tidak saya setujui—terutama yang menyangkut orang-orang komunis dan Partai Komunis Indonesia. Tapi saya tidak berniat mendebatnya, saya tahu tujuan saya adalah wawancara dan saya tidak mau memperkeruh suasana. Di bagian akhir wawancara, syukurlah suasana malah menjadi sangat cair.
Bang Abah melempar canda mengenai
produktivitas Aki, “Judul buku Aki saja, kalau didaftar bisa makan delapan halaman.”
Arlian Buana
“Font-nya apa dulu? Ukurannya berapa?” Gayung bersambut. Tawa berderai. Musnah sudah gemetar Bang Abah. Dengan girang dia lancang minta foto bersama. Untung tidak sampai minta dibelikan sepeda.
Waktu kecil, sering sekali saya mendengar orang mengumpat dengan menyebut “PKI!” atau “Yahudi!” Padahal di desa saya tidak bisa ditemui makhluk PKI ataupun Yahudi. Tapi kebencian itu ada, dan nyata.
Di awal-awal Sekolah Dasar, saya bertanya kepada Bapak: PKI itu apa? Yahudi itu apa? Tuhan itu apa?
Bapak memberi jawaban, Tuhan itu pencipta seluruh alam termasuk manusia—kakek, nenek, bapak, saya, pohon durian, pohon duku, Sungai Komering, Gunung Seminung, Sungai Musi, semuanya. Bapak bilang, PKI itu orang-orang yang tidak beragama, musuh Islam, musuh negara. Dan Yahudi juga musuh Islam.
Sekali bertanya, sudah itu saya tak banyak memikirkannya. Sebagaimana kanak-kanak lainnya, saya lebih memikirkan bermain daripada membicarakan PKI dkk. Tapi saya tidak pernah lupa jawaban Bapak. Saya tidak pernah lupa bagaimana
Arlian Buana
orang bersumpah-serapah dengan PKI dan Yahudi, dengan wajah yang jauh lebih keji daripada ketika mereka mengumpat “Kampang!”
Beranjak besar, sekali waktu saya bertanya lagi kepada Bapak: mengapa orang kita tidak membenci Belanda dan Jepang? Mengapa kita lebih membenci PKI dan Yahudi? Di sekolah, guru-guru dan buku pelajaran membicarakan penjajahan Belanda dan Jepang, berikut kebengisan dua negara itu menjebak lalu membunuh para Pahlawan Nasional, juga kekejaman mereka terhadap nenek-moyang kita. Mengapa harus PKI dan Yahudi yang dijadikan sumpah-serapah?
Saya tidak ingat jawaban Bapak. Tapi tak lama setelah pertanyaan itu, Bapak mengajak saya begadang untuk menonton film Pengkhianatan
G30S/PKI, di pelataran rumah seorang uwak yang
kebetulan Kepala Desa. Cukup ramai, kira-kira ada 60 orangan, cukup banyak teman sebaya saya yang ikut menonton, ada beberapa cewek juga, selebihnya kakak-kakak yang lebih tua dan orang dewasa. Televisi menyala dengan daya aki, diterangi lampu petromaks.
Saya sempat terkantuk-kantuk menunggu film Pengkhianatan dimulai. Saya memang sering menemani Bapak numpang nonton film di rumah Uwak, tapi tidak beramai-ramai, dan kalau sudah di atas jam 9 biasanya saya akan jatuh tertidur, dan
Menonton film Pengkhianatan adalah pengalaman pertama saya begadang sampai tengah malam.
Keesokan harinya, saya dan teman-teman akan membicarakan kebiadaban PKI, pemujaan terhadap para pahlawan revolusi, dan kesedihan untuk Ade Irma Suryani. Bagaimana Ade Irma jika ia masih hidup, seperti apa wajahnya, pasti cantik sekali. Sesekali kami menirukan adegan dan dialog dalam film, seperti kami sering menirukan tokoh Khaidir Ali di TVRI. Di antara kami, ada pula yang bernama Ahmad Yani.
Kakek tidak pernah merasakan kekejaman Belanda, apalagi bapak dan saya, tapi kakek sering meceritakan kisah dari kakek buyut, dan sesudah listrik masuk desa, saya bisa menyaksikan film-film perjuangan mengusir Belanda dan Jepang. Kakek merasakan sendiri penderitaannya di zaman pendudukan Jepang, tapi kakek tidak pernah menyumpah-nyumpahi Jepang. Kakek malah sering menyanyikan lagu-lagu Jepang yang tidak saya pahami. Saya juga mulai banyak menonton kartun-kartun Jepang.
Tapi saya tetap mempertanyakan kenapa PKI dan Yahudi, kenapa tidak Belanda dan Jepang, meski saya simpan sendiri.
Tamat SD, saya belum juga menemukan jawaban yang memuaskan. Dan sampai sekarang pun, saya merasa semua jawaban yang saya dapatkan masih belum cukup.