• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III. HIDUP PERSAUDARAN PARA SUSTER KYM DALAM

E. Perlunya Pengolahan Hidup Terus menerus bagi para suster

3. Berbagai Cara Pengolahan Hidup Terus Menerus bagi para

Istilah on going formation atau pembinaan terus menerus kiranya tidak asing lagi bagi kaum religius. Hanya kalau kita bertanya tentang kenyataan yang sudah

dibuat dalam hal ini entah sebagai pribadi maupun sebagai program dalam provinsi

pasti jawabannya akan bermacam-macam.

Pribadi manusia senantiasa diharapkan bertumbuh, dan pertumbuhan ini tidak

sekali jadi, tetapi berproses dalam suatu peziarahan. Begitu pula seluruh

daya-dayanya tidak satu kali jadi dan serentak mencapai klimaksnya untuk kemudian turun

pelan-pelan dan akhirnya mati. Jadi pengolahan hidup yang terus menerus (on going formation) memampukan seorang religius untuk makin berkembang baik secara kepribadian maupun spiritual (bdk Mardi Prasetyo,2001: 47).

Berhadapan dengan tanda-tanda zaman, yang merupakan tempat Roh bekerja,

religius KYM diundang untuk memiliki kemampuan penegasan rohani, agar mampu

menjawab sesuai dengan bimbingan Roh yang berbisik pada hati, manusia perlu

tumbuh dalam kecerdasan spiritual hati. Dibawah ini beberapa contoh atau cara yang

dapat dikembangkan dalam pembinaan terus menerus “On going Formatio.

a. Rekoleksi

Dalam Statuta KYM pasal 15 art 1 dan 2 dikatakan: setiap komunitas wajib

mengadakan/ mengikuti rekoleksi setiap bulan, petugasnya diatur oleh komunitas,

jika tidak mungkin bersama hendaknya dilakukan secara pribadi, dan pada artikel

kedua dikatakan bahwa semua suster wajib mengikuti acara rekoleksi.

b. Bacaan Rohani

Dalam bina lanjut para suster KYM dikatakan: setiap suster menjadwalkan

Bacaan rohani dan Kitab suci sekurang-kurangnya ½ jam tiap hari, setiap suster wajib

memupuk dan memelihara pertumbuhan hidup rohaninya, antara lain dengan mencari

pendamping rohani pribadi dan bila pendamping pribadi itu dari luar kongregasi,

diberitahukan secara terbuka kepada Ibu Komunitas. (Statuta KYM, 2003: 34 art 63).

c. Katekese

Salah satu gema katekese adalah pembaharuan. Katekese bermaksud untuk

mendalami arti kegiatan dan kata-kata Kristus, begitu pula tanda-tanda yang

dikerjakanNya, sebab semuanya itu sekaligus menyelubungi dan mewahyukan

misteriNya. Sejalan dengan itu tujuan mutakhir katekese ialah bukan saja

menghubungkan umat dengan Yesus Kristus, melainkan mengundangnya untuk

membimbing kita kepada cinta kasih Bapa dalam Roh, dan mengajak kita ikut serta

menghayati hidup Tritunggal Maha kudus (CT, 2006: 12 art 5).

Hidup dalam sebuah proses katekese yang relevan dan yang berkembang

sesuai dengan zaman yang berubah dan berkembang tentunya akan mengarahkan

hidup manusia untuk terus menerus menemukan cara dan sikap yang tepat dalam

menjalani hidup yang lebih baik dan tepat, menemukan cara untuk terus menerus

mengolah hidup ditengah zaman dan tantangan yang semakin majemuk dan penuh

arus kekerasan. Dengan kata lain dapat dikatakan akan terbentuk sebuah pribadi yang

kreatif dan mandiri untuk membentuk dirinya menjadi pribadi yang berani berubah

kearah yang lebih baik.

d. Reflesi

Pada masa juniorat dengan tegas ditekankan pentingnya refleksi. Ini

merupakan sebuah materi pembinaan dimasa pembinaan para suster-suster juniorat.

Refleksi mencakup internalisasi apa yang sudah diterima di Novisiat, religius report

satu kali dua bulan, buku harian, kaul-kaul kebiaraan, hidup berkomunitas, dan

hal-hal lain yang dianggap aktual (PPKYM 2008: Psl 7 no 4). Hal ini berlangsung terus

menerus selama masa pembinaan di tahun-tahun juniorat. Tentunya ini tidak berhenti

pada masa tersebut melainkan terus menerus sepanjang hidup. Suster KYM yang

terus berefleksi tentu akan terbentuk menjadi pribadi yang selalu memperbaharui diri

dalam mengubah disposisi bathinnya yang terus berubah sesuai dengan perubahan

e. Retret

Agustine Klaas SJ dalam petunjuk praktis Retret Puspita mengatakan: Retret

adalah suatu persiapan jiwa, diri dan bathin, dimana kita diajak untuk menyadari diri

kita dengan lebih baik, dalam, luas, dan intens, tetapi dalam konteks dimana kita

menemukan diri kita ditengah realita dan kenyataan hidup kita sendiri, berarti

kenyataan duniawi dan manusiawi.

Kita baru sungguh beriman bila kita dengan penuh kesadaran menempatkan

diri atau menemukan diri dalam realita hidup dan itu berarti saat untuk menemukan

pusat hidup kita. Karena itu retret mestinya menjadi suatu pengalaman hidup yang

menyeluruh, karena disana kita sadar mengenai diri kita dan seluruh

problematikanya. Ciri khas dari retret adalah kita bisa menghayati hidup sebagai

keseluruhan maka diharapkan jangan menjadi sesuatu yang intelektual belaka atau

berpikir semata, tetapi justru multi dimensi yang mencakup seluruh dimensi hidup:

akal, pikiran, perasaan, hati dan keputusan kehendak. Dengan kata lain untuk dapat

retret kita harus mempunyai kesadaran diri, untuk itu sungguh dibutuhkan suatu

kedewasaan pribadi, dan kedewasaan rohani.

Retret bukan pemeriksaan bathin atau doa yang panjang, tetapi retret adalah

suatu kesempatan untuk mempunyai pandangan yang menyeluruh tentang hidup kita,

berpangkal dari diri kita dan keadaan kita. Berpangkal pada kesatuan pribadi kita

dengan Allah dalam iman. Retret artinya mengumpulkan kekuatan karena kesadaran

bahwa saya bersatu dengan Allah.

Hal hakiki dari retret adalah bahwa kita mesti menjaga dan mencipatakan

mau mendengarkan, memperhatikan serta memandang “Dia yang mereka tikam”

tanpa mau diganggu. Saat hening yang membantu kita untuk pembatinan demi

perkembangan hidup rohani kita, yang artinya:

1) Saat untuk menanti dan menunggu serta merindukan Roh Kudus

2) Saat untuk merenungkan, mencecap tindakan karya Tuhan dalam diri kita

3) Saat untuk mengumpulkan dari kedalaman hati dan roti kehidupan

4) Saat untuk bekerjasama dengan Allah Tritunggal demi pertumbuhan kesatuan kita

dengan ciptaan

5) Saat untuk menanti apa yang dianggap baik bagi Tuhan demi perkembangan

kemajuan diri kita maupun kemajuan komunitas kita.

Perjumpaan kita sebagai komunitas disaat hening, teduh, retret ini juga

merupakan waktu untuk membaharui komitmen kita akan janji prasetya kita, sebagai

imam, biarawan/wati, terhadap Allah. Perjumpaan kita sebagai komunitas dalam saat

teduh, ret-ret ini juga merupakan persiapan bagi kita untuk membaharui janji dan

komitmen serah diri kita dengan Allah Tritunggal Hati Kudus Yesus yang selalu

hadir menyertai kita mengikuti perjalanan perziarahan hidup kita (Binawiratma,

1991: 7).

Dalam hal ini kita dapat bertanya pada diri kita:

1) Bagaimana kita menghidupi , menghayati janji komitmen serah diri kita kepada

Allah dalam kehidupan keseharian kita?

2) Mencerna dan mencecap pengalaman hidup ditahun yang sudah berlalu untuk

mempersiapkan diri masuk dalam pertemuan perziarahan kebersamaan kita

3) Apa yang kita rasa perlu untuk kita sharingkan berkenaan dengan bakat,

anugerah, kesulitan atau tantangan bersama dalam kehidupan kita dalam

komunitas kecil pun komunitas besar. Apa yang perlu kita sharingkan agar kita

semakin terbuka dan bersama-sama membiarkan diri untuk diarahkan, dituntun

oleh tindakan Allah Tritunggal dan Hati Kudus Yesus dalam kehidupan dan karya

kita (Binawiratma, 1991: 7).

Puspita dalam petunjuk-petunjuk praktis bimbingan retret mengatakan: bahwa

tujuan dari retret pada dasarnya adalah sama. Pepatah Santo Augustinus ”noverim te, noverim me”, kukenal engkau kukenal diriku”, pengenalan lebih dalam akan Allah dan diriku (Puspita, Tanpa tahun: 5).

f. Tahun Sabat

Tanah perlu diberi istirahat, kita tahu bagaimana pada zaman kita banyak

tanah yang tandus , karena dipakai terus menerus secara berlebihan. Kebiasaan ini

dalam Kitab Imamat mempunyai arti jelas, umat menaruh harapan pada Allah yang

tidak akan membiarkan mereka mati kelaparan.

“Enam tahun lamanya engkau harus menaburi ladangmu , dan enam tahun lamanya engkau harus merantingi kebun anggurmu dan mengumpulkan hasil tanah itu, tetapi pada tahun yang ketujuh haruslah ada bagi tanah itu suatu sabat, masa perhentian penuh, suatu sabat bagi Tuhan, ladangmu janganlah kau taburi dan kebun anggurmu janganlah kau ranting” (Im 25:3-4).

Tanah adalah bagian fundamental yang membawa bangsa Israel menjadi

beriman, sebab tanah merupakan bagian dari janji Allah kepada Abraham; sasaran

ekplisit exodus dari Mesir; fokus perjalanan sejarah tradisi Israel mulai dari Yosua

“Jangan takut meluangkan waktu untuk Kristus “ inilah seruan Bapa Paus

Paulus II kepada semua umat Kristiani dalam surat apostoliknya “Dies Domini” :

BAB IV

PROGRAM PEMBINAAN SUSTER KYM DALAM ON GOING FORMATION DENGAN KATEKESE MODEL SHARED CHRISTIAN

PRAXIS “SCP”

Dokumen terkait