BAB II. KELEMBUTAN HATI DALAM HATI SANTO VINCENTIUS
B. Kelembutan Hati Menurut Santo Vincentius A. Paulo
Vincentius A. Paulo (1581-1660) adalah seorang Santo pelindung
lembaga-lembaga dan kegiatan amal. Dia lahir di Puoy, Landes, Perancis, 24 April 1581.
Ayahnya bernama Jean de Paul. Ibunya bernama Bertrande de Moras.
Meski terlahir dari keluarga petani sederhana, Vincentius mendapat
pendidikan yang terbaik daripada para saudara-saudarinya agar dapat menjadi imam
berkelas. Vincentius bisa bersekolah karena ada bantuan dana dari seorang
bangsawan. Setelah lulus dari sekolah menengah, ia menjadi seorang imam pada usia
20 tahun, Ia ditahbiskan menjadi Imam, 23 September 1600.
Ketika ia sedang mengadakan perjalanan, kapal yang ditumpanginya diserang
oleh bajak laut sehingga Vincentius ditangkap dan dijual sebagai seorang budak di
Tunisia. Selanjutnya, ia dijual ke pelbagai orang selama dua tahun hingga akhirnya ia
berhasil menyelamatkan diri dan kembali ke Perancis. Setelah kembali ke Perancis, ia
melayani sebuah paroki sebagai seorang imam selama 10 tahun. Lalu ia
mengumpulkan beberapa imam praja untuk mengadakan kunjungan ke seluruh daerah
yang biasanya tidak terjangkau, seperti lorong-lorong sempit kota Paris, dan
desa-desa yang jauh.
Dalam karier imamatnya ia banyak mengalami kekecewaan sampai pada
krisis iman. Hal ini justru membawanya pada imamat yang sejati, bukan untuk
memperjuangkan cita-citanya atau keluarganya, namun untuk dipakai oleh Tuhan.
Ketika dia menyerahkan diri pada Tuhan demi pelayanan orang miskin, ia mulai
orang miskin. Vincentius memiliki iman yang operasional melalui cinta kasih (Gal
5:6), ia dilahirkan dan hidup dalam suatu masa dan abad ketika keadaan Gereja,
khususnya di Perancis sedang kacau dan menghadapi tantangan yang berat dari
aliran-aliran pandangan hidup yang menyerang hidup kristiani.
Dalam buku Pauperibus Misit Me disebutkan: Vincentius dan kelompok imam yang dipimpinnya itu memberikan pelayanan kepada orang-orang miskin,
anak-anak yang ditelantarkan orang tuanya, orang-orang sakit, dan sebagainya.
Kemudian ia juga membentuk organisasi para suster untuk melakukan kegiatan amal.
Santo Vincentius, diangkat oleh Gereja sebagai pelindung segala karya amal kasih.
Para pendiri berharap agar Vinsensian terus menerus berusaha meneladan hidup dan
karya Santo Vincentius, yang pada pokoknya adalah:
a. Mengasihi Allah, Bapa kita, dengan mencucurkan keringat kita dan lengan baju
tersingsing,
b. Melihat Kristus dalam diri orang miskin dan orang miskin dalam Kristus,
c. Ambil bagian dalam belaskasih dan kasih yang membebaskan dari Kristus
penginjil dan pelayan orang miskin
d. Mendengarkan bimbingan Roh Kudus (Ruth, 2010: 3).
Rendah hati merupakan keutamaan yang selalu ada dan bisa dilihat pada diri
Vincentius. Ia mempunyai sikap pasrah kepada penyelenggaraan Ilahi. Bagi
Vincentius rendah hati itu terletak pada sikap yang mencintai yang dihina, yang tidak
disenangi oleh orang lain, menghendaki direndahkan dan dihina bergembiralah demi
Ia pendiri Kongregasi Misi dan bersama St Louisa de Marillac mendirikan
Serikat Puteri Kasih. Ia meninggal di Paris, 27 September 1660. Ia dinyatakan Beato,
13 Agustus 1729. Ia diangkat sebagai Santo, 16 Juni 1737. Paus Leo XIII
mengangkatnya menjadi pelindung segala karya kasih Kristiani (Ruth, 2010: 2).
2. Kelembutan Hati Menurut St. Vincentius A Paulo
a. Khas Vincentius
Jika di Inggris seperti tertulis di atas kelembutan identik dengan “kelemahan”
berbeda dengan St. Vincentius. Dengan pola dan sikap karyaNya mencoba
menghapus pendapat tersebut. Sepanjang hidupnya dipergunakan untuk membuktikan
bahwa kelemahlembutan justru merupakan kekuatan yang dahsyat untuk mampu
hidup, tampil didalam masyarakat, dan membawa pengaruh pada orang lain
(Tondowidjojo, 1990:23).
Santo Vincentius A. Paulo dikenal secara luas sebagai “Saint of charity”- Santo cinta kasih. Baginya cinta kasih bisa dalam dua wujud: perbuatan dan melalui
kesan. Namun keduanya pada dasarnya akan berjalan seiring ; tak ada cinta kasih
yang hanya dipikirkan atau dimulut, tetapi harus diwujudkan dalam perbuatan, cinta
kasih yang hanya melalui perbuatan tanpa pemberian kesan yang mendalam juga
akan terlupakan begitu saja dan sulit untuk mengakar (Tondowidjojo, 1990: 24).
“Tidak ada orang yang lebih tekun dan kuat dalam kebaikan daripada mereka
yang lembut dan ramah” (Jalan Vinsensian hal 131. DBSV: 85). Pesan Vincentius ini
pelayanan, perhatian, dan segala perbuatan dalam hidup adalah pribadi-pribadi yang
berhati lembut dan ramah.
Vincentius amat terkesan dengan kelembutan yang ditampilkan oleh Yesus.
Baginya, Yesus adalah patron (pelindung) dalam keutamaan kelembutan. Selain itu Vincentius juga amat dipengaruhi oleh gaya hidup Fransiskus dari Sales yang
dipujinya sebagai orang yang paling lemah lembut.” Ia adalah orang yang paling
lembut dan halus yang pernah saya lihat”. Waktu pertama kali bertemu, sejak awal
saya melihat ungkapannya, gaya bicaranya dan perbincangannya dengan orang lain
adalah ungkapan kelembutan Tuhan kita Yesus Kristus.” (Tondowidjojo, 1990: 25).
Kelembutan hati menurut Vincentius dibedakan atas tiga tindakan prinsipial.
Pertama ialah menekan gerak dorongan kemarahan, jilatan api yang menyala-nyala
membakar, itu meyusahkan jiwa. Dan bara kemarahan membuat orang berbeda sama
sekali dengan aslinya dia, boleh dikatakan hal ini suatu tindakan mampu menahan diri
dari nafsu kemarahan. Tindakan kedua dari kelembutan hati adalah menampilkan
kehangatan, keramahan, kordialitas, kegembiraan, terutama kepada siapapun yang
datang kepada kita. Tindakan ketiga berkaitan dengan sikap-sikap yang membiarkan
berlalu tindakan orang lain tanpa memperhitungkan dan memperhatikan
kemungkinan-kemungkinan akibat yang bisa menyakiti kita dengan kata lain
memikirkan orang lain secara positif atau tidak memperhitungkan kesusahan bagi
dirinya sendiri (Armada, 2003: 92).
Menurut Vincentius, kelembutan hati tidak hanya membuat kita memaklumi
segala kemungkinan menyakitkan, tetapi juga mengajar kita untuk tetap bersikap
kita. Kelembutan hati membuat kita bertahan dalam segala situasi dan hanya
memusatkan perhatian pada Allah yang senantiasa menguatkan kita untuk
menghadapi berbagai kemungkinan yang menyakitkan itu (Armada, 2003: 92).
Kelembutan hati banyak bermanfaat untuk menghadapi orang-orang yang
sulit diajak berkomunikasi, orang yang angkuh hatinya, orang yang sinis terhadap
situasi sekitar. Sebaliknya bila kita sendiri keras hati, maka tidak jarang akan menjadi
“boomerang” bagi kita sendiri. Vincentius juga membuktikan bahwa dengan
kelembutan hati dia selalu mampu menundukkan orang lain (dalam arti positif)
terutama kaum manita bangsawan yang kemudian hari banyak membantu Vincentius
dalam mengembangkan komunitas yang dipimpinnya (Darminta, 2010: 64).
Bagi Vincentius kelembutan hati terungkap dalam sikap dan perkataan yang
lembut, halus, sopan, hangat, ramah, tenang, mudah ditemui, tidak kasar, tidak
membentak-bentak. Ungkapan kelembutan sebagaimana yang dimaksudkan
Vincentius di atas tentu bukanlah sesuatu yang langsung jadi.
Pandangannya itu tentu bermula dari perjuangannya sendiri, sebab menurut
kesaksian Vincentius bukanlah orang yang lembut (Armada, 2004: 87). Vincentius
bisa mencapai kelembutan hati yang luar biasa tentu berkat rahmat Allah sendiri.
Demikian pengakuannya, “Saya mengarahkan diriku kepada Allah untuk memohon
kepadaNya dengan sungguh-sungguh supaya Ia mengubah disposisiku yang kasar dan
menakutkan ini dan menggantinya dengan sikap yang lembut dan ramah (Armada,
2004: 87).
Dalam Konfrensi 28 Maret 1659, Vincentius berbicara banyak tentang
1) Hendaknya kita mampu mengendalikan kelembutan hati kita agar jangan sampai
memerosotkan kita ke posisi yang menyulitkan.
2) Bersikap tenang, tidak gegabah adalah anjuran yang ditekankan Vincentius dalam
setiap gerak dan tindakan kita.
3) Sakiti hatimu sendiri, sebelum engkau disakiti orang lain agar siap senantiasa.
4) Perbuatan dosa akan menghancurkan kelembutan hatimu, oleh karenanya
konsistenlah dengan apa yang kau lagakan.
5) Dalam hidupnya Vincentius sering berhadapan dengan hamba hukum ,jangan
tanggalkan kelembutan hati itu manakala kalian harus berhadapan dengan hukum
yang berlaku di masyarakat (Darminta, 2010:66).
“Pada dasarnya Santo Vincentius memberikan gambaran tentang kelembutan hati sebagai berikut:” tidak ada manusia satupun didunia yang tidak bisa menerima kelembutan serta keramahan oleh karena itu, kita harus menjadikan dua hal ini sebagai kekuatan dalam tugas dan karya kita, khususnya dalam mengabdi sesama (Darminta, 2010:72).
Vincentius meyakinkan kita bahwa sikap lembut hati akan banyak membawa
dampak positif di zaman modern. Sebab itu, akan menyentuh secara langsung
kejiwaan seseorang, kelembutan hati kita akan langsung dirasakan oleh orang lain.
Dengan memegang erat kelembutan, maka keinginan untuk marah akan hilang
dengan sendirinya. Jadi ini sangat bermanfaat sebagai kontrol diri (Darminta, 2010:
66).
b. Berguru pada Pihak lain
St. Fransiskus de Sales sendiri sangat menjunjung tinggi keutamaan ini
“kelembutan hati”. Ia begitu kerap membicarakannya dan dengan begitu penuh cinta
antara semua keutamaan. Jadi, meski ia menonjol dalam semua keutamaan, ia
istimewa dan unggul dalam keutamaan ini. Ia senantiasa mempunyai roman muka
yang damai tenang, dan ada suatu rahmat khusus dalam bibirnya, sehingga ia biasa
tampak tersenyum, dan wajahnya memancarkan suatu kemanisan yang memikat hati
semua orang.
Meski ia biasa memperlihatkan permenungan mendalam, terkadang ia berpikir
adalah perlu untuk memberikan bukti keramahan, dan maka ia menghibur mereka
semua yang dijumpainya, dan ia memenangkan hati dan hormat siapa saja yang
memandangnya. Perkataan, perilaku dan perbuatannya tiada pernah tanpa sopan
santun dan kelemah-lembutan, sehingga seolah keutamaan ini telah mengambil rupa
manusia dalam dirinya dan bahwa ia lebih merupakan kelemah lembutan itu sendiri
daripada orang yang dikuasai oleh keutamaan itu. Padanya juga tepat dikenakan
pujian yang dianugerahkan Roh Kudus kepada Musa,” bahwa ia adalah orang yang
paling lemah lembut pada zamannya diatas muka bumi.” Dan demikianlah St. Jane
Frances de Chantal dapat mengatakan bahwa tiada pernah dikenal sebentuk hati yang
begitu manis, begitu lemah lembut, begitu baik, begitu ramah dan santun seperti
hatinya (“Catholic Virtues”: www.chatolictradition.org).
St. Vincentiuspun berguru padanya dan mengungkapkan perasaan yang sama,
St. Vincentius A Paulo mengungkapkan bahwa St. Fransisikus de Sales adalah orang
paling lemah lembut yang pernah dikenalnya, dan pertama kali ia melihatnya, ia
memperhatikan dalam kedamaian wajahnya dan dalam tutur katanya keserupaan yang
begitu mirip dengan kelemahlembutan Kristus Tuhan kita serta-merta memikat
c. Harapan ke depan bagi para pengikutnya
Hal yang sama dapat dikatakan mengenai St. Vincentius de Paul. Ia memiliki
temperamen yang meledak-ledak dan karenanya, amat condong kepada kemarahan,
sebagaimana diakuinya sendiri kepada seorang sahabatnya, ia mengatakan bahwa
ketika di Wisma Conde, lebih dari sekali ia membiarkan dirinya dikuasai oleh
disposisi melankolis dan apapun yang sesuai dengan suasana hatinya.
Akan tetapi, melihat bahwa Allah memanggilnya untuk hidup dalam
komunitas, dan bahwa dalam keadaan yang demikian ia akan harus bergaul dengan
orang-orang dari berbagai ragam sifat dan disposisi, ia memohon pertolongan Allah,
dan dengan sungguh berdoa kepadaNya untuk mengubah temperamennya yang kasar
dan keras menjadi lemah lembut dan penuh kasih, dan lalu ia mulai dengan tekad
teguh untuk menekan sifatnya yang meledak-ledak itu. Dengan doa dan usaha, ia
berhasil membuat perubahan begitu rupa hingga ia tampaknya tak lagi merasakan
adanya pencobaan yang menghantar pada kemarahan, dan sifatnya begitu berubah
hingga menjadi sumber dari kebaikan hati, damai wajahnya dan kemanisan
perilakunya, yang memikat hati mereka semua yang mengenalnya.
Sebagai ketentuan, ia menerima mereka semua yang datang ke rumahnya
dengan perkataan yang menyenangkan, penuh hormat dan penghargaan, dengan mana
ia menunjukkan rasa hormatnya kepada mereka dan kegembiraannya bertemu dengan
mereka. Ini ia lakukan terhadap semua, terhadap mereka yang miskin maupun mereka
yang berkedudukan tinggi, dengan senantiasa menyesuaikan diri pada posisi
Kita patut menghadapi semuanya dengan lemah lembut, dan dengan
memperlihatkan ciri-ciri yang terpancar secara alamiah dari hati yang lembut dan
penuh cinta, kasih Kristiani, seperti karamahan, kasih dan kerendahan hati.
Keutamaan-keutamaan ini bekerja secara menakjubkan dalam memenangkan hati
manusia, dan mendorong mereka untuk memeluk hal-hal yang lebih bertentangan
dengan dunia. Terkadang sepatah kata sudahlah cukup untuk menenangkan seorang
yang tengah terbakar amarah, dan sebaliknya sepatah kata dapat menghancurkan
suatu jiwa, dan menanamkan kedalam jiwa suatu kepahitan yang dapat sangat
menyakitkan.
St. Vincentius a Paulo pernah menulis kalimat berikut ini kepada superior
yang mengeluh mengenai salah seorang biarawannya:
“Imam yang tentangnya anda tulis kepada saya adalah seorang yang berbudi luhur dan saleh, dan sebelum ia datang kepada kami, ia sangat dihormati di dunia. Jika sekarang ia agak sedikit tak sabaran, berurusan dengan hal-hal duniawi, terlalu banyak memikirkan sanak kerabat dan bahkan memandang rendah rekan-rekannya, hendaknyalah Anda menghadapinya dengan lemah lembut. Andai tak ada padanya kelemahan-kelemahan ini, mungkin akan ada padanya kelemahan-kelemahan lain, dan jika tak ada yang harus Anda hadapi, belas kasihan anda tiada akan memiliki cukup kesempatan untuk dilatih, pula perilaku Anda dan kepemimpinan Anda tidak akan serupa dengan Kristus Tuhan kita, yang memilih murid-murid yang kasar, dengan berbagai-bagai cacat cela, agar ia dapat mengajar kita melalui praktek keramah-tamahan dan kesabaran dalam menghadapi mereka, bagaimana mereka yang menjabat Superior harus bersikap. Saya memohon dengan sangat Anda membentuk diri Anda seturut teladan kudus ini, dengan mana anda akan belajar untuk tidak hanya menghadapi sesama saudara, melainkan juga membantu mereka dalam membebaskan diri dari ketidaksempurnaan mereka” (“Chatholic Virtues”: www.chatholictradition.org).
Kepada salah seorang dari anggota misi yang sangat enggan berpisah dengan
salah seorang asistennya, ia menulis:
“Aku tak ragu bahwa perpisahan dengan rekan terkasih dan sahabat setia ini pastilah sangat menyakitkan bagimu; tetapi ingat bahwa Tuhan kita
memisahkan diri dari Bunda-Nya sendiri, dan dari para muridNya, yang telah dipersatukan oleh Roh Kudus dengan begitu sempurna, saling terpisah satu sama lain demi pelayanan terhadap Tuan mereka (“CatholicVirtues”: www.catholictradition.org)
Dan satu hal mengenai kelembutan hati ini juga ditegaskannya kepada para
suster puteri kasihnya lewat suratnya kepada mereka:
“Saya menyadari bahwa sewaktu-waktu terdapat ketidakcocokan alamiah yang sulit diatasi. Tetapi, sementara orang-orang dari dunia menuruti saja ketidakcocokan itu, orang-orang Kristiani, terutama puteri kasih, harus menentang dan mengalahkannya, dengan rahmat Tuhan yang senantiasa dimiliki oleh orang-orang yang rendah hati. Dengan demikian kerendahan hati merupakan obat mujarab terhadap perasaan antipati. Karena berkat kerendahan hati itu, kita menjadi lemah lembut dan cenderung menghargai orang lain lebih dari pada diri kita sendiri” (dikutip dari: SV VI, 45- 47).
Santo Vincentius disebut malaikat kedamaian. Ia selalu mengajak orang agar
mereka melatih diri dalam kelembutan hati dan keramahtamahan, katanya:
keutamaan-keutamaan itu membuka hati orang sedangkan kekerasan menutupnya.
Dan karena kesabaran dan keramahtamahannya ia menyelesaikan banyak hal (Petrus,
2008: 132).
Bagi Vincentius, kelembutan hati adalah kemampuan untuk mengatur
kemarahan baik dengan menekan maupun mengungkapkannya, dalam tata perilaku
yang keluar dari cinta kasih. Kelembutan hati itu sopan dan ramah. Kelembutan hati
itu kombinasi kesopansantunan dan ketegasan (Petrus, 2008: 205).
“Penderitaan dunia ini tidak dapat dihindarkan. Jadi atas nama Allah mari kita
terjun ke dalamnya, turun tangan, menghibur dan memberanikan orang” (BBEV: 5
Februari). Petuah Santo Vincentius ini direalisasikan para suster KYM lewat karya
miskin seperti pesan Santo Vincentius dalam Butir-butir Emasnya (BBEV) 13
Februari “Orang miskin adalah majikanku.”
Dalam Buku Pauveribus Misit Me dikatakan bahwa: Suster-suster KYM yang mengaku diri menjadi putri-putri Vincentius juga berani mengikuti jejaknya, warisan
kesederhanaannya memampukan suster-suster KYM hidup sebagai hamba bagi
orang-orang kecil. Berangkat dari diri sendiri yaitu dalam komunitas sendiri. Sikap
hamba direalisasikan lewat persaudaraan dengan menumbuhkan sikap saling
melayani dengan menjadi hamba satu sama lain dan siap sedia menerima tugas
perutusan sekalipun ke tempat yang terpencil. Dasar ini menghantarkan suster-suster
KYM untuk melayani tanpa pamrih, membawa kabar gembira bagi orang-orang
miskin dan terlantar. Semangat ini merupakan warisan turun temurun dari Yesus
kepada Vincentius dijiwai oleh Pastor Antonius Van Erp dan sampai kepada
suster-suster KYM (Laura: 2010: 129).
Yesus juga dalam hidupNya sungguh memberi perhatian pada orang-orang
kecil, miskin dan berdosa. Yesus menegaskan bahwa persembahkan seorang janda
miskin, lebih besar nilainya dari pada apa yang dipersembahkan oleh yang lain (Mrk
12:41-44). Sebab janda itu memberi dari kekurangannya sedangkan yang lain
memberi dari kelebihannya. Dalam peristiwa ini Yesus juga ingin mengangkat
martabat orang kecil. Sungguh, ungkapan Yesus pasti mengejutkan banyak orang.
Karena dengan itulah Yesus ingin mengubah pandangan banyak orang. Yesus ingin
memperlihatkan bahwa orang miskin mempunyai tempat istimewa bagi Allah.
sering tidak diperhitungkan sungguh diteladani oleh Santo Vincentius (Laura: 2010:
129-130).
C. Kelembutan Hati Santo Vincentius A. Paulo dalam mencintai orang miskin