• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.2 Tinjauan tentang Kemitraan

2.2.2 Berbagai Pola, Dampak Positif, Keragaan dan Filosofi

Menurut (Direktorat Pengembangan Usaha, 2002) yang telah dirumuskan dalam SK Menteri Pertanian. Adapun bentuk - bentuk kemitraan yang dimaksud adalah sebagai berikut :

1) Inti Plasma

Menurut penjelasan Pasal 27 huruf (a) Undang - Undang Nomor. 9 Tahun

1995, yang dimaksud dengan pola inti plasma adalah “Hubungan kemitraan

antara usaha kecil dengan usaha menengah atau usaha besar sebagai inti membina dan mengembangkan usaha kecil yang menjadi plasmanya dalam menyediakan lahan, penyediaan sarana produksi, pemberian bimbingan teknis manajemen usaha dan produksi, perolehan, penguasaan dan peningkatan teknologi yang diperlukan bagi peningkatan efisiensi dan produktivitas usaha”. Kerjasama inti plasma diatur melalui suatu perjanjian kerjasama antara pihak inti dan pihak plasma.

Gambar 2.1 Pola Kemitraan Inti - Plasma (Direktorat Pengembangan Usaha, 2002).

2) Subkontrak

Menurut penjelasan Pasal 27 huruf (b) Undang - Undang Nomor. 9 Tahun 1995 bahwa “Pola subkontrak adalah hubungan kemitraan antara Usaha Kecil dengan Usaha Menengah atau Usaha Besar, yang di dalamnya Usaha Kecil memproduksi komponen yang diperlukan oleh Usaha Menengah atau Usaha Besar sebagai bagian dari produksinya.” Dapat pula dikatakan bahwa dalam pola subkontrak, usaha kecil memproduksi barang dan atau jasa yang merupakan komponen atau bagian produksi usaha menengah atau usaha besar.

Gambar 2.2 Pola Kemitraan Subkontrak (Direktorat Pengembangan Usaha, 2002).

3) Dagang Umum

Menurut penjelasan Pasal 27 huruf (c) Undang - Undang Nomor. 9 Tahun 1995, pola dagang umum adalah “Hubungan kemitraan antara Usaha Kecil dengan Usaha Menengah atau Usaha Besar, yang di dalamnya Usaha Menengah atau Usaha Besar memasarkan hasil produksi Usaha Kecil atau Usaha Kecil memasok kebutuhan yang diperlukan oleh Usaha Menengah atau Usaha Besar mitranya.

Gambar 2.3 Pola Kemitraan Dagang Umum (Direktorat Pengembangan Usaha, 2002).

Dalam pola dagang umum, usaha menengah atau usaha besar memasarkan produk atau menerima pasokan dari usaha kecil mitra usahanya untuk memenuhi kebutuhan yang diperlukan oleh usaha menengah atau usaha besar mitranya.

4) Keagenan

Pola kemitraan keagenan merupakan bentuk kemitraan yang terdiri dari pihak perusahaan mitra dan kelompok mitra atau pengusaha kecil mitra. Pihak perusahaan mitra (perusahaan besar) memberikan hak khusus kepada kelompok mitra untuk memasarkan barang atau jasa perusahaan yang dipasok oleh pengusaha besar mitra. perusahaan besar atau menengah bertanggung jawab atas mutu dan volume produk (barang dan jasa), sedangkan usaha kecil mitranya berkewajiban memasarkan produk atau jasa. Di antara pihak - pihak yang bermitra terdapat kesepakatan tentang target - target yang harus dicapai dan besarnya fee atau komisi yang diterima oleh pihak yang memasarkan produk.

5) Kerjasama Operasional Agribisnis

Dalam pola ini, perusahaan mitra akan menyediakan lahan, sarana dan tenaga, biaya atau modal dan sarana kepada kelompok mitra untuk

mengusahakan atau membudidayakan suatu komoditas pertanian yang telah disepakati bersama oleh kedua belah pihak.

Gambar 2.4 Pola Kemitraan Kerjasama Operasional Agribisnis (Direktorat Pengembangan Usaha, 2002).

b. Dampak Positif Kelembagaan Kemitraan

Sumardjo (2004), pengembangan kelembagaan kemitraan dalam sistem

agribisnis ternyata menimbulkan dampak positif bagi keberhasilan

pengembangan sistem agribisnis di masa depan. Dampak positif yang timbul adalah sebagai berikut :

1) Adanya keterpaduan dalam sistem pembinaan yang saling mengisi antara materi pembinaan dengan kebutuhan riil petani. Sistem pembinaan terpadu ini meliputi permodalan, sarana, teknologi, bentuk usaha bersama atau koperasi, dan pemasaran. Kondisi pembinaan yang sinergis juga dapat menimbulkan dampak positif, seperti Sumardjo (2004) :

a) Kepastiaan pemasaran.

b) Komoditas yang bernilai tinggi.

c) Budidaya yang berpedoman dasar pada ketepatan waktu, kontinuitas, volume, dan mutu serta ketepatan ukuran, warna, dan rasa.

d) Kerjasama yang serasi antara pelaku agribisnis hulu - hulu (pengaturan pola tanam atas komoditas primadona) dan hulu hilir (kuantitas dan kualitas).

e) Pengembangan teknologi tepat guna yang sesuai dengan kebutuhan riil. 2) Adanya kerjasama aturan atau kesepakatan sehingga menumbuhkan

kepercayaan dalam hubungan kemitraan bisnis yang ada. Kesepakatan tentang aturan, perubahan harga, dan pembagian hasil harus dibuat adil oleh pihak - pihak yang bermitra. Jika salah satu pihak lemah maka harus ada pihak ketiga yang netral untuk melakukan pengawasan. Dengan demikian tujuan, kepentingan, dan kesinambungan bisnis dari kedua pihak dapat terlaksana dan saling menguntungkan (Sumardjo, 2004).

3) Ada keterkaitan antar pelaku dalam sistem agribisnis (hulu-hilir) yang mempunyai komitmen terhadap kesinambungan bisnis. Komitmen ini menyangkut kualitas dan kualitas serta keinginan saling melestarikan hubungan dengan menjalin kerjasama saling menguntungkan secara adil. Dalam keadaan bisnis yang berkesinambungan, kedua pihak mengalami beberapa hal positif sebagai berikut (Sumardjo, 2004) :

a) Kesinambungan informasi, baik di tingkat hulu maupun hilir.

b) Informasi di tingkat hilir misalnya informasi tentang kebutuhan konsumen dan kualitas produk yang dibutuhkan pasaran. Sementara informasi di tingkat hulu yang dapat diperoleh, misalnya teknologi dan sarana yang sesuai untuk menghasilkan produk yang berkualitas tersebut.

c) Tersedianya sarana secara tepat waktu, baik itu input maupun output yang telah disepakati bersama sesuai dengan periode pergiliran komoditas. d) Terhindarnya manipulasi dari pihak - pihak tertentu yang dapat

menimbulkan penggunaan sarana produksi palsu.

e) Tersedianya modal sesuai dengan kebutuhan dan penggunaan secara efektif.

f) Dapat menghasilkan produk usaha tani yang sesuai dengan kebutuhan pasar.

g) Terjadinya penyerapan tenaga kerja yang cukup banyak dan berkesinambungan di sektor pertanian.

c. Keragaan dan Filosofi Kemitraan Usaha Agribisnis 1) Keragaan Kemitraan Usaha Agribisnis

Dalam era globalisasi, pengembangan kemitraan usaha agribisnis dihadapkan pada beberapa peluang antara lain peningkatkan volume pemasaran, harga jual produk yang lebih kompetitif, harga sarana produksi yang lebih terjangkau, IPTEK yang lebih maju dan efisiensi, dan akses terhadap permodalan yang semakin terbuka. Peluang - peluang tersebut menuntut para pelaku kemitraan usaha agribisnis mampu menghasilkan produk yang memiliki keunggulan kompetitif secara sinergis. Dengan demikian, maka kemitraan usaha agribisnis harus dikembangkan secara efektif dan adil melalui integrasi dan sinkronisasi kegiatan usaha kelompok tani, gapoktan, dan koperasi tani serta pelaku usaha agribisnis lainnya, dimulai dari penyediaan sarana produksi, pelaksanaan usaha budidaya, penanganan pasca panen, pengolahan dan pemasaran baik domestik maupun internasional (Direktorat, Pengembangan Usaha, 2011).

Beberapa kemitraan usaha agribisnis yang berkembang saat ini dilakukan berdasarkan pola hubungan antar pelaku usaha yang satu sama lain tidak memiliki ikatan formal (kontrak atau perjanjian) yang kuat. Hal ini mengakibatkan kurangnya komitmen dari masing - masing pihak yang bermitra. Hubungan kemitraan yang terjadi hanya mengikuti mekanisme pasar secara umum, sehingga setiap pelaku usaha yang bersangkutan hanya memikirkan kepentingan dirinya sendiri. Dalam kondisi tersebut, pelaku kemitraan seolah tidak menyadari bahwa sebenarnya mereka saling membutuhkan (Direktorat, Pengembangan Usaha, 2011).

Sebagai ilustrasi dari pola hubungan diatas, misalnya model kemitraan pada agribisnis sayuran antara petani dengan pasar swalayan. Manfaat dari program kemitraan tersebut belum mampu meningkatkan secara mendasar ketidakberdayaan petani, kelompok tani, dan gapoktan sebagai produsen sayuran. Perlakuan yang diterima sebagian produsen sayuran tersebut terkadang hanya bersifat produsen semata, belum sebagai produsen sekaligus pemasok. Dalam pada itu, pihak petani, kelompok tani, dan gapoktan juga sering tidak menepati komitmen. Pada saat harga diluar lebih tinggi, kadang - kadang pihak petani secara diam - diam menjual kepada pihak lain diluar sistem kemitraan yang dibangun. Namun demikian, banyak juga kemitraan usaha agribisnis yang telah berhasil. Kemitraan usaha agribisnis ini dikembangkan berdasarkan sinergi dan kesadaran saling membutuhkan dan saling memperkuat pada masing - masing pihak yang bermitra, sehingga menjadi kerja sama bisnis yang berkesinambungan. Sebagai contoh adalah kemitraan petani sayuran dan buah - buahan dengan pengusaha eksportir. Sinergi yang dibangun dalam bentuk, petani menyediakan lahan, sarana dan tenaga kerja, sedangkan pengusaha eksportir menyediakan modal, bimbingan teknis dan jaminan pemasaran. Hal ini dapat terwujud apabila sistem kemitraan dilaksanakan dengan baik dan konsisten (Direktorat, Pengembangan Usaha, 2011).

2) Filosofi Kemitraan Usaha Agribisnis

Konsep dasar kemitraan sebenarnya telah tercantum dalam Undang - Undang Nomor 9 tahun 1995 yang menyebutkan, “kerja sama antara usaha kecil dengan usaha besar disertai pembinaan dan pengembangan yang berkelanjutan oleh usaha menengah atau usaha besar dengan memperhatikan prinsip saling memerlukan, saling memperkuat dan saling menguntungkan”. Konsep tersebut diperjelas pada Peraturan Pemerintah Nomor 44 tahun 1997 yang menjelaskan bahwa bentuk kemitraan yang ideal adalah saling memperkuat, saling

menguntungkan, dan saling menghidupi. Tujuan kemitraan ialah meningkatkan kualitas sumber daya dan usaha kelompok mitra, meningkatkan pendapatan atau keuntungan masing - masing pihak yang bermitra (Direktorat, Pengembangan Usaha, 2011).

a) Azas Kemitraan Usaha Agribisnis

Kemitraan yang tercantum dalam UU No. 9 Tahun 1995 mengandung makna sebagai tanggung jawab moral. Pengusaha menengah atau besar melakukan bimbingan dan pembinaan kepada pengusaha kecil mitranya, dalam hal ini adalah kelompok tani atau gapoktan dan kopersai tani agar mampu mengembangkan usahanya, sehingga mampu menjadi mitra yang handal untuk meraih keuntungan dan kesejahteraan bersama. Hal ini berarti, masing - masing pihak yang bermitra harus menyadari bahwa memiliki perbedaan dan keterbatsan, baik dibidang manajemen, penguasa IPTEK maupun sumber daya, sehingga harus mampu saling mengisi dan melengkapi kekurangan masing - masing.

Azas kemitraan yang dikembangkan harus menjamin terciptanya suasana adil, keseimbangan, keselaraan, dan keterpaduan dangan penjabaran sebagai berikut (Direktorat, Pengembangan Usaha, 2011).

(1) Kedudukan antara kelompok tani atau gapoktan dan koperasi tani sebagai kelompok mitra dengan perusahaan mitra haruslah setara dan menghindari adanya hubungan seperti atasan dan bawahan.

(2) Saling percaya dengan cara memegang teguh komitmen kesepakatan dalam kontrak atau perjanjian kerjasama antara para pihak.

(3) Saling menguntungkan secara adil bagi kelompok mitra dan perusahaan mitra.

(4) Saling memegang dan mematuhi etika bisnis, antara lain dengan mematuhi dan melaksanakan secara konsisten kesepakatan yang telah ditetapkan bersama.

(5) Saling memberikan masukan yang konstruktif, dengan cara melakukan koordinasi, komunikasi, evaluasi dan monitoring, serta keterbukaan dari masing - masing pihak.

(6) Saling memerlukan, dalam arti perusahaan mitra memerlukan produk atau jasa dari kelompok mitra, sedangkan kelompok mitra memerlukan modal, jaminan pemasaran, dan bimbingan atau pembinaan.

b) Konsep Kemitraan Usaha Agribisnis

Kemitraan usaha agribisnis merupakan strategi bisnis yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih dalam jangka waktu tertentu untuk meraih keuntungan bersama dengan prinsip saling membutuhkan dan saling membesarkan. Karena merupakan suatu strategi bisnis, maka keberhasilan kemitraan sangat ditentukan oleh adanya kepatuhan antara yang bermitra dalam menjalankan perannya

masing – masing dengan berpegang kepada etika bisnis. Hal ini berarti, pelaku

usaha agribisnis yang terlibat langsung dalam kemitraan harus memiliki dasar –

dasar etika bisnis yang dipahami bersama dan dianut bersama sebagai titik dalam menjalankan kemitraan. Pemahaman etika bisnis sebagai landasan moral dalam melaksanakan kemitraan usaha agribisnis merupakan suatu solusi dalam mengatasi kurang berhasilnya kemitraan yang ada selama ini. Terdapat enam dasar etika bisnis yang dapat menjadi penopang dalam membangun suatu kemitraan. Keenam dasar etika bisnis tersebut ialah (Direktorat, Pengembangan Usaha, 2011) :

(1) Karakter, integritas, dan kejujuran. (2) Kepercaayaan.

(4) Semangat kebersamaan antara pihak yang bermitra. (5) Keseimbangan antara insentif dan resiko.

Apabila pemahaman etika bisnis telah diterapkan sebagai landasan awal dalam pelaksanaan kemitraan,selanjutnya kemitraan usaha agribisnis dapat dilaksanakan sebagai suatu proses. Proses yang dimulai dengan perencanaan, kemudian rencana tersebut diimplementasikan dan selanjutnya dimonitor serta dievaluasi secara terus menerus oleh pihak - pihak yang bermitra. Dengan demikian, terjadi alur tahapan pekerjaan yang jelas dan teratur sesuai dengan sasaran yang ingin dicapai. Oleh karena kemitraan merupakan suatu proses, maka keberhasilannya secara optimal tentu tidak selalu dapat dicapai dalam waktu yang singkat. Keberhasilan suatu kemitraan diukur dengan pencapaian nilai tambah yang diperoleh oleh pihak yang bermitra dari berbagai aspek seperti manajemen, teknologi, permodalan, pemasaran, dan pendapatan. Besarnya nilai tambah yang diperoleh akan tergantung pasa sejauh mana kemampuan untuk mengembangkan strategi yang disusun secara bersama dan dilaksanakan secara konsisten sesuai peran masing - masing pihak (Direktorat, Pengembangan Usaha, 2011).

Hubungan kemitraan akan berkesinambungan apabila hasil kerjasama terjadi secara berulang - ulang dan saling menguntungkan secara adil. Proses tersebut terus dilakukan sampai melahirkan suatu aturan norma hubungan bisnis dalam pola perilaku pelaku kemitraan, sehingga tercipta hubungan kemitraan yang melembaga dan berkelanjutan. Salah satu bentuk interaksi yang positif antara kelompok mitra dengan perusahan mitra dapat dilihat pada Gambar 2.5 dimana terjadi proses perkembangan kemitraan dari tipe A yaitu perusahaan mitra yang bekerjasama dengan beberapa kelompok tani. Kemudian, berubah menjadi tipe B yaitu terjadi hubungan yang lebih erat antara kelompok - kelompok tani tersebut menjadi gapoktan yang merupakan kelompok mitra yang

mengadakan kemitraan dengan perusahaan mitra (Direktorat, Pengembangan Usaha, 2011).

Gambar 2.5 Salah Satu Interasi Positif antara Kelompok Mitra dan Perusahaan Mitra dalam Kemitraan (Direktorat Pengembangan Usaha, 2011).

Pelaksanaan hubungan kemitraan melibatkan kelompok mitra dan perusahan mitra yang berlangsung dalam suatu sistem kerjasama usaha yang harus memiliki unsur - unsur sebagai berikut (Direktorat, Pengembangan Usaha, 2011) :

(1) Input, yaitu sumberdaya alam yang digerakkan oleh sumberdaya manusia. (2) Output berupa produk dan pelayanan atau jasa.

(3) Teknologi meliputi metode dan proses yang dapat mengubah input menjadi output.

(4) Lingkungan, yaitu keadaan di sekitar kelompok mitra dan perusahaan mitra. (5) Keinginan, yaitu strategi, tujuan, rencana dari pihak yang bermitra.

(6) Perilaku, yaitu hubungan antar kelompok atau organisasi.

(7) Budaya, berupa norma, kepercayaan dan nilai - nilai yang berlaku dalam kelompok mitra dan perusahaan mitra.

Dasar hukum yang dapat dijadikan acuan dalam melakukan hubungan kemitraan bagi kelompok mitra dan perusahaan mitra antara lain (Direktorat, Pengembangan Usaha, 2011) :

(1) UU No. 9 tahun 1995 tentang usaha kecil, yang menerangkan bahwa kemitraan adalah kerja sama usaha kecil dengan uasaha menengah atau dengan usaha besar disertai pembinaan dan pengembangan yang

berkelanjutan oleh usaha menengah atau usaha besar dengan

memperhatikan prinsip saling memerlukan, saling memperkuat dan saling menguntungkan.

(2) PP Republik Indonesia No. 44 tahun 1997 tentang kemitraan, yang menjelaskan bahwa kemitraan ditujukan untuk meningkatkan kemampuan dan meningkatkan peranan usaha kecil sebagai usaha yang tangguh dan mandiri, yang mampu menjadi tulang punggung dan mampu memperkokoh struktur perekonomian nasional.

(3) Keputusan Menteri Pertanian No. 940/Kpts/OT.210/9/97 tentang pedoman kemitraan usaha pertanian, yang menerangkan bahwa bentuk kemitraan yang ideal adalah saling memperkuat, saling menguntungkan, dan saling menghidupi, yang bertujuan meningkatkan pendapatan, kesinambungan usaha, meningkatkan kualitas sumber daya kelompok mitra, peningkatan skala usaha, serta menumbuhkan dan meningkatkan kemampuan usaha kelompok usaha mandiri.

(4) Keputusan Menteri Pertanian No.940/Kpts/OT.210/9/97 tentang pedoman penetapan tingkat hubungan kemitraan usaha pertanian, merupakan petunjuk untuk melakukan hubungan kemitraan bagi petani dan pengusaha akan semakin jelas, serta kedudukan dan posisi masing - masing pihak pada tingkat - tingkat hubungan kemitraan lebih dapat dipahami.

2.2.3 Proses dan Hambatan Pengembangan Kemitraan

Dokumen terkait