• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.3 Evaluasi Mekanisme Pembayaran Jasa Lingkungan Air di TNGGP

5.3.1 Berdasarkan definisi Wunder (2005)

Konsep mekanisme pembayaran jasa lingkungan air di kawasan TNGGP dievaluasi berdasarkan definisi Wunder (2005) dan literatur lainnya. Wunder (2005), mengklasifikasikan lima kriteria untuk mendeskripsikan prinsip-prinsip pembayaran jasa lingkungan, yaitu transaksi secara sukarela; jasa lingkungan yang terdefinisi secara baik; pembeli jasa lingkungan; penyedia jasa lingkungan; serta jaminan ketersediaan jasa lingkungan oleh penyedia. Berdasarkan lima kriteria tersebut, perkembangan mekanisme pembayaran jasa lingkungan di kawasan TNGGP dapat terdefinisi sebagai berikut:

1. Transaksi secara sukarela

Transaksi secara sukarela didefinisikan sebagai perjanjian tanpa tekanan, yang dibedakan melalui “command and control” (Prasetyo et al. 2009). Dalam mekanisme pembayaran jasa lingkungan air yang dilakukan di TNGGP, transaksi antara penyedia dan pembeli jasa dapat dikatakan sebagai transaksi yang bersifat sukarela. Belum terdapat aturan yang secara jelas mengikat para pemanfaat air dari kawasan taman nasional untuk memberikan kontribusi berupa iuran maupun retribusi. Aturan yang dijadikan acuan hanya berupa MoU kerjasama kemitraan antara Forpela TNGGP dengan BB TNGGP serta AD/ART Forpela TNGGP. Pemanfaat air yang tergabung dalam keanggotaan Forpela TNGGP memberikan kontribusi secara sukarela. Walaupun terdapat beberapa kesepakatan yang diacu dalam mekanisme ini, dalam pelaksanaannya tetap menggunakan prinsip sukarela.

Transaksi yang dilakukan antara pemanfaat dan penyedia jasa didasarkan pada kesadaran para pemanfaat akan kebutuhan sumberdaya air. Pemanfaat air memberikan apresiasi terhadap penyedia jasa dengan memberikan kontribusi melalui keanggotaan Forpela TNGGP. Transaksi dilakukan dengan memberikan bantuan berupa kebutuhan masyarakat dan inkubasi usaha untuk masyarakat. Transaksi tersebut diatur dalam naskah kesepahaman dan rencana aksi pembangunan model desa konservasi melalui pengembangan desa produktif unggulan antara MDK dan Forpela TNGGP.

2. Jasa lingkungan yang terdefinisi secara baik

Jasa lingkungan yang didefinisikan dalam mekanisme ini adalah nilai dan jasa ekosistem hutan untuk menghasilkan air. Kawasan TNGGP berperan

menghasilkan air bagi 103 pemanfaat air baik komersial maupun non komersial (USAID 2009). Pemanfaat air mengambil air langsung dari kawasan ini untuk kebutuhan usaha mereka.

Berdasarkan hasil wawancara terhadap lima pemanfaat air, empat dari lima pemanfaat telah mengetahui peran kawasan TNGGP untuk menghasilkan air. Sebanyak empat pemanfaat dapat menjelaskan manfaat air tersebut bagi perusahaan/instansi mereka. Selain para pemanfaat, anggota kelompok tani di desa Tangkil dan Cinagara secara umum telah mengetahui peranan hutan dalam menghasilkan air. Berdasarkan hasil wawancara, sebanyak 19 dari 24 orang responden mengetahui dan dapat menyebutkan manfaat hutan untuk menghasilkan air. Responden juga dapat menyebutkan hal-hal yang harus dilakukan untuk menjaga ketersediaan air. Namun, yang terjadi justru sebaliknya, sebagian masyarakat belum merubah perilaku mereka terhadap sumber air yang berasal dari kawasan TNGGP. Sebagian masyarakat kampung Pojok desa Cinagara khususnya masih melakukan kegiatan MCK di sungai Cinagara.

Disamping itu, dalam mekanisme pembayaran jasa lingkungan air yang berjalan, belum dilakukan pengukuran secara pasti terhadap debit air yang diterima oleh para pemanfaat. Mereka berpendapat bahwa air yang disediakan oleh alam dapat dimanfaatkan sesuai dengan keinginan mereka. Selain itu, dua pemanfaat juga menganggap mereka memasang instalasi air sendiri untuk memperoleh air. Hal ini menyebabkan dua dari lima pemanfaat yang diwawancarai pada akhirnya belum mengambil inisiatif untuk memberikan kontribusi terhadap jasa air yang dihasilkan hutan. Sejalan dengan pendapat Chomitz dan Kumari (1998) bahwa meskipun diketahui hutan mampu menyediakan jasa lingkungan air, tetapi hubungan antara hutan dan jasa lingkungan air baik secara kualitatif maupun kuantitatif seringkali tidak dipahami. 3. Pembeli jasa lingkungan

Pembeli dan penjual jasa lingkungan merupakan yang memiliki kontrol terhadap sumberdaya yang menghasilkan jasa (Prasetyo et al. 2009). Menurut Leimona et al. (2011), pemanfaat jasa lingkungan adalah (a) perorangan; (b) kelompok masyarakat; (c) perkumpulan; (d) badan usaha; (e) pemerintah daerah; (f) pemerintah pusat, yang memiliki segala bentuk usaha yang memanfaatkan

potensi jasa lingkungan dengan tidak merusak lingkungan dan tidak mengurangi fungsi pokoknya. Pembeli jasa yang terdefinisi dalam mekanisme ini adalah para pemanfaat air dari kawasan TNGGP. Pembeli jasa yang terdefinisi merupakan pemanfaat yang telah bergabung dengan Forpela TNGGP atau pemanfaat lain yang memiliki MoU kemitraan dengan pihak BB TNGGP. Pemanfaat lainnya yang berada di luar kedua hal tersebut belum menjadi pembeli jasa.

Dalam mekanisme ini, pembeli jasa belum memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kontribusi dana untuk penerapan mekanisme. Ada pihak lain seperti ESP-USAID dan YBUL yang menjadi donor dalam penerapan mekanisme ini. Hal ini sependapat dengan Wunder (2005) yang menyebutkan bahwa kontribusi dana seringkali berasal dari donor daripada pemanfaat jasa lingkungan. 4. Penyedia jasa lingkungan

Penyedia jasa lingkungan adalah (a) perorangan; (b) kelompok masyarakat; (c) perkumpulan; (d) badan usaha; (e) pemerintah daerah; (f) pemerintah pusat, yang mengelola lahan yang menghasilkan jasa lingkungan serta memiliki ijin atau alas hak atas lahan tersebut dari instansi berwenang (Leimona et al. 2011). Penyedia jasa yang terdefinisi dalam mekanisme ini adalah ekosistem hutan TNGGP yang berperan dalam menghasilkan jasa air. BB TNGGP selaku pengelola kawasan seharusnya menjadi merupakan penyedia jasa lingkungan dalam mekanisme ini. Namun, BB TNGGP tidak dapat mengelola dana kontribusi dari pemanfaat-pemanfaat air. Penyedia jasa seringkali terlihat tidak jelas (Wunder 2005). Kemudian, dilakukan pendekatan lain oleh Forpela TNGGP. Forpela TNGGP dan BB TNGGP mencoba menfasilitasi daerah penyangga kawasan untuk mendukung perlindungan dan pelestarian kawasan konservasi. Hal ini kemudian menempatkan anggota KT Saluyu, KT Garuda Ngupuk dan KSM Cinagara Asri dan MDK lainnya sebagai penyedia jasa.

Ketua maupun anggota kelompok-kelompok tani tersebut belum memahami tentang konsep pembayaran jasa lingkungan air yang dilakukan. Dua dari tiga ketua kelompok tani yang diwawancarai menyatakan kurang paham tentang konsep pembayaran jasa lingkungan air yang dilakukan. Ketua kelompok tani hanya menjalankan penerapan mekanisme tersebut. Responden yang terdiri dari anggota KT hanya mengetahui sebatas iuran yang harus dijalankan dan program

pelatihan-pelatihan usaha yang telah dijalankan. Sebanyak 17 dari 24 orang responden yang secara umum mengetahui penerapan mekanisme ini.

Mayoritas anggota KT di kedua desa merupakan petani sawah dan ladang. Mereka belum melakukan teknik pertanian untuk meningkatkan penyediaan jasa lingkungan. Penerapan mekanisme pembayaran jasa lingkungan dilakukan melalui inkubasi usaha.

5. Jaminan ketersediaan jasa lingkungan oleh penyedia

Wunder (2005) menyebutkan bahwa kriteria yang paling sulit untuk dilaksanakan adalah adalah persayaratan: banyak mekanisme yang kurang monitoring atau tidak termonitor sama sekali, pembayaran dilakukan di awal perjanjian, para pihak dibuat percaya terhadap mekanisme daripada benar-benar melakukan monitoring terhadap ketersediaan jasa.

Forpela TNGGP menerapkan perioditas kegiatan 3 tahunan dan periode terakhir berakhir di tahun 2009 (Forpela TNGGP 2009). Selama kurun waktu tersebut penyedia jasa seharusnya dapat memberikan jaminan ketersediaan jasa kepada para pemanfaat. Prasetyo et al. (2009) menyatakan, pembayaran jasa lingkungan dapat terus berlangsung, jika dan hanya jika penyedia jasa menyediakan jasa secara terus menerus. Berdasarkan hasil wawancara terhadap para pemanfaat, jasa lingkungan air tersebut masih tersedia dan dapat dimanfaatkan dengan baik oleh para pemanfaat. Namun, baik penyedia dan pemanfaat kurang melakukan kontribusi terhadap mekanisme itu sendiri.

Mekanisme pembayaran jasa lingkungan tersebut berjalan dengan sendirinya tanpa adanya penegakan mekanisme, seperti disinsentif pembayaran. Wunder (2008) menyebutkan, beberapa skema pembayaran jasa lingkungan berlangsung sendirinya, umumnya pada inisiatif dilakukan oleh pembeli jasa lingkungan atau perantara seperti lembaga non-pemerintahan (LSM). Hal ini dikarenakan pendekatan yang dilakukan saat penerapan mekanisme ini adalah melalui pemberian bantuan kepada anggota kelompok tani. Pendekatan yang dilakukan belum pada tingkat reward and punishment. Penyedia jasa belum dituntut untuk menyediakan jasa terlebih dahulu sebelum jasa itu dibayarkan. Selain itu, pembayaran (pemberian bantuan) dilakukan pada masa awal mekanisme.

Berdasarkan pengertian Wunder (2005) tersebut, mekanisme yang berjalan di kawasan TNGGP memenuhi empat dari lima kriteria. Lebih lanjut lagi, Wunder (2008) menyebutkan bahwa mekanisme yang memenuhi hampir semua kriteria termasuk pada mekanisme “PES-like”.

Wunder (2008) lebih lanjut menyebutkan, skema “PES-like” lainnya

dijalankan oleh lembaga pemerintah, yang berperan sebagai pembeli atas nama pengguna jasa lingkungan. Dalam mekanisme ini, terdapat dua instansi pemerintah yang berperan sebagai pembeli jasa lingkungan. Selain itu, ekosistem kawasan TNGGP juga dikelola oleh pemerintah (BB TNGGP).

Wunder (2008) menyebutkan, skema tersebut memiliki cakupan wilayah yang lebih luas dan cenderung menggabungkan beberapa jasa lainnya, serta mengutamakan berbagai tujuan lainnya (pengentasan kemiskinan, pengembangan sektoral dan regional). Hal ini yang coba dijalankan di TNGGP. USAID (2009) menyatakan bahwa Forpela TNGGP memiliki skema yang berbeda, yaitu skema yang melakukan upaya konservasi taman nasional serta memperbaiki kesejahteraan masyarakat daerah penyangga. Skema ini dijalankan melalui pengembangan potensi lokal desa penyangga dengan menekankan adanya manfaat berkelanjutan yang diperoleh masyarakat desa penyangga.

Wunder dan Wertz-Kanounnikoff (2009) menyebutkan bahwa konteks PES yang dilakukan di kawasan konservasi dapat disesuaikan pada beberapa kondisi tertentu, tetapi tetap membutuhkan perhatian khusus.