• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

2.2 Pembayaran Jasa Lingkungan

Pembayaran jasa lingkungan merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan posisi tawar jasa lingkungan. Pembayaran jasa lingkungan merupakan pemberian penghargaan berupa pembayaran, kemudahan, keringanan kepada pelaku pengelola penghasil jasa lingkungan dari suatu kawasan hutan, lahan atau ekosistem (Suprayitno 2008). Wunder (2005) menyatakan pembayaran jasa lingkungan (Payment for Environmental Services) sebagai “a voluntary transaction where a well-defined ES (or land-use likely to secure that service) is

being ‘bought’ by a (minimum one) ES buyer from (minimum one) ES provider if and only if ES provider secures ES provision (conditionally)....” Berdasarkan

definisi tersebut, terlihat adanya beberapa pihak yang berkaitan dengan pembayaran jasa lingkungan, yaitu penyedia jasa, pembeli jasa serta perantara diantara keduanya.

Wunder (2008) membagi skema PES menjadi tiga bagian, yaitu skema PES murni, skema “PES-like”, dan insentif ekonomi lainnya (Gambar 2). Skema

“PES-like “ lebih banyak diterapkan dibandingkan dengan skema PES murni. Skema “PES-like” memenuhi kriteria-kriteria PES menurut Wunder (2005) tetapi tidak semua kriteria.

Sumber: Wunder (2008)

Gambar 2 Pembagian skema PES.

CIFOR (2008) menyatakan bahwa terdapat hal-hal yang membuat skema “PES-like” lebih dominan dibandingkan skema PES murni. Hal-hal tersebut diilustrasikan dengan membahas masing-masing kriteria, yaitu:

1. Pertama, PES memiliki konsep sukarela, kerangka negosiasi, dimana hal ini

membedakan PES dari pendekatan “command and control”. Hal ini

mensyaratkan bahwa penyedia potensial benar-benar memiliki pilihan dalam penggunaan lahan, walaupun tidak pada setiap kasus.

2. Kedua, jasa yang dibeli harus didefinisikan dengan baik. Pada kenyataannya, apa yang dipikirkan untuk menyediakan jasa seringkali tidak dapat dibuktikan secara ilmiah, dan bahkan kadang tidak mungkin, khususnya ketika hal itu berasal dari proses hidrologi.

3. Ketiga, terdapat minimum satu pembeli jasa

4. Keempat, terdapat minimum satu penyedia jasa. Bagaimanapun, pada praktiknya beberapa inisiatif dibiayai oleh donor lain daripada pembeli jasa, sementara yang lainnya membayar penyedia jasa tetapi menggunakan

sumberdaya tersebut untuk aktivitas proyek dibandingkan pembayaran kepada penyedia jasa.

5. Kelima, pada skema PES, pembayaran oleh pengguna tergantung pada keberlanjutan penyediaan jasa. Kriteria persyaratan ini sangat sulit dilakukan, dan di beberapa negara berkembang, bisnis ini seperti fitur PES, dimana hal itu berarti “anda membayar apa yang anda dapatkan”, meningkatkan substansi resistensi politik.

Wunder (2008) menyebutkan bahwa kelima kriteria PES digunakan di beberapa skema yang sebenarnya, tetapi penerapan dari skema “PES-like

memenuhi hampir keseluruhan kriteria-lebih banyak jumlahnya. Beberapa skema PES berlangsung sendirinya, umumnya pada inisiatif dilakukan oleh pembeli jasa lingkungan atau perantara seperti lembaga non-pemerintahan (LSM).

Wunder (2008) lebih lanjut menyebutkan, skema “PES-like” lainnya

dijalankan oleh lembaga pemerintah, yang berperan sebagai pembeli atas nama pengguna jasa lingkungan. Skema tersebut memiliki cakupan wilayah yang lebih luas dan cenderung menggabungkan beberapa jasa lainnya, serta mengutamakan berbagai tujuan lainnya (pengentasan kemiskinan, pengembangan sektoral dan regional). Hal ini didukung oleh dukungan politik, tetapi mungkin akan membahayakan keefektifan dalam mencapai tujuan lingkungan mereka.

Wunder dan Wertz-Kanounnikoff (2009) menyebutkan bahwa konteks PES yang dilakukan di kawasan konservasi dapat disesuaikan pada beberapa kondisi tertentu, tetapi tetap membutuhkan perhatian khusus. Secara pribadi, komunitas dan masyarakat lokal menyediakan, pilihan-pilihan penggunaan lahan biasanya secara hukum kurang dibatasi, sehingga PES dapat diaplikasikan untuk mempengaruhi pilihan manajemen sumberdaya secara sukarela. Kawasan konservasi, bagaimanapun, sudah diutamakan untuk dijaga secara ketat, dimana pada dasarnya membuat PES tidak dapat digunakan.

Wunder dan Wertz-Kanounnikoff (2009) juga menyebutkan, pembayaran di kawasan konservasi bisa disesuaikan dalam kasus-kasus khusus berikut: (a) dalam penggunaan kawasan konservasi secara berkelanjutan dimana jarak yang legal atau toleransi dari pilihan penggunaaan lahan berada (pilot PES berada pada pengaturan-pengaturan tertentu); (b) ketika kawasan konservasi sudah

dideklarasikan “di atas” tanah-tanah pribadi atau komunal sebelumnya, atau (c) ketika potensi “command and control” secara de facto mendekati nol. Bagaimanapun, walau dibawah keadaan yang bertentangan, insentif dari konteks PES di kawasan konservasi berpotensi untuk dapat ditingkatkan. Misalnya, aksi dari pembayaran penghuni liar illegal yang tidak menebang menciptakan dilema keadilan, tuntutan hukunan bagi yang suka menentang (mendorong harapan bahwa menghindari aktivitas-aktivitas ilegal layak mendapat kompensasi) dan “magnet” efek demografi (pembayaran bahkan menarik lebih banyak penghuni liar).

Penggunaan PES sebagai cara untuk meningkatkan nilai baru bagi manajemen kawasan konservasi mungkin adalah sebuah pilihan, tetapi hal tersebut tidak jauh berbeda dari ide asli PES sebagai kompensasi penyedia jasa yang menanggung biaya konservasi. Ketika pendekatan “command and control

dan PES dapat dikombinasikan di beberapa kasus (Wunder & Wertz- Kanounnikoff 2009).

Rosa et al. (2003) menekankan bahwa prinsip yang paling penting dalam menentukan mekanisme pembayaran dan imbal jasa lingkungan adalah keterlibatan jangka panjang masyarakat sebagai penyedia jasa lingkungan. Tujuan pembayaran finansial dan non finansial jasa lingkungan adalah sebagai alternatif sistem produksi dan pengelolaan lahan yang lebih ramah lingkungan, sebagai upaya meningkatkan kesejahteraan pengelola lahan, sebagai upaya perlindungan lingkungan serta pengelolaan sumber daya alam untuk pembangunan ekonomi dan sosial yang lestari (Leimona et al. 2011).

Landell-Mills dan Porras (2002) menjelaskan beberapa mekanisme pembayaran jasa lingkungan yang diterapkan di dunia, yaitu:

1. Direct negotiation, yaitu transaksi langsung antara penyedia dan pengguna jasa lingkungan. Pada umumnya, hal ini tercakup dalam suatu proyek pembangunan lingkungan. Hal ini seringkali menghasilkan proses negosiasi yang panjang. 2. Intermediary-based transaction. Dalam proses ini, fasilitator berperan agar

mengurangi biaya transaksi dengan cara mencari informasi, bernegosiasi, dan menyelesaikan proses transaksi. Fasilitator juga berperan mengurangi resiko

kegagalan dengan membangun kapasitas masyarakat, mencari partner yang tepat, serta mengidentifikasi masalah yang ada.

3. Pooled transaction, yaitu pendekatan yang mengandung resiko transaksi dengan membagikan investasi melalui beberapa pengguna jasa lingkungan. 4. Joint venture, yaitu mekanisme yang melibatkan investor yang menawarkan

input yang seimbang untuk memulai suatu perusahaan dan menyalurkan imbalan bagi lingkungan melalui perusahaan tersebut. Imbalan tersebut berbentuk bagi keuntungan, konsultasi teknis, dana langsung, dan lain-lain. 5. Retail based traders, yaitu imbalan jasa lingkungan yang terdapat pada produk

pasar dan jasa.

6. Internal traiding, yaitu transaksi antar departemen dalam suatu organisasi. 7. Over the conter traders/users fees. Jasa lingkungan dikemas terlebih dahulu

dalam menjalankan mekanisme ini.

Cahyono dan Suyanto (2006) menyatakan, imbal jasa multifungsi DAS mensyaratkan pemanfaat jasa membayar jasa yang diterimanya kepada penyedia jasa. Selain itu, jasa yang akan dibayarkan oleh penerima jasa kepada penyedia jasa harus disepakati terlebih dahulu. Penyedia jasa pun harus dapat memastikan bahwa jasa tersebut merupakan hasil pengelolaannya dan ketersediaannya tergantung pada keputusan yang diambil oleh penyedia jasa.

Gouyon (2004), membagi imbalan berkaitan dengan jasa lingkungan dalam tiga kategori yaitu :

1. Imbalan berupa pembiayaan langsung, seperti pemberian subsidi atas pertukaran suatu perubahan tata guna lahan.

2. Imbalan non finansial, misalnya penyediaan infrastruktur, pelatihan, manfaat atau jasa-jasa lainnya bagi pihak yang menyediakan jasa lingkungan.

3. Akses ke sumberdaya atau pasar, seperti pemilikan lahan, atau akses pasar yang lebih baik dengan sertifikasi jasa lingkungan atau dengan skema alokasi kontrak publik.

Waage dan Stewart (2007), menyebutkan empat prasyarat keberhasilan mekanisme pembayaran jasa lingkungan yang berjalan, yaitu :

1. Jasa lingkungan yang benar-benar dipahami oleh seluruh pemangku kepentingan serta adanya kemamapuan teknis pengelolaannya.

2. Informasi pasar yang mudah dipahami dan mudah diakses siapapun (transparan dan akuntabel).

3. Kerangka hukum yang suportif serta adanya lembaga pengawas yang kredibel. 4. Selalu bersedia melakukan perbaikan mekanisme apabila ada keberatan atau

kritik.

2.3 Peraturan Perundang-undangan tentang Pembayaran Jasa Lingkungan