• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

2.5 Penelitian Terdahulu

2.5.1 Jasa lingkungan di TNGGP

Karya ilmiah mengenai peningkatan kualitas jasa lingkungan TNGGP melalui Payment for Environmental Services (PES), pernah dilakukan oleh Sudrajat et al. (2009). Sudrajat et al. (2009) menyebutkan bahwa pemilik villa, perkebunan teh dan instansi pembangkit listrik pun harus turut membayar jasa air dari TNGGP yang dimanfaatkan. Dana yang diperoleh dari hasil pembayaran jasa lingkungan tersebut dikelola oleh suatu badan/lembaga yang dibentuk khusus untuk mengatasi masalah lingkungan. Dana yang terkumpul tersebut akan digunakan untuk pengelolaan TNGGP untuk penjagaan kualitas lingkungan di kawasan.

Lebih lanjut lagi, Sudrajat et al. (2009) menyebutkan pembayaran jasa lingkungan tersebut dapat dimanfaatkan untuk biaya reboisasi, manajemen pengelolaan, biaya informasi, dan biaya promosi. Dengan adanya mekanisme tersebut, maka kualitas lingkungan TNGGP tetap terjaga. Selain itu, manfaat jasa yang dihasilkan oleh TNGGP dapat terus ditingkatkan. Artinya, pembayaran jasa lingkungan berkorelasi positif dengan peningkatan jasa lingkungan.

Penelitian lainnya mengenai pembayaran jasa lingkungan di kawasan tersebut adalah Sutopo (2011). Penelitian ini ditekankan pada pengembangan kebijakan pembayaran jasa lingkungan dalam pengelolaan air minum yang mengambil lokasi studi di DAS Cisadane Hulu. Penelitian ini menyebutkan tingkat apresiasi masyarakat terhadap pembayaran jasa lingkungan mencapai 54,3% dan sebanyak 61,1% perusahaan pemanfaat air minum bersedia membayar jasa lingkungan. Selain itu, penelitian ini juga mengasilkan rataan kesediaan perusahaan membayar (WTP) sebesar Rp 1.538,65/m3 dan kesediaan menerima pembayaran jasa lingkungan (WTA) sebesar Rp 1.589,29/m3. Berdasarkan hasil tersebut, maka rataan yang digunakan sebagai dasar pembayaran jasa lingkungan adalah sebesar Rp 1.563,97/m3.

2.5.2 Penerapan pembayaran jasa lingkungan di indonesia (studi kasus di beberapa DAS)

Budhi et al. (2008) melakukan penelitian mengenai konsep dan penerapan dari program pembayaran jasa lingkungan di DAS Cidanau. Hasil dari penelitian tersebut menyebutkan bahwa penerapan pembayaran jasa lingkungan di DAS Cidanau dimotivasi oleh gangguan yang merusak daerah tangkapan air dan penggunaan pupuk dan pestisida pada pertanian yang mencemari air. Faktor lain adalah kebutuhan akan ketersediaan air yang diketahui telah mengalami fluktuasi pada beberapa tahun terakhir.

Mekanisme ini diagggap penting diterapkan untuk mengatasi masalah air. Selain itu, banyak perusahaan yang setuju untuk membayar sejumlah kompensasi kepada masyarakat hulu. Namun, penerapan dari program tersebut tidak mudah. PT KTI sebagai perusahaan air kemudian siap mendanai penerapan tersebut sebagai uji coba PES. PT KTI mendanai komunitas hulu dari DAS Cidanau untuk menanam pohon dan menggunakan teknik konservasi pada pertanian mereka. Skema pembayaran jasa lingkungan yang terjadi di DAS Cidanau dapat dilihat pada Gambar 3.

Sumber: Budhi et al. (2007)

Gambar 3 Skema Pembayaran Jasa Lingkungan di DAS Cidanau, Banten. Penerapan mekanisme ini telah memberikan beberapa manfaat kepada lingkungan dan kondisi petani yang terlibat dalam proyek. Manfaat tersebut antara lain penurunan praktek illegal logging, pertumbuhan pohon yang baik, pengaplikasian pertanian berbasis konservasi, sikap petani yang ramah lingkungan

LP3ES dan Rekonvasi Bhumi Industri PDAM Kelompok Tani PT KTI Sektor Swasta FKDC PLN Keterangan :

: Komunikasi dan Fasilitasi : MoU dan PES

dan kondisi ekonomi petani, yang penting untuk keberlanjutan penerapan pembayaran jasa lingkungan. Namun, penerapan tersebut menemui beberapa hambatan. Hambatan tersebut yaitu konsep mekanisme pembayaran jasa lingkungan masih sulit untuk diterima sebagai regulasi baru. Hal ini dikarenan adanya anggapan dari pembuat kebijakan bahwa konsep tersebut telah diakomodasi oleh kebijakan yang telah ada. Kisah sukses dari penerapan pembayaran jasa lingkungan di DAS Cidanau perlu diambil sebagai pelajaran oleh pemerintah untuk kebijakan lingkungan ke depan.

Penerapan yang sukses oleh PT KTI ditekankan pada aspek pembelajaran. Hak dan kewajiban tiap para pihak dapat dikontrol secara transparan. Dengan beberapa improvisasi dan modifikasi, penerapan pembayaran jasa lingkungan dapat diuji coba pada skala nasional.

Lokasi lain yang menjadi penerapan mekanisme ini adalah DAS Wai Besai Sumberjaya, Lampung. Isu yang melatarbelakangi mekanisme pembayaran jasa lingkungan di Sumberjaya, Lampung dikemukakan oleh RUPES (2010). Tulisan tersebut menyebutkan bahwa pemerintah mempercayai deforestasi yang tidak terkontrol dan konversi lahan menjadi kebun kopi telah menyebabkan peningkatan erosi tanah. Erosi tersebut mengancam pengoperasian bendungan Sumberjaya dan mengurangi ketersediaan air untuk irigasi sawah di daerah hilir. Kepercayaan tersebut mengakibatkan pengusiran ribuan petani dari Sumberjaya antara tahun 1991-1996.

Hasil penelitian RUPES sejak tahun 1998 menunjukkan bahwa kebun kopi multistrata dapat mengontrol erosi dan meningkatkan taraf hidup petani. Selain itu, petani miskin di Trimulyo sangat tergantung pada lahan negara (Suyanto & Khususiyah 2006). Berdasarkan analisa Gini Rasio, lahan negara merupakan faktor yang menyebakan peningkatan pemerataan pemdapatan dan pemerataan kepemilikan lahan. Pemberian imbalan atas lahan (land right) akan mengurangi kemiskinan dan meningkatkan pemerataan di kalangan petani.

LPM Equator (2011) menyatakan proses perumusan masalah, pendefinisian jasa lingkungan, aktor yang terlibat, serta indikator keberhasilan mekanisme pembayaran jasa lingkungan harus dipenuhi dalam pengembangannya. Mekanisme yang dikembangkan di Sumberjaya, Lampung merupakan salah satu

contoh penerapan pembayaran jasa lingkungan yang berhasil mengembangkan indikator keberhasilan. Hal ini ditunjukkan dengan adanya indikator mengenai jumlah sedimentasi yang ada di sungai Way Besai. Indikator yang dikembangkan berasal dari aspek fisik, biologi, dan ekonomi. Berikut adalah skema pembayaran jasa lingkungan yang terjadi di DAS Way Besai, Sumberjaya Lampung (Gambar 4).

Gambar 4 Skema Pembayaran Jasa Lingkungan di DAS Way Besai, Sumberjaya Lampung.

Pemberian Pembangkit Listrik mikrohidro

PLTA

Pembayaran jasa lingkungan riparian melalui dinas pertanian dan kehutanan Pengelolaan hutan berbasis masyarakat (kepemilikan lahan) Masyarakat hulu DAS Way Besai Masyarakat peduli sungai RUPES (intermediary)

Pelaksanaan kontrak dimana masyarakat hulu berhasil menurunkan sedimen sungai, kemudian mendapatkan sejumlah insentif

BAB III