• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.3 Evaluasi Mekanisme Pembayaran Jasa Lingkungan Air di TNGGP

5.3.2 Berdasarkan perkembangan mekanisme

Evaluasi terhadap mekanisme pembayaran jasa lingkungan air di kawasan TNGGP dilihat dari beberapa aspek berdasarkan perkembangannya. Aspek-aspek tersebut antara lain: kenggotaan Forpela, pendanaan, skema, program kerja, serta manfaat bagi masing-masing pihak.

Keanggotaan Forpela terdiri dari pemanfaat-pemanfaat air yang mengambil air langsung dari kawasan TNGGP. Pasal 12 AD/ART Forpela menyebutkan bahwa pemanfaat-pemanfaat tersebut terdiri dari lembaga, perusahaan, lapisan masyarakat yang berkepentingan terhadap pemanfataan jasa lingkungan (air) di kawasan TNGGP (Forpela TNGGP 2006). Berdasarkan rekapitulasi anggota Forpela tahun 2009, di sekitar resort Tapos, Cimande, dan Bodogol terdapat 28

pemanfaat air (Forpela TNGGP 2009). Namun, ketika diambil sampel sebanyak lima pemanfaat dari 28 pemanfaat di ketiga lokasi tersebut, dua pemanfaat menyebutkan bahwa mereka belum menjadi anggota Forpela. Berdasarkan hasil wawancara, dua pemanfaat tersebut juga mengaku belum memberikan kontribusi berupa iuran kepada Forpela TNGGP.

Rekapitulasi keanggotaan Forpela TNGGP seharusnya dapat dilakukan setiap tahun. Hal ini menyangkut kondisi para pemanfaat dan kontribusi yang diberikan. Pemanfaat air yang sudah bangkrut atau tidak mau memberikan kontribusi akan mempengaruhi manajemen dan pendanaan Forpela TNGGP itu sendiri.

Pasal 12 AD/ART Forpela TNGGP juga menyebutkan bahwa pemanfaat air di wilayah TNGGP wajib menjadi anggota Forpela TNGGP. Pada pasal ini tidak dijelaskan lebih lanjut apakah pemanfaat air yang mengambil air melalui mata air di daerah penyangga TNGGP wajib menjadi anggota Forpela. Sutopo (2011) menyebutkan potensi air bersih yang bersumber dari mata air di daerah penyangga TNGGP, kuantitas dan kualitas airnya sangat dipengaruhi oleh curah hujan, morfologi, dan tumbuhan penutupnya. Oleh karena itu, pemanfaat-pemanfaat yang mengambil air dari mata air di daerah penyangga kawasan seharusnya berkontribusi dalam upaya konservasi kawasan. Berdasarkan penelitian Sutopo (2011), terdapat tujuh perusahaan AMDK yang memanfaatkan air dari mata air di sekitar kecamatan Caringin. Perusahaan-perusahaan ini bersedia memberikan kontribusi melalui mekanisme PJL.

Pendanaan Forpela TNGGP berasal dari iuran pokok dan iuran wajib yang dibayarkan anggota Forpela. Selain itu, sumber dana juga dapat berasal dari sumbangan sukarela atau hibah. Berdasarkan pernyataan keuangan Forpela TNGGP (2010) disebutkan bahwa jumlah dana kompensasi yang terkumpul sampai tahun 2010, tercatat Rp 8.000.000 dan saldo keuangan Forpela TNGGP sebesar Rp 17.000.000. Apabila dikurangi dengan pengeluaran tahun sebelumnya seharusnya jumlah tersebut menjadi Rp 17.500.000. Tidak terdapat keterangan mengenai hal ini. Hal ini dikarenakan dalam pernyataan keuangan yang diacu, tidak terdapat rincian pengeluaran untuk pembiayaan kegiatan maupun program kerja Forpela. Apabila dihitung berdasarkan bantuan yang diberikan kepada

kelompok tani di desa Tangkil dan Cinagara, dana yang dikeluarkan menjadi lebih besar dibandingkan dengan apa yang tercantum pada pernyataan keuangan.

Selain itu, tidak terdapat rincian cost-sharing dengan pihak lain seperti ESP- USAID dan YBUL dalam pemberian bantuan terkait PJL di desa Tangkil dan Cinagara. ESP-USAID selaku partner sharing Forpela TNGGP dalam pemberian bantuan, tidak menyebutkan besaran cost-sharing yang dikeluarkan untuk membiayai program tersebut. Mereka hanya menyebutkan bahwa mereka memberikan sharing lebih kepada hal teknis. Tidak dijelaskan lebih lanjut dalam bentuk teknis seperti apa sharing tersebut diberikan.

Hal-hal tersebut juga dipertanyakan para pemanfaat yang memberikan kontribusi kepada Forpela TNGGP. Mereka mengeluhkan transparansi keuangan Forpela TNGGP. Tidak terdapat catatan keuangan untuk para pemanfaat yang telah memberikan kontribusi maupun yang belum berkontribusi. Selain itu, bukti pembayaran tidak diberikan kepada para pemanfaat air yang telah berkontribusi. Hal ini seharusnya tidak terjadi apabila Forpela TNGGP merupakan lembaga/forum yang memiliki akuntabilitas yang baik.

Skema pembayaran jasa lingkungan air yang dibuat dalam mekanisme ini masih menyangkut skema yang umum. Pada skema, hal-hal menyangkut teknis di lapang ketika penerapan belum terlihat. Misalnya: program rehabilitasi yang dilakukan sepeti apa, dilakukan dimana, berapa luasan tempat dilakukan rehabilitasi tersebut, dsb. Hak dan kewajiban para pihak khususnya pembeli, penyedia dan perantara diantara keduanya tidak terlihat dalam skema. Selain itu, aliran dana dari pemanfaat dan ditujukan untuk apa saja dana tersebut tidak terlihat pada skema.

Skema juga tidak mengakomodasi aliran dana dari pemanfaat kepada pemerintah daerah, khususnya yang melalui pajak air. Pemanfaat air dari mata air (air permukaan) yang berada di luar kawasan tetapi berada di desa penyangga seharusnya membayarkan pajak air melalui pemerintah daerah. Aliran air tersebut pada dasarnya juga berasal dari fungsi ekosistem TNGGP. Skema tidak memperlihatkan aliran dana dari pemerintah daerah kepada BB TNGGP selaku pengelola kawasan maupun kepada masyarakat desa penyangga. Bersdasarkan PP 65 tahun 2001 tentang Pajak Daerah, pasal 77 disebutkan bahwa pemerintah

daerah menerima 70% dari pajak air permukaan dan air tanah dari propinsi (DPR RI 2001). Pasal 78 menyebutkan bahwa desa (masyarakat) menerima 10% dari pemerintah kabupaten atas hasil penerimaan pajak kabupaten. Pajak air yang dibayarkan pemanfaat ke pemerintah daerah seharusnya dapat disalurkan ke masyarakat melalui Forpela. Forpela seharusnya dapat mengelola hasil penerimaan pajak air yang diperuntukkan untuk pemberdayaan masyarakat desa penyangga kawasan yang menjadi mitra Forpela. Hal ini dilakukan agar aliran dana dari pemerintah daerah melalui pajak daerah (pajak air) dikelola dengan jelas.

Mekanisme pembayaran jasa lingkungan air yang dilakukan di TNGGP memiliki kelebihan dan kekurangan. Berdasarkan hasil identifikasi di lapangan dan literatur yang ada, kelebihan dan kekurangan mekanisme tersebut tersaji pada Tabel 21.

Tabel 21 Kelebihan dan kekurangan mekanisme pembayaran jasa lingkungan air yang dilakukan di TNGGP

Kelebihan Kekurangan

 Dapat mengajak lebih dari satu pemanfaat untuk berkontribusi dalam mekanisme

 Hanya mengajak pemanfaat yang mengambil air langsung dari kawasan  Bertujuan juga untuk meningkatkan

kesejahteraan masyarakat desa penyangga melalui inkubasi usaha terpadu

 Penerapan program di dua desa tidak berjalan baik

 Bantuan yang diberikan bersifat non finansial dan tidak langsung berupa dana

 Pembagian cost-sharing dari pemanfaat dan lembaga donor tidak jelas

 Dapat mengajak peran serta banyak pihak sebagai fasilitator serta donor untuk cost- sharing

 Peranan para pihak dalam mekanisme belum terlihat jelas pada penerapan mekanisme, peran Forpela terlihat dominan.

Sumber: Data diolah (2011)

Berdasarkan Forpela TNGGP (2009) terdapat beberapa program kerja Forpela, antara lain: Program pembangunan pusat pembibitan pohon (Bank Bibit), Program peningkatan partisipasi dan peluang usaha produktif masyarakat, Progam peningkatan kapasitas kelembagaan Forpela TNGGP, Program peningkatan kerjasama kemitraan pengelolaan sumberdaya air, Program pemberian susu pasteurisasi dan gemar menanam untuk siswa-siswi Sekolah Dasar di desa penyangga, dan Program studi banding dalam penerapan pembiayaan jasa lingkungan (Forpela TNGGP 2009). Berdasarkan dokumen tahunan Forpela TNGGP (2009, 2010) maupun hasil wawancara, tidak terdapat penjelasan

mengenai program kerja apa saja yang terkait dengan mekanisme PJL di TNGGP. Evaluasi terhadap program kerja Forpela TNGGP hanya sebatas program yang dilakukan di desa Tangkil dan Cinagara.

Program yang dilakukan di desa Tangkil dan Cinagara yaitu Program pembangunan pusat pembibitan pohon (Bank Bibit) dan Program peningkatan partisipasi dan peluang usaha produktif masyarakat (Forpela TNGGP 2009). Berdasarkan hasil identifikasi di lapangan, program yang dijalankan di kedua desa meliputi kegiatan pelatihan-pelatihan usaha dan sekolah lapang serta pemberian bantuan untuk inkubasi usaha masyarakat. Pelatihan-pelatihan usaha bertujuan untuk mengembangkan kapasitas SDM di kedua desa. Bantuan mesin mikrohidro bertujuan untuk mengembangkan sarana listrik berbasis komunitas yang dikelola secara swadaya oleh warga. Pengembangan listrik berbasis komunitas ini diharapkan dapat membantu masyarakat kampung Gunung batu yang keadaannya masih belum memiliki sarana listrik. Pemberian bantuan berupa 2 unit WC umum di kapung Pojok bertujuan untuk mengurangi aktifitas MCK warga di sungai Cinagara. Namun, pada akhirnya, bantuan-bantuan tersebut tidak berjalan.

Kinerja mekanisme PJL di TNGGP juga dilihat berdasarkan manfaat yang diterima masing-masing pihak, terutama penyedia dan pembeli jasa lingkungan air. Bagi para pemanfaat air, manfaat mekanisme PJL tidak terlalu dirasakan. Hal ini dikarenakan pemanfaat merasa debit air sebelum dan sesudah mekanisme PJL stabil, sehingga adanya mekanisme PJL tidak terlalu berpengaruh terhadap debit air yang disediakan. Debit air masih mencukupi kebutuhan para pemanfaat. Namun, manfaat lain yang dapat dirasakan para pemanfaat adalah dapat berpartisipasi dalam upaya perbaikan lingkungan (konservasi kawasan TNGGP) dan pemberdayaan masyarakat di sekitar taman nasional.

BB TNGGP selaku pengelola TNGGP belum merasakan manfaat langsung dari mekanisme PJL. BB TNGGP tidak berhak memungut iuran kepada para pengguna air dari dalam kawasan selama belum ada peraturan yang jelas. Oleh karena itu, selama pemanfaat air dari kawasan memberikan kontribusi untuk konservasi, hal itu yang kemudian menjadi manfaat bagi taman nasional. Melalui PJL, kontribusi hidrologis dari taman nasional agar dapat dirasakan langsung oleh masyarakat. Selain itu, mekanisme ini dapat membangun kesadaran masyarakat

untuk mendukung program-program pelestarian kawasan. BB TNGGP juga berharap, melalui mekanisme ini, gangguan terhadap hutan bisa diminimalisasi. Selain itu, diharapkan adanya peningkatan kesejahteraan dan kualitas masyarakat yang ada di sekitar taman nasional.

Kelompok tani Garuda Ngupuk, Saluyu, dan Cinagara Asri selaku penerima bantuan dalam mekanisme ini mengakui bahwa manfaat yang dirasakan lebih kepada pengetahuan dan pengalaman tentang berorganisasi. Manfaat secara materi (peningkatan kesejahteraan) maupun modal usaha masih belum dirasakan. Dua dari tiga kelompok tani mengakui bahwa dalam pelaksanaan program di kedua desa banyak penyimpangan yang harus dibenahi, seperti adanya pengalihan bantuan ke kelompok lain, modal usaha yang tidak turun, dan lain sebagainya. Hal ini kemudian membuat manfaat dari mekanisme PJL itu sendiri tidak tampak oleh kelompok tani.

Budhi et al. (2008) menjelaskan bahwa konsep PJL berbeda dengan pendekatan konservasi, yang bergantung pada peraturan untuk melindungi kelestarian lingkungan tanpa insentif ekonomi. PJL berbeda dengan pendekatan konservasi yang menggabungkan antara tujuan konservasi dengan tujuan pengembangan lainnya. Berdasarkan perkembangan mekanisme PJL yang terjadi di lapangan, hal-hal yang berkaitan dengan mekanisme PJL itu sendiri seringkali tidak muncul. Penerapan (program kerja) yang dilakukan berbeda dengan penerapan konsep PJL di lokasi lain. Di beberapa lokasi penerapan PJL seperti Cidanau dan Sumberjaya, kelompok tani sebagi kelompok target diharuskan untuk melakukan penanaman (pada umumnya kopi multistrata) untuk mempertahankan kelestarian daerah hulu. Hal ini dilakukan karena suplai air bagi daerah hilir yang menjadi pembeli jasa tergantung dari kelestarian wilayah hulu.

Penerapan mekanisme pembayaran jasa lingkungan aiur yang dilakukan di TNGGP terlihat sebagai upaya pengelolaan daerah penyangga. Bismark dan Sawitri (2007) menyatakan bahwa pengelolaan daerah penyangga bertujuan untuk meningkatkan potensi manfaat jasa lingkungan dan nilai ekonomi lahan masyarakat. Pengelolaan daerah penyangga di desa Tangkil dan Cinagara dilakukan melalui upaya pemberdayaan masyarakat dengan melakukan kolaborasi dengan berbagai pihak, sedangkan upaya konservasi dilakukan BB TNGGP

selaku pengelola kawasan TNGGP. Di lokasi penerapan PJL lainnya (misal: Cidanau dan Sumberjaya), kegiatan pemberdayaan masyarakat dan upaya konservasi wilayah hulu dilakukan secara bersamaan. Adanya kerjasama antara BB TNGGP dengan masyarakat desa penyangga dalam melakukan upaya konservasi akan membuat penerapan mekanisme ini lebih baik.

Waage dan Stewart (2007), menyebutkan empat prasyarat keberhasilan mekanisme pembayaran jasa lingkungan yang berjalan, yaitu: jasa lingkungan yang benar-benar dipahami oleh seluruh pemangku kepentingan serta adanya kemamapuan teknis pengelolaannya; informasi pasar yang mudah dipahami dan mudah diakses siapapun (transparan dan akuntabel); kerangka hukum yang suportif serta adanya lembaga pengawas yang kredibel; selalu bersedia melakukan perbaikan mekanisme apabila ada keberatan atau kritik. Apabila keempat hal tersebut dipenuhi oleh para pihak yang terlibat dalam mekanisme ini, maka mekanisme ini akan berjalan lebih baik.

5.4 Permasalahan dan Solusi dalam Mekanisme Pembayaran Jasa