• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penguatan Bahasa melalui Pemerkasaan Bangsa Berilmu

PENERJEMAHAN KITA: QUO VADIS?

II. Bermula dari Parwa

Dalam sebuah diskusi penerjemahan, Chambert-Loir mengemukakan ada tiga periode besar dalam sejarah penerjemahan kita, yakni penerjemahan zaman Hindu-Budha

H lm . | 4 (dipengaruhi oleh bangsa India), penerjemahan zaman masuknya ajaran Islam (dipengaruhi oleh kebudayaan Arab), dan penerjemahan zaman kolonial (dipengaruhi oleh bangsa Eropa).7

Pertama, sejarah sastra kita bermula dari kitab-parwa, bersumber dari India. Di dalam KBBI versi daring, parwa disebutkan “bagian dari (kitab)”. Istilah yang berakar dari bahasa Sanskerta ini lebih sering diidentikkan dengan bagian-bagian kitab Mahabharata. Istilah ini sangat penting terhadap khazanah penerjemahan kita, sebab, boleh dikatakan, ia merupakan salah satu tonggak bermulanya sejarah penerjemahan resmi di Nusantara. Catatan soal ini dapat dikonfirmasi pada penelitian yang dilakukan oleh Soepomo, “Men-Jawa-kan Mahabharata”.8 Di dalam penelitiannya, Supomo mengutarakan bahwa 14 Oktober 996 merupakan hari yang sangat penting, kalau bukan yang terpenting, dalam sejarah penerjemahan karya asing di Indonesia. Sebab, pada hari itulah untuk pertama kalinya berlangsung acara pembacaan Wirataparwa, buku pertama yang dapat diselesaikan dalam suatu proyek penerjemahan kitab Mahabharata ke dalam bahasa Jawa Kuna.9 Bahkan, yang lebih penting lagi ialah bahwa “penerjemahan” itu sebegitu kuatnya sehingga tidak hanya memperkaya kosa kata Jawa Kuno, tetapi sekaligus menjadi pemicu lahirnya karya-karya berikutnya.10

Periode berikutnya ialah masuknya pengaruh kebudayaan Arab. Kajian Braginsky memberi kita informasi bahwa sejak abad ke-14 dan terutama sejak abad ke-16 – ke-17 terjadi proses arabisasi, yang di dalamnya tasawuf memainkan peran penting dalam perkembangan sejarah, agama, dan kebudayaan di kepulauan Sumatera (Melayu-Indonesia). Berbeda dengan penerjemahan periode pertama, penerjemahan Arab umumnya cenderung mempertahankan bentuk asli kendati secara konten banyak disesuaikan dengan situasi setempat. Menurut Jedamksi, para penerjemah zaman itu bahkan “mengembangkan” teks asli secara kreatif. Ada beberapa istilah penerjemahan yang lazim digunakan pada zaman itu, yaitu tersalin (juga disalin), terkarang (written, composed), ditjeritakan (narrated), terkoetip (copied, excerpted, quoted), ditoeroenkan (passed on, generated from), di(bahasa)melajoekan, ditoetoerkan (arranged), dan dioesahakan (organized, worked).11

Kemudian, periode besar ketiga ialah penerjemahan zaman kolonial serta awal bermulanya sastra modern Indonesia. Pada periode ini aktivitas penerjemahan cukup menggeliat. Pada zaman itu penerjemah-penerjemah Belanda, Tionghoa, serta belakangan pengarang-pengarang Indonesia banyak, jika bukan sebagian besar, “menerjemahkan” karya- karya bangsa Eropa (Barat), sehingga tak mengherankan sastra modern Indonesia dipengaruhi kuat oleh kebudayaan Barat.12 Jedamski mengutarakan bahwa jauh-jauh masa sebelumnya pemerintah kolonial Belanda juga memberikan perhatian khusus pada bidang penerjemahan,

7 Lih. “Tantangan Buku-Buku Terjemahan di Indonesia” dalam http://tembi.org/cover/2011-03/07-

Tantangan_Buku-Buku_Terjemahan_di_Indonesia.htm, dibaca pada 21 Juli 2013; untuk pembahasan lebih jauh, lih. jg Chambert-Loir (2009)

8 Lih. Chambert-Loir (2009:933-946).

9 Lih. juga, Supomo, S. “Old Javanese Literature,” dalam McGlynn (2001:18-19).

10 Menurut Supomo, pentingnya parwa-parwa terjemahan tersebut terhadap perkembangan Sastra Jawa Kuna,

dan kebudayaan Jawa pada umumnya, terbukti jelas pada kenyataan bahwa sastra-sastra terjemahan itu kemudian menjadi sumber utama bagi penulisan kakawin dan cerita-cerita wayang. Catatan ini bersejalan dengan catatan-catatan pakar lain yang menyatakan bahwa epos Mahabharata telah mampu menancapkan pengaruh yang kuat dan besar terhadap sastra Jawa segala periode (Pigeaud, 1967:117; Gonda, 1973; Zoetmulder, 1983:10-20 via Harahap, “Khazanah Penerjemahan: Ragam Suara dalam Sastra-Parwa,” dimuat dalam Prosiding Seminar (Diskusi) Ilmiah Kelompok Peneliti Kebahasaan dan Kesastraan di Lingkungan Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa (2012:177-196).

11 Lih. Jedamski, “Translation in the Malay World: Different Communities, Different Agendas” dalam Eva Hung

(2005:209-243).

12 Untuk diskusi lebih mendalam tentang pokok ini, lih. Jedamski, “Terjemahan Sastra dari Bahasa-Bahasa Eropa

H lm . | 5 dengan cara banyak menerjemahkan karya-karya bangsa Eropa ke dalam bahasa Melayu, Tionghoa, atau bahasa Jawa, baik untuk kepentingan kolonial maupun misi agama. Baru kemudian, seiring dengan lahirnya gagasan nasionalisme pengarang-pengarang Indonesia semakin banyak terlibat dalam aktivitas penerjemahan, terutama dari karya Barat ke dalam bahasa Indonesia.13 Mengenai intensitas penerjemahan ini, dalam tulisannya “A bridge to the

outside world literary translation in Indonesia, 1950-1965,” H.T. Liem memberi apresiasi yang tinggi atas kuatnya peran penerjemahan terhadap perkembangan sastra Indonesia modern, yang di dalamnya Balai Pustaka menjadi satu institusi yang berperan kuat.14 Selain itu, Melani Budianta mengutarakan bahwa tahun 1970-an merupakan salah satu periode tersubur penerjemahan karya asing dalam sejarah sastra Indonesia.15 Bahkan jauh sebelumnya (zaman pra-kemerdekaan), Jedamski mencatat bahwa pada tahun 1850-an, pemerintah kolonial sebenarnya menunjukkan minat terhadap masalah penerjemahan, kendati juga masih dilakukan secara tidak sistematis.16 Barangkali, puncak dari aktivitas penerjemahan periode ketiga ini kemudian mendorong didirikannya Himpunan Penerjemah Indonesia (HPI).

Terhadap ketiga periode tersebut, Chambert-Loir mencatat persamaan yang mencolok, yakni setiap penerjemahan cenderung diiringi dengan peminjaman sistem tulis, bahasa, dan agama. Pada periode sastra-parwa India, masuklah agama Hindu dan Budha, disertai bahasa Sansekerta dan penggunaan aksara Palawa. Kemudian, periode kedua, berkembanglah aksara dan bahasa Arab. Yang sedikit berbeda adalah periode pengaruh Eropa, dimana masuknya aksara Latin tanpa disertai dengan perpindahan bahasa dan agama seperti periode sebelumnya, kendati periode ini juga tak kalah penting dengan dominannya tulisan Latin serta tergesernya tulisan Arab dan Jawa.17 Kendati barangkali masih dapat dibantah, yang terjadi sekarang terbukti nyata, bahwa pengaruh bahasa, lantaran itu budaya, Barat begitu kuatnya mempengaruhi segala aspek kehidupan kita. Kuatnya pengaruh ini bahkan hampir mampu meniadakan kebudayaan melayu Islam yang sebelumnya sangat dominan. Hingga sekarang, pengaruh Barat ini tidak sebatas bidang sastra, tetapi juga telah merasuki ranah akademik dan sosial. Bagi penulis, situasi ini secara tidak langsung berpengaruh kuat terhadap terjadinya senoglosofilia, yakni sebuah penyakit kebahasaan lantaran kegemaran berbahasa-asing-ria ketimbang bangga dan setia menggunakan bahasa sendiri.

Dapat juga dicatat bahwa terdapat perbedaan signifikan di antara bidang-bidang wacana yang diterjemahkan pada ketiga periode penerjemahan tersebut. Misalnya, kegiatan- kegiatan penerjemahan yang dilakukan selama periode terakhir, khususnya, lebih menitikberatkan karya-karya sastra, dalam arti fiksi, yang berbeda dengan dua periode sebelumnya. Jika pada periode pertama dan kedua banyak menyentuh penerjemahan kitab- kitab suci, pedoman-pedoman hidup, serta karya-karya fiksi sekaligus,18 sejak tahun 1950-an hingga 1970-an kita seolah ”terobsesi” pada karya-karya sastra (fiksi), serta mengabaikan bidang-bidang lain, khususnya buku referensial. Tentunya, ini juga bukan bermaksud untuk menyampingkan satu atau dua terjemahan yang masih menyentuh bidang-bidang wacana lain yang dimaksud. Sebab, sebagaimana disebut Doris Jedamski, penerjemahan zaman kolonial juga banyak menerjemahkan teks-teks hukum yang berkaitan dengan hukum adat atau, di

13 Untuk pembahasan mengenai sejarah awal penerjemahan zaman kolonial dan zaman Kemerdekaan, lih.

ulasan Jedamski, “Kebijakan Kolonial di Hindia Belanda,” dalam Chambert-Loir (2009:657-678).

14 Lih. Lindsay J. dan Maya H.T. Liem (2011:163-190). 15 Lih. Zaidan, dkk. (2013:iv-x)

16 Lih. Jedamski, “Kebijakan Kolonial di Hindia Belanda,” dalam Henri Chambert-Loir, 2009:657-678.

17 Lih. Chambert-Loir, “Tantangan Buku-Buku Terjemahan di Indonesia” dalam http://tembi.org/cover/2011-

03/07-Tantangan_Buku-Buku_Terjemahan_di_Indonesia.htm, dibaca pada 21 Juli 2013, pukul 02.30 WIB.

H lm . | 6 kemudian hari, sebagian besar teks-teks hukum kolonial dan tata pemerintahan.19 Namun, yang mengherankan kemudian ialah bahwa aktivitas penerjemahan terkesan mulai mengalami kemerosotan sejak 1980-an. Kemundurannya bukan dari segi kuantitas, yang sebaliknya barangkali lebih tinggi, tetapi dari segi kualitas serta arah penerjemahan.

Adalah tampak jelas adanya perbedaan yang signifikan di antara aktivitas penerjemahan yang dilakukan pada masa lalu dengan yang dilakukan pada dekade-dekade terakhir ini. Sejak akhir 1990-an, dapat dikatakan, gerak aktivitas penerjemahan kita semakin kritis. Kendati karya-karya terjemahan meningkat jumlahnya, itu belum mampu mengatasi stagnasi yang terjadi, terutama disebabkan oleh bidang wacana teks terjemahan yang terkesan suka-suka, yakni dunia penerjemahan yang bergerak tanpa arah. Bagi pemerhati, berbagai pertanyaan kemudian muncul: mengapa stagnasi itu terjadi dan apa sebenarnya yang menjadi penyebabnya; secara lebih spesifik, mengapa aktivitas penerjemahan kita selama ini mengabaikan buku-buku referensial dan lebih menyukai karya-karya sastra (fiksi); bagaimana kita menyikapi kemunduran gerak dunia penerjemahan itu?