• Tidak ada hasil yang ditemukan

Move I Establishing a territory

CENDIKIA: PELUANG, KENDALA, DAN STRATEG

1) Pemberdayaan Kosakata

Cluttrebuck (2003) dalam bukunya The Power of Empowerment mengatakan bahwa

hukum pemberdayaan berbunyi “tidak ada seorang pun dapat diberdayakan oleh orang lain; individu-individu harus memberdayakan diri mereka sendiri”. Jika pandangan tersebut dikaitkan dengan keberadaan bahasa Indonesia sebagai pengungkap pikiran cendikia, pemberdayaan kosakata bahasa Indonesia oleh masyarakat Indonesia menjadi hal yang sangat dominan. Pemberdayaan itu berkaitan erat dengan memanfaatan kosakata dan istilah bahasa Indonesia untuk mengungkapkan pikiran cendikia.

Kecendikiaan kosakata bahasa Indonesia, misalnya, dapat dilihat pada kosakata

yang termasuk dalam ranah makna kemarahan, yaitu marah, dongkol, jengkel, kesal,

9 bersama dan makna diagnostik--, kesepuluh kosakata itu dapat dikelompokkan menjadi (a) marah1 yang mencakup kosakata dongkol, sebal, kesal, gondok; jengkel, mangkel

dan (b) marah 2 yang mencakup kosakata kalap, berang, bengis.Marah 1 berhubungan

dengan perasaan marah yang ditahan dalam hati, sedangkan marah 2 berkaitan dengan

perasaan marah yang biasanya diikuti perbuatan. (Zabadi, 2009). Analisis yang dilakukan berdasarkan pandangan Nida (1975) itu menunjukkan bahwa sesungguhnya kosakata tersebut memiliki makna bersama dan makna berbeda yang menjadi ciri khususnya. Berdasarkan ciri yang ada itu, tampak perbedaan gradasi atau intensitas di antara

kosakata tersebut. Marah memiliki makna ‘perasaan positif/negatif yang dimiliki dan

dialami manusia, dilakukan oleh diri sendiri, berakibat negatif pada diri sendiri, biasanya terjadi karena perlakuan yang tidak pantas, dihina, kecewa, diperlakukan tidak

sepantasnya, mendapati/melihat perkerjaan yang tidak sesuai dengan harapan’. Dongkol

memiliki makna ‘marah yang ditahan yang dimiliki dan dialami manusia, dilakukan diri

sendiri, berakibat negatif pada diri sendiri, biasanya terjadi karena tidak puas’. Jengkel

memiliki makna ‘perasaan marah yang dimiliki dan dialami manusia, dilakukan diri sendiri, berakibat negatif pada diri sendiri, biasanya terjadi karena permintaan selalu

ditolak’. Kesal memiliki makna ‘perasaan marah yang ditahan yang dimiliki dan dialami

manusia, dilakukan diri sendiri, berakibat negatif pada diri sendiri, biasanya terjadi

karena tidak senang, bosan atau jemu’. Sebal memiliki makna ‘marah yang ditahan yang

dimiliki dan dialami manusia, dilakukan diri sendiri, berakibat negatif pada diri sendiri, biasanya terjadi karena kecewa, melihat sesuatu perkara yang tidak sesuai dengan

harapan’. Kalap memiliki makna ‘marah yang diikuti tindakan yang dimiliki dan dialami

manusia, dilakukan diri sendiri, berakibat negatif pada diri sendiri, biasanya terjadi

karena lupa diri, hilang akal’. Bengis memiliki makna ‘marah yang diikuti tindakan yang

dimiliki dan dialami manusia, dilakukan diri sendiri, berakibat negatif pada diri sendiri,

biasanya terjadi karena tidak puas’. Berang memiliki makna ‘marah yang diikuti tindakan

yang dimiliki dan dialami manusia, dilakukan diri sendiri, berakibat negatif pada diri

sendiri, biasanya terjadi karena gusar’. Mangkel memiliki makna ‘marah yang ditahan

yang dimiliki dan dialami manusia, dilakukan diri sendiri, berakibat negatif pada diri sendiri, biasanya terjadi karena jengkel, tidak enak hati karena perbuatan atau perkataan’.

10 Jengkel memiliki makna ‘marah yang ditahan yang dimiliki dan dialami manusia, dilakukan diri sendiri, berakibat negatif pada diri sendiri, biasanya terjadi karena

permintaannya selalu ditolak’. Gondok memiliki makna ‘marah yang ditahan yang

dimiliki dan dialami manusia, dilakukan diri sendiri, berakibat negatif pada diri sendiri, biasanya terjadi karena marah yang ditahan sehingga leher bagian atas tampak mengeras’. Hierarkis makna kesepuluh kosakata tersebut memperlihatkan betapa cendikia dan lengkapnya kosakata bahasa Indonesia untuk mengungkapkan perasaan marah.

Pengaruh bahasa Inggris telah merasuki hampir semua sendi kehidupan kita sehingga kita lupa menikmati kosakata yang sudah kita miliki. Di ruang publik, terutama di kota besar, seperti Jakarta, Medan, Bandung, Palembang, banyak merek dagang, kain

rentang, papan nama yang menggunakan bahasa Inggris, seperti Green Hill Residence,

one stop service, parking area, taxi station. Para pejabat negara pun tidak mau ketinggalan menggunakan bahasa asing ketika mereka menyampaikan sesuatu, misalnya fit and proper test yang sering mereka gunakan untuk mengetahui kemapuan seseorang sebelum ia ditunjuk menjadi sorang pejabat atau pemimpin. Padahal kita tahu bahwa

bahasa Indonesia memiliki kosakata untuk mengungkapkan hal tersebut, yaitu uji layak-

patut. Demikian juga dengan istilah stakeholder dan breafing yang sering diselipkan oleh pemuka negeri ini ketika mereka bertutur. Padahal—sekali lagi—bahasa Indonesia telah

memiliki kosakata untuk mengungkapkan ide dan gagasan tersebut, yaitu pemangku

(pemilik) kepentingan dan taklimat.

Dalam ranah pertevisian kita sering melihat kegiatan diskusi yang melibatkan narasumber atau pakar yang berkompeten dalam bidangnya. Pewara dan narasumber

yang terlibat menyebut kegiatan itu dengan istilah talk show. Untuk mengungkapkan

makna yang terkandung dalam istilah tersebut bahasa Indonesia memiliki kosakata, yaitu pertunjukan wicara, pamer wicara, atau gelar wicara. Ketiga bentuk tersebut bersinonim.

Meskipun demikian, kosakata bahasa Indonesia yang tepat untuk istilah talk show adalah

gelar wicara yang bermakna ‘acara bincang-bincang di televisi atau radio yang dilakukan dalam suatu panel yang terdiri atas beberapa tokoh atau narasumber yang dipandu oleh

pembawa acara’. Istilah dubbing pun begitu akrab di telinga kita ketika banyak pemirsa

11

Indonesia. Istilah yang berasal dari bahasa Inggris dub itu dapat kita temukan dalam

kosakata bahasa Indonesia, yaitu sulih suara, bukan alih suara. Dalam sulih suara yang

terjadi adalah mengganti atau menyulih suara atau bahasa lisan yang ada di film,

sedangkan dalam alih suara yang terjadi adalah mengalihkan suara dari seseorang ke

orang lain. Ketika kita sedang asyik menikamti telenovela yang sudah disulihsuarakan

bahasanya, tiba-tiba muncul istilah commercial break untuk memberi kesempatan pada

perusahaan memamerkan produknya. Sangatlah naif rasanya menggunakan istilah

tersebut, padahal kita memiliki kosakata bahasa Indonesia, yaitu jeda iklan yang

bermakna ‘jeda atau rehat dalam suatu acara yang dipakai untuk menyiarkan atau mengiklankan produk-produk tertentu’.

Dalam ranah teknologi dan informatika misalnya, kita begitu akrab dengan istilah home page, download, online, e-mail, pada hal kita memiliki kata Indonesia laman untuk home page; unduh untuk download; daring (dalam jaring)untuk online, dan pos-el untuk e-mail. Kita akan kesulitan untuk menyuruh seseorang membeli ‘tetikus’ karena di pasar

komputer orang hanya memperdagangkan mouse. Istilah scanning dan scanner juga

sering kita temukan di dalam keseharian kita. Untuk menemukan istilah Indonesianya,

kita harus melihat entri pindai yang berasal dari bahasa Minangkabau dengan makna ‘1

melihat dengan cermat dan lama; memandangi’; 2 Dok memeriksa dengan alat

pengindraan (seperti fitometer dan sinar radiasi) untuk mendapatkan informasi; melewatkan berkas elektron atau sesuatu lalu mengubahnya menjadi ...’. Berdasarkan

makna kata tersebut dapat dibentuk kata memindai yang merupakan padanan scan dalam

bahasa Inggris. Dengan demikian, scanning yang bermakna ‘proses memindai’ dapat

dipadankan dengan pemindaian; sedangkan scanner yang bermakna ‘alat untuk

memindai’ dipadankan dengan pemindai. Kata canggih pun merupakan kosakata bahasa

Indonesia yang sekarang digunakan sebagai pengganti stilah sophisticated. Kata canggih

yang berasal dari bahasa Melayu Palembang tersebut pada mulanya bermakna ‘banyak cakap; bawel; cerewet’, kemudian kata tersebut mengalami perluasan makna sehingga

menjadi padanan yang tepat untuk istilah sophisticated. Salah satu makna yang

terkandung dalam canggih yang maknanya sama dengan sopihisticated adalah

12 Dalam ranah perekonomian, ketidakpedulian kita terhadap kosakata bahasa

Indonesia masih sering terjadi. Penggunaan istilah go public,dan holding company

sangat sering kita temukan. Padahal, untuk mengungkapkan makna ketiga istilah tersebut,

bahasa Indonesia memiliki kosakata yang tepat. Go public merupakan istilah pasar modal

yang bermakna ‘usaha untuk menjual, menawarkan, dan melepaskan hak atas saham

dengan pembayaran’. Perusahaan dapat go public dengan menjual saham baru yang

berasal dari modal yang sudah diberikan. Kosakata bahasa Indonesia yang tepat untuk

istilah tersebut adalah masuk bursa yang bermakna ‘menjual, melepaskan saham dengan

memasukkannya melalui bursa atau pasar saham’. Di Indonesia perusahaan yang menjual

obligasi termasuk juga go public. Istilah holding company pun sesungguhnya dapat

diganti dengan kosakata yang sudah ada dalam bahasa Indonesia, yaitu perusahaan

induk. Maksud istilah tersebut adalah perusahaan yang memiliki saham dengan hak suara yang cukup di dalam perusahaan lain untuk mempengaruhi Dewan Direksi sehingga dapat mngendalikan kebijaksanaan dan manajeman perusahaan tersebut. Perusahaan yang

menjadi holding company tidak perlu memiliki mayoritas saham dari anak

perusahaannya. Meskipun demikian, untuk mendapat keuntungan dari pajak konsiladasi dan kemampuan untuk merugi, perusahaan tersebut harus memiliki 80% atau lebih lebih saham dengan hak suara dari anak perusahaannya.