• Tidak ada hasil yang ditemukan

Berputar Layaknya Balerina ( Perjalanan di Pancur Batu )

Dalam dokumen Keseimbangan di Rumah Perubahan (Halaman 76-85)

BAB III BERBAGAI ELEMEN PENYEIMBANG

3.1. Berputar Layaknya Balerina ( Perjalanan di Pancur Batu )

Sehubungan karena kami masih sulit menemukan waktu untuk survey menuju Nias Utara. Kami diajak oleh stakeholder untuk mencari gambaran kota Nias Utara di Pancur batu. Kami diajak bukan hanya untuk berekreasi tetapi untuk sementara mengamati seperti apakah Pancur Batu dan bagaimana pandangan kami tentang bangunan yang kami kunjungi. Berikut juga adalah hasil laporan yang saya buat mengenai Pancur Batu.

Seperti emas yang tersembunyi di dasar bumi seperti itulah sosok Pancur Batu saat ini. Mengapakah desa Pancur batu terbayangkan seperti emas? Ya, selama ini mungkin saya melihat desa Pancur Batu sebagai tempat yang tidak terlalu spesial. Saat saya pergi berlibur ke Berastagi, atau ke tanah karo lainnya, saya selalu melewati Pancur batu tetapi saya tidak pernah mendapatkan kesan sama sekali, baik kesan bagus maupun kesan buruk mengenai tempat ini tetapi saya hanya mendapatkan kesan sosial. Ketika melintasi Pancur Batu yang saya ingat sebagai landmark bagi desa ini adalah Pasar Pancur Batu. Pandanganku selalu tersorot pada Ibu-ibu yang dengan badannya yang sedang berkeringat namun karena semangat yang ada padanya telah menutupi raut wajahnya yang letih. Di tengah teriknya matahari, ibu-ibu tersebut juga tetap menunggu para

pembeli dagangannya dengan setia dengan tetap menebarkan senyum yang indah. Kesan inilah yang terkadang juga mengingatkanku akan perjuangan para orang tua dan membayangkan bagaimanakah kelak saya ketika menjadi orang tua. Hanya kesan inilah yang saya dapatkan dan bahkan tidak sempat terpikirkan untuk bertanya kepada kerabat mengenai desa ini.

Tepat di hari Senin pada saat hari yang cerah kami hendak mengunjungi Pancur Batu. Pada saat itu di dalam pikiran saya penuh dengan pertanyaan “ Ada

apa di tempat itu? “ Namun keheranan itu membuat saya semakin penasaran dan

bukan mengurungkan niat untuk pergi ke sana. Sedia payung sebelum hujan, sebuah pepatah yang sangat tepat bagi orang yang hendak melakukan perjalanan. Persiapan yang kami lakukan adalah menyiapkan peralatan seperti meteran, topi, alat tulis, dan kamera. Tidak lupa kami juga membawa keperluan bekal makanan yang kami beli di rumah makan yang tidak jauh dari kampus kami. Sewaktu di perjalanan kami juga mendiskusikan lokasi mana yang hendak kami kunjungi.

Detik demi detik berlalu, setelah kami melintasi Pasar Pancur Batu, kendaraan kami berbelok ke sebuah jalan. Ini adalah hal pertama kalinya saya tahu ada tikungan jalan karena selama ini saya berpikir desa Pancur Batu hanya memiliki pola jalan yang linear saja. Ketika sejenak melintasi jalan tersebut yang sangat tidak disangka, desa ini memiliki pemandangan alam yang luar biasa. Tanahnya yang berbukit-bukit, hutan yang rimbun dan dilewati sungai dengan airnya yang deras. Ya, inilah emas itu, harta karun yang sudah tersimpan di dasar bumi. Bagi saya kondisi ini tidak terlalu berbeda dengan daerah Bukit Lawang,

Berastagi dan lainnya. Namun saya jadi semakin heran dan bertanya-tanya mengapa sedikit sekali orang-orang yang mau berwisata ke tempat ini padahal lokasinya sangat terjangkau dari kota Medan.

Pancur Batu berada pada dataran tinggi, sehingga kita akan menjumpai banyak perbukitan. Jika berbicara tentang perbukitan, saya langsung berpikir akan menemukan banyak tempat yang teduh dan sejuk, karena banyak pepohonan yang rimbun atau mungkin hutan jati, pohon-pohon yang tinggi menjulang, yang memperlihatkan aksen yang kokoh dan indah dan juga pohon cemara dengan keharumannya yang menyegarkan . Namun ternyata, itu hanya bayangan yang sering saya nikmati saat di pulau Jawa. Sepanjang jalan, saya memang melihat banyak perbukitan tetapi semua tertutupi oleh pohon kelapa sawit, dan jika dilihat dari atas, lahan kosong atau celah diantara setiap pohon hampir tidak terlihat lagi. Kesan teduh yang saya bayangkan tidak dapat saya rasakan. Saya seolah-olah sebagai pungguk merindukan bulan karena semua yang saya bayangkan ternyata hanya ilusi.

Apakah karena mata buta ,atau karena hati mati. Saya tidak tahu mengapa sebagian besar penduduk di Sumatera Utara tidak mempertimbangkan keseimbangan ekosistem alam, hanya karena untuk berlomba-lomba membuat kebun kelapa sawit. Begitu tampak keegoisan manusia, semua mencari keuntungan sebanyak-banyaknya bagi dirinya sendiri dan kebobrokan sistem Pemerintahan yang tidak dapat mengatur tata ruang kota. Tindakan konversi hutan yang Pemerintah lakukan akan mengakibatkan terancamnya keanekaragaman

hayati sehingga ekosistem menjadi tidak seimbang. Pohon kelapa sawit juga dikenal sebagai pohon yang banyak menyerap air tanah sehingga tanah menjadi kering dan suhu udara menjadi tinggi serta berkurangnya unsur hara tanah dan akhirnya tanah menjadi tidak subur.

Menurut saya hal ini lah yang mengakibatkan sedikit orang yang mau berwisata ke tempat ini. Terdapat banyak tempat wisata yang kami lewati di sana, namun hanya ada sedikit pengunjung dan bahkan ada tempat pariwisata yang gagal atau tidak jadi beroperasi. Sungguh mengecewakan, sepertinya ini juga dampak akibat kurangnya kesatuan di setiap unsur – unsur proses perancangan. Untuk selanjutnya saya akan menjelaskan tentang lokasi-lokasi yang kami kunjungi :

Gambar 3.1. Sungai dekat dengan lahan Bpk. Rudolf Sumber : Dokumen pribadi

Sungai ini sebenarnya memiliki gesture yang menantang karena masih banyak ditemukan batu-batu kali yang sangat besar. Sedangkan kondisi air sungai bisa tergolong memprihatinkan. Air terlihat keruh berwarna coklat berlumut, dan

bau karena banyak ditemukan sampah. Selain itu hal ini juga disebabkan oleh pembuangan limbah pabrik dan penambangan yang langsung dibuang ke sungai tanpa diolah terlabih dahulu. Pada akhirnya hampir menyerupai sungai – sungai di perkotaan. Saya tidak tahu apakah sungai ini bisa dipulihkan atau tidak. Tentunya bagi saya tempat atau spot tersebut tidak cocok dijadikan tempat wisata jika dengan kondisi sungai yang sudah buruk. Namun jika kondisi sungai tersebut baik, dalam pikiran, saya akan membangun rumah makan atau cafe dan villa. Pengunjung juga dapat berenang disini karena arus sungai tidak terlalu deras. Lahan di sekitar juga merupakan lahan berkontur, jika orientasi bukaan bangunan diarahkan ke sungai, itu akan menjadi luar biasa. Dan saya rasa akan banyak orang-orang kota yang akan menghabiskan waktu weekendnya disini di samping lokasinya juga tidak terlalu jauh dari kota Medan.

Gambar 3.2. Sungai yang jauh dari lokasi lahan Sumber : Dokumen pribadi

Tempat ini sudah dijadikan tempat wisata, namun sayangnya gagal beroperasi. Saya tidak tahun alasan jelasnya mengapa tetap jika didalam pikiran saya, mungkin karena kurang baikknya kondisi sekitar dan akses menuju ke sana.

Kondisi sungainya tidak seburuk dari sungai sebelumnya namun masih tergolong memprihatinkan karena agak sedikit bau dan keruh, mungkin saja sudah tercampur oleh limbah pabrik, penambangan atau limbah masyarakat. Pada sungai ini juga masih banyak ditemukan batu-batu kali yang sangat besar. Pada saat di sana, kami mencoba untuk makan siang di tengah-tengah sungai di atas batu kali, dan itu adalah pengalaman pertama yang luar biasa walaupun agak sedikit panas karena sinar matahari. Namun dari pengalaman itu saya mendapat sebuah ide yaitu merancang restaurant gantung yang menyebrangi sungai tersebut seperti sebuah jembatan. Pengunjung diberi tantangan dahulu untuk menyebrangi sungai tersebut dengan melewati rentetan batu kali yang berada di tengah sungai sebelum akhirnya menemukan entrance restaurant. Seperti peribahasa bersusah-susah dahulu bersenang-senang kemudian tetapi hal ini juga berfungsi untuk memberikan pengalaman yang bisa dikenang oleh para pengunjung.

Gambar 3.3. Tempat wisata yang terbengkalai Sumber : Dokumen pribadi

Selain itu, yang sangat disayangkan akses menuju tempat tersebut tidak dipersiapkan secara optimal. Padahal bangunan-bangunan sudah disediakan di

tempat tersebut, namun akhirnya terbengkalai. Perencanaan dan perancangan bangunan tersebut juga tidak dilakukan secara matang. Ada beberapa ruangan yang disediakan tidak memiliki fungsi yang jelas dan salah posisi. Misalnya terdapat ruangan yang mempunyai skala yang kecil, menghadap langsung ke sungai. Setelah saya melihat, ruangan tersebut seperti akan digunakan sebagai private area. Hal ini sangat tidak efisien, seharusnya lokasi tersebut digunakan sebagai area publik karena orientasi ruangan tersebut langsung menghadap ke sungai sehingga tidak membatasi jumlah pengunjung yang ingin menikmati view tersebut.

Setelah itu kami mengunjungi lahan Bapak Rudolf lainnya yang lokasinya lumayan jauh dari lokasi sungai tadi. Namun diakibatkan kondisi jalan menuju ke sana sangat menantang kendaraan kami, akhirnya perjalanan ke sana dibatalkan. Kami memutuskan untuk memutar balik arah perjalanan kami dan beristirahat sejenak sambil menikmati es kelapa muda di salah satu warung di pinggir jalan Jamin Ginting. Selanjutnya kami menuju ke tempat penempaan besi yang berlokasi di pasar di Pancur Batu. Besi yang ditempa tersebut akan diolah menjadi peralatan rumah tangga seperti pisau, gunting rumput, cangkul, dan sebagainya. Saya rasa penempatan lokasi penempaan besi sudah tepat hanya saja kurang terawat. Lokasinya yang berada agak di belakang pasar sudah tepat karena jika barang – barang yang dijual terlihat sedikit mengerikan dan mencegah terkena asap kendaraan secara langsung yang dapat mengakibatkan karat pada barang- barang tersebut.

Gambar 3.4. Pasar Induk Medan Sumber : Dokumen pribadi

Lokasi Pasar Induk tersebut sangat jauh dengan jalan besar dan akan menyebabkan kemacetan di sekitar jalan besar jika pasar tersebut sudah beroperasi. Jalan di dalam kompleks pusat pasar grosir memang sangat besar namun ukuran Jalan Jamin Ginting tidak serupa dan sangat kecil. Kondisi jalan Jamin Ginting saja saat ini sering mengalami kemacetan, apalagi jika pasar ini sudah beroperasi. Saat saya memasuki gedung pasar grosir tersebut saya sempat terpukau karena saya baru pertama kali mengunjungi pasar seperti itu dan tentunya berbeda jauh dengan kondisi pasar tradisional di Medan. Di dalam benak saya sempat terpikirkan bahwa pengunjung pasti akan menikmati untuk berbekanja disini.

Namun ketika saya berjalan mengitari gedung tersebut saya melihat ada tulisan tomat, daging, cabe, dan sebagainya di atas permukaan lantai, lalu saya berpikir saat saya pergi mengunjungi pasar tradisional. Kondisi disana becek, bau dan kotor karena sampah yang berantakan. Lalu saya bandingkan dengan pasar grosir tersebut dan mendapat kesimpulan bahwa tidak ada sesuatupun yang spesial di tempat ini. Gedung ini hanya menunjukkan luasan gedung yang ingin

memberitahukan bahwa semuanya tersedia disana dan sirkulasi yang nyaman. Namun setelah diperhatikan lebih lanjut, sistem utilitas tidak tersedia dan tidak tertata dengan baik. Kebutuhan akan air bersih tentunya sangat dibutuhkan oleh setiap pedagang, khususnya pedagang daging, dan ikan, seharusnya disediakan di setiap beberapa blok dan tempat yang terjangkau agar pedagang tidak kesusahan saat membutuhkan air bersih. Saya sudah membayangkan bahwa kondisi pasar ini pasti tidak jauh berbeda dengan kondisi pasar tradisional yang becek dan lembab. Sistem pembuangan sampah juga tidak diatur sedemikian baik, seharusnya di dalam jarak tertentu dibuat box atau tempat pembuangan sampah sementara karena jika tempat pembuangan hanya diletakkan di belakang gedung, pedagang yang jauh tempatnya akan menumpuk sampah di bloknya sendiri sehingga bau yang tidak sedap akan tersebar di dalam gedung.

Lalu di gedung lainnya saya juga melihat konstruksi bangunan yang tidak baik, dinding dan kolom tampak miring. Saya dapat membayangkan jika suatu saat nanti jika terjadi gempa, gedung tersebut pasti akan hancur. Saya sangat sedih sekali, kenapa manusia sekarang lebih mengutamakan hal yang tidak berguna sedangkan hal yang berguna tidak dipikirkan secara matang. Seperti misalnya , dibuat pohon yang besar di belakang gedung dimana menurut kepercayaan masyarakat, pohon tersebut adalah tempat tinggal penjaga gedung tersebut ( roh halus ). Sedangkan konstruksi bangunan tidak diperhatikan dan dibangun dengan baik. Masyarakat sekarang sudah termakan budaya yang omong kosong yang akhirnya mengakibatkan masyarakat menjadi bodoh. Menurut saya wajar saja jika

menjadi bodoh karena siapapun yang percaya dan menyembah kepada setan pasti akan hancur. Sepertinya sila pertama dalam Pancasila sudah semakin terkikis, mengingat masyarakat lebih percaya kepada setan daripada Tuhan.

Bongkahan emas yang tersimpan itu ternyata sudah tersentuh oleh tangan orang-orang yang salah. Desa Pancur Batu tidak lagi menjadi emas yang murni. Kekayaan alam yang dimilikinya telah disalahgunakan. Deretan bukit-bukit menjadi ladang sawit, Sungai yang memiliki gesture yang kuat menjadi tempat pembuangan sampah dan limbah, tanah yang subur kini menjadi kering. Walaupun bukit-bukit itu tampak hijau namun sebenarnya keberadaan pohon – pohon kelapa sawit telah merusak keseimbangan ekosistem alam di lingkungan Pancur Batu. Sama seperti emas yang tidak murni, jika kita memandang secara kasat mata, warna emas itu sama indahnya dengan emas yang murni namun kualitas serta nilainya sangatlah rendah. Karena nila setitik rusak susu sebelanga. Bagi saya tetap hanyalah karena keegoisan manusia terkhususnya para penguasa yang menyebabkan keseimbangan alam menjadi rusak dan masyarakat lainnya dirugikan.

Dalam dokumen Keseimbangan di Rumah Perubahan (Halaman 76-85)

Dokumen terkait