BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
C. Biaya Produksi Pembuatan Kantong Semen
1. Pengertian Biaya Produksi
Biaya produksi merupakan biaya-biaya yang berhubungan langsung dengan produksi dari suatu produk dan akan dipertemukan dengan penghasilan (revenue) di periode mana produk itu dijual. Sebelum laku dijual, biaya produksi diperlakukan sebagai persediaan (inventories). Biaya ini terdiri atas biaya bahan baku, biaya tenaga kerja langsung, dan biaya overhead pabrik.
Sebelum membicarakan masalah biaya produksi maka terlebih dahulu perlu dikemukakan pengertian tentang produksi itu sendiri. Secara umum pengertian produksi adalah kegiatan suatu organisasi atau perusahaan untuk memproses dan merubah bahan baku (raw material) menjadi barang jadi (Finished goods) melalui penggunaan tenaga kerja dan fasilitas produksi
lainnya.
Menurut Sutrisno (2001 : 3) : “ Biaya produksi adalah biaya yang dikeluarkan untuk mengolah bahan baku menjadi produk selesai.”
Selanjutnya Harnanto dan Zulkifli (2003 : 16) mengatakan bahwa : ”Biaya produksi adalah biaya yang dikeluarkan untuk mengolah bahan baku menjadi produk jadi.”
Biaya produksi menentukan harga pokok yang melekat pada produk yang dihasilkan perusahaan. Selama suatu produk masih belum terjual maka pembebanan biaya tersebut dalam periode tertentu akan tertunda dan diperlukan sebagai aktiva dalam bentuk persediaan. Berbeda sifat dengan biaya periode yang akan dibebankan pada periode terjadinya biaya tersebut tanpa melihat apakah ada
penjualan atau tidak dan ditunda pada periode berikutnya. Biaya periode merupakan biaya non produksi dan meliputi biaya pemasaran dan biaya administrasi dan umum.
Ahmad (2007 : 34) mengemukakan bahwa : ” Biaya produksi adalah biaya yang dikeluarkan untuk menghasilkan suatu barang ”. Biaya produksi merupakan biaya yang berkaitan dengan pembuatan barang dan penyediaan jasa. Biaya produksi dapat diklasifikasikan lebih lanjut sebagai biaya bahan langsung. Tenaga kerja langsung dan overhead pabrik. Sedangkan biaya non produksi adalah biaya yang berkaitan selain fungsi produksi yaitu, pengembangan, distribusi, layanan pelanggan dan administrasi umum.
Selanjutnya menurut Garrison, dkk (2006 : 51) ”Biaya produksi dibagi ke dalam tiga kategori besar, yaitu: bahan langsung (direct material), tenaga kerja langsung (direct labor), dan biaya overhead pabrik (manufacturing overhead)”.
2. Jenis-Jenis Biaya Produksi
Hariadi (2002 : 47) mengemukakan bahwa jenis-jenis biaya produksi dapat diklasifikasikan menjadi 3 kelompok, yaitu :
1. Biaya bahan baku
2. Biaya tenaga kerja langsung 3. Biaya overhead pabrik.
Untuk lebih jelasnya ketiga unsur biaya produksi yang disebutkan di atas dapat diuraikan satu persatu berikut ini :
a. Biaya Bahan Baku
Biaya bahan baku merupakan bagian penting dalam proses pengolahan bahan mentah menjadi barang jadi atau setengah jadi. Tanpa bahan baku, jelas tidak akan ada barang jadi. Bahan baku bisa sama sekali masih mentah dari alam atau sudah diproses sebelumnya oleh pabrik lain sebelum diproses lebih lanjut di dalam perusahaan. Biaya bahan sebenarnya terdiri atas bahan baku itu sendiri dan ada bahan penolong. Bahan baku merupakan komponen utama dalam barang jadi dan nilainya sangat material.
b. Biaya Tenaga Kerja Langsung
Biaya tenaga kerja langsung merupakan tenaga kerja dalam pabrik yang terlibat langsung dalam proses pengolahan bahan baku menjadi barang jadi.
Keterlibatan tenaga kerja ini secara langsung terlihat atas kemampuannya mempengaruhi secara langsung, baik kuantitas atau kualitas barang jadi yang dihasilkan. Di lain pihak terdapat juga tenaga kerja tak langsung dalam pabrik yang sifatnya sekedar membantu pekerjaan tenaga kerja utama.
c. Biaya Overhead Pabrik
Biaya overhead pabrik merupakan biaya yang terjadi di pabrik dan berkaitan dengan proses produksi, diluar biaya bahan dan tenaga kerja langsung, adalah biaya overhead pabrik. Yang termasuk dalam kelompok biaya ini meliputi antara lain bahan penolong, tenaga kerja tak langsung, biaya listrik, penyusutan pabrik atau mesin, reparasi mesin dan biaya pemeliharaan gedung serta bahan bakar mesin. Biaya overhead pabrik dan biaya tenaga kerja langsung disebut juga
sebagai biaya konversi karena kedua jenis biaya ini berfungsi mengkonversi bahan baku menjadi barang jadi.
D. Analisa Cost-Volume-Profit
1. Pengertian Analisa Cost-Volume-Profit
Analisa cost-volume-profit merupakan analisa yang berkaitan dengan penentuan volume penjualan dan bauran produk yang diperlukan untuk mencapai tingkat laba yang diinginkan. Oleh karena itu, dalam beberapa literaturnya para ahli ekonomi memberi pengertian tentang analisis cost-volume-profit.
Menurut William K Carter (2009 : 283) Analisis cost-volume-profit adalah merupakan alat yang menyediakan informasi bagi manajemen mengenai hubungan antara biaya, laba, bauran produk dan volume penjualan.
Menurut Badric Siregar, Bambang Suripto, Dody Hapsoro, Eko Widodo Lo, Frasto Biyanto (2013 : 317) Analisis cost-volume-profit adalah alat yang berguna untuk perencanaan dan pembuatan keputusan. Analisis ini menekankan pada hubungan antara biaya, volume (kuantitas penjualan), dan harga jual.
Sedangkan menurut Abdul Halim (2007 : 405) Analisis cost-volume-profit adalah teknik analisa yang menggunakan tingkat variabilitas biaya untuk
mengukur pengaruh perubahan volume terhadap laba. Analisis ini mengasumsikan bahwa aktiva tetap perusahan dalam jangka pendek tidak berubah, sehingga tingkat biaya tetap juga tidak berubah selama periode yang dianalisis.
Dari beberapa pengertian yang dikemukakan diatas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa analisa cost-volume-profit adalah teknik atau metode analisa yang digunakan untuk memahami hubungan antara biaya, volume (kuantitas penjualan) dan harga jual yang dapat dijadikan sebagai alat perencanaan dan pengambilan keputusan.
Analisa cost-volume-profit dapat diterapkan dalam beberapa hal sehingga membantu manajemen dalam menjawab beberapa pertanyaan antara lain :
1. Pada tingkat penjualan berapa akan mengalami rugi atau laba?
2. Berapa tambahan volume penjualan yang dibutuhkan untuk menutup tambahan biaya akibat expansi?
3. Berapa laba dari produk x jika harganya diturunkan y rupiah?
4. Berapa penjualan yang harus terealisasi agar memperoleh laba yang diinginkan?
5. Apa pengaruh penurunan volume penjualan sejumlah 15%?
6. Berapa penjualan minimal yang harus diperoleh agar perusahaan bisa mempertahankan hidupnya?
2. Metode Analisa Cost-Volume-Profit
Dalam melakukan analisa cost-volume-profit ada beberapa metode yang perhitungan yang sering diterapkan diantaranya : analisis break even point, contribusi margin dan ratio contribusi margin, margin pengaman, target laba dan pendapatan penjualan, grafik biaya-volume-laba, operation laverage, dan bauran penjualan, berikut uraiannya :
a. Analisis Break Even Point
Ada banyak para ahli berpendapat tentang pengertian break even atau titik impas, meskipun pendapat para ahli berbeda, tetapi pada dasarnya memiliki konsep dasar yang sama. Berikut ini beberapa definisi break even menurut pakar-pakar ekonomi dalam literaturnya.
Menurut William K Carter (2009 : 283) mendefinisikan break even dalam buku terjemahan “Akuntansi Biaya” sebagai berikut : “Titik impas (break even point) adalah titik dimana besarnya biaya dan pendapatan adalah sama, tidak ada
laba maupun rugi pada titik impas”.
Menurut Abdul Halim (2007 : 406) mendefinisikan break even dalam buku “Dasar-Dasar Akuntansi Biaya” sebagai berikut :“Break even adalah titik pada saat pendapatan penjualan cukup untuk menutup semua biaya produksi dan penjualan tetapi tidak ada laba yang diperoleh”.
Sedangkan menurut Baldric Siregar, Bambang Suripto, Dody Hapsoro, Eko Widodo Lo, Frasto Biyanto mendefinisikan dalam buku “Akuntansi Manajemen” (2013:318) “Break even point adalah keadaan yang menunjukan bahwa jumlah pendapatan yang diterima perusahaan (pendapatan nol) sama dengan jumlah biaya yang dikeluarkan perusahaan (biaya total).
Dari pengertian yang dikemukakan para ahli ekonomi diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa break even point adalah suatu keadaan atau titik dimana dalam satu periode kerja perusahaan tidak memperoleh laba ataupun tidak mengalami kerugian, dimana laba adalah nol. Analisis break even point
digunakan untuk menentukan tingkat penjualan dan bauran produk untuk menutup semua biaya yang terjadi dalam satu periode kegiatan produksi (usaha) dimana dari volume produksi tersebut perusahaan tidak memperoleh laba dan juga tidak menderita kerugian.
Dengan mengetahui titik impas (break even point), pimpinan atau manajemen dari suatu perusahaan dapat menentukan tingkat penjualan agar perusahaan tidak mengalami kerugian, dan dapat dijadikan dasar perencanaan laba di masa depan. Dengan mengetahui titik impas ini, pimpinan atau manajemen juga dapat mengetahui sasaran volume penjualan minimal yang harus diraih oleh perusahaan yang dipimpinnya.
Ada beberapa asumsi dalam analisis break even yang tercermin dalam anggaran perusahaan masa yang akan datang. Menurut Henry Simamora (1999:160) dalam bukunya “Akuntansi Manajemen” asumsi-asumsi penting tersebut diantaranya adalah sebagai berikut :
a. Seluruh jenis biaya dapat diklasifikasikan menjadi biaya tetap atau biaya variabel. Apabila ada biaya campuran, maka biaya tersebut harus dipisahkan menjadi biaya tetap dan biaya variabel.
b. Fungsi biaya total terbentuk garis lurus. Sudah pasti asumsi ini menganggap hanya benar apabila perusahaan berproduksi dalam kisar relevan (relevant range).
c. Fungsi pendapatan total juga berbentuk garis lurus. Garis ini diharapkan bahwa harga jual per unit adalah konstan untuk seluruh volume penjualan yang mungkin.
d. Analisis terbatas pada satu jenis produk. Apabila perusahaan menjual lebih dari satu produk maka dianggap bahwa kombinasi penjualan adalah konstan.
e. Persediaan awal sama dengan persediaan akhir. Asumsi ini berarti bahwa seluruh pengeluaran ditahun tertentu untuk memperoleh atau memproduksi barang dilaporkan sebagai biaya yang ditandingkan dengan pendapatan di laporan rugi-laba tahun tersebut.
Analisis break even adalah analisis yang digunakan untuk mengukur tingkat keseimbangan antara biaya, volume dan penjualan agar perusahaan tidak mengalami untung maupun rugi. Alat analisis yang dapat digunakan dalam mencari tingkat break even adalah :
1) Mathematical Aprroach
a) Perhitungan break even atas dasar unit dapat diasumsikan sebagai berikut : Sebuah perusahaan berproduksi dengan biaya variabel sebesar Rp 20.000 perunit, harga jual per unit Rp 40.000, kapasitas produksi 1000 unit, biaya tetap sebesar Rp 10.000.000
Penyelesaian :
Penjualan (Rp 40.000 x 1000 unit) Rp 40.000.000 Biaya Variabel (Rp 20.000 x 1000) Rp 20.000.000
Margin Kontribusi Rp 20.000.000
Biaya Tetap Rp 10.000.000
Laba Sebelum Pajak Rp 10.000.000
Berdasarkan data diatas, maka titik impas dalam unit dapat dihitung sebagai berikut :
0 = (Harga Jual x Unit) - (Biaya Variable x Unit) - Biaya Tetap 0 = (Rp40.000 x Unit) - (Rp 20.000 x Unit) - Rp 10.000.000 0 = Rp 20.000 x Unit - Rp 10.000.000
Rp 20.000 x Unit = Rp. 10.000.000 Unit = 500
Dari uraian dan penyelesaian diatas maka perusahaan harus dapat menjual 500 unit produk untuk menutup semua biaya tetap dan biaya variabel. Kita dapat melakukan cros cek atas penyelesaian di atas sebagai berikut :
Penjualan (Rp 40.000 x 500 unit) Rp 20.000.000 Biaya Variabel (Rp 20.000 x 500) Rp 10.000.000
Margin Kontribusi Rp 10.000.000
Biaya Tetap Rp 10.000.000
Laba Sebelum Pajak Rp 0
b) Perhitungan brek even atas dasar sales dalam rupiah. Untuk menghitung brek even dalam rupiah, biaya variabel perlu dinyatakan dalam persentase penjualan bukan dalam jumlah per unit penjualan, perhitungan dapat dilakukan sebagai berikut :
Sebuah perusahaan berproduksi dengan biaya variabel sebesar Rp 20.000 perunit, harga jual per unit Rp 40.000, kapasitas produksi 1000 unit, biaya tetap sebesar Rp 10.000.000.
Penyelesaian :
Penjualan Rp 40.000.000 (100%)
Biaya Variabel (Rp 20.000 x 1000) (Rp 20.000.000) (50%)
Margin Kontribusi Rp 20.000.000 (50%)
Biaya Tetap (Rp 10.000.000)
Laba Sebelum Pajak Rp 10.000.000
Berdasarkan data diatas maka titik impas dalam rupiah dapat dihitung sebagai berikut :
Laba Operasi = Penjualan - Biaya Variabel - Biaya Tetap
0 = Penjualan - (Rasio Biaya Variabel x Penjualan) -Biaya Tetap 0 = Penjualan - (1 - 0,5) - Rp 10.000.000
Penjualan (0,5) = Rp 10.000.000 Penjualan = Rp 10.000.000
Penjualan = Rp 20.000.000 2) Graphical Approach
Secara grafik Break Even Point ditentukan oleh persilangan antara garis total revenue dan garis total cost :
Gambar 2.4 Dalam Pembelanjaan” beberapa hal penting yang dapat mempengaruhi perubahan break even, yaitu :
a. Perubahan dalam Fixed Cost (Biaya Tetap)
Perubahan ini dapat terjadi sebagai akibat bertambahnya kapasitas produksi. Perubahan fixed cost dalam grafik dapat ditandai dengan naik atau turunnya garis total cost, tetapi perubahan ini tidak mempengaruhi miringnya garis tersebut. Bila fixed cost naik, maka break even point akan bergeser ke atas dan sebaliknya bila fixed cost turun maka break even point akan bergeser ke bawah.
b. Perubahan pada variable cost ratio atau biaya variabel per unit Break Even
Perubahan ini akan menentukan bagaimana miringnya garis total biaya.
Naiknya biaya variabel per unit akan menggeser break even pointkeatas.
c. Perubahan dalam sales prices per unit
Perubahan ini akan mempengaruhi miringnya garis total revenue. Naiknya harga jual per unit pada level penjualan yang sama walaupun semua biaya adalah tetap akan menggeser break even point kebawah, dan sebaliknya.
d. Terjadinya perubahan dalam sales mix
Apabila suatu perusahaan memproduksi lebih dari satu macam produk, maka komposisi atau perbandingan antara satu produk dengan produk yang lain (sales mix) haruslah tetap.
b. Contribution Margin dan Ratio Contribution Margin
Contribution margin/margin kontribusi merupakan pendapatan penjualan
dikurangi dengan biaya variabel total. Pada titik impas, besarnya margin kontribusi sama dengan besarnya biaya tetap. Apabila margin kontribusi per unit diganti dengan harga jual per unit dikurangi biaya variabel per unit pada persamaan laba operasi dan diperoleh jumlah unit, maka akan diperoleh persamaan impas sebagai berikut :
Jumlah Unit = Biaya tetap total
Harga jual per unit - Biaya variabel per unit
Jumlah Unit = Biaya tetap total Margin kontribusi per unit
Dengan menggunakan PT. Rizmy sebagai ilustrasi dapat dilihat bahwa margin kontribusi per unit dapat dihitung melalui dua cara. Cara pertama dengan membagi margin kontribusi total dengan jumlah unit yang dijual, sehingga diperoleh margin kontribusi per unit sebesar Rp 20.000 (Rp 20.000.000/1.000).
Cara kedua adalah mengurangi harga jual per unit dengan biaya variabel per unit, sehingga diperoleh margin kontri busi per unit sebesar Rp 20. 000 (Rp 40.000 - Rp 20.000) dengan cara tersebut akan diperoleh hasil margin kontribusi per unit yang sama, yaitu sebesar Rp 20.000.
Untuk menghitung jumlah unit titik impas, persamaan impas adalah :
Jumlah Unit = Rp10.000.000 Rp40.000 - Rp20.000
= 500 unit
Hasil yang diperoleh dari perhitungan diatas sama dengan hasil perhitungan yang dilakukan dengan menggunakan laporan laba rugi. Ratio Contribusion Margin atau disebut juga Ratio Profit-Volume, merupakan
hubungan antara kontribusi margin dengan penjualan. Meskipun demikian, rasio profit-volume merupakan istilah yang keliru, karena rasio ini tidak ditetapkan
dengan membagi profit dengan penjualan.
Rasio Kontribusi Margin dihitung sebagai berikut :
Ratio Contribusi Margin = Total penjualan - Biaya Variabel Total penjualan
= Rp10.000.000 Rp20.000
= Rp 20.000.000 Rp 40.000.000
= 50 %
Dengan menggunakan ratio contribution margin sebesar 50 %, titik break even dapat dihitung sebagai berikut :
Volume Penjualan Break Even = Biaya tetap Ratio Contribusi Margin
= Rp10.000.000 50%
= Rp 20.000.000
c. Margin Pengaman (Margin Of Safety)
Dalam mengevaluasi resiko dalam pengoperasian suatu usaha, para manajer dapat memakai beberapa indikator. Salah satu indikator yang paling penting adalah margin pengamanan. Margin pengamanan penjualan adalah kelebihan penjualan yang dianggarkan atas volume penjualan impas. Dengan ini maka perusahaan dapat menentukan seberapa banyak penjualan boleh diturunkan agar perusahaan tidak menderita kerugian. Berikut beberapa pengertian tentang margin of safety.
Baldric Siregar, Bambang Suripto, Dody Hapsoro, Eko Widodo Lo, Frasto Biyanto (2013:338) Margin of safety adalah unit penjualan atau yang diharapkan dijual di atas volume titik impas, selain itu margin of safety juga dapat
= Rp 40.000.000 - Rp 20.000.000 Rp 40.000.000
didefinisikan sebagai pendapatan yang diperoleh atau pendapatan yang diharapkan akan diperoleh perusahaan di atas volume impas.
Sebagai contoh : Apabila volume impas suatu perusahaan 150 unit dan saat ini perusahaan berhasil menjual sebanyak 350 unit, maka margin of safety 200 unit (350 unit-150 unit). Jika dalam rupiah dapat juga digambarkan sebagai berikut: jika penjualan sebesar Rp 500.000.000 dan titik impas sebesar Rp 200.000.000, maka margin of safety Rp 300.000.000.
Rumus yang digunakan adalah :
Margin Pengamanan Penjualan = Total Penjualan - Penjualan Impas Keterangan :
Total Penjualan : Jumlah penjualan yang telah didapat oleh perusahaan dalam periode tertentu
Penjualan impas : Jumlah penjualan yang harus tercapai dimana dalam kondisi ini perusahaan tidak mengalami untung maupun rugi
Contoh kasus :
PT. Bahagia Selalu berproduksi dengan biaya variabel per unit Rp 1.500, dimana kapasitas produksi 21.850 unit, biaya tetap Rp 11.200.000, dan perusahan menjual hasil produksinya Rp 2.500 per unit, dengan kenaikan laba yang direncanakan 25 %, maka margin of safety dihitung sebagai berikut:
Penyelesaian :
Penjualan Rp 54.625.000 ( 100%)\
Biaya Variabel (Rp 20.000 x 1.000) (Rp 32.775.000) (60%)
Margin Kontribusi Rp 21.850.000 (40%)
Biaya Tetap (Rp 11.200.000)
Laba Sebelum Pajak Rp 10.650.000
Berdasarkan data diatas maka titik impas dalam rupiah dapat dihitung sebagai berikut :
Laba Operasi = Penjualan - Biaya Variabel - Biaya Tetap
0 = Penjualan - (Rasio Biaya Variabel x Penjualan) - Biaya Tetap 0 = Penjualan - (1 - 0,4) - Rp 11.200.000
Penjualan (0,6) = Rp 11.200.000 Penjualan = Rp 11.200.000 Penjualan = Rp 28.000.000
MOS = Total Penjualan - Penjualan Impas
= (Rp 2.500 x 21.850)- (Rp 28.000.000) = Rp 54.625.000- Rp 28.000.0000 = Rp 26.625.000
MOS = Total penjualan - Penjualan Impas Total penjualan
= Rp 54.625.000 - Rp 28.000.000 Rp 54.625.000
= Rp 26.625.000 Rp 54.625.000
= 48,74%
d. Target Laba dan Pendapatan Penjualan
Tujuan utama perusahaan adalah memperoleh laba yang semaksimal mungkin, dengan pengeluaran biaya sekecil mungkin. Untuk mencapai laba yang
direncanakan, perusahaan perlu merencanakan berapa tingkat laba yang akan dicapai oleh penjualan produknya. Hal ini perlu dilakukan untuk mengetahui agar perusahaan dapat mengambil keputusan tentang berapa laba yang akan direncanakan. Sebagai ilustrasi, jika muncul pertanyaaan berapakah pendapatan PT. Rizmy agar perusahaan dapat memperoleh laba Rp 50.000.000?, untuk menjawab pertanyaan tersebut adalah dengan menambahkan target laba operasi sebesar Rp 50.000.000 pada biaya tetap sebesar Rp 10.000.000 dan selanjutnya jumlah tersebut dibagi dengan ratio margin kontribusi, maka perhitungannya akan tampak sebagai berikut :
Penjualan = Biaya Tetap + Target Laba 50%
= Rp 10.000.000 + Rp 50.000.000 50%
= Rp 120.000.000
Jadi, untuk mencapai laba operasi sebesar Rp 50.000.000 maka perusahaan harus melakukan penjualan senilai Rp 120.000.000.
e. Grafik Cost-Volume-Profit
Pemahaman tentang cost-volume-profit dapat dilihat juga dalam bentuk grafik. Penyajian dalam bentuk grafik dapat dapat membantu melihat perbedaan antara biaya variabel dan pendapatan. Grafik juga dapat membantu dengan cepat memahami dampak peningkatan atau penurunan penjualan terhadap titik impas dan laba. Grafik biaya-volume-laba dapat dilihat dibawah ini :
Gambar 2.5
Grafik Biaya-Volume-Laba
Unit Dijual
Sumber : Diolah Penulis, 2014
f. Pengungkit Operasi (Operating Leverage)
Operating Leverage menurut Grisson, Noren, Brewer (2006 : 343) adalah
suatu ukuran tentang seberapa sensitive laba bersih terhadap perubahan penjualan.
“ jika operating leverage tinggi peningkatan persentase yang kecil dalam penjulan dapat menghasilkan peningkatan laba bersih dalam persentase yang jauh lebih besar.
Sedangkan menurut Baldric Siregar, Bambang Suripto, Dody Hapsoro, Eko Widodo Lo, Frasto Biyanto (2013 : 338) operating leverage adalah
penggunaan biaya tetap untuk meningkatkan persentase laba yang besar sebagai akibat terjadinya perubahan aktifitas penjualan. Semakin tinggi tingkat operating leverage semakin besar dampak perubahan tingkat aktifitas penjualan terhadap
laba, sehingga bauran biaya yang dipilih perusahaan akan memiliki pengaruh yang penting terhadap resiko operasi dan tingkat laba.
Dari uraian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa operating leverage berhubungan dengan bauran relatif biaya tetap dan biaya variabel dalam satu organisasi. Pada dasarnyaleverage melipatgandakan usaha yang dilakukan untuk menciptakan hasil yang lebih banyak. Apabila biaya variabel turun, maka margin kontribusi per unit akan naik dan selanjutnya akan mengakibatkan kontribusi masing-masing unit akan semakin besar. Dalam kasus tertentu, fluktuasi penjualan akan berdampak terhadap peningkatan profitabilitas. Oleh karena itu, perusahan yang memiliki biaya variabel lebih rendah dengan meningkatkan biaya tetap akan dapat memperoleh kenaikan laba yang lebih besar dibandingkan dengan perusahaan yang memiliki proporsi biaya tetap yang lebih rendah.
g. Bauran Penjualan (Sales Mix)
Menurut Garisson, Noreen, Brewer (2006 : 355) bauran penjualan (salex mix) adalah proporsi relatif dimana produk usaha dijual. Bauran penjualan
dihitung dengan menyajikan penjualan untuk setiap produk sebagai persentase total penjualannya. Kebanyakan perusahaan memiliki multi produk dan sering kali produk tersebut tidak menghasilkan laba yang sama sehingga terkadang
perusahaan menciptakan kombinasi atau bauran yang dapat menghasilkan laba terbesar.
Barang yang memilik margin tinggi akan mengakibatkan laba yang besar jika proporsinya relative besar dalam total penjualan, sebaliknya jika barang yang memilik margin rendah memilik proporsi besar dalam total penjualan maka laba akan kecil. Perubahan dari bauran penjualan dapat mempengaruhi titik impas, margin safety, dan faktor lain.
E. Perencanaan Laba dengan Metode Mark Up 1. Pengertian Metode Mark Up
Menurut Swastha dan Irawan (2005:256) ”jumlah rupiah yang ditambahkan pada biaya dari suatu produk untuk menghasilkan harga jual”. Mark up dapat ditentukan dari biaya produksi dan harga jualnya. Jika dari biaya
produksi maka persentase mark up tersebut harus dikalikan dengan biaya produksi, kemudian ditambahkan pada biaya produksi sehingga menghasilkan harga mark up dan apabila ditentukan dari harga jualnya, lebih kompleks karena tidak dikalikan dengan biayanya, tetapi harga jual ditentukan dari biaya dibagi dengan satu dikurangi persentase mark up. Salah satu alasan menggunakan mark up adalah karena kurangnya kepastian mengenai biaya dari pada permintaan.
2. Perhitungan dengan metode Mark Up a. Biaya Produksi penuh ditambah mark up
Dalam metode ini, perusahaan menentukan biaya produksi penuh (total biaya produksi tetap dan variabel) dan menambahkan persentase mark up untuk
menutup biaya operasi lain ditambah laba. Persentase mark up dapat ditentukan oleh praktik industri, pertimbangan, atau tingkat laba yang diharapkan .
Contoh :
Suatu perusahaan memiliki biaya per unit sbb : Biaya produksi :
Bahan baku $ 40
Tenaga kerja $ 50
Biaya tingkat batch $ 20 Overhead pabrik lainnya $ 40 Total Biaya produksi $ 150
Tentukan harga produk, dengan tarif mark up sebesar 40 persen.
Jawab :
Harga berdasarkan biaya produksi penuh = $ 150 x 140% = $ 210
b. Biaya selama Siklus Hidup ditambah mark Up
Pendekatan siklus hidup untuk penetapan harga menggunakan biaya siklus hidup penuh bukan hanya biaya produksi.
Contoh :
Selain biaya produksi sebesar $ 150 per unit, sebelumnya perusahaan telah
Selain biaya produksi sebesar $ 150 per unit, sebelumnya perusahaan telah