• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bingkai Ideologi dalam Politik Lokal

KERANGKA TEORITIK ANOMALI DAN IDEOLOGI

B. Bingkai Ideologi dalam Politik Lokal

Konsep moral kalau ditelisik lagi lebih dalam juga merepresentasikan tiga aspek ideologi: sistem keyakinan, sistem pemikiran dan juga praktik simbolik. Ketiga unsur ini menjadi dasar dalam praktik politik dalam sebuah masyarakat dengan beragam bentuknya. Aspek moral dalam sebuah tindakan politik senantiasa merujuk pada sistem ideologinya. Karenanya, berbagai tindakan politik diandaikan tetap berada dalam fatsun-fatsun yang telah dipegang bersama, khususnya yang telah termanifestasikan dalam sistem hukum. Ketika sebuah tindakan politik telah menyimpang dari fatsun dan koridor hukum, maka praktik politik tersebut di-pandang sebagai sebuah anomali, baik dalam konteks pidana maupun pelanggaran etik.

Nilai-nilai moral dan kekuasaan itu dalam faktanya dibakukan dalam bentuk undang-undang dan norma. Undang-undang dan norma dibakukan menjadi pegangan umum bagi setiap individu di dalam masyarakat, sehingga sistem peraturan itu pada akhirnya menjelma sebagai commonsense bagi seluruh masyarakat. Setiap tindakan individu atau kelompok yang bertentangan dengan undang-undang atau norma tersebut dipandang sebagai tindakan yang bertentangan dengan commonsense masyarakat, karenanya di-anggap sebagai penyimpangan atau anomali.

B. Bingkai Ideologi dalam Politik Lokal

Sebagai bentuk kontestasi politik, maka politik lokal juga mencerminkan dari kontestasi ideologi. Dalam percaturan politik yang ada di daerah-daerah seringkali juga diwarnai oleh sentimen-sentimen ideologi. Dalam kasus Pilkada di Jakarta misalnya, Gubernur Jakarta, Basuki Tjahaya Purnama alias Ahok, seringkali didemo oleh kelompok-kelompok Islam radikal semacam FPI dengan alasan agama. Alasan yang digunakan oleh para pendemo Ahok adalah soal agama. Sederhana saja. Jakarta mayoritas penduduknya Islam, karena itu gubernurnya juga harus Islam. Sementara Ahok bukan Islam.

Hal ini merupakan salah satu cermin bahwa politik di daerah, paling tidak di level permukaannya sering menyembulkan geliat ideologi, khususnya ideologi yang dibalut dengan sentimen keagamaan. Selain itu, masih kasus di Jakarta, lurah Lenteng Agung, Susan di tahun 2013 juga pernah didemo oleh warga setempat karena persoalan agama. Susan bukan non-Islam, tetapi memimpin kawasan atau kampung yang mayoritas agamanya Islam.

Perlu diketahui bahwa sentimen-sentimen ideologis keagamaan semacam itu dalam konteks politik sebenarnya kurang produktif dan bahkan kontra produktif. Sebab, dalam alam demokrasi siapa pun berhak menjadi pemimpin, terlepas apa jenis agama, kelompok maupun sukunya. Karena itu ketika agama dijadikan oleh kelompok untuk menolak atau menghakimi seorang pemimpin maka hal ini bukan hanya kontraproduktif, tetapi juga cenderung mendangkalkan dan mendegradasikan agama itu sendiri. Pemimpin yang terpilih secara demokratis seharusnya dinilai bukan dari jenis agama yang dia peluk, melainkan dari kemampuan, integritas dan prestasi kerjanya.

Jadi ketika seorang pemimpin politik hendak dipersoalkan, maka yang harus dipersoalkan adalah sisi profesionalitas kerjanya. Bagaimana kualitas kerja pemimpin itu? apakah benar-benar untuk kepentingan rakyat secara umum, ataukah hanya untuk kepentingan dirinya sendiri dan kelompoknya? Apakah pemimpin itu bersih ataukah korup? Apakah program-program yang dibuat oleh pemimpin itu pro-rakyat ataukah pro-cukong?, dan seterusnya. Aspek-aspek profesionalitas inilah yang seharusnya dijadikan standar bagi sebuah masyarakat atau kelompok yang hendak menerima atau mengkritik pemimpin. Bukan berdasarkan hal-hal yang sifatnya personal seperti agama atau keyakinan.

Namun sentimen-sentimen ideologi yang sifatnya personal semacam itu memang sering muncul dalam praktik politik di daerah-daerah. Paling tidak variabel agama atau aliran masih menjadi ukuran yang kuat bagi masyarakat daerah untuk

kan pemimpin. Dalam konteks yang lebih luas, aspek ideologi yang turut mewarnai kontestasi politik di daerah ini adalah praktik-praktik dan kebijakan ideologi neoliberal sebagai bagian tak terpisahkan dari globalisasi ekonomi. Banyak daerah sekarang yang menjadi ajang penanaman modal asing sehingga aset-aset daerah justru jatuh ke tangan asing.

Neoliberalisme yang semakin marak di daerah-daerah bukan hanya menghancurkan potensi-potensi ekonomi strategis daerah, tetapi juga turut membabat habis nilai-nilai dan kearifan-kearifan lokal yang ada. Sebab, praktik neoliberalisme yang menjadi ke-panjangan tangan dari ideologi kapitalisme telah menawarkan produk-produk komoditas yang menggiurkan untuk masyarakat desa di berbagai daerah. Produk-produk teknologi semacam Gadget misalnya yang belum tentu tepat guna bagi masyarakat daerah, tetapi masyarakat di daerah-daerah hasratnya sudah dipacu untuk mengkonsumsi produk-produk tersebut.

Hal itu menyebabkan tradisi dan kearifan lokal masyarakat daerah turut terancam punah. Sebuah masyarakat perdesaan yang hidupnya sederhana suka bekerja keras kemudian berubah menjadi masyarakat yang hedonis, konsumeris dan borjuis akibat gempuran produk-produk kapitalis-borjuis-neoliberal tersebut. Selain itu, akibat serbuan ideologi kapitalis-neoliberal ini banyak penduduk daerah yang kemudian bermigrasi ke kota-kota dan ke manca negara untuk mencari nafk ah. Akibat ketidakmampuan pemerintah menciptakan lapangan kerja dan ditambah dengan keserakahan kaum kapitalis-neoliberal dalam menguasai aset-aset strategis di daerah-daerah seperti tanah, air dan tambang, maka banyak warga masyarakat desa yang kehilangan lahan, kemudian mereka harus bermigrasi ke kota-kota menjadi kuli.

Sekarang fenomena migrasi ke kota-kota dan mencanegara itu bahkan tidak pandang usia dan jenis kelamin. Banyak kaum perempuan yang juga berbondong-bondong ke negara lain untuk menjadi TKW. Gejala para perempuan bermigrasi ke negara–negara

asing untuk menjadi TKW ini menurut Riwanto Tirtosudarmo telah berlangsung sejak tahun 1980-an. Di masa ini rezim Orde Baru memang sedang membuka pintu selebar-lebarnya bagi kapitalisme-neoliberal untuk masuk dan mengkonsolidasikan diri di Indonesia. Anehnya mengalirnya publik Indonesia menjadi TKW di luar negeri justru tanpa sepengetahuan pemerintah.38 Akhirnya di antara mereka nasibnya banyak yang tragis dan diburu-buru oleh aparat negara setempat karena dianggap illegal.

Karena itu, untuk menghadapi arus globalisasi dan neo-liberalisme yang semakin deras menggempur dearah-daerah itu, maka salah satu strateginya adalah perlu menghidupkan kembali nilai-nilai dan kearifan-kearifan lokal yang lebih mengarah pada kesederhanaan, kerja keras, ketekunan, kegotong royongan dan sejenisnya. Nilai-nilai dan kearifan lokal itu bisa menjadi basis ideologi bagi masyarakat daerah untuk menghadapi neolibralisme dan globalsiasi ekonomi, budaya dan politik yang sulit dibendung itu. Artinya, dalam membangun strategi politik di daerah, demi terciptanya kedaulatan politik dan ekonomi di daerah, maka rezim globalisme harus dilawan dengan kekuatan lokalisme.

Namun yang menjadi persoalan adalah ketika pemerintah setempat justru tidak lagi peduli dengan khazanah-khazanah lokal, seperti nilai-nilai dan kearifan-kearifan lokal yang ada. Kreativitas masyarakat lokal sebenarnya tumbuh subur. Namun sayang sekali karena tidak adanya perhatian dari pemerintah, kreativitas-kreativitas itu kemudian tidak berkembang bahkan mati. Sebagian pemerintah daerah banyak yang berlomba-lomba mengangkat kembali tradisi lokal.

Tradisi-tradisi dan budaya lokal banyak direvitalisasi. Namun rata-rata hanya sebatas sebagai komoditas pariwisata. Hal ini tentu

38 Riwanto Tirtosudarmo, “Migrasi dan Globalsiasi: Tantangan Kebangsaan Indonesia” dalam Hamdan basyar dan Fredy L. Tobing (eds.), Kepemimpinan

Nasional, Demokratisasi dan Tantangan Globalisasi, (Yogyakarta: Pustaka

tidak masalah. Namun kalau budaya lokal hanya direvitaliasi sebagai komoditas pariwisata, itu hanya akan mereduksi dan mendegradasi nilai-nilai budaya lokal itu sendiri. Seharusnya nilai-nilai dan tradisi lokal itu diangkat bukan hanya dijadikan sebagai obyek komoditas pariwisata, melainkan juga harus dieksplorasi maknanya yang lebih dalam sehingga bisa dijadikan sebagai prinsip ideologis, pandangan hidup, way of life dan pedoman bagi masyarakat setempat, utamanya dalam menghadapi gempuran globalisasi dan neoliberalisme yang semakin menggejala itu.