• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kerangka Teoritik Anomali

KERANGKA TEORITIK ANOMALI DAN IDEOLOGI

A. Kerangka Teoritik Anomali

nya. Aspek yang perlu ditelaah dari anomali masyarakat itu adalah bagaimana anomali itu bisa terjadi? Apa saja yang menjadi standar penetapan sehingga sebuah perubahan sosial bisa disebut anomali? Di bawah ini akan diulas terlebih dahulu konsep anomali dan ideologi beserta implikasinya sebagai kerangka teoritik dalam penelitian anomali ideologi politik masyarakat Madura ini.

A. Kerangka Teoritik Anomali

Anomali atau penyimpangan merupakan salah satu subyek dalam kajian sosiologi. Sebagai entitas yang dinamis, sebuah masyarakat seringkali menampilkan penyimpangan-penyimpangan dan pergeseran-pergeseran di antara para anggotanya dari pakem umum. Fenomena anggota masyarakat seperti inilah yang disebut anomali.

Secara literal, Anomali diartikan sebagai peristiwa penyimpang-an atau perubahpenyimpang-an dari pakem atau norma; sebuah kegpenyimpang-anjilpenyimpang-an karena menyimpang dari aturan dan hukum yang biasa berlaku. Singkatnya anomali merupakan sebuah penyimpangan, keganjilan atau keanehan karena terjadi tidak seperti biasanya. Dalam ranah sosiologi dan politik, anomali seringkali muncul. Misalnya marak-nya mistifikasi politik di setiap musim Pemilu atau Pilkada. Fenomena semacam ini bisa dikatakan anomali.

Sebab, politik yang biasanya menggunakan kalkulasi rasional justru berjalan sangat tidak rasional. Para anggota calon legislatif, umumnya adalah manusia-manusia berpendidikan tinggi, orang-orang yang mempunyai kapasitas intelektual, tetapi tiba-tiba mendatangi dukun dan paranormal untuk pencalonan anggota DPR atau DPRD. Fenomena anomali politik seperti ini seringkali muncul di setiap musim Pilkada atau Pemilu. Dari sini politik seringkali menampilkan keganjilan-keganjilan.

Bagaimanakah sebuah tindakan atau perbuatan seseorang itu bisa dikatakan sebagai sebuah penyimpangan atau anomali? Apa elemen dasar Anomali? Apa standar utamanya sesuatu bisa

dikatakan sebagai sebuah anomali. Menurut Nachman Ben-Yehuda, dalam ranah sosiologi, ada dua elemen utama yang berperan menetapkan sebuah tindakan dikatakan sebagai penyimpangan atau anomali: moralitas dan kekuasaan.35 Dalam perspektif ini, segala tindakan atau perbuatan yang menyimpang dari sistem etika dan moral dalam masyarakat disebut sebagai anomali atau penyimpangan. Sebab, moralitas merupakan sebuah sistem sosial yang diperoleh melalui proses sosialisasi, yang memberi rambu-rambu atau petunjuk kepada para anggota masyarakat tentang yang baik dan buruk, mana yang tergolong boleh dan terlarang.36

Karenanya moralitas yang menjadi sebuah sistem sosial kemudian menjadi patokan atau kaidah tindakan masyarakat. Sehingga sebuah perbuatan atau tindakan yang keluar dari garis atau kaidah sosial tersebut bisa dikategorikan sebagai tindakan yang tidak konvensional, sebuah perbuatan yang tidak wajar, sebuah tindakan ganjil (incest) dan karena itu merupakan sebuah anomali. Umumnya tindakan yang masuk kategori anomali ini sebagiannya dipandang sebagai tindakan kriminal atau kejahatan sehingga pelakunya harus dikenai sanksi, baik sanksi hukum maupun sanksi sosial. Segala kejahatan di masyarakat, baik itu narkoba, pelacuran, 35 Nachman Ben-Yehuda, “Penyimpangan: Sosiologi tentang Hal-hal yang Tidak Konvensional” dalam George Ritzer (ed.), Sosiologi, (terj.), Daryanto, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013), hlm.358

36 Pedoman moral bukanlah sesuatu yang sederhana, namun sistem sosial di mana saja senantiasa mempunyai pedoman yang seperti itu. masing-masing tentu mempunyai sistem moral yang berbeda –beda sehingga tidak bisa sistem moral masyarakat satu disamakan secara apa adanya dengan sistem moral masyarakat lain. Hanya saja nilai-nilai universal dari moralitas banyak dipegang oleh banyak komunitas masyarakat. Misalnya “membunuh tanpa alasan itu tidak boleh”, ini merupakan contoh nilai moral universal yang diyakini oleh banyak masyarakat manapun. Artinya sistem moral akan hadir di dalam kehidupan kita, terlebih ketika seseorang memasuki ke dalam berbagai dunia empiris atau ranah kehidupan, seperti dunia kerja, dunia pendidikan, dunia pelatihan, maka sudah bisa dipastika kita akan menemukan berbagai pedoman moral, sebagai dasar interkasi sosial di ranah tersebut. Ihat , Ibid

perjudian, korupsi, seks bebas dan sebagainya merupakan tindakan anomali dalam masyarakat.

Tindakan-tindakan tersebut mencerminkan penyimpangan dari kidah-kaidah moral dan hukum yang ada di masyarakat. Tentu saja berbagai tindakan menyimpang dalam masyarakat tersebut disebabkan oleh beraneka ragam faktor. Misalnya dalam hal marak-nya pelacuran, selain karena semakin rapuhmarak-nya sistem sosial, juga disebabkan oleh persoalan ekonomi. Sebagian para perempuan yang melacurkan diri karena keterpaksaan yang disebabkan oleh kemiskinan struktural. Dari sini, sebuah penyimpangan dalam masyarakat juga perlu dipahami dari akarnya yang paling fundamental, jika hendak mengetahui realitas yang sesungguhnya dari praktik anomali tersebut.

Selain moral, elemen lainnya dalam anomali atau penyimpangan adalah kekuasaan. Kekuasaan merupakan elemen yang turut mendefi nsikan tindakan yang menyimpang. Artinya sebuah tin-dakan dikatakan menyimpang atau mengalami anomali lebih karena tindakan tersebut bertentangan dengan pakem-pakem yang dirumuskan oleh kekuasaan. Misalnya, dalam sistem politik yang diktator dan otoritarian, sebuah kritik, dianggap sebagai sebuah tindakan yang menyimpang. Karenanya para pelakunyapun banyak ditangkap dan dimasukkan ke dalam penjara. Dalam konteks Indonesia, fenomena semacam ini sangat marak di era Orde Baru.

Segala tindakan atau aktivitas apa saja yang dipandang ber-lawanan dengan rezim kekuasaan Orde Baru maka akan dicap sebagai penyimpangan atau anomali sehingga pelakunya harus di-masukkan ke dalam penjara. Kenapa demikian? Karena di dalam rezim yang otoriter, yang biasa berlaku adalah instruksi dan kepatuhan. Sehingga ketika ada kritik yang melawan instruksi, maka hal itu dipandang sebagai anomali atau keganjilan. Maka, tidak heran kalau di rezim otoritarian, banyak tokoh-tokoh kritis dijebloskan ke ppenjara, karena pemikiran dan gerakannya cenderung bersebrangan dengan politik rezim kekuasaan.

Di era Orde Baru misalnya banyak tokoh kritis yang hingga saat ini nasibnya belum bisa diketahui karena telah diculik. Salah satunya adalah sastrawan Widji Tukul. Pemikiran dan gerakan para tokoh-tokoh yang bersebrangan dengan rezim ORBA tersebut dianggap sebagai penyimpangan dan pelakunya dicap sebagai pembangkang, sehingga mereka banyak yang ditangkap, diculik dan dibuang hinggga jejak-jejaknya sampai saat ini tidak bisa diketahui.

Hal itu menunjukkan bahwa, selain moral, kekuasaan juga merupakan elemen yang digunakan sebagai kekuatan untuk me-nentukan apakah sebuah tindakan atau pemikiran masuk kategori menyimpang atau bukan. Untuk menentukan menyimpang atau bukan maka ketentuan atau standarnya adalah paradigma kekuasaan. Di luar kekuasaan, semuanya dianggap sebagai tidak benar dan karena itu merupakan sebuah penyimpangan. Meski demikian, elemen kekuasaan ini sama relatifnya dengan elemen moral dalam fungsinya sebagai standar penyimpangan. Namun kedua elemen inilah yaitu moralitas dan kekuasaan yang menetapkan sebuah tindakan sebagai penyimpangan atau anomali dalam ranah sosial dan politik.37

Termasuk dalam konteks politik, moral dan kekuasaan senantiasa menjadi dasar utama dalam menentukan nilai-nilai di dalamnya. Hukum sendiri sebagai produk politik, di dalamnya lebih merepresentasikan semangat moral. Karenanya secara substantif, hukum turut menjadi rambu-rambu dalam kehidupan politik. Segala kebijakan (policy) yang menyangkut urusan publik, senantiasa menyertakan unsur-unsur moral dan hukum. Dari dua perspektif ini, sebuah kebijakan politik diukur.

37 Namun demikian, Downes dan Rock kata Ben-Yehuda tetap menegaskan bahwa penyimpangan merupakan fenomena sosial yang sulit didefi nisikan. Kesulitan tersebut berkiatan dengan faktor-faktor dalam masalah prediksi dan kontrol atas implikasi dari sebuah moral. Dilhat dari perspektif ini, maka bisa diketahui bahwa penyimpangan tampak ditandai oleh hakikat relatif dan kontrol atas implikasi peraturan moral. Dilihat dari perspektif itu, penyimpangan utamanya ditandai oleh hakikat relatif dan karakternya yang sering berubah-ubah. Ibid, hlm.359

Konsep moral kalau ditelisik lagi lebih dalam juga merepresentasikan tiga aspek ideologi: sistem keyakinan, sistem pemikiran dan juga praktik simbolik. Ketiga unsur ini menjadi dasar dalam praktik politik dalam sebuah masyarakat dengan beragam bentuknya. Aspek moral dalam sebuah tindakan politik senantiasa merujuk pada sistem ideologinya. Karenanya, berbagai tindakan politik diandaikan tetap berada dalam fatsun-fatsun yang telah dipegang bersama, khususnya yang telah termanifestasikan dalam sistem hukum. Ketika sebuah tindakan politik telah menyimpang dari fatsun dan koridor hukum, maka praktik politik tersebut di-pandang sebagai sebuah anomali, baik dalam konteks pidana maupun pelanggaran etik.

Nilai-nilai moral dan kekuasaan itu dalam faktanya dibakukan dalam bentuk undang-undang dan norma. Undang-undang dan norma dibakukan menjadi pegangan umum bagi setiap individu di dalam masyarakat, sehingga sistem peraturan itu pada akhirnya menjelma sebagai commonsense bagi seluruh masyarakat. Setiap tindakan individu atau kelompok yang bertentangan dengan undang-undang atau norma tersebut dipandang sebagai tindakan yang bertentangan dengan commonsense masyarakat, karenanya di-anggap sebagai penyimpangan atau anomali.