• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kiai Turun Gunung: Madura Era Reformasi

POTRET ANOMALI IDEOLOGI POLITIK MASYARAKAT MADURA

B. Kiai Turun Gunung: Madura Era Reformasi

sebagai pertimbangan untuk berafiliasi dengan politik kiai. Kemudian kelompok yang mengikuti blater berargumen bahwa mereka mengikuti blater supaya desa maupun ternaknya aman dan sebagainya. Para kiai sendiri, di era Orde Baru cukup memberikan arah atau perintah untuk memilih partai politik tertentu, maka masyarakat akan segera mengikuti. Sehingga perintahnya mutlak. Begitu juga dengan blater192”.

Posisi kedua tokoh sentral yang sangat berpengaruh itu terbilang sangat kuat di era Orde Baru. Namun mereka berdua mempunyai basis massa yang berbeda-beda. Jika basis masa kiai adalah kaum santri dan masyarakat yang budaya keagamaannya sangat kuat, sebaliknya, basis massa blater adalah kelompok masyarakat yang tidak nyantri dan tidak kuliah. Meskipun saat ini pola patronasi tersebut saat ini mulai berubah di kalangan kiai. Hal ini disebabkan oleh perubahan masyarakat sendiri, seperti pendidikan, pergaulan yang semakin terbuka, dan faktor politik setelah Orde Baru.

Sebaliknya patronasi terhadap blater relatif tidak berubah. Sampai saat ini basis massa blater, yang terdiri dari masyarakat yang tidak sekolah dan tidak nyantri tetap solid. Begitu juga para kaum santri atau masyarakat keagamaan yang konservatif, masih kuat patronasinya dalam aspek politik. Intinya, konstelasi politik di Madura yang dulunya cenderung absolut dalam sistem dinasti atau patronasi, pascareformasi ini mulai berubah, baik dari segi orientasi maupun nilai-nilai yang mendasarinya.

Akibatnya, strategi “Sabdo Pandito Ratu” tidak sesakti dulu. Fatwa-fatwa politik kiai yang dulu sangat “mujarab” untuk menarik dukungan, bisa dikatakan ini mengalami penurunan tuahnya. Maka taktik dan strategi baru pun dilakukan oleh para patron politik di Madura agar tetap bisa menuasai para klien-nya.

B. Kiai Turun Gunung: Madura Era Reformasi

Perubahan politik Indonesia, yang diawali dengan lahirnya era Reformasi dan tumbangnya rezim Orde Baru, turut memengaruhi konstelasi politik di Madura. Perubahan ini utamanya menyangkut soal eksistensi patronasi dalam politik Madura. Meski perubahan pada tahap ini belum signifikan, namun paling tidak angin perubahan itu turut menggeser sendi-sendi patronasi politik masyarakat Madura. Salah satu contohnya masyarakat Madura mulai berani kritis dan tidak percaya begitu saja terhadap fatwa-fatwa politik kiai.

Sebagian masyarakat Madura sudah mulai berani menentukan sendiri pilihan politiknya, beradasarkan pertimbangan-pertimbangan yang dibuatnya, dan tidak lagi mengikuti fatwa politik kiai. Dengan kata lain, seperti dikatakan Kiai Sholahur Rabbani, bahwa fenomena baru di Madura belakangan ini adalah munculnya kelompok-kelompok kritis yang mulai berani meragukan fatwa kiai dalam politik.193

Karena itu wajar, kalau sebagian masyarakat Madura sekarang dalam berpolitik tidak lagi terikat atau terpengaruh instruksi atau seruan orang lain. Kecuali jika terjadi ancaman, teror dan intimidasi dari pihak yang menjadi patron. Untuk mengamankan diri, masyarakat Madura lebih memilih untuk berafi liasi dengan seorang patron. Di kalangan para kiai tidak ada politik intimidasi atau teror. Teror politik biasanya terjadi dari kalangan blater. Seperti sudah disinggung di atas bahwa patronasi di kalangan blater saat ini relatif tidak berubah di berbagai pelosok Madura. Bahkan, patronasi di kalangan blater sendiri terbilang lebih rapi dan konsisten.194

Bagaimana perubahan itu terjadi dalam konteks patronasi politik di Madura? Pergeseran patronasi inilah terlihat anomali atau 193 Wawancara dengan KH. Sholahur Rabbani, seorang pelukis, budayawan dan pengasuh PP. Assirojiyah, di rumah narasumber, pada 12 Desember 2014

194 Keterangan Munhari, tokoh pemuda Madura, saat FGD (Focused Group

Discussion) tentang “ Anomali Politik Masyarakat Madura” di Hotel New

pergeseran nilai-nilai ideologi politik masyarakat Madura yang di era Orde Baru sangat dipegang erat. Pergeseran patronse politik di Madura itu bisa dilihat melalui beberapa indikas, antaralain mulai tumpulnya fatwa politik yang dikeluarkan oleh para kiai. Fatwa-fatwa politik yang ketika di era Orde Baru mampu menjadi daya kekuatan untuk menarik dukungan, sekarang tidak efektif lagi. Kekuatan ini mulai banyak diabaikan masyarakat Madura. Fatwa politik kiai yang dulu menjadi ikatan ideologi yang kuat, kini sudah mulai luntur.

Kini sistem patronasi dan aksi saling mendukung antara patron dan client politik pun sekarang mulai berubah. Kalau di era Orde Baru para kiai menarik dukungan cukup mengeluarkan “Sabdo Pandito Ratu” berupa fatwa politik, maka sekarang tidak cukup. Para kiai harus “turun gunung” untuk mendukung calon yang atau partai politik yang diusungnya. Di era Reformasi ini, para kiai di Madura tidak sungkan lagi ikut berkampanye dan terjun ke lapangan untuk memberikan dukungan secara total bagi parpol atau calon yang mereka dukung.

Menurut kata Kiai Afi f, di era Reformasi sekarang, para kiai harus ikut Turba untuk memberikan dukungan terhadap calon yang dia dukung. Singkatnya, dukungan seorang kiai terhadap seorang calon atau parpol supaya benar-benar menarik masyarakat, harus dieksplisitkan dan difokuskan. Kepada siapa atau parpol mana seorang kiai itu benar-benar memberikan dukungannya, maka hal ini harus dieksplisitkan. Dukungan eksplisit dari kiai ini diwujudkan melalui pernyataan-pernyataan yang jelas di arena kampanye atau di forum-forum politik, bahkan melalui peran kiai secara langsung dalam proses pemenangan seorang calon.

Pada musim Pilkada atau Pemilu, seorang calon atau Partai Politik, lanjut Kiai Afi f, senantiasa “menjual” wajah-wajah kiai dalam berbagai atributnya, mulai dari baliho, kaos hingga stiker. Sehingga muncul istilah-istilah yang namanya kiai 9, kiai 51 dan sebagainya. Artinya, seorang calon atau Parpol tertentu telah didukung dan

direstui oleh kiai yang jumlahnya 9 atau 51, dengan nama-nama yang disebutkan. Di era Orde Baru, tanpa mencantumkan nama-nama kiai pun dukungan masyarakat sudah bisa didapatkan. Hal ini menggambarkan pola perubahan pola patronasi di era Reformasi sekarang ini.

Seperti kata Kiai Afi f, “Pola patrone-client, ketika di dulu (Orde Baru) itu kan cukup ditunjukkan dengan fatwa politik, Karena fatwa politik di masa itu ‘‘Sabdo Pandito Ratu’’. Sekarang tidak bisa seperti itu. Para kiai harus ikut Turba dalam memberikan dukungan pada calon atau partai politik. Makanya sekarang ada istilah kiai sembilan, kiai lima satu, dan seterusnya. Ini menunjukkan jumlah kiai benar-benar menunjukkan dukungannya pada calon tertentu. Dari sini terlihat bagaimana perubahan pola patrone-client itu terjadi. Sebab, masyarakat sudah berubah. Mereka tidak lagi percaya dengan fatwa-fatwa politik kiai seperti dulu. Kalau dulu, seorang kiai cukup dari rumah atau pondoknya menyeru atau memberikan fatwa untuk mendukung calon ini atau calon itu. Sekarang tidak seperi itu lagi. Harus kelihatan ikut turun ke bawah untuk memberikan dukungan kepada calonnya tersebut. Untuk membuktikan bahwa kiai-kiai itu memang memberikan dukungannya. Sehingga nama-nama kiai yang mendukung akhirnya ikut dibawa-bawa ke dalam kampanye195

Dilihat dari penjelasan di atas, pola dan strategi kiai untuk mempertahankan patronasinya di era sekarang lebih riil dan pragmatis. Seorang kiai di Madura tidak lagi menjadi pengawas atau penasihat, melainkan langsung ikut menjadi “pemain”. Para kiai tanpa malu-malu ikut bertarung dalam aksi saling mendukung. Oleh karena itu, sikap politik Madura sekarang menjadi sangat partisan. Peran mereka dengan demikian, tidak sekadar menyeru 195 Keterangan KH. Afi f ini didapatkan saat FGD (Focused Group Discussion) tentang “ Anomali Politik Masyarakat Madura” di Hotel New Ramayana di Pamekasan pada Minggu, 6 Desember 2015

masyarakat, melainkan juga terlibat dalam pengaturan strategi dalam menarik dukungan masyarakat bagi calon atau partai yang mereka dukung.

Apalagi jika calon tersebut berasal dari alumni pondok pesantrennya, maka seorang kiai tidak hanya memberikan restu, tetapi juga turut “berjuang” untuk memenangkannya. Bahkan, di antara para kiai itu ada yang langsung mencalonkan diri menjadi anggota DPR atau kepala daerah. Namun, ini hanya merupakan arus umum yang selama ini terjadi di Madura. Artinya dalam realitas empirik, ada beberapa kiai yang tetap istiqomah dan tidak mau melibatkan dirinya untuk aksi saling dukung dalam politik.

Lalu bagaimana pola patronasi seperti itu bisa berubah? Ada beberapa faktor, di antaranya karena faktor pendidikan. Melalui pendidikan, sebagian masyarakat Madura sekarang sudah banyak yang melek politik. Sehingga mereka tidak lagi terikat dengan pola dan sistem patronasi dengan kiai. Dalam ilmu agama tetap setia dan patuh pada kiai, namun dalam hal politik mereka mulai menentukan berdasarkan pilihannya sendiri.

Meningkatnya wawasan dan pendidikan masyarakat Madura membuat mereka mulai berubah dalam menyikapi fatwa politik kiai. Fatwa politik kiai yang dulu dianggap sebagai kebenaran mutlak, sekarang menjadi relatif dan bisa diperdebatkan. Ikatan emosional pesantren di era Orde Baru yang sangat kuat, kini juga mulai merenggang.

Seperti dikatakan Muhammad Subhan,“Patronasi politik di Madura sekarang memang mengalami pergeseran, tetapi tidak signifikan. Salah satu faktornya adalah semakin banyaknya masyarakat Madura yang paham politik. Hal ini karena faktor pendidikan. Jika pendidikan yang diterima semakin tinggi, maka fatwa politik kiai yang dulu dianggap mutlak, sekarang menjadi bisa diperdebatkan. Masyarakat santri yang banyak mengenyam pendidikan di perguruan tinggi sekarang mempunyai prinsip bahwa mereka menjaga loyalitas dan berguru pada kiai itu hanya soal ilmu

agama (spiritual). Tetapi dalam urusan politik, mereka menentukan jalan sendiri-sendiri. Begitu juga dalam hal afi liasi pesantren, bila di era Orde Baru dulu sangat kuat, saat ini tidak lagi. Mereka tetap terikat sebagai alumni pesantren, tetapi dalam urusan politik tidak harus terikat yang didukung oleh pengasuh pesantrennya196.”

Melihat penjelasan di atas, pergeseran patronasi di atas bukan hanya menunjukkan terjadinya diaspora dalam sistem patronasi, tetapi juga mencerminkan lunturnya ideologi politik masyarakat Madura. Patronasi politik yang bercorak tunggal di era Orde Baru, dengan cukup diikat oleh kesamaan fatwa, saat ini menjadi beragam pola. Sejumlah kiai menjadi patron bagi calon atau partai politik tertentu. Sementara sejumlah kiai lainnya menjadi patron atau parpol yang berbeda. Sehingga tidak bisa seorang atau sejumlah kiai di Madura menjadi patron untuk client yang sama.

Pergeseran patronasi tersebut mencerminkan terjadinya lunturnya semangat ideologi. Masyarakat Madura yang dulu begitu mutlak memercayai apa yang dikatakan dan diajarkan kiai dalam politik, sekarang mulai meragukannya. Hal ini kemudian menjadikan para kiai di Madura harus lebih praksis dan pragmatis dalam memberikan dukungan politik. Terjadinya diaspora patronasi, menunjukkan tidak adanya fatwa politik tunggal yang mampu mengikat seluruh atau sebagian besar masyarakat Madura, sebagaimana yang terjadi di era Orde Baru.

Runtuhnya fatwa politik, yang kemudian memunculkan ter-jadinya pergeseran patronasi di Madura, memiliki kaitan yang erat dengan pergeseran keyakinan masyarakat Madura terhadap fatwa tersebut. Perubahan keyakinan masyarakat terhadap fatwa politik juga bisa menunjukkan terjadinya perubahan paradigma masyarakat Madura dalam konstelasi politik saat ini. Masyarakat 196 Keterangan Muhammad Subhan, Dosen UIM, saat FGD (Focused Group

Discussion) tentang “ Anomali Politik Masyarakat Madura” di Hotel New

Madura semakin pragmatis dan realistis dalam memandang politik, sehingga sejumlah fatwa atau perkataan seorang kiai atau tokoh agama yang asalnya dipandang ‘sakral’ kini dianggap tidak relevan. Sehingga seorang kiai atau tokoh agama tidak lagi menggantungkan otoritas keagamaan dan spiritualnya untuk memengaruhi masyarakat dalam politik.

Faktanya dalam ranah politik, masyarakat madura mulai tidak lagi percaya dan karena itu tidak lagi merasa terikat dengan seruan-seruan atau ajaran-ajaran yang dibungkus dengan nilai-nilai agama tersebut. Salah satu bukti perubahan keyakinan dan paradigma masyarakat Madura, terhadap apa yang dikatakan atau difatwakan para kiai dalam dunia politik adalah kekalahan Kiai Kholilurrahman ketika mencalonkan diri sebagai bupati Pamekasan. Padahal Kiai Kholil saat itu didukung oleh sebagian besar kiai.197

Perubahan pola patronasi politik di Madura tersebut, akhirnya melahirkan perubahan strategi politik dari para kiai. Para kiai yang saat ini yang turun ke dunia politik harus terjun langsung ke lapangan untuk menyatakan dukungannya. Para kiai bahkan harus ikut menjadi “pemain”untuk memenangkan calon atau parpol yang mereka dukung. Barangkali sebagian kiai di Madura sekarang ini “sudah tidak malu-malu” lagi untuk melakukan aksi dukung-mendukung, dengan melalui berbagai taktik dan strategi. Sementara di sisi lain, masyarakat Madura semakin tidak bersedia lagi terikat lagi dengan seruan dan himbauan dari para kiai terkait dengan pilihan politik. Ajaran tentang ulama atau kiai sebagai “warotsatul ambiya” nampak tidak lagi mampu menjadi pengikat masyarakat Madura dalam praktik politik saat ini.

Perubahan strategi para kiai dalam menarik dukungan masyarakat dan sekaligus untuk mempertahankan patronasinya tersebut sekarang ini mencapai pada tahap yang dikhawatirkan 197 Keterangan Munhari, tokoh pemuda Madura, saat FGD (Focused Group

Discussion) tentang “ Anomali Politik Masyarakat Madura” di Hotel New

oleh sebagian masyarakat Madura. Kekhawatiran itu muncul, kata Muhammad Subhan, seiring adanya kecenderungan para kiai dan blater untuk bersatu. Kalau sampai kedua pilar patronasi itu bergandengan tangan, maka kekuatan masyarakat Madura akan semakin habis. Namun, lanjut Subhan itu masih sebatas kekhawatiran. Sebab kondisi saat ini, akibat semakin lunturnya