• Tidak ada hasil yang ditemukan

Macam dan Jenis Ideologi dalam Politik

ada lagi ideologi dalam bentuknya yang lebih baru dan mampu mengkonstruk sejarah baru.

Singkatnya, dialektika sejarah ideologi di dalam pandangan Fukuyama, telah mati. Karenanya, tesis Fukuyama tersebut hingga kini masih diperdebatkan keabsahannya. Sebab, selama kehidupan manusia masih berjalan di muka bumi, maka sejarah tidak akan pernah berhenti. Selama gesekan, persaingan dan dinamika sejarah umat manusia masih terus berdenyut, maka dialektika tidak akan pernah mati, termasuk dialektika ideologi. Bisa jadi, liberalisme-kapitalisme bukan akhir dari sejarah manusia, dikarenakan kemungkinan lahirnya ideologi baru sebagai antitesa liberalisme-kapitalisme masih terus terbuka.

Berdasarkan penjelasan itu, bisa diketahui bahwa ideologi politik mempunyai dua dimensi: pertama adalah tujuan atau target dan yang ke dua adalah metode atau cara untuk mencapai target atau tujuan tersebut. Masing-masing ideologi mempunyai tujuan yang berbeda-beda, karenanya mempunyai strategi gerakan yang berbeda-beda pula dalam meraih tujuannya. Sistem ideologi yang corak dan warnanya yang beragam itu, dalam sejarahnya banyak mewarnai peta politik dunia. Di antara corak ideologi yang paling dikenal dalam spektrum politik adalah ideologi kiri, tengah dan kanan, meskipun kategorisasi ideologis ini masih sangat kontroversial dan masih kabur batas-batasnya.

Akhirnya, ideologi dapat dibedakan dari strategi politiknya (misalnya populisme) dan dari isu-isu tunggal yang tidak dapat dibangun oleh kebiasaan misalnya legalisasi minuman keras dan sebagainya. Hal ini kemudian menginspirasi Michael Oakeshott dalam mendefi nisikan ideologi sebagai “ringkasan formal dari sub-strata kebenaran rasional yang sifatnya seharusnya, yang terkandung dalam tradisi”. Studi dari konsep ideologi itu sendiri (bukan ideologi tertentu) telah dilakukan atas nama ideologi yang sistematis.

Sebagai sebuah sistem kepercayaan, pemiiran dan praktik simbolik, ideologi telah menjelam ke dalam berbagai bentuk. Di dalam konteks politik sebuah ideologi mempunyai banyak sumber, baik dari sistem pemikiran maupun agama dan kepercayaan. Hal inilah kemudian yang menjadikan ideologi dalam politik sifatnya sangat beragam.

Secara umum beberapa bentuk ideologi dunia yang selama ini dikenal adalah kapitalisme/liberalisme, sosialisme/komunisme, islamisme dan fundamentalisme. Pertama adalah kapitalis-liberalisme. Kedua konsep ideologi itu dalam ekonomi–politik sangat dekat dan integral. Hanya saja kalau diuraikan secara terperinci, kapitalisme berada dalam wacana ekonomi dan politik, sementara liberalisme berada dalam ranah fi lsafat dan sosiologi. Liberalisme ini sejarahnya muncul sebagai bentuk dari implementasi kebebasan individu. Manusia dalam masyarakat, dalam konteks liberalisme ini, sebagaimana dikatakan Mill, tidak punya ciri, kecuali manusia yang berkembang dari atau dipilah-pilah oleh hukum alam manusia individu.12 Ketika kedua konsep itu digabungkan, maka kapitalisme dasar fi losofi snya adalah liberalisme; ruh dan dasar kapitalisme adalah liberalisme.

Secara etimologis, kapitalisme (capitalism) adalah sebuah paham atau ideologi yang lebih berorientasi pada akumulasi 12 Namun dalam perkembangannya, terutama pada akhir 19, pandangan

individualis ini semakin sering dikritik, terutama oleh mereka yang terpengaruh fi lsafat idealis. Bahkan D.G.Ritche secara jelas-jelas menolak bahwa masyarakat hanyalah segerombolan individu. Ritchie menegaskan bahwa masyarakat lebih mirip dengan organisme yang memiliki kehidupan internal yang kompleks. Para pakar liberalisme seperti L.T.Hobhouse dan Dewey menolak mengadopsi pandangan-pandangan kolektifi tas seperti yang diusung Bernard Bosanquet, tetapi juga menolak individualisme radikal bentham, Mil dan Spencer. Sepanjang hampir separo pertama abad kedua puluh, analisis ‘organis’ terhadap masyarakat seperti itu memiliki pengaruh sangat kuat di dalam teori liberal, juga di dalam ilmu ekonomi lihat Gerald F. Gaus dan Chandran Kukathas, Handbook Teori Politik, (Terj.), Derta Sri Wedowatie, (Jakarta: Nusa Media bekerja sama dengan Lembaga Pengembangan Ilmu Pengetahuan, 2012), hlm.229-230

modal. Ideologi ini dalam konteks ekonomi politik berjalan di atas dasar usaha menginvestasikan uang dalam rangka menghasilkan uang yang lebih banyak lagi. Secara umum kapitalisme terdiri atas tiga varian, yaitu Kapitalisme Pedagang (Merchant Capitalism), Kapitalisme Produksi, dan Kapitalisme Finansial. Kapitalisme dagang ini masuk termasuk kapitalisme paling tua. Kelompok kapitalis me nanamkan modalnya untuk mencari barang yang langka dan memiliki keuntungan jika diperdagangkan. Investasi berupa uang, termasuk kendaraan, barang kebutuhan primer, barang berharga, dan sejenisnya. Kapitalisme pedagang menuntut pembukaan pasar yang nantinya akan dilakukan monopoli atasnya.

Dalam sudut pandang kapitalisme, yang lebih bertumpu pada liberalisme, setiap individu bukanlah bagian dari masyarakat, tetapi merupakan suatu pihak yang harus berjuang untuk kepentingan sendiri. Dalam perjuangan ini, faktor penentunya adalah produksi. Produsen unggul akan tetap bertahan, dan produsen lemah akan tersingkir. Kompetisi merupakan aspek internal dalam kapitalisme. Siapa yang kuat akan jaya dan yang lemah harus tersingkir merupakan nuansa kompetisi yang tidak bisa ditolak dalam kapitalisme-liberalisme. Kompetisi ini merupakan konsekuensi dari semangat liberalisme individu yang menjadi ruh dari ideologi kapitalisme.

Secara historis kapitalisme muncul berawal di zaman feodal di Mesir, Babilonia, dan Kekaisaran Roma. Para pakar politik dan sosial menyebut kapitalisme di era ini sebagai commercial capitalism (kapitalisme komersial). Lambat laun, kapitalisme komersial ini berkembang, lintas suku dan bahkan lintas negara dan dalam konteks modern kemudian membutuhkan sistem hukum ekonomi dan usaha untuk menjamin keadilan perdagangan ekonomi yang dilakukan oleh para pedagang, tuan tanah dan bahkan kaum rohaniawan.

Pada tahap selanjutnya, sistem kapitalisme ini kemudian berlanjut menjadi sebuah hukum dan sistem etik bagi kaum

pedagang dan pengusaha. Karena terjadinya perkembangan kom-petisi dalam konteks pasar dan fi nansial, maka dibutuhkan sebuah regulasi dan undang-undang perkembangan kompetisi dalam sistem pasar yang mapan. Dari sini kemudian terbukalah bagi para pedagang dan pengusaha untuk membuka seluas-luasnya wacana soal pasar. Setiap kali membicarakan soal pasar, mereka juga membicarakan soal komoditas dan nilai lebih yang bisa memberi keuntungan bagi para pengusaha dan pedagang.

Perkembangan pandangan para pedagang dan situasi pasar menyebabkan terjadinya perubahan penguasaan ekonomi dari sistem feodal yang dimonopoli tuan tanah, bangsawan, dan rohani-wan, ke tangan para kapitalis, yang dimonopoli oleh orang-orang yang menguasai modal. Ekonomi dan pasar mulai menjadi bagian penting perjuangan kelas menengah (middle class) dan mulai berpengaruh ke berbagai dunia. Periode inilah yang kemudian disebut dengan kapitalisme industri. Dalam peralihan ini ada tiga tokoh pemikir yang berpengaruh yaitu Th omas Hobbes, John Locke, dan Adam Smith.

Dalam sistem pemikirannya, Th omas Hobbes menyatakan bahwa setiap orang secara alamiah akan mencari pemenuhan kebutuhan bagi dirinya sendiri. John Locke berpendapat bahwa manusia itu mempunyai hak milik personalnya. Sementara Adam Smith menganjurkan pasar bebas dengan aturannya sendiri, dengan kata lain, tidak ada campur tangan pemerintah di dalam pasar. Teori-teori dari para tokoh tersebut semakin berkembang pesat dan mendominasi diskursus dalam ranah ekonomi politik seiring dengan meletusnya Revolusi Industri.

Kebebasan individu dalam konteks persaingan yang terjadi di dalam ekonomi kapitalis kemudian berjalan seiring dengan konsep liberalisme yang memang menjadi ruhnya. Seruan kebebasan dalam liberalisme ini sendiri dikumandangkan sektitar abad 16 dan awal abad 17. Hal ini merupakan wujud gugatan terhadap abad pertengahan yang lebih didominasi oleh rezim gereja. Rezim

abad pertengahan membuat masyarakat yang tertekan dengan kekuasaan gereja ingin membebaskan diri dari berbagai ikatan, baik agama, sosial, dan pemerintahan. Menurut Adam Smith, liberal berarti bebas dari batasan (free from restraint), karena liberalisme menawarkan konsep hidup bebas dari pengawasan gereja dan raja.

Selanjutnya ideologi yang menjadi tandingan dan lawan dari kapitalisme/liberalisme adalah sosialisme/komunisme. Sosialisme adalah ideologi yang mencita-citakan sebuah masyarakat tanpa kelas dan hak milik. Hal ini bertentangan dengan liberalisme yang menghargai hak milik individu. Sebaliknya, sosialisme justru anti dengan hak milik pribadi. Mengubah struktur masyarakat dengan menjadikan perangkat produksi menjadi milik bersama, dan pembagian hasil secara merata disamping pembagian lahan kerja dan bahan konsumsi secara menyeluruh. Dalam sosialisme setiap individu harus berusaha untuk mendapatkan layanan yang layak untuk kebahagiaan bersama, karena pada hakikatnya, manusia hidup bukan hanya untuk bebas, tapi juga saling menolong. Sosialisme dalam konteks modern lebih banyak dirujukkan ke Karl Marx. Sebab, lewat berbagai karyanya, utamanya yang menjadi masterpiece-nya, Das Kapital Marx telah muncul sebagai teoritikus dan filosof yang membelejeti kapitalisme dan menyerukan pentingnya sosialisme, terutama dalam konteks sosial-ekonomi.

Sosialisme sendiri bergaung pada pada abad ke-18 yang awal-nya diusung oleh Francois Noel Babeuf. Setelah tokoh lain yang muncul adalah Robert Owen di Inggris, Saint Simon dan Fourier di Perancis. Mereka bersama-sama berada dalam satu barisan menggaungkan mencoba memperbaiki keadaan masyarakat karena terdorong oleh rasa perikemanusiaan tetapi tidak dilandasi dengan konsep yang jelas dan dianggap hanya angan-angan belaka, karena itu mereka disebut kaum sosialis utopis. Sebagai bentuk antitesis kapitalisme, sosialisme juga menolak sistem pasar. Sosialisme berusaha menjadikan “pasar komersial” sebagaimana yang menjadi trend kapitalisme sebagai sesuatu yang sementara,

yakni hanya diposisikan sebagai tahap peralihan ekonomi kapitalis ke sosialis.13 Dalam pengertian ini sosialisme kemudian bukan hanya menjadi sistem pemikiran politik, tetapi juga menjadi sistem etika politik yang menawarkan seperangkat tujuan perkembangan yang saling terkait dan menekankan peran-peran tertentu dalam upaya memodernisasi masyarakat ke arah masyarakat industri yang berbasis komunisme.14 Dari sinilah sosialisme hingga saat ini diyakini para pemeluknya sebagai “sang mesiah” yang menawarkan perbaikan kehidupan masyarakat dunia, sebuah masyarakat tanpa kelas dan tanpa hak milik. Keyakinan terhadap sosialisme ini semakin menguat seiring dengan kegagalan kapitalisme dalam menciptakan kemakmuran masyarakat.

Selanjutnya ideologi lainnya adalah islamisme atau funda-mentalisme. Ini merupakan ideologi yang berbasis pada agama. Kalau kapitalisme dan sosialisme dipandang sebagai ideologi yang berbasis pada pemikiran fi lsafat, maka fundamentalisme lebih berbasis pada doktrin atau ajaran agama termasuk Islam. Meski Islam sendiri tidak melulu ideologis, melainkan juga kultural dan etis. Namun sebagian umat Islam ada yang hendak menjadikan Islam sebagai sistem ideologi negara. Hal ini tercermin dari gerakan-gerakan Islam fundamental seperti HTI, JI, Ikhwanul Muslimin, Al-Qaida, ISIS dan sejenisnya. Ideologi Islam ini semakin menguat gaungnya dalam konteks kontemporer seiring dengan meletusnya tragedi 11 September 2002.

Islamisme sendiri, sebagai sebuah gerakan ideologi politik, merupakan sebuah paham yang pertama kali dicetuskan oleh Jamal-al-Din Afghani atau Sayyid Muhammad bin Safdar al-Husayn (1838 - 1897) Munculnya ideologi ini sebenarnya dilatarbelakangi oleh 13 Lihat David E. Apter, ‘political Organization and Ideology” dalam Wilbert E.Moore dan Arnold S. Fieldman (Eds.), Labor Comitment and Social

Change in Developing Areas (New York: Social Science Reserach Council,

1960), hlm.337

14 David E. Apter, Politik Modernisasi, Terj. Hermawan Sulistiyo dan Wardah Hafi dz (Jakarta: PT.Gramedia Pustaka, 1987), hlm.341

maraknya imperialisme Barat ke negara-negara Islam. Ideologi ini menjadi paham politik alternatif dalam menyatukan negara-negara termasuk di daerah Mandat Britania atas Palestina yang mempunyai akar budaya dan tradisi yang berbeda dengan budaya dan tradisi Arab dalam tulisan di majalah al-’Urwat al-Wutsqa, kemudian dikembangkan dan dikenal pula sebagai Pan Islamisme.

Gerakan ideologi Islam tersebut belakangan kemudian lebih populer disebut dengan fundamentalisme Islam. Salah satu gerakan fundamentalisme Islam yang hingga sekarang ini masih mempunyai pengaruh kuat di berbagai belahan dunia adalah Ikhwan Al-Muslimin, yang berdiri di Mesir tahun 1924, dengan tokohnya yang terkenal: Hasan al-Banna. Ketika menggulirnya Ikhwanul Muslimin, al-Banna muncul sebagai tokoh gerakan politik Islam yang pemikiran-pemikiran politiknya cukup mendominasi pemikiran politik Sunni sepanjang era 1970-an dan 1980-an di berbagai negara Islam di Timur Tengah seperti Mesir, Sudan, Syria, dan Yordania.

Ideologi islamisme itu dalam perkembangannya mengalami transformasi yang besar seiring dengan lahirnya gerakan-gerakan baru yang mengusung tema yang sama, seperti Jamaah Islamiyah di Pakistan yang didirikan Abul A’la Al-Maududi (1903-1979). HTI di Yordania yang didirikan oleh Taqiyuddin An-Nabhani dan seterusnya. Inti gerakan islamisme yang nampak dari berbagai organisasi Islam itu cuma satu yakni mendirikan negara atau imperium politik yang berideologi Islam. Dalam konteks teori politik, gerakan islamisme itu sebenarnya mengusung gagasan teokrasi yang berkembang di abad pertengahan, dengan berbagai variannya. Sebagian ada yang mencoba mengusung imperium politik Islam secara global, namun sebagian ada yang menerima nation-state yang secara formal berdasarkan Islam. Kelompok yang pertama sebagaimana yang ditunjukkan oleh HTI. HTI di manapun senantiasa berambisi mendirikan imperium politik Islam secara global yang disebut dengan Khilafah Islamiyah. Sementara

kelompok kedua bisa mengambil contoh negara-negara Islam seperti Pakistan dan Iran.

Pakistan dengan mengadopsi pemikirannya Al-Maududi men-jadikan sitem Khilafah sebagai sistem dalam negara Islam. Khilafah yang diusung oleh Al-Maududi berbeda dengan yang diusung oleh HTI. Al-Maududi dalam konsep Khilafahnya tetap mengakomodir prinsip-prinsip demokrasi yang kemudian lebih dikenal dengan teo-demokrasi. Sebaliknya, HTI sama sekali menolak demokrasi, dengan alasan demokrasi adalah produk Barat, bukan produk Islam. Di sisi lain, Iran juga mendirikan negara berbasis ideologis Islam, namun dengan prinsip Imamah. Ini merupakan sistem yang khas di kalangan masyarakat Syi’ah. Dengan berbagai bentuk dan label pemerintahan Islam di atas, sejatinya bertumpu pada satu akar yakni teokrasi, yang mencoba membangun “kerajaan Tuhan’ di muka bumi.