• Tidak ada hasil yang ditemukan

Fatwa Kiai Sebagai “Sabdo Pandito Ratu”: Madura di Era Orde BaruOrde Baru

POTRET ANOMALI IDEOLOGI POLITIK MASYARAKAT MADURA

A. Fatwa Kiai Sebagai “Sabdo Pandito Ratu”: Madura di Era Orde BaruOrde Baru

logi politik. Sebab, anomali politik masyarakat Madura tersebut menyangkut tiga unsur yang menjadi bagian pokok ideologi: sistem keyakinan, pemikiran, dan simbolik. Melalui perubahan ketiga unsur inilah, ideologi politik masyarakat Madura dikatakan mengalami anomali. Berdasarkan data–data dan informasi yang digali dari lapangan menunjukkan bahwa sistem keyakinan, pemikiran dan praktik simbolik masyarakat Madura dalam praktik politik sekarang ini tengah bergeser.

Dari segi ukuran waktu, kajian ini mengamati fenomena politik masyarakat Madura yang berlangsung di era Orde Baru dan perbandingannya dengan era Reformasi sekarang. Dasar argumentasi dan nilai-nilai yang di era Orde Baru diyakini dan dipegang teguh oleh masyarakat Madura, sebagai dasar tindakan politik mereka, di era Reformasi ini mengalami perubahan. Fenomena inilah yang dikatakan sebagai anomali ideologi politik yang dikalangan masyarakat Madura. Bagaimana anomali itu ter-jadi ?

A. Fatwa Kiai Sebagai “Sabdo Pandito Ratu”: Madura di Era Orde Baru

Dalam sejarahnya, politik masyarakat Madura di era Orde Baru, lebih bertumpu pada “fatwa politik” para kiai. Fatwa politik kiai di Madura saat itu menjadi sebuah kekuatan yang mampu menggerakkan dan mengarahkan pilihan politik masyarakat. Fatwa kiai di bidang politik juga menjadi pengikat yang kuat bagi sebagian besar masyarakat Madura untuk menarik dukungan politik. Dalam hal inilah, fatwa politik masyarakat Madura di era Orde Baru ini seperti kata pengasuh Pondok Pesantren Ziyadatuttaqwa, KH. Moh. Afi ful Hair, yang akrab dipanggil, Kiai Afi f, menjadi semacam “Sabdo Pandito Ratu”185. Kiai dalam konteks ini berada dalam maknanya yang konvensional dan berlaku di Madura, dengan 185 Keterangan KH. Afi f ini didapatkan saat FGD (Focused Group Discussion) tentang “ Anomali Politik Masyarakat Madura” di Hotel New Ramayana di Pamekasan pada Minggu, 6 Desember 2015

beberapa indikasi: mempunyai pondok pesantren, mempunyai jamaah, bisa ceramah atau mengajar kitab kuning serta “sakti”. Kesaktian itu misalnya ditunjukkan bisa menyembuhkan orang sakit melalui doa-doanya dan sebagainya.

Mengapa fatwa politik para kiai di era Orde Baru dipandang sebagai ‘‘Sabdo Pandito Ratu’’? Karena kekuatan fatwa ini yang sangat besar dalam mengikat dan memengaruhi masyarakat dalam konteks politik dan kekuasaan. Di era Orde Baru, ketika seorang kiai atau pengasuh pondok pesantren memberi fatwa untuk memilih partai X, maka hampir seluruh masyarakat memilih partai X. Kesetiaan dan kepatuhan masyarakat Madura kepada para kiai dan keluarganya, terbilang sangat tinggi. Dari sini terlihat bagaimana kuatnya karakter ideologi politik masyarakat Madura di masa Orde Baru. Ideologi yang dimaksud itu lebih bernapaskan agama.

Fatwa kiai di era Orde Baru itu bukan hanya diposisikan sebagai perintah atau instruksi yang harus ditaati, melainkan juga dipandang sebagai ‘ajaran’ yang “sakral”. Menolak atau tidak menaati fatwa atau perintah kiai dalam hal politik, ditakutkan masyarakat Madura akan melahirkan sebuah bencana (kuwalat). Maka, kekuatan sebuah fatwa dalam politik yang dikeluarkan oleh seorang kiai mempunyai pengaruh luar biasa di masyarakat. Posisi kiai sedemikian penting, sehingga fatwa-fatwa dan ajaran-ajarannya sangat dipatuhi oleh masyarakat. Pengaruh para kiai di Madura di masa Orde Baru tersebut menjadi sangat dominan.

Bukan hanya itu. Pengaruh kiai yang sangat kuat, juga disebabkan oleh konstelasi politik saat itu, kekuatan kaum agamawan versus pemerintah yang diwakili Golkar seringkali berhadap-hadapan. Kiai dalam hal ini menjadi simbol kekuatan civil society, sementara pemerintah dengan Golkar-nya diposisikan sebagai simbol aparatus kekuasaan. Ketika kiai dan pemerintah dengan segenap aparatnya bergesekan, maka mayoritas masyarakat Madura lebih berpihak kepada kiai, sehingga relasi antara kiai dengan masyarakat begitu

dekat dan kuat.186 Maka, kiai muncul sebagai patron yang sangat dominan bagi masyarakat Madura ketika Orde Baru masih berkuasa.

Berdasarkan penjelasan di atas, paling tidak ada dua faktor yang melahirkan terjadinya patronasi antara kiai dengan masyarakat Madura di era Orde Baru. Pertama, bisa disebut dengan faktor internal. Faktor ini direpresentasikan oleh kualitas pribadi seorang kiai. Kiai dengan segala integritasnya, muncul sebagai sosok yang sangat dihormati dan dipatuhi oleh sebagian masyarakat Madura. Bahkan, kiai muncul sebagai sosok yang dianggap keramat karena kualitas pribadi dan keilmuannya. Selain menguasai ilmu-ilmu agama, seorang kiai juga dipandang “sakti”, yang dibuktikan dengan kemampuannya menyembuhkan penyakit dalam masyarakat melalui pendekatan spiritual. Selain sebagai seorang pendidik, dengan kapasitasnya sebagai penceramah dan pengajar kitab kuning, seorang kiai juga bisa nyuwuk.187

Kedua adalah faktor eksternal. Faktor eksternal direpresentasi-kan oleh konstelasi dan pergoladirepresentasi-kan politik masa Orde Baru. Ketika rezim Orde Baru masih berkuasa, seringkali kebijakan-kebijakan politiknya bersebrangan dengan aspirasi politik para kiai. Pada masa ini terjadi fusi kekuatan-kekuatan politik umat Islam ke PPP. Sehingga Madura sebagai basis pesantren dan umat Islam, secara politik banyak berafi liasi ke PPP. Sebaliknya Golkar saat itu sebagai representasi kekuatan pemerintah Orde Baru.

Di masa ini banyak kiai di Madura yang bergabung dengan PPP. Di era Orde Baru pula, kendali atas partai politik, kata sekretaris PPP Pamekasan, Wazirul Jihad, hanya berasal dari satu pintu: pemerintah, sehingga sulit melakukan perlawanan. Karenanya, pemerintah atau penguasa Orde Baru menjadi kekuatan yang absolut untuk mengooptasi partai politik, terutama yang menjadi 186 Wawancara dengan Dosen Ekonomi Universitas Airlangga (UNAIR),

Akhmad Jayadi, pada 6 Desember 2015, di Pamekasan

187 Keterangan KH. Afi f ini didapatkan saat FGD (Focused Group Discussion) tentang “ Anomali Politik Masyarakat Madura” di Hotel New Ramayana di Pamekasan pada Minggu, 6 Desember 2015

rival partai pemerintah (Golkar).188 PPP yang saat itu disimbolkan menjadi berkumpulnya para kiai atau ulama mendapatkan banyak dukungan dari masyarakat Islam, termasuk di Madura. Sebagian besar masyarakat Madura, mendukung PPP di era Orde Baru, alasan utamanya adalah karena partai ini dipandang sebagai medium para kiai dalam memperjuangkan Islam di ranah politik.

Ketika terjadi ketegangan antara kiai versus penguasa, karena rasa fanatismenya yang tinggi, maka banyak masyarakat Madura yang mendukung eksistensi para kiai. Mendukung kiai saat itu dimaknai sebagai “jihad” dalam politik. Pembelaan masyarakat Madura terhadap para kiai dipandang mempunyai nilai yang tinggi, karena kiai dipandang sebagai pembela masyarakat di hadapan represivitas rezim Orde Baru yang otoriter. Mendukung politik kiai di masa ini bukan hanya sebuah keharusan, melainkan sebuah “misi suci” yang harus dilakukan oleh setiap masyarakat Muslim. Sehingga, kiai dalam hal ini bukan hanya dipandang sebagai tokoh agama an sich, melainkan sebagai pemimpin dan pendamping masyarakat.

Patronasi yang sedemikian kuat antara kiai dan masyarakat Madura di era Orde Baru, selain karena faktor internal yang di-topang oleh nilai-nilai keagamaan, juga dibangun oleh faktor-faktor sosial-politik yang ada di era Orde Baru. Dengan patronasi yang sangat kokoh, oleh kedua faktor itulah, perkataan atau fatwa kiai sangat “mujarab” untuk memengaruhi masyarakat. Sehingga kata-kata kiai di era Orde Baru itu menjadi Sabda Pandito Ratu. Sebagaimana dikatakan Kiai Afi f,

“Bagaimanapun, kalau berbicara soal politik Madura, maka bisa dikatakan bahwa politik Madura itu masih bersifat patrone-client. Budaya patrone-client itu sangat kuat terutama di era Orde Baru. Seorang kiai, diposisikan sebagai tokoh pilar atau tokoh sentral yang 188 Keterangan Wazirul Jihad ini didapatkan saat FGD (Focused Group

Discussion) tentang “ Anomali Politik Masyarakat Madura” di Hotel New

seluruh perkataannya sangat ditaati. Sekali tokoh agama atau kiai bilang A, maka masyarakat akan melakukan A. Karena itu sebuah fatwa atau perkataan kiai di era Orde Baru itu tak ubahnya “Sabda Pandito Ratu”. Ini juga sangat berhubungan dengan budaya Madura sendiri yang meyakini buppak, bubuh, guru, ratoh. Dalam hal ini seorang guru atau seorang ulama mempunyai posisi yang sangat tinggi dalam struktur masyarakat Madura.”189

Alasan utama, mengapa secara internal maupun eksternal se orang tokoh agama mempunyai posisi sentral, sehingga fatwa-fatwanya di era Orde Baru tak ubahnya “Sabdo Pandito Ratu”? Menurut Kiai Afi f, ada sebuah ajaran agama yang sangat potensial memosisikan para kiai di Madura sebagai tokoh yang sangat disegani. Secara normatif, kekuatan legitimasi, yang menjadikan kiai sangat kuat pengaruhnya, adalah ajaran Al-Ulama Waratsatul Ambiya’, (seorang ulama adalah pewaris para Nabi). Ajaran ini sangat diyakini oleh masyarakat Madura, sehingga seorang kiai harus ditaati dan diikuti seluruh perkataannya. Termasuk fatwanya dalam politik.

Dengan kuatnya patronasi tersebut maka kata Kiai Afi f, kiai di era Orde Baru, ketika menarik dukungan politik dari masyarakat tidak perlu turun langsung ke lapangan, melainkan cukup memberikan fatwa atau perintah politik di rumah atau pondok pesantrennya. Para kiai di masa Orde Baru, cukup bicara di pon dok pesantren atau majelis taklim saja dalam menarik dukungan masyarakat. Cukup berbicara di forum-forum pengajian atau pesantren nya itu, maka sudah bisa dijamin apa yang dikatakan atau difatwakan para kiai tersebut akan diikuti oleh mayoritas masyarakat.

Seruan lewat majelis taklim atau pengajian sudah cukup menjadi magnet yang ampuh untuk menarik dukungan masyarakat. Inilah potret politik masyarakat Madura di era Orde Baru. Sebuah 189 Keterangan KH. Afi f ini didapatkan saat FGD (Focused Group Discussion) tentang “ Anomali Politik Masyarakat Madura” di Hotel New Ramayana di Pamekasan pada Minggu, 6 Desember 2015

dukungan politik cukup dikendalikan dengan seruan atau fatwa dari forum pengajian atau majelis taklim. Arrtinya kata-kata kiai di era Orde Baru itu terbilang sangat mujarab, karena disebabkan oleh kedua faktor di atas. Kata-kata kiai atau tokoh agama saat itu dirasa sangat “sakral” sehingga menjadi kekuatan untuk memengaruhi masyarakat. Dari fenomena ini, tidak terlalu salah kalau perkataan atau fatwa kiai di era Orde Baru kualitasnya sebagaimana “Sabdo Pandito Ratu”.

Selanjutnya, kuatnya patronasi politik dalam masyarakat Madura pada akhirya menjadi pendorong lahirnya dinasti politik d Madura. Namun, dinasti dan patronasi politik di Madura ini tidak sepenuhnya homogen. Menurut analisisnya dosen Universitas Islam Madura (UIM), Muhamamd Subhan, ada tipologi patronasi dan dinasti politik di Madura dari era Orde Baru sampai saat ini. Menurutnya, tipologi bangkalan sama dengan Pameksan. Sementara tipologi sampang, tipologinya hampir sama dengan Sumenep.

Patronasi dan dinasti yang paling kuat terjadi di Bangkalan dan Pamekasan. Sementara di Sampang dan Sumenep, politiknya relatif dinamis. Artinya patronasi tetap ada, tetapi tidak sekuat sebagaimana di Bangkalan dan Sumenep. Dinasti politik di Bangkalan dan Pamekasan sangat absolut, sehingga seolah sulit menerima perubahan. Bahkan di era Orde Baru, sistem ini hampir tidak mungkin diubah. Hal ini ditopang oleh nilai-nilai agama yang kebenarannya dipandang sebagai kebenaran mutlak. Muhammad Subhan dalam hal ini menjelaskan:

“Dinasti politik di Madura, terutama di Bangkalan dan Pamekasan itu karena ditopang oleh tradisi patronasi yang kuat. Di daerah ini ada sebuah simpul-simpul atau kelompok-kelompok politik yang sifatnya fi nal. Orientasinya adalah untuk menguasai atau mendominasi. Di Bangkalan dan Pamekasan, kalau kiainya berkata A maka masyarakatnya akan ikut A. Ini orientasi kekuasaan. Jadi, seolah perintah kiai itu fardlu ‘ain, meski itu konteksnya adalah politik. Jadi, dianggap sebagai kebenaran mutlak. Seakan

terjadi sebuah kamufl ase yang luar biasa di tengah masyarakat, karena yang bebicara adalah Warotsatul Ambiya’, sehingga harus diaati apa adanya. Perintah atau anjuran politik seperti ini, kalau di tempo dulu (era Orde Baru), bersifat mutlak. Wajib bagi seluruh masyarakat untuk mengikuti. Namun sekarang mulai berubah, meski tidak signifi kan.190

Fenomena politik tersebut, mencerminkan adanya fanatisme yang kuat dari masyarakat terhadap sosok bernama kiai. Kelompok masyarakat yang begitu fanatik, sehingga menentukan pilihan politik berdasarkana fatwa kiai, menurut tokoh pemuda Madura, Munhari, umumnya adalah santri murni dan kelompok akar rumput. Argumentasi kelompok ini, dalam menentukan pilihan politiknya berdasarkan fatwa kiai karena memandang kiai sebagai sosok yang sangat memberi manfaat kepada masyarakat. Maka, mengampanyekan program kepada kelompok-kelompok yang patronasinya sangat kuat seperti ini pun tidak ada artinya.191

Namun menurut Munhari, dalam sistem patronasi, bukan hanya kiai sebagai satu-satunya tokoh yang berpengaruh, tetapi juga blater. Masing-masing tokoh berpengaruh ini mempunyai basis pendukungnya sendiri-sendiri. Alasan para pendukung kedua tokoh tersebut dalam dunia politik pun berbeda-beda. Sebagaimana Munhari katakan:

“Argumentasi masyarakat Madura untuk mengikuti perkataan kiai dan blater juga berbeda-beda. Argumen mereka mengikuti kiai itu lebih pada beberapa keyakinan keagamaan dan nilai-nilai keselamatan. Misalnya kalau tidak mengikuti kiai, maka tidak akan selamat dunia dan akhirat. Keyakinan semacam ini dulu sangat kuat di masyarakat, sehingga sebagian masyarakat menjadikan 190 Keterangan Muhammad Subhan, Dosen UIM, saat FGD (Focused Group

Discussion) tentang “ Anomali Politik Masyarrata Madura” di Hotel New

Ramayana di Pamekasan pada Minggu, 6 Desember 2015

191 Keterangan Munhari, tokoh pemuda Madura, saat FGD (Focused Group

Discussion) tentang “ Anomali Politik Masyarakat Madura” di Hotel New

sebagai pertimbangan untuk berafiliasi dengan politik kiai. Kemudian kelompok yang mengikuti blater berargumen bahwa mereka mengikuti blater supaya desa maupun ternaknya aman dan sebagainya. Para kiai sendiri, di era Orde Baru cukup memberikan arah atau perintah untuk memilih partai politik tertentu, maka masyarakat akan segera mengikuti. Sehingga perintahnya mutlak. Begitu juga dengan blater192”.

Posisi kedua tokoh sentral yang sangat berpengaruh itu terbilang sangat kuat di era Orde Baru. Namun mereka berdua mempunyai basis massa yang berbeda-beda. Jika basis masa kiai adalah kaum santri dan masyarakat yang budaya keagamaannya sangat kuat, sebaliknya, basis massa blater adalah kelompok masyarakat yang tidak nyantri dan tidak kuliah. Meskipun saat ini pola patronasi tersebut saat ini mulai berubah di kalangan kiai. Hal ini disebabkan oleh perubahan masyarakat sendiri, seperti pendidikan, pergaulan yang semakin terbuka, dan faktor politik setelah Orde Baru.

Sebaliknya patronasi terhadap blater relatif tidak berubah. Sampai saat ini basis massa blater, yang terdiri dari masyarakat yang tidak sekolah dan tidak nyantri tetap solid. Begitu juga para kaum santri atau masyarakat keagamaan yang konservatif, masih kuat patronasinya dalam aspek politik. Intinya, konstelasi politik di Madura yang dulunya cenderung absolut dalam sistem dinasti atau patronasi, pascareformasi ini mulai berubah, baik dari segi orientasi maupun nilai-nilai yang mendasarinya.

Akibatnya, strategi “Sabdo Pandito Ratu” tidak sesakti dulu. Fatwa-fatwa politik kiai yang dulu sangat “mujarab” untuk menarik dukungan, bisa dikatakan ini mengalami penurunan tuahnya. Maka taktik dan strategi baru pun dilakukan oleh para patron politik di Madura agar tetap bisa menuasai para klien-nya.