• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV : PEMIKIRAN GUS DUR TENTANG PENDIDIKAN PLURALIS, pada bab ini akan dibahas tentang Telaah pemikiran Gus Dur

PEMIKIRAN GUS DUR TENTANG PLURALISME

A. Biografi dan Setting Historis Pemikiran Gus Dur

Yang mempunyai panggilan Gus Dur ini bernama lengkap

Abdurrahman Wahid. Bi iasal dari keturunan kiai, makanya kata depannya memakai kata "Gus". Karena kata Gus merupakan panggilan bagi seorang anak kiai. Beliau di lahirkan di Jombang pada tanggal, 4 Agustus 1940 dari hasil perkawinan KH Wakhid Hasyim dan Nyi Sholekhah. KH Wahid Hasyim adalah putra dari Khadratus Syaikh KH Hasyim Asy'ari, seorang pendiri organisas1 masyarakat Nahdlatul Ulama terbesar di Indonesia dan KH Wahid Hasyim yang juga pernah sebagai ketua umum PBNU. Ibunya adalah seorang putra dari kiai besar yang bernama KH Bisri Samsuri. Sebagai tokoh ulama dan salah satu pendiri NU.

Di lihat dari garis keturunannya, KH Abdurrahman Wahid mempunyai darah ke-NU-an. Karena itu tidak heran kalau Gus Dur mempunyai watak dan kepribadian kiai. Dari setiap tingkat laku, pendapat juga tidak menyimpang jauh dari faktor lingkungannya yang terkadang tegas, terkesan seenaknya dan

sukar untuk dimengerti oleh orang lain.

Saat terindah yang pernah dialami seseorang pada umumnya adalah masa kanak-kanak. Tanpa ada beban yang begitu berat untuk memikirkan tanggung jawab hidup, keluarga dan kebutuhan sehari-hari. Namun berbeda dengan masa kecil Gus Dur, karena pada saat itu masa-masa penjajahan

Belanda. Kebetulan juga dari kalangan umat Islam membentuk wadah organisasi untuk melawan Belanda dengan nama laskar hisbullah. Ayahnya ikut berkecimpung dalam oraganisasi tersebut. Setiap malam Gus Dur diberi tugas untuk menangkap kodok. Untuk mengobati luka-luka sang ayah. Bukan karena terkc na serangan senjata tajam, tapi karena ayahnya menderita diabetes, dalam mencari kodok tiap malam bisa sekali tangkap mendapat 10 hingga 15 ekor. Setelah itu diambil minyaknya dan di oleskan pada luka-luka sang ayah.1

Dengan pengalaman seperti itu menumbuhkan Gus Dur dalam berfikir kedepan dalam cita-citanya ingin menjadi tentara. Seorang pejuang yang mengorbankan hidupnya untuk bangsa dan negaranya. Tapi pada Tahun usianya yang ke-14, Gus Dur sudah terkena penyakit mata dan hasil pemeriksaan dokter, dia telah minus 15 untuk ukuran kacamatanya. Semenjak umur itu Gus Dur telah melampaui pendidikan menengahnya (SMEP). Kemudian melanjutkan kepesantren, mula-mula di Tegalrejo, Magelang, Jawa Tengah. Kemudian ke Tambak Beras Jombang. Di masa mudanya Gus Dur mempunyai keinginan kuat untuk sekolah di luar negeri. Namun karena nyonya Sholikhah tidak mempunyai biaya juga prestasi Gus Dur pada saat itu semenjak SD sampai SMEP hanya biasa-biasa saja. Keinginan Gus Dur untuk sekolah keluar negeri belum kesampaian.

Ada suatu kejadian yang sampai hari ini tidak bisa dilupakannya yaitu tentang memori berpulangnya sang ayahanda pada waktu ia berumur 12,

23

ayahandanya meninggal dalam suatu kecelakaan lalu lintas di Bandung yang sampai sekarang kasusnya masih misterius atau belum terungkap. Karena tidak tahu siapa yang melakukan penabrakan tersebut. Tahun 1952 ayahandanya wafat sebelum pemilu 1955, setelah mobil yang ditumpanginya di tabrak truk saat hujan deras. Waktu itu Gus Dur duduk di bangku depan, dan ayahnya duduk di bangku belakang. Begitu tertabrak ayahandanya terlempar keluar dan luka parah Sampai hari kemudian wafat. (Gamma, N o.36 tahun I, 31 Oktober 1999. Untungnya pada saat kecelakaan itu Gus Dur selamat.2

Jenazah KU Wahid Hasyim di makamkan di Jombang Jawa Timur bersama dengan H Subhan ZE yang juga meninggal karena kecelakaan ketika sedang menunaikan ibadah haji di Mekkah. Dalam perjalanan Madinah Mekah dengan menggunakan mobil yang disediakan oleh kedutaan Indonesia di Saudi Arabia. Pada saat itu sedang konvoi dengan para pejabat Indonesia yang lain, tiba-tiba mobil yang ditumpanginya meledak.

Dalam perjalanan membawa jenazah ke Surabaya, masyarakat banyak berdesak-desakan di pinggir jalan hanya untuk menyaksikan irobil itu lewat. "Begitu banyak orang yang mencintai ayah saya, adakah yang lebih mulia dari pada dicintai orang banyak"? Kata Gus Dur.3

Dalam satu keluarga, di antara saudara-saudaranya. Gus Dur dipandang paling mirip dengan ayahnya, sikap dan cara berfikirnya. Seperti cinta kepada kesenian, makanya ia banyak faham musik klasik dan karya

2 Ibid. hlm .$...

sastra yang bagus. Apalagi kebiasaan dari ayahnya yang katanya nyonya Sholikhah sangat mirip, yaitu kebiasaan ngomong terus juga terdapat pada Gus Dur.

Sebu.ih perjalanan yang panjang telah dialamin Gus Dur dari berbagai jenjang pandidikan dan pesantren telah dilampauinya. Pada tahun 1953-1957 Sekolah Menengah Ekonomi Pertama (SMEP) di Jogja. Pada saat itu ia tinggal di rumah pemimpin modernis KH Junaid, ulama' anggota taijih Muhammadiyah. Setelah itu hidupnya banyak digunakan untuk belajar diberbagai pesantren, Tahun 1957-1959 ia di pesantren API Tegalrejo, yang pada waktu itu di asuh oleh muassis KH Chudlori, dengan merampungkan pelajaran mondok separuh waktu dengan yang dialami santri lain. Kemudian pada tahun 1959-1963 Gus Dur melanjutkan belajar di pesantren Muallimat Baitul Ulum, pesantren tambak Beras Jombang. Setelah itu beliau belajar di pondok pesantem Krapyak Jogja dan tinggal di rumah pimpinan NU terkemukan KH Ali Maksum.

Meski terlahir dan dibesarkan di lingkungan pesantren, Gus Dur bisa melepaskan dari itu semua, seperti setelah melapaui pembelajaran di pesantren Jombang. Gus Dur sering berlawan fikiran dengan pamannya KH Yusuf Hasyim. Dengan kejadian itu, bisa dikatakan telah muncul perwatakan Gus Dur yang suka memberontak dan kontroversial. Sampai pada keluarga NU dan tidak segan-segan untuk berlawanan dengan yang sebenarnya pewaris NU.

Dari pengalaman belajar yang begitu banyaknya, Gus Dur memiliki wawasan yang luas dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan seperti

ke-Islam-25

an, sosial, politik, budaya dan bahkan sering berdimensi international. Sampai bisa menelurkan karya-karya tulisan yang saat itu disunting oleh Greg Berton menjadi lima sub judul. Pertama tentang kekuatan Islam tradisional dan sistem pesantren; kedua, kelemahan Islam tradisional saat ini di Indonesia.

Ketiga, dinamisasi tanggapan terhadap modernitas. Keempat, pluralisme dan

kelima, humanitarian-isme dan kebijakan sosio politik.

Pada tahun 1970-an Gus Dur kerap melakukan kontak dengan intelektual muslim progresif di antaranya N ur Kholis Madjid dan Djohan Effendi. Ketika pindah ke Jakarta, Gus Dur sangat mudah beradaptasi dengan mereka. Menurut Greeg Berton, studi-studinya di Baghdad telah memberi dasar-dasar yang baik mengenai pendidikan bercorak liberal bergaya Barat dan sekuler.

Waktu nyantri, Gus Dur berbeda dengan yang lain. Selain ilmu-ilmu Agama, kajian kitab-kitab kuning, beliau juga mempelajari tentang sastra. Kesukaannya itu di tanamkan oleh guru bahasa Inggrisnya ketika di SMEP Jogja, almarhumah ibu Rubi'ah. Seorang anggota gerwani itu memaksa Gus Dur membaca karya-karya berhaluan kiri. Di antaranya karya Lennin, Thales, Plato, William Bochner dan Teurgeneu. Sampai saat ini beliau masih mengingatnya dan mengungkapkan rasa terima kasih yang tak terhingga kepada Rubi'ah. Kalau nggak begitu, mungkin saya gak mau baca "kata Gus Dur". Beliau juga menggemari karya-karya sastra seperti novel-novel dari Amerika seperti karya Hemming Way, Steinbeck, dan Daulkner. Gara-gara terlalu banyak baca buku, sampai-sampai Gus Dur lupa dengan pelajaran

sekolahnya. Ia pun gagal ketika akan naik kelas 3. Konon juga karena pengaruh KH Junaid, Gus Dur banyak juga membaca karya Karl Marx, yang di antaranya adalah das capital.

Selesai belajar di pondok pesantren ternyata tidak berarti menuntaskan kegelisahan dan gairah intelektual Gus Dur. Pada tahun 1963,4 Gus Dur meninggalkan tanah air menuju Kairo, Mesir, untuk merunaikan ibadah haji dan melanjutklan studi. Di sana dia belajar ilmu-ilmu agama di Ma’had al Edimsat al lslamiyyah Al Azhar Islamic University.5

Sebe'um belajar ke Mesir, pamannya telah melamarkan untuknya seorang gadis bernama Shinta Nuriah binti H. Muh. Sakur yang kemudian dinikahinya ketika ia masih di Mesir.

Ketika sampai di Mesir, Gus Dur sangat kecewa karena tidak langsung dapat masuk ke Universitas Al-Azhar, tetapi di harus masuk Aliyah dahulu, (semacam sekolah persiapan). Setelah melawati masa persiapan, dan berhasil masuk di Al Azhar, kekecewaan itu kembali ia alami ketika merasakan teknik pendidikan di sana masih tertumpu pada muatan hafalan, yang ia yakini memadamkan potensi pribadi.6

4 Teidapat kesimpang-siuran tentang awal keberangkatan Gus Dur ke Timur Tengah. Menurut catatan penelitian Greg Barton, Gus Dur berangkat ke Timur Tengah pada tahun 1964, (Greg Barton, Gagasan Islam Liberal [...],Op. CL. hal : 327). SemenU.ra itu, Zastrow Ng. Menulis bahwa keberangkatan Gus Dur ke Timur Tengah pada bulan November 1963, bertepatan dengan hari terbunuhnya presiden Amerike Serikat, Jhon F. Kennedy di Dallas. Sebuah moment yang menurut Gus Dur sangat menghantuinya. Perjalanan ke Timur Tengah ini, di tempuh dengan kapal laut. Dalam perjalanan Gus Dur menyempatkan untuk menyelesaikan membaca buku karya Arthur Schlesinger Jr. yang berjudul “The Age o f Jakson". (Lihat, Zastrow Ng., Op., Cit., hal :

22)

J Greg Barton, Gagasan Islam Liberal [...],Loc. Cit., Zastrow Ng., Op. Cit., hal : 22. 6 Greg Barton, Gagasan Islam Liberal [...],Op. Cit.

27

Atmosfir intelektual di Al-Azhar yang kurang kondusif memaksa Gus Dur sering mangkir kuliah dan lebih suka menghabiskan waktunya di salah satu perpustakaan yang lengkap di Kairo, termasuk American University Library. Biarpun pada satu sisi Gus Dur kecewa dengan Al-Azhar sebagai lembaga, namun pada sisi lain dia tetap menikmati kehidupan kosmopolitan Kairo, bahkan beruntung karena terbukanya peluang untuk bergabung dengan kelompok-kelompok diskusi dan kegiatan tukar pikiran yang umumnya diikuti para intelektual Mesir.7

Lebih lagi, Presiden Mesir pada waktu itu, Gammal Abdul Naser adalah seorang nasionalis yang sangat menaruh respek tinggi dengan perdebatan intelektual. Kebebasan untuk berdialektika mendapat perlindungan yang cukup dari pemerintah. Misalnya para pendukung negara Islam Mesir melakukan debat terbuka dengan kaum sosialis di buku-buku dan surat kabar. Perdebatan ini sangat menarik perhatian Gus Dur. Dia menyimak debat tersebut secara sungguh-sungguh. Hal ini dia lakukan sebagai respek atas pemikir-pemikir muslim modem di Mesir.8 Kapasitas intelektual Gus Dur yang menyeruak di antara ♦eman-teman seangkatannya membuat ia dipercaya menjadi sekretaris persatuan pelajar Indonesia di Mesir.

Pada tahun 1966 dia pindah ke Baghdad. Kota Baghdad, dipilih karena pada saat itu, Baghdad merupakan salah satu pusat belajar yang paling maju, canggih dan kosmopolitan di dunia Arab. Di Baghdad, dia masuk dalam

7 Ibid, Abdurrahman Wahid, Op. Cit.; R. William Liddle, “The Story Behind Abdurrahman Wahid”, artikel dalam Questioning Gus Dur, Jakarta Post, Jakarta, 2000, h a l: 189, Greg Barton, “Abdurrahman Wahid dan Toleransi Ktberagamaan”, Op. Cit.

28

Departement o f Religion di Universitas Baghdad antara tahun 1966 sampai 1970. Di tempat baru ini, Gus Dur merasa gairah intelektualnya tersalurkan. Gus Dur tidak hanya mempelajari sastra Arab, tetapi juga filsafat dan teori sosial Eropa. Gus Dur merasa lebih senang dengan sistem yang diterapkan di Baghdad, karena dalam beberapa hal lebih berorientasi Eropa, suatu kondisi yang tidak ia temukan ketika masih di Universitas al Azhar. Menurutnya, semenjak di Baghdad, ia mulai berfikir secara sistematis. Hal ini karena, di

Baghdad, masyarakat muslim Arab dikaji secara empiris dengan

menggunakan pisau metodologi yang tajam. Pada waktu yang sama, Gus Dur bersentuhan dengan buku-buku karya tokoh-tokoh besar baik yang berhaluan liberalis-kapitalis, sosialisme sampai marxisme-komunisme. Di samping itu, hal yang menarik lagi adalah perpustakaan Universitas di Baghdad penuh

dengai buku-buku mengenai Indonesia. Menurut kesaksian kawan-

kawannya.9 Selama di Baghdad Gus Dur lebih suka menghabiskan waktu di perpustakaan, bermain karambol dari nonton film bioskop, sedangkan aktifitas perkuliahan formalnya tidak begitu ia hiraukan.10 Di luar universitas, Gus Dur rajin mengunjungi makam-makam keramat para wali termasuk makam Syekh Abdul Qadir Jailani, pendiri Jamaah Thariqah Qodariyah. Dia juga menggeluti

9 Diantara teman seangkatan Gus Dur di Baghdad yang berasal dari Indonesia, misalnya Kyai Mustofa Bisri Rembang, Kyai Mahfudz Ridwan Lc, salah seorang dosen di STAIN Salatiga yang juga Pengasuh Pondok Pesantren Edi Mancoro Gedangan Kabupaten Semarang. Banyak cerita menarik tentang Gus Dur ketika masih belajar di Baghdad yang dituturkan Kyai Mahfudz kepada penulis. Tentang narasi KH Mahfud Ridwan Lc. dan Gus Dur ketika di Baghdad baca tulisan Ahmad Bahrudin, Aktivis dari Salatiga, berjudul “Telling Tales about The Young Gus Dur” dalam Questioning Gus Dur, The Jakarta Post, Jakarta, 2000, hal : 132-134.

10 Kebiasaan membaca yang sangat kuat, menyebabkan Gus Dur lupa terhadap rutinitas keseharian yang mestinya dijalani seorang mahasiswa, seperti hadir di ruang kuliah. Hampir seluruh buku-buku perpustakaan di Kota Baghdad pernah di baca oleh Gus Dur. Inilah yang barangkali ikut menyebabkan kesehatan penglihatannya menjadi jauh berkurang. (Wawancara dengan KH. Mahfudz Ridwan, Lc., Tanggal 21 Desember 2000)

r

29

ajaran Imam Junaid Al Baghdadi, seorang pendiri aliran tasaw uf yang di ikuti oleh jamaah NU. Gus Dur mengakui bahwa di Baghdad inilah ia menemukan spiritualitasnya.

Aktifitas intelektual Gus Dur di Baghdad yang banyak berinteraksi dengan berbagai aliran pemikiran ideologi dan politik di Irak, pernah menjadi sebab dia ditangkap penguasa Irak. Penangkapan ini teriadi ketika penguasa Irak waktu itu melakukan operasi pembersihan kelompok-kelompok yang dituduh melakukar kegiatan-kegiatan anti pemerintah. Banyak aktifis yang di tangkap berakhir di tiang gantungan. Setelah melewati detik-detik menegangkan, akhirnya Gus Dur di bebaskan kembal.11 Peristiwa inilah, barangkali, menjadi momentum sejarah yang menjadi alasan beberapa kalangan di Indonesia hingga sekarang untuk menuding Gus Dur sebagai pengikut Partai Ba'ath Irak.

Setelah menyelesaikan studinya di Baghdad pada tahun 1970,12 Gus Dur berharap dapat mendaftarkan di salah satu perguruan tinggi di Eropa.13 Dia merencanakan perjalanan ke Eropa untuk melakukan studi penjajakan. Tempat-tempat yang ia tuju di antaranya seperti di Universitas Kohln, Heidelberg, Paris dan Leiden. Tetapi karena kualifikasi akademik mahasiswa- mahasiswa Timur Tengah tidak diakui oleh Universitas-universitas Eropa, terutama karena persyaratan bahasa yang ketat yang tidak dapat dipenuhi

11 Kisah ini disampaikan oleh kiai Mahfiid Ridwa, Lc kepada Lukman Hakim. Lebih lanjut, KH. Mahfiidz Ridwan, Lc. menceritakan bahwa Gus Dur sudah tidak punya harapan selamat dari tiang gantungan sebab penguasa Irak pada masa itu tidak menggunakan aturan hukum yang wajar, sehingga Gus Dur pernah menitipkan surat pamitan kepada Ibunya di Indonesia melalui teman sekamarnya itu. (Wawancara dengan penulis pada akhir 21 Desember 2000).

‘2 Greg Barton, Liberalisme [...], Op. Cit., hal : 165

tanpa menempuh pelajaran tambahan selama satu tahun, memaksa Gus Dur menjadi mahasiswa yang berpindah dari satu universitas ke universitas lain. Akhirnya dia menetap di Belanda selama enam bulan dan mendirikan perkumpulan Pelajar Muslim Inuonesia-Malaysia yang tinggal di Eropa.14 Untuk membiayai living costnya, dua kali dalam sebulan Gus Dur pergi ke pelabuhan untuk bekerja sebagai pembersih kapal.

Demikianlah, Gus Dur mewakili perkawinan dari dua tradisi intelektual kesarjanaan Islam tradisional dan pendidikan Barai modern. Akan tampak bahwa salah satu dari hasil sintesis ini adalah perhatian yang sangat kuat untuk transformasi pemikiran dan praktek keislaman.15 Di mata ummat, beliau merupakan tokoh kiai kharismatik, sementara kelompok akademisi dan dunia gerakan melihatnya sebagai seorang intelektual progresif, dan seorang politikus melihatnya sebagai kawan atau lawan yang sangat diperhitungkan. Ini tentu tidak lepas dari kegigihan bimbingan kedua orang tuanya, yang mendambakan Gus Dur dapat berinteraksi dengan fasih dengan semua manusia tanpa memandang perbedaan-perbedaan sosial apapun.

Dokumen terkait