• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV : PEMIKIRAN GUS DUR TENTANG PENDIDIKAN PLURALIS, pada bab ini akan dibahas tentang Telaah pemikiran Gus Dur

PEMIKIRAN GUS DUR TENTANG PLURALISME

B. Pluralisme menurut Islam

Mencari kata pasti dan tepat untuk merumuskan sebuah definisi dalam mengurai arti pluralisme di dalam Islam sulit ditemukan. Karena berkaitan dengan cara mengartikan suatu teks Al-Qur'an sebagai sumber hukum untuk mencari kesimpulan final dan oprasional dalam implementasi kehidupan sehari-hari. Hal ini dapat di lihat dari berbagai pendapat tentang kesefahaman tokoh intelektual Islam yang berpendapat tentang pluralisme. Penegasan awal untuk melakukan pencarian selanjutnya adalah dengan mengartikan pluralisme ilu merupakan suatu faham keagamaan yang meliputi identitas, faham atau kenyataan di dalam masyarakat. Terdapat titik beda dari tokoh intelektual tersebut dalam mengartikan pluralisme terletak pada pisau analsis tentang arti dan tafsir ayat Al-Qur'an yang mengungkapkan boleh tidaknya pluralisme untuk diyakini dan dilaksanakan.

Sedangkan pengertian tentang pluralisme dalam khasanah Islam di jelaskan oleh Farid Esac yang mengintrodusir dari hermeneutik pembebasan dan pluralisme berdasarkan konsep-konsep kunci Al-Qur'an seperti konsep

taqwa, tauhid, al-nas, al-mustadzafu f i al-ardh (yang tertindas dan yang tersisihkan di muka bumi) dan konsep jih a d wa amal (perjuangan dan praksis), serta kontekstualisasinya dalam masyarakat yang bercirikan penindasan dan perjuangan kemerdekaan di Afrika Selatan. Konsep taqwa dan

tauhid misalnya, menurut Esac tentang kriteria moral dan doktrinal untuk menguji kunci-kunci lain, dan juga sebagai ' lensa teologis" untuk membaca Al-Qur'an, lmususnya dengan teks-teks yang berkenaan dengan penganut agama lain.1''

Penerimaan taqwa sebagai kunci hermeneutika Al-Qur'an berdampak signifikan bagi penafsir maupun penafsirannya, yaitu, pertama membuktikan bahwa penafsira tetap terbebas dari absolutisme teologi dan reaksi politis, juga dari reaksi pribadi yang sangat subjektif meskipun itu muncul dari golongan mustazafin. Kedua, memungkinkan adanya keseimbangan estetik dan spiritual penafsir. Dan ketiga, membawa penafsir kearah proses dealiktika personal dan transformasi sosial-politik. Tauhid sebagai prinsip hemeneutik Al-Qur'an berarti bahwa berbagai pendekatan, baik filosofis, spiritual, hukum maupun politis mesti dilihat sebagai komponen dari suatu jalinan. Adapun penerapannya secara signifikan dalam konteks Afrika Selatan memiliki dua aspek penting metodologis, yaitu (1) di tingkat eksistensial berarti penolakan terhadap konsep dualistik eksistensi manusia, yaitu, sekuler dan spiritual, sakral dan profan. Dengan demikian agma menjadi sah dan penting untuk meredam ketidak adilan, (2) di tingkat sosio-politik tauhid menentang

14 Hendar Riyadi, Melampaui Pluralisme, Etika Al-Qur'an Tentang Keragaman Agama,

51

pemisahan manusia secara etis. Pemisahan ini di sejajarkan dengan syirik. Al nas sebagai kunci hermeneutika mengandung dua permasalahan teologis, yaitu terkait dengan nilai manusia sebagai ukuran kebenaran dan terkait dengan masalah autensitas. ' 3

Suatu metodologi tafsir Al-Quran untuk mendapatkan pengetahuan keagamaan yang berbasis pada kenyataan sosial. Sebagai kata lain dari absolutisme, dogmatisme atas teks Al-Qur'an untuk diejawantahkan dalam keseharian untuk menemukan konsep tatanan masyarakat yang harmonis. Merupakan pembahasan awal tentang bagaimana melaksanakan perintah tanpa diiringi dengan sikap toleransi terhadap penganut kepercayaan lain. Karena

dapat menyebabkan konflik antar umat beragama dan bahkan

mengesampingkan rukun-rukun internal agamanya sendiri. Pluralisme tidak bisa secara serta merta dikontekstualisikan secara saklek atas ketentuan teks. Karena mempunyai perbedaan dalam tafsir nash Al-Qur'an.

Sebelum penulis mengutarakan bagaimana persoalan pluralisme dalam konteks nash Al-Qur'an mempunyai bentuk beda dalam penafsiran ayat atau mempunyai dasar tersendiri dalam menafsirkan jenis ayat yang berkaitan dengan pluralisme. Lebih dahulu b'sa dilihat tentang sejarah agama-agama yang diarahkan pada lingkungan yang pluralistik dan membentuk eksistensi diri dalam memandang persoalan pluralisme itu. Bahkan, dikatakan agama- agama ’Uga lahir karena gesekan pluralitas masyarakat pada saat itu. Sehingga

dapat di fahami hal ini merupakan sebagai kenyataan yang sudah ada dan terus menghidupi tradisi agama-agama.

Di jelaskan oleh Abd Moqsith Ghozali tentang cara agama-agama dalam mengambil dasar yang ia yakini. Yaitu memandang perbedaan yang ada menjadi dua pendapat secara metodologis dalam penafsiran ayat. Pertama, kelompok yang menolak secara mutlak gagasan pluralisme agama. Mereka biasanya disebut sebagai kelompok eksklusif. Dalam memandang agama orang lain sering kali menggunakan standar-standar penilaian yang dibuatnya sendiri untuk memberikan vonis dan menghakimi agama lain, secara teologis, misalnya mereka beranggapan bahwa hanya agamanyalah yang paling otentik berasal dari Tuhan. Sedangkan agama yang lain, tak lebih dari sekedar sebuah konstruksi manusia, atau mungkin berasal dari Tuhan tapi telah mengalami perombakan dan pemalsuan oleh umatnya sendiri. Mereka mempunyai kecenderungan membenarkan agamanya sendiri serasa menjelekan agama yang lain. Agama orang lain tidak dipandang sebagai jalan keselamatan yang paripurna. Mereka mendasarkan pada sejumlah ayat di dalam Al-Qur'an. Misalnya: QS Ali Imran (3): 85, 19, Al-Maidah (5): 3, An Nisa (4): 144.

Kedua, kelompok yang menerima pluralisme agama sebagai sebuah kenyataan yang tak terhindarkan. Kelompok ini biasanya berpandangan bahwa agama semua nabi adalah satu. Mereka menganut pandangan tentang adanya titik- titik persamaan sebagai benang merah yang mempersambungkan seluruh ketentuan doktrinal yang di bawa oleh setiap nabi. Bagi kelompok kedua ini cukup jelas bahwa yang membedakan ajaran masing-masing adalah

dimensi-53

dimensi yang bersifat teknis-operasinal bukan yang substansial-esensial, seperti tentang mekanisme atau tata cara ritus peribadatan dan sebagainya. Terdapat ayat yang menjadi menu favorit di kalangan kelompok kedua ini. Misalnya, [1] QS Al-Kafirun (109):6 [2] QS Al-3aqarah (2): 256. [3] QS Al- Maidah (5): 69, [4] QS Al-An'am (6): 108.16

Pertentang ayat satu dengan ayat yang lain merupakan kerangka motodologis perafsiran. Kalau dalam kategori 2 perbedaan karakteristik untuk pluralisme, berarti sama saja dengan mempertentangkan ayat satu dengan yang lain atau meraka mempunyai ayat tersendiri untuk golongannya. Dari hal itu, menurut hemat penulis bukan sekedar persoalan salah benar dalam metodologinya, yang walaupun harus dicari penyelesaiaannya. Namun pada konteks kenyataan sosial masyarakat, dapat dilihat dengan pengetahuan lain seperti sosiologi, antropologi, ekonomi masyarakatnya. Sehingga standarisasi butuh tidaknya dan sesuai tidaknya suatu ayat untuk secara saklek diterapkan.

Dalam pandangannya, Moqsith memberikan gambaran terhadap pertentangan dari segi methodologis. Dilihat dari pertentangannya, semisal tentang janji keselamatan untuk orang-orang yang beragama selain Islam (Al- Baqarah (2): 62). Namun dalam spektrum lain ketegasan atau absoliutisme Islam juga terpampang jelas dalam Al-Qur'an. Sebagai teks yang memiliki otoritas mutlak yang tak terbantahkan, Al-Qur'an adalah kunci untuk menemukan konsep pluralisme agama dalam Islam. Pembacaan terhadap kitab Al-Qur'an sendiri secara cermat menyangkut tema pluralisme agama bukan

16Abd Moqsith Ghozali, Problematik Qur'anik Pluralisme Agama.

saja sangat berguna, melainkan terasa sangat mendesak di tengah semarak keKerasan di Indonesia yang sering kali berbasiskan sejumlah teks agama, termasuk Al-Qur'an.

Dijelaskan kembali oleh Moqsith tentang penyelesaian methodologis pluralisme dalam Islam yang kiranya memerlukan pembedaan penafsiran dari dua pertentangn tersebut.

Pertama, adalah ayat-ayat yang bersifat universal, ushul, ghayat

(tujuan) dan lintas-batas yang meliputi batas historis, ideologi, etnis, suku, bahkan agama. Ayat-ayat seperti ini biasanya lebih banyak menjelaskan prinsip-prinsip dasar ajaran dalam Islam, seperti kemaslahatan, keadilan, kesetaraan (termasuk kesetaraan gender), pluralisme (termasuk pluralisme agama), dan penegakan hak asasi manusia (iqamah huquq al-insan). Dalam lansekap ini, maka ayat-ayat yang mendukung pluralisme adalah ayat-ayat

ushul yang derajat relevansinya tidak terikat oleh ruang dan waktu. Kedua, adalah ayat-ayat Al-Qur'an yang tergolong sebagai ayat partikular, juz'iy, f ushul, dan wasilah. Yaitu, ayat-ayat yang biasanya berbicara tentang hal-hal

yang teknis-operasional dengan demikian ia terikat oleh konteks spasial. Masuk dalam kategori model ayat kedua ini, di antaranya, adalah ayat-ayat yang terkait dengan waris, ketidakadilan gender, perintah memerangi orang kafir-musyrik, diskriminasi terhadap perempuan dan non muslim, dan lain- lain. Dengan mengacu pada ayat yang demikian, maka dapat dimaklumi sekiranya para ulama fikih klasik mempunyai pendirian teologis yang eksklusif. Mayoritas pemikir fikih Islam klasik, misalnya, berpandangan

55

bahwa (1) tidak diperkenankan bagi orang kafir dzimmi untuk tampil lebih unggul dari orang Islim; (2) non muslim tidak boleh menjadi kepala negara bagi umat Islam; (3) non muslim adalah warga negara kelas dua, dan sebagainya.17

Menghadapi ayat-ayat partikular yang cenderung eksklusif bahkan diskriminatif itu, maka pada hemat saya tidak bisa lain kecuali harus segera ditundukkan ke dalam pengertian ayat dalam kategori pertama. Ayat partikular mesti ditaklukkan ke dalam sinaran ayat-ayat universal. Ayat yang fushul

dapat direvisi oleh ayat-ayat yang ushul. Dengan demikian, ayat yang

mendukung pluralisme agama dapat menganulir ayat yang tidak

mendukungnya. Inilah yang di maksud oleh kaidah ushul fikih sebagai naskh al-ayat hi al-ayat. Satu ayat dapat dianulir oleh ayat yang lain. Menurut Ibnu al-Muqaffa, sayangnya umat Islam telah lama terlena oleh ayat-ayat yang

fushul (partikular) dengan pengabaian yang nyaris sempurna terhadap ayat- ayat yang ushul (universal). Ia menyatakan, I'rif al-ushul wa al-fushul; fa inna katsiran min al-nas yathluhuna al-fushul ma'a idha'at al-ushul. Ketahuilah olehmu yang terperinci dan yang prinsip. Karena sebagian besar dari manusia, mencari yang ayat-ayat terperinci, sambil menggabaikan ayat-ayat yang prinsip.

C. Pluralitas Pendidikan Islam Indonesia

Kenyataan sehari-hari tentang berbagai macam agama dan

kepercayaan kurang bisa dipandang nyaman dalam suatu bingkai

kemajemukan. Pada suatu komunitas yang secara geografis dan di dalamnya ada penganut agama beda, sulit untuk melakukan kerjasama secara total dalam kepentingan kemasyarakatan. Di desa misalnya, orang yang beragama Kristen mungkin akan membuat lokal perumahan sendiri dari orang Islam, dan orang Islam sendiri agak canggung untuk silaturrahim ke rumah orang Kristen tiap hari. Walapun secara terang hal ini di luar bagaimana misi kedua agama itu saling berebut umat dengan membangun gereja di wilayah masyarakat Islam. Begitu sebaliknya orang Islam membangun mushola atau masjid di lingkungan orang-orang Kristen. Sekilas memang lebih efektif orang Islam membangun mushola karena di gunakan tiap hari. Dan orang Kristen hanya satu minggu sekali melakukan ritual keagamaan mereka.

Itulah yang terjadi di desa penulis, Kedawung Kecamatan Limpung Kabupaten Batang Jawa Tengah. Gambaran yang bisa diambil untuk melihat kenyataan itu, adalah timbulnya perasaan yang mengganjal ketika satu majelis dengan orang non Islam. Tidak secara total (ikhlas) dan Semacam ada garis pembatas dalam melakukan suatu hal tentang kebersamaan.

Lebih luas lagi dalam pandangan masyarakat yang mempunyai keragaman agama dan aliran kepercayaan, akan nampak suatu sistem sosial yang positif dalam rangka mewujudkan kerukunan antar beragama maupun sistem sosial negatif yang notabene mempunyai sebuah kecurigaan antar keduanya. Knrena hal ini akan berlanjut pada generasi setelahnya dalam menciptakan prilaku keagamaan untuk mewujudkan tata sosial yang harmonis. Mungkin akan tercipta konflik secara terus-menerus menurun kepada generasi

57

selanjutnya. Sehingga membutuhkan mediasi yang efektif untuk melakukan dialog antar umat beragama dalam sisi kebutuhan yang lain dan dapat menyatukan keberbedaan dalam masyarakat. Pentingnya suatu nilai aktualisasi dari berbagai teologi masing-masing untuk saling terbuka dalam rangka mendukung terciptanya stabilitas sosiai.

Dengan dialog antar umat beragama yang diwakili oleh para pemuka untuk bisa mengejawantahkan dari ajaran-ajaran damai. Hal ini dapat menimbulkan suatu reaksi empati, solidaritas dan gotong royong. Bukan berarti dalam jangka panjang, rutinitas ini dapat dipertahankan secara efektif dilakukan kalau tidak dibarengi dengan praktik sosial serta penanaman nilai sejak dini. Jawabnya adalah dengan pendidikan keagamaan yang longgar terhadap pluralitas keberagamaan masyarakat dan bukan pendidikan keagamaan yang menyajikan nilai-nilai baik buruk, benar salah dalam menanggapi problematika kehidupan.

Di Islam, khususnya pendidikan agama yang diberikan pada tingkat TK, SD sampai perguruan tinggi lebih banyak sisi normatifnya, sehingga paradigma untuk melihat kenyataan hanya menggunakan uraian benar salah

(oposisi binner). Alhasil, yang salah diperangi dan yang benar dibela mati- matian, karena norma agama dipandang sebuah klaim kebenaran (truth claim),

sakral dan berasal dari yang Illahi. Model semacam ini merupakan pendidikan agama yang syarat dengan muatan normatif dan historis empiris.

Akan lebih menarik apabila dapat mengkaji ulang tentang mencermati dan meneliti "paradigma", "konsep", dan pemikiran agama Islam yang

ditawarkan oleh kurikulum, silabus, literatur, dan para pengajarnya di lapangan dalam era pluralitas. Lebih-lebih upaya demikian dengan pencarian sebagian sumber atau akar konflik dan kerusuhan sosial dalam masyarakat plural.18

Implementasi nilai keagamaan yang berbasis pada masyarakat plural berarti membutuhkan sejumlah perangkat lunak (shof) dan keras (ward) untuk mendukung proses pendidikan yang memadahi. Di antaranya oleh praktisi pendidikan yaitu guru dan murid sebagai subjek pendidikan yang menggunakan berbagai methode proses pembelajaran dalam kelas. Perangkat pendukung yang lain antara lain silabus, kurikulum, materi, lieratur, buku wajib dan lain sebagainya. Sekarang, para pengajar sudah merasa puas dengan apa yang mereka sudah disajikan. Seolah-olah guru hanya sebagai penyampai pesan dengan banyak memanipulasi pembenaran teks dari materi yang akan disajikan tanpa menggunakan telaah kritis dengan menggambarkan kontekstualifjasi terhadap realitas masyarakat sekitar. Akhirnya, model pembelajaran konvensional lagi monoton tetap bertahan. Murid sebagai objek atau penerima dan memposisikan diri sebagai anak serta guru sebagai bapak (lebih tepatnya bos). Hilangnya satu interaksi yang harmonis untuk guru dalam memberikan fasilitasi kebutuhan murid dalam perkembaan pemikiran kreatifnya.

Untuk menyelesaikan persoalan tesebut, dibutuhkan konseptor untuk merumuskan berbagai kebutuhan pendidikan dalam menunjang tujuan dan

18 Am in Abdullah, Menuju Pendidikan Islam Pluralis, taswirul Afkar edisi 11, Jaksel, 2001, him. 10

59

menyesuaikan dengan keragaman identitas masyarakat. Kesiapan guru dalam memfasilitasi muridnya untuk membaca pengetahuan dengan seperangkat nilai pluralitas dan kesiapan murid untuk berbaur di luar kelas. Jika murid memperoleh akses, informasi yang akurat dan tepat tentang pelik serta kompleknya kehidupan beragama dalam era pluraliias dan memberikan alternatif-alternatif pemecahan yang menyejukan, lebih-lebih jika mereka mampu mengemas ulang pesan-pesan dan nilai-nilai yang mereka peluk, maka murid mulai sejak dini sudah dapat diantarkan untuk dapat memahami, menghargai dan menghormati agama yang dipeluk oleh orang lain (bukan membenci dan memusuhinya).19

Perangkat pendidikan yang lain setelah bagaimana untuk memenuhi kebutuhan anak dalam berbaur dalam masyarakat plural, baik ditingkat RT, RW, kelurahan, regional maupun international. Selanjutnya bagaimana metodologi yang disampaikan oleh para konseptor yang bergaul di masyarakat untuk membingkai pesan moral yang di dapat untuk di aktualisasikan dalam kegiatan belajar mengajar. Karena kebanyakan guru atau fasilitator, sulit untuk membuat pembaharuan dari isi mata pelajaran yang ia punya. Mulai dari buku

wajib, silabus maupun kurikulum. Ada unsur kemandekan dalam

pembelajaran di kelas.

Sudah menjadi hal lumrah ketika materi pembelajaran agama secara terlambat menangkap isu aktual dengan apa yang terjadi di lapangan. Suatu realitas sosial yang tidak bisa diserap oleh materi pelajaran. Sehinggga lebih

pada konsep pengawetan (pembakuan) materi pembelajaran, berakibat pada pemahaman dan sikap guru agama tentang materi dalam melihat kenyataan sehari-hari seolah-olah nyaris tidak berubah dari tahun ketahun. Isu kafir mengkafirkan antar kelompok, pengikut agama dan kepercayaan, tuduhan tidak mungkin selamat jika menganut agama lain, saling memurtadkan, melahirkan suasana kelas masih terdapatnya musuh-musuh yang harus dihindari.

Materi pembelajaran yang di terima di dalam kelas untuk mengetahui keadaaan orang lain (empati) hanya terdapat pada pelajaran kewarganegaraan atau PPKN dan kurang kuat untuk menjadi dasar prilaku untuk siswa dikarenakan penekanan materi untuk menghafal undang-undang dasar dan amandemennya.

Dengrn model penyampaian informasi secara konvensional

memungkinkan untuk mensetting kondisi psikologis peserta didik mudah terprovokasi terhadap isu yang itu ditimbulkan oleh musuh mereka (yang dikafirkan). Hal tersebut mengakibatkan suatu pemusuhan yang tidak berkesudahan atas nama agama dan fihak-fikah yang berkonflik sama-sama menamakan tentang proses permusuhan, pengrusakan, penganiayaan, pencurian atas nama perjuangan, jihat, pengorbanan, ibadah dan lain-lain.

analisa lain tentang bagaimana peran pendidikan untuk anak didik sebagai upaya trasnformasi sosial masyarakat agar dapat membawa suatu perubahan dan solusi bagi konflik agama, menghindari terjadinya miskonsepsi telaah konsep ini, menurut teori yang dikembangkan oleh Dawuh Tauhido

I

61

bersama sejawatnya di Canton, Michigan, Amerika Serikat. Lulusan usul Al Din Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir dan University o f Michigan ini mendaftar sejumlah kesalahan-kesalahan pendidikan yang umum terjadi di masyarakat dan memberikan alternatif solusi sebagaimana terurai dalam tabel berikut.

Miskonsepsi Umum dalam Pendidikan20

Komponen Miskonsepsi Konsepsi yang seharusnya

Visi Pendidikan dilihat sebagai

disiplin yang terpisah; pandangan terputus putus mengenai ilmu pengetahuan, belajar dan murid; model pabrik.

Tauhid; pandangan yang utuh menyeluruh, teipadu mengenai kehidupan, dunia, belajar, anak dan lain-lain

Isi Subjek traditional; mengarah

pada informasi; tidak memperhatikan relevansi dengan kehidupan murid; semata-mata "pengajaran" ("ta'lim") dan kurikulum adalah buku teks

Tarbiyah: berbasis karakter, mengarah transformasi

"pendidikan" (tabiyah) keterkaitan dunia riil; "buku kehidupan" adalah kurikulumnya.

Struktur Struktur yang samar dan tidak koheren, terstruktur

Gagasan kuat, gagasan besar yang dapat menginspirasi dan

Dian nafi', Abd A'la, Hinaan Anisah, Abdul Aziz, Abdul Muhaimin, Praksis Pembelajaran Esantren, Instite for training and development, amhers, MA, forum pesantren, yayasan selasih, PT. Lkis pelangi aksara, Yogyakarta, 2007 Hlm.37

Komponen Miskonsepsi Konsepsi yang seharusnya

oleh akademisi yang sangat spesifik

mentransformasi blok karakter dan kepribadian kurikuler

Metode Didaktik (kata-kata dan ceramah); guru sebagai penentu/orang bijak; model mesin perakitan; suatu ukuran diterapkan untuk semua: tidak menarik dan tidak menginspirasi

learning/bG\a]zr menemukan sendiri; berpusat pada murid, pengajaran yang berbeda- beda;gaya belajar ganda; guru sebagai "pemandu"; peneladana dan bimbingan {modeling and mentoring, model belajar terpadu

{integrated learning model) ILM

Program Fokus masa lalu; "tentang Islam" sebagaimana agama; melakukan ritual-ritual Islami.

Materi hidup; fokus masa kini, tentang "menjadi muslim"; Islam sebagai cara hidup (ber-Islam) ILM {Islam fo r life mistery), Islam bagi misteri kehidupan

Tujuan Mendapat informasi pengetahuan, kecakapan terutama untuk pekerjaan

Di luar sekolah; bagaimana belajar, belajar seumur hidup dan sesudah hidup, pembangunan manusia seutuhnya.

Assesmen penilaian

Pensil dan kertas, benar/salah, lulus/gagal; penilaian terstandar

Penilaian otentik; karya otentik

63

Hemat penulis tentang bagaimana mengkorelasikan kesalahan dalam pendidikan dengan yang dipaparkan oleh Dawud 1 auhid adalah suatu penawaran sitem pengajaran modem dengan model partisipatif, yang berpusat pada peserta didik dan bertumpu pada nilai-nilai keagamaan, keislaman dan kemasyarakatan. Sehingga daya kreatifitas peserta didik dapat terangsang untuk berkarya, mencipta dari kebutuhannya sendiri dan kebutuhan di lingkungannya. Proses pembebasan dalam pembelajaran bukan berarti lepas dari pantauan guru, namun kekangan terhadap peserta didik benar-benar harus dihindari.

Selanjutnya merujuk pada undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional menyatakan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk karakter serta peradaban bangsa dan bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan YME, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.21

Substansi yang bisa diambil dari amanat Undar.g-undang No. 20 tahun 2003 juga mempunyai nilai pluralitas, karena diperuniukan bagi setiap warga negara, prinsip kemandirian peserta didik dan kesetaraan untuk sebuah tujuan pembangunan jangka panjang bagi bangsa Indonesia.

21 Depdiknas, Rencana Strategis Departemen Pendidikan Nasional, Pusat Informasi dan Humas Depdiknas, Jakarta, 2005, him. 8

Kei.i\anan dan ketaqwaan menjadi tujuan utama dalam mencapai tujuan tersebut, mengisaratkan bagaimana pentingnya untuk landasan dasar kehidupan generasi kedepan. Untuk itu, peran lembaga pendidikan di bidang keagamaan tidak bisa disepelekan begitu saja. Kalau memang perangkat negara ini secara seriis dalam menangani masalah pendidikan, maka fasilitas untuk penyelenggaraan pendidikan yang berbasis agama (tidak hanya Islam) menjadi penting dan menjadi prioritas awal untuk mencapai tujuan selanjutnya. Akan tetapi dengan tujuan yang utama saja pemerintah kurang ada perhatian, bukan tidak mungkin tujuan selanjutnya hanya akan menjadi jargon pendidikan nasional dalam menggugurkan kewajiban sebagai praktisi dan menyelesaikan pekerjaan dalam satu waktu, termasuk juga para pemimpin negara ini.

Sedangkan maksud menciptakan keimanan dan ketaqwaan dalam masyarakat plural, membutuhkan pemikiran konsep yang matang dengan melihat realitas fakta konflik masyarakat yang berdasai pada aliran dan

Dokumen terkait