• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV : PEMIKIRAN GUS DUR TENTANG PENDIDIKAN PLURALIS, pada bab ini akan dibahas tentang Telaah pemikiran Gus Dur

DITENGAH-TENCAH MASYARAKAT PLURAL

B. Pendidikan Islam Dalam Masyarakat Plural

Yang menjadi tugas utama dari pendidikan adalah menciptakan ruang gerak dan sikap kritis terhadap sistem dan struktur ketidakadilan, serta melakukan dekonstruksi dan advokasi menuju sistem sosial yang lebih adil. Pendidikan tidak mungkin dan tidak bisa bersikap netral, objektif maupun menjaga jarak dengan masyarakat {detachment). Dengan menghargai prinsip orang lain untuk menentukan sikap, dan dibarengi dengan perilaku keagamaan yang toleran. Karena tidak mungkin untuk memaksakan seseorang untuk melakukan apa yang kita imani, sehingga prinsip pendidikan dalam masyarakat plural adalah untuk memanusiakan manusia yang mengalami dehumanisasi karena sistem dan struktur yang tidak adil.*

"Hai manuya! Sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan. Dan Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi Allah di antara kalian adalah orang yang paling bertaqwa" (Al- Hujurat: 13).4 5

Merupakan fitrah kita sebagai manusia yang diciptakan berbangsa- bangsa dan bersuku-suku bukan untuk saling menghilangkan, namun untuk

4 Mansour Faqih, Idiologi dalam Pendidikan (sebuah pengantar) dalam william F. O neil,

Idiologi-Idiologi Pendidikan, omi intan naomi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2002, him. xvi 5 Depang RI, Al-Qur'an dan Terjemahan, CV. Toha Putra, Semarang, 1989, him. 847

saling mengenal. Mengenal artinya saling mengerti dan memahami, di sini diandaikan saling belajar sehingga kehidupan menjadi dinamis.

Al-Qur’an juga sangat menyadari bahwa agama yang dianut manusia berbeda-beda. Namun, perbedaan ini bukan dijadikan sebagai potensi untuk saling membunuh, sebaliknya dengan santun dan arif Al-Qur’an menawarkan alternatif pencarian titik temu (kalimatun sawu') masing-masing (Q.S. Ali Imran: 64). Terhadap perbedaan, Al-Qur’an melawan keras tindakan diskriminasi. Al-Qur'an lebih menekankan keadilan sebagai sikap yang ideal bagi perbedaan tersebut (Q.S. al-Maidah: 8). Kalau kita baca ayat demi ayat dalam Al-Qur'an, maka yang ditampilkan adalah kepedulian terhadap wacana kemanusiaan. Karena itu, ironis jika masih ada pemeluk agama yang mensikapi perbedaan dan kemajemukan sebagai ancaman (bukan rahmat), ini menunjukkan cara berpikir dai. proses pemahaman yang sempit.6

Jika demikian, pendidikan agama Islam memiliki peran yang penting untuk mengembalikan cara berfikir peserta didik dalam memahami tentang pluralitas dalam masyarakat. Pendidikan yang diselenggarakan bukan merupakan penanaman wacana dalam fungsi formalnya yang lebih mengedepankan soal perebutan wiiayah dan pengikut. Karena pendidikan seperti ini hanya akan memperlihatkan ekspresi kecurigaan yang terus menerus dalam prosesnya dan antar stake holder pendidikan. Karena pendidikan seperti ini juga merupakan potensi sebagai upaya pendangkalan wacana keagamaan peserta didik.

6Pendidikan dan pluralisme, diambil dari buletin jum'at al-Ikhtilaf No. 07/9 juni 2000, diterbitkan oleh Lkis Yogyakarta.

75

Pembahasan dalam pendidikan Islam tidak hanya masuk pada tataran formal saja, seperti ritual dan tradisi, karena dengan begitu hanya akan memperkuat sisi idiologisasi. Sebaliknya, pendidikan hendaknya dipahami dalam sistem transendensi yang bisa memasuki seluruh aspek kehidupan.

Transendensi ini bukan dimaksudkan merebut ridla-Nya dengan

menyingkirkan keinginan manusia lain (dengan agama/keyakinan lain) yang sama. Sebaliknya, justru menghargai dan bersama merumuskan kebutuhan kemanusiaan sebagai refleksi dari ajaran agama masing-masing.

1. Persyaratan, Prinsip-Prinsip, Rumusan Pendidikan Islam di Tengah-Tengah Masyarakat yang Plural

Pendidikan Islam sebagai salah satu indikator perubahan nalar bangsa dengan membangun pengetahuan generasi muda untuk menentukan masa depan yang sesuai dengan cita-citanya. Membutuhkan suatu menegement untuk membangun kematangan berfikir yang objektif dalam menganalisa kenyataan sosial. Kompleksitas budaya sangat penting untuk diajarkan kepada generasi tersebut untuk membuka wawasan yang akan membentuk karakter dan Kepribadian. Tentulah skill, pengetahuan dan akhlak menjadi orientasi dari pendidikan agama. Bagaimana kebutuhan masa depan yang cerah dapat dipersiapkan sejak nari ini, itulah tujuan dari pendidikan kita.

Bahasa plural itu mempunyai arti banyak, paham yang mengakui

adanya perbedaan dalam kelompok dan masyarakat. Dengan

seseorang tidak ekstrem, longgar tetapi tidak sampai menganggu ke imanennya, kepanatikan berkurang dan menghargai orang lain. Memang implikasi siki.p pluralisme tersebut bisa membuat iman seseorang berkurang. Untuk itu dalam mengajarkan ajaran agama untuk tingkat TK/SD ditanamkan emosi dan rasa keagamaan. Untuk tingkat SMA diajarkan tentang kemajemukan, sehingga mereka menghargai antara faham yang satu dengan faham yang lain. Menurut Amir Nuruddin, pluralisme agama berarti semua agama mempunyai dasar dan keyakinan yang dianut oleh masing-masing penganut, dan kita menghargai masing- masing agama untuk mengembangkan ajaran agama masing-masing, jadi plu alisme tidak menganggap semua agama sama. Dalam Islam harus menerima keragaman paham keagamaan secara internal dan tidak boleh mamaksakan suatu faham kepada kelompok lain. Kalau hal ini dikembangkan akan terjadi konflik horisontal diantara umat Islam. Maka Pak Amir tidak setuju terhadap tindakan suatu kelompok yang mengeksekusi terhadap kelompok >ang dianggap sempalan."7

Nalar inklusif berarti menerima perbedaan dan memandangnya sebagai kenyataan yang tidak terbantahkan. Sehingga yang menjadi tantangan pendidikan Islam bagaimana memberi ruang untuk menggugah siswanya dalam menyikapi perbedaan dengan arif dan bijaksana,

a. Persyaratan

7 Catatan Akhir Pekan [CAP] Adian Husaini adalah hasil kerjasama antara Radio Dakta 107 FM dan www.hidayatullah.com

77

Signifikansi pluralisme agama yang dikembangkan oleh para

founding fathers bangsa ini, kini bisa dijelaskan secara lebih argumentatif sesuai konteks zaman. Memasuki abad ke-21 diperlukan nama baru untuk hubungan antar umat beragama. Selama ini nama yang dipakai adalah kerukunan atau toleransi, yang dalam perkembangannya telah menimbulkan sikap apologetis: masing-masing agama ingin menunjukkan bahwa dirinya yang paling rukun dan toleran. Apologi dilakukan secara tekstual (ajaran-ajaran tertulis) dan kontekstual (sejarah, sosiologi, antropologi), yang malah menambah ketegangan-ketegangan baru. Orang Islam akan menyatakan bahwa

kata pertama yang diucapkan seorang Muslim adalah

Assalamu ’alaikum, karena itu Islam adalah agama perdamaian. Orang Kristen-Katholik, mengklaim bahwa agama Kristiani adalah agama cinta! Orang Hindu akan menyatakan bahwa agamanya menekankan Dharma. Orang Buddha mengklaim bahwa agamanya bermaksud melepaskan orang dari penderitaan. Tidak ada persoalan dengan pendekatan tekstual, karena kebenarannya hanya berlaku bagi pemeluknya. Hujah itu akan kesandung oleh pendekatan tekstual, yang sering Polyinterpretable}

Hal senada juga dikatakan oleh Hasan Hanafi dalam bukunya “Rekonstruksi pemahaman Islam klasik”, dengan maksud untuk membumikan nilai ajaran agama yang tidak hanya mementingkan sisi 8

8 Subkhi Ridlo. Membangun Fondasi Pluralisme Agama Melalui Pendidikan (Agama)

keimanan seseorang. Lebih pada laku dalam kehidupan bermasyarakat dalam menjawab persoalan umat secara umum. Pendidikan pun membutuhkan pola pembelajaran untuk menarik pembelajaran dari perilaku umum (kenyataan yang sebenarnya terjadi dalam perpektif lintas agama) kepada wilayah teks yang selalu kita tafsirkan untuk menyesuaikan dengan kebutuhan zamannya,

b. Prinsip-prinsip

Sifat unik Islam adalah keyakinannya bahwa kepercayaan terhadap ke-Esaan Tuhan itu menyatukan umat Islam dengan semua manusia. Sebab, Tuhan adalah Pencipta semua manusia, apapun agama mereka masing-masing. Al-Qur'an menyatakan bahwa pada Hari perhitungan semua manusia akan dihisab amal moral mereka sebagai warga masyarakat dunia, apapun afiliasi sektarian mereka.

Gagasan bahwa “manusia adalah satu um at” merupakan dasar pluralisme teologis yang menuntut adanya kesetaraan hak yang diberikan Tuhan bagi semua manusia. Manusia merupakan “satu bangsa” berdasarkan kemanusiaan yang sama-sama mereka miliki, risalah inti Al-Qur'an tentang kesatuan umat manusia sebagai makhluk Tuhan bisa menjadi sumber positif dalam menggapai keselarasan dan kerjasama. Prinsip pengakuan (affirmative) terhadap keberagamaan merupakan inti dari kisah penciptaan dalam Al-Qur'an yang memberi peringatan kepada manusia, “Sesungguhnya inilah umat kamu yang

tunggal, dan Akulah Tuhanmu; karena itu, hendaklah kamu menyembah-Ku” (QS. Al-Anbiya’ [21]: 92).9

Umat yang tunggal selalu kita imaginasikan didalam tataran ideal yang tidak ada ujung pangkalnya. Pada zaman nabi pun dilahirkan Piagam Madinah dalam upaya mencapai perdamaian antar umat beragama. Pengakuan hak atas keyakinan agama orang lain di sekitar kita. Ini adalah bentuk penegasan untuk perimbangan kehidupan manusia, keberagaman, kemajemukan atau dalam bahasa apapun tidak hias dihindari. Intinya adalah menunjukan rasa empati terhadap kelompok lain sehingga terjalinnya kerjasama dalam bidang apapun tidak tertolak karena adanya penghalang keyakinan agama. Karena agama bukan untuk dijadikan alasan ekslusifitas manusia dalam berprinsip, tapi kemaslahatan untuk di dunia,

c. Rumusan

Beberapa tokoh ilmuwan Islam abad ini banyak mengurai tentang pluralisme agama yang menjadi refleksi dalam spektrum luas, bentuk sikap di dalam masyarakat plural untuk mencapai keharmonisan sosial dan kedamaian kehidupan antar umat beragama. Diantaranya adalah:

Menurut Nurcholis Madjid ada tiga sikap dialog agama yang dapat diambil adalah pertama, dengan Sikap eksklusif dalam melihat agama lain. Agama-agama lain adalah jalan yang salah, yang

Abdulaziz Sachedina: Pluralisme adalah Prinsip Dasar dalam aI-Qur'an, jaringan Islam emansipatoris, Berita - 15/02/2005 04:46. . • > n;emansipatoris.com

I

menyesatkan umat. Kedua, Sikap inklusif. Yang memandang agama- agama lain adalah bentuk implisit agama kita. Ketiga, Sikap pluralis. Bisa terekspresikan dalam macam-macam rumusan, misalnya “Agama- agama lain adalah jalan yang sama-sama sah untuk mencapai kebenaran yang sama”, “Agama-agama lain berbicara secara berbeda, tetapi merupakan kebenaran yang sama sah”, atau “ Setiap agama mengekspresikan bagian penting bagi sebuah kebenaran”. 10 11

Sedangkan menurut Anis Malik Thoha, PhD, salah seorang Dosen Perbandingan Agama di Universitas Islam Internasional Malaysia, Pluralisme Agama adalah respon teologis terhadap political pluralism yang telah cukup lama digulirkan (sebagai wacana) oleh peletak dasar-dasar demokrasi pada awal-awal abad modem dan secara nyata dipraktekkan oleh AS. Pluralisme agama paaa hakekatnya adalah gerakan politik dan bukan gerakan agama. Pluralisme tidak membenarkan penganut atau pemeluk agama lain untuk menjadi dirinya sendiri, atau mengekspresikan jati dirinya secara utuh, seperti mengenakan simbol-simbol keagamaan tradisional. Pluralisme merupakan penyeragaman atau menyeragamkan segala perbedaan dan keberagaman agama. Ini secara ontologis bertentang dengan sunnatullah yang pada gilirannya akan mengancam eksistensi manusia itu sendiri.11

10 Madjid, Nurcholis, “Mencari Akar-Akar Islam bagi Pluralisme Modern : Pengalaman Indonesia”. Dalam Jalan Baru Islam” editor Mark R. Woodward. Penerbit Mizan. Banaung 1998.www.anggungunawanblogspot.com

81

Dan untuk lebih sistematisnya, maka penulis merumuskan sikap pendidikan Islam dalam masyarakat plural adalah sebagai berikut:

1) Humanis

Perintah tentang menjaga hubungan baik antara sesama manusia (khablum munan nas) sekaligus iarang untuk bercerai berai, menunjukan nilai kooperatif terhadap perbedaan. Karena yang dicari adalah bentuk maslakhah dari berbagai perbedaan yang ada. Tidak bias diniscayakan adanya hak hidup, kepemilikan harta, keturunan suatu individu. Dan masih banyak lagi hak-hak yang harus dihormati sebagai bentuk penghargaan terhadap sesama manusia yang mempunyai aturan.

Hasan Hanafi pernah menyatakan keprihatinannya bahwa terjadi paradoksal antara teks Al-Qur'an dengan praktik kehidupan umat Islam. Dalam teks Al-Qur’an dijelaskan bahwa manusia adalah umat yang satu, akan tetapi dalam realitas kehidupan telah terjadi kesenjangan dimana-mana, umat terbelah menjadi dua: miskin dan kaya. Karena kenyataan seperti itu, mesti dilakukan distribusi kekayaan dengan seadil-adilnya sebagaimana di Syari’atkan dalam Islam .12

Pentingnya umat Islam untuk melakukan perubahan yang dimulai pada dirinya sendiri, karena kesenjangan yang terjadi di internal agama bukan semata-mata karena Allah, melainkan kreasi

12 A.H Ridwan, Reformasi intelektual Islam {Pemikiran Hasan Hanafi tentang Reaktualisasi Keilmuan Islam), Ittaqa Press, Yogyakarta, 1998, him 81

manusia didalam mencapai hak dan kewajibannya tidak mengindahkan hak dan kewajiban orang lain. Persoalan ini akan membawa kita kembali kepada fitrah untuk sampai pada khoiru ummah didalam masyarakat. Bagaimana saling baliu-membahu dan berlomba-lomba dalam kebaikan. Untuk mencapai predikat sebagai insan kamil.

Oleh sebab itulah, model sistem pendidikan Islam yang dibutuhkan adalah pendidikan yang selalu mengedepankan hal-hal yang bernuansa demokratis, partisipatif, dialogis dan humanis. Suasana pembelajaran yang saling menghargai, adanya kebebasan

berpendapat, kebebasan mengungkapkan gagasan, adanya

keterlibatan peserta didik dalam berbagai aktivitas di sekolah, dan

lebih-lebih adalah kemampuan hidup bersama (komunal-

bermasyarakat) diantara peserta didik yang terntunya mempunyai pimdangan yang berbeda-beda.

2) Pluralis

Kesadaran akan bermacam-macam budaya bangsa ini melahirkan perbedaan bahasa, agama dan tatacara pelaksanaan ibadah. Sehingga asimilasi akan diterima dan berlaku dengan adanya kesadaran budaya yang lebih luas. Dan pendidikan Islam juga harus prihatin dengan kenyataan kemajemukan yang ada,

83

sehingga membutuhkan kesiapan akan asimilasi untuk menyatukan perbedaan-perbedaan tersebut.

Perbedaan bukan untuk dijadikan jurang pemisah dari kumpulan identitas yang dimiliki. Lebih bagaimana untuk mencari formula menyatukan dan membangun tatanan sosial yang didalamnya beraneka macam jenis identitas. Bagaimanapun juga mengalaman di negeri ini sudah mengajarkan kita untuk menghargai perbedaan bukan mensikapi dengan dalil kebenaran yang dimiliki. Sulit untuk dicari maknanya: bahwa dengan kebenaran yang kita miliki mampu untuk memberi pembenaran bagi orang lain dengan bentuk kekerasan dan diskriminasi. Tidak lain hanyalah kebenaran yang merusak, bukan? Pluralism hanya

menggambarkan kepada kenyataan yang berlangsung di

masyarakat, terlepas dari isu-isu global hari ini. Minimal bias ditarik kewilayah kesadaran secara pribadi maupun kelompok yang selanjutnya bisa dijadikan perspekti, sampai pada methodology

pembelajaran Islam yang mempunyai slogan rahmatal lil a ’lamin.

Perwujudan dari sikap laku kholifatullah f i l ardh yang bertanggung jawab akan perubahan di bumi ini.

Dari tujuan di atas, Edy Y usuf Nur juga mengatakan bahwa telah tergambarkan bahwa pendidikan agama Islam bukan hanya membuat peserta didik dekat dengan Tuhan Yang Maha Esa,

membentuknya memiliki akhlaq yang mulia. Pada tujuan terakhir ini pluralisme agama dapat tumbuh berkembang pada peserta didik, karena seorang peserta didik yang memiliki akhlaq mulia akan menghormati orang lain, termasuk penganut agama lain. Sehingga peserta didik memiliki sikap yang menghargai pluralitas1 J

Dan sebagai subjek dalam pembelajaran, siswa lebih bisa menampilkan sikap bijaksana terhadap respon peristiwa. Karena semua manusia mempunyai potensi positif ddan negative untuk melakukan sesuai dengan keyakinan yang dimiliki.

3) Transformatif

Sebagai idiologi sosial, Islam juga menderivasi teori-teori sosial sesuai paradigmanya untuk transformasi sosial menuju tatanan masyarakat yang sesuai dengan cita-cita yang diharapkan. Oleh karena itu menjadi sangat jelas bahwa Islam sangat berkepentingan pada realitas sosial, bukan hanya untuk dipahami, tetapi juga untuk diubah dan dikendalikan.13 14

Berangkat dari fenomena Islam yang lebih

memformulasikan ajaran-ajarannya dalam hal-hal yang bersifat normative, Kuntowijoyo mempunyai ide bahwa reorientasi kesadaran dari tingkat normative ketingkat ilmiah adalah salah satu prasyarat intelektual untuk memulai usaha perumusan teori sosial

13 L.dy Yusuf Nur, Posisi Kurikulum Agama dalam Kurikulum PAI Untuk SMU Tahun /994, www.jurnalonline.uin-suka.info

14 Kuntowijoyo, Paradigm Islam (Interpretasi Untuk Aksi), Mizan, Bandung, 1991, him. 337

dari paradigm Islam. Dewasa ini kebutuhan akan adanya suatu perspektif teoritis mengenai transformasi sosial Islam merupakan kebutuhan yang mendesak. Tanpa adanya teori semacam itu, umat Islam tidak hanya akan sulit memahami kenyataan-kenyataan sosial yang ada dari pandangan Islam, tetapi akan juga membuat kita terombang-ambing dalam arus perubahan sosial yang besar tanpa dapat melakukan upaya apapun untuk mengarahkannya.13

4) Praksis-aplikatif

Meskipun setiap agama mengajarkan untuk bertindak, namun tindakan-tindakan itu belum digunakan untuk menjalankan pembangunan. Memberi makan kepada mereka yang lapar bukanlah masalah kedermawanan, tetapi membutuhkan kerja dan produksi. Kepuasan dan kenyamanan tidak akan datang kapada mereka yang miskin tanpa ada peningkatan kekayaan melalui penigkatan produksinya. Hukum ritual dan simbolis begitu mudah dikembangkan menjadi tindakan riil di dunia. Di dalam Islam a.uran yang bagus hanya merupakan manifestasi dari kepercayaan. Kepercayaan tanpa adanya kerja akan menjadi kosong dan hampa. Tindakan keliru yang berdasarkan pada suatu teori akan mempunyai nilai tinggi dibandingkan teori yang benar tanpa adanya tindakan. Tindakan yang keliru jauh lebih baik daripada teory yang benar tanpa tindakan. Transformasi terkenal dalam 15

15 Ibid, Him 345

16

2004,him

peersepsi manusia dalam logos ke praksis seperti yang dimunculkan oleh Marx, atau Go^the, bermula dari tindakan. Bahkan dalam aspek praktis ditemukan bahwa agama-agama Asia,

bisa berperan tinggi dalam proses pambangunan dan

perkembangan.16

Setiap proses pembelajaran dimaksudkan untuk

menggambarkan suatu kejadian atau pengalaman lapangan. Sehingga membutuhkan kaitan erat dengan input, proses dan output. Penyatuan antara karya, cipta dan karsa manusia untuk melakukan pengalaman yang akan dilakukan dalam sehari-hari. Visi praksis aplikatif meniscayakan keterlibatan subjek didik pada khususnya dan masyarakat pada umumnya dalam setiap perubahan sosial. Sehingga, pendidikan Islam tidak untuk “meninabobokan” subjek didik masyarakat, akan tetapi merangsang mereka untuk melakukan kerja-kerja sosial dan aksi pembebasan.

Sebagai simulai pembelajaran dikelas, murid diberikan bahan kenyataan, isu-isu sosial dengan alat pandang keagamaan.

Dan yang diharapkan adalah proses imaginative untuk

kontekstualisasi nilai-nilai keislaman yang dibumikan, sehingga menemukan jalan terang yang sesuai dengan pengalaman batinnya.

Hasan Hanafi, Rekonstruksi Pemahaman Tradisi Islam Klasik, Kutub Minar, Malang, 11

87

Kelemahan pengajar selama ini adalah kurang percayanya kepada murid untuk memberikan analisa terhadap fenomena yang sebenarnya terjadi. Guru menghawatirkan akan penangkapan murid terhadap suatu persoalan dapat menjadikan penilaian yang negatif. Sementara murid belum cukup bisa menilai atau memilah-milah persoalan.

Kejadian yang seperti ini merupakan tantangan bagi guru untuk memberi alat analisa kepada murid dalam memandang suatu persoalan tentang keberagaman dan tanggapan agama Islam untuk menyikapinya. Keleluasaan guru dalam memberi kebebasan diimbangi dengan tidak meremehkan potensi murid untuk menilai dim m ;mpersepsikan suatu kenyataan sosial keagamaan yang terjadi dewasa ini. Semisal konflik agama di Ambon bukan merupakan isu keagamaan semata, akan tetapi ada kepentingan lain yang membuat isu agama hanya dijadikan sebagai tameng belaka. Karena dibalik problem itu terdapat kepentingan besar dunia pertama untuk mendapatkan akses ekonomi di daerah tersebut.

A. Kesimpulan

Pada bab ini penulis mencoba untuk menuturkan balik pembahasan pada bab-bab sebelumnya. Dengan mencoba menjawab secara singkat tentang rumusan masalah dan tujuan penelitian skripsi ini. Diantaranya untuk mengetahui tiga rangkaian pokok bahasan yaitu bagaimana gambaran masyarakat plural di Indonesia, pemikiran Gus Dur tentang pluralisme dan masyarakat plural, implikasi dan kontribusi pemikiran Gus Dur tentang Pluralisme agama terhadap Pendidikan Islam dalam masyarakat plural.

f' lethodologi yang dipakai dalam penulisan skripsi ini adalah menggunakan pendekatan analisis-epistimologi, artinya penulis mengadakan analisa terhadap teori-teori yang relevan dengan semangat kritis, dalam arti kemerdekaan berfikir tanpa tabir penghalang dan kebebasan, partisipasi peserta didik dalam proses pendidikan, khususnya pendidikan Islam. Maka sebagaimana saran dari pembimbing penulis menganalisa referensi primer dari buku-buku pendidikan Islam yang selanjutnya menganalisa buku-buku Islam plural, dan karena terlalu banyak dan umumnya ilmuwan Islam prulalis, maka insiatif yang penulis ambil adalah K.H Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sebagai studi analisis skripsi penulis, yang menurut beberapa tokoh, semisal Muhammad Arkoun, Muhaimin, Gus Dur lah yang sampai abad ini masih meneruskan pemikiran Islam plural atau pluralisme beragama.

89

Kaitannya dengan judul skripsi yang penulis angkat, sebetulnya tidak begitu populer dikalangan umat Islam kecuali para akademisinya, karena pada tataran masyarakat, Gus Dur dikenal sebagai sosok santri modem keturunan pendiri Nahdlatul Ulama K.H Hasyim Asy’ari sehingga kemungkinan popularitas pemikiran pluralisme agamanya kurang begitu dikenal. Tapi, idealisme penulis adalah bahwa teori-teori dan ketokohan yang punya semangat perubahan sangat perlu untuk dipopularisasikan kapanpun, dimanapun dan kepada siapapun, apalagi dengan melihat kondisi pendidikan Islam saat ini yang cenderurg lebih lambat kemajuannya dibandingkan dengan pendidikan umum. Sehingga dalam penguraian tentang pendidikan Islam di tengah-tengah masyarakat plural, telaah pemikiran Gus Dur tentang pluralisme beragama. Maka penulis mencoba dengan niatan awal dari target penulisan skripsi ini diantaranya:

1. gambaran masyarakat plural di Indonesia

Petunjuk yang dapat kita gunakan untuk mencari dan membuktikan

keberagaman di Indonesia. Diantaranya dengan menggunakan

karakteristik masyarakatnya. Semisal Jawa yang dikenal dengan perwatakan ramah, andhap ashor dan tepo selir o dalam menjalin hubungan dengan lainnya, akan sangat berbeda dibandingkan dengan masyarakat batak yang mempunyai perwatakan keras. Tergantung sudut pandang mana dalam memandang Jawa atau Medan. Orang Jawa menganggap orang batak mempunyai sifat keras. Begitu juga sebaliknya.

Mal diatas memberikan gambaran tentang suatu identitas berdasarkan teritorial masing-masing kelompok masyarakat. Dapat dinilai dari persilangan komunikasi, kerjasama antar idencitas kelompok dalam

Dokumen terkait