• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II BIOGRAFI TOKOH

A. Biografi Hamka

Prof. Dr. Haji Abdul Malik Karim Amirullah atau lebih dikenal dengan julukan Buya Hamka atau Hamka saja, yakni singkatan namanya, (lahir di Maninjau, Tanjung Raya, Kabupaten Agam, Sumatera Barat, 17 Februari 1908 – meninggal di Jakarta, 24 Juli 1981 pada umur 73 tahun) adalah sastrawan Indonesia, sekaligus ulama, ahli filsafat, dan aktivis politik (Sholechul Azis, 2013: 53).

Ayahnya adalah Dr. Syekh Abdul Karim Amrullah, beliau merupakan tokoh pelopor gerakan Islam “Kaum Muda” di Minangkabau

yang memulai gerakannya pada tahun 1906 setelah kembali dari Mekkah (H. Rusydi, 1983: 1). Sementara ibunya adalah Siti Shafiyah Tanjung. Dalam silsilah Minangkabau, ia berasal dari suku Tanjung, sebagaimana suku ibunya (Sholechul Azis, 2013: 53).

Pada tahun 1914, Abdul Malik, nama panggilan Hamka sewaktu masih kecil, telah mengawali pendidikannya dengan membaca al-Qur‟an

di rumah orang tuanya sewaktu mereka sekeluarga pindah dari Maninjau ke Padang Panjang. Setahun kemudian, setelah mencapai tujuh tahun, Hamka dimasukkan ayahnya ke Sekolah Desa (Ahmad Hakim, M. Thalhah, 2005 : 25-26).

Pada tahun 1918, Malik berhenti dari Sekolah Desa setelah melewatkan tiga tahun belajar. Pendidikan agama sangat ditekankan oleh

20

Haji Rasul, maka beliau memasukkan Malik ke Thawalib. Sekolah itu mewajibkan murid-muridnya menghafal kitab-kitab klasik, kaidah mengenai nahwu, dan ilmu saraf. Sistem pembelajaran di Thawalib yang mengandalkan hafalan membuatnya jenuh. Keadaan inilah yang membawa Hamka berada di perpustakaan umum milik Zainuddin Labai el-Yunusi dan Bagindo Sinarno.

Pada tahun 1924, Hamka berkunjung ke tanah Jawa selama kurang lebih satu tahun, yang menurut Hamka sendiri telah mampu memberikan semangat baru baginya untuk mempelajari Islam. Rantau pengembaraan pencarian ilmu dari tanah Jawa itu ia mulai mendapat kesempatan mengikuti kursus-kursus yang diselenggarakan oleh Muhammadiyah dan Syarikat Islam. Dalam kesempatan ini Hamka bertemu dengan Ki Bagus Hadikusumo, di mana Hamka mendapatkan pelajaran tafsir al-Qur‟an

darinya. Ia juga bertemu dengan H.O.S Cokroaminoto dan mendengar ceramahnya tentang Islam dan sosialisme. Di sampingnya itu ia berkesempatan pula untuk bertukar pikiran dengan beberapa tokoh penting lainnya, seperti Haji Fachruddin dan Syamsul Rijal, tokoh Jong Islamieten Bond, suatu organisasi yang bertujuan mempelajari Islam dan mengajarkan agar ajaran-ajarannya dilaksanakan serta mengembangkan rasa simpatik kepada Islam dan pengikutnya, di samping juga menunjukkan sikap toleran terhadap pemeluk agama lain.

Pada tahun 1925 beliau pulang ke Padang Panjang, waktu itulah mulai tumbuh bakatnya sebagai pengarang (Hamka, 1983d: 17).

21

Buya Hamka menikah saat berumur 21 tahun sedangkan Istrinya, Siti Raham 15 tahun (Yudi Pramuko, 2001: 44). Setelah perkawinannya dengan Siti Raham, ia mengaktifkan diri sebagai pengurus Muhammadiyah cabang Padang. Pada tahun 1933, ia menghadiri Muktamar Muhammadiyah di Semarang, dan pada tahun 1934 ia diangkat menjadi anggota tetap Majlis Konsul Muhammadiyah Sumatera Tengah. Kemudian pada tahun 1946, berlangsung konferensi Muhammadiyah di Padang Panjang, dan Hamka terpilih sebagai ketuanya. Situasi ini sangat menguntungkan Hamka, sehingga kebolehannya sebagai penulis dan penceramah bertambah popular.

Pada saat yang sama, Hamka merupakan figur terkemuka dalam perjuangan revolusioner merebut kemerdekaan nasional di Sumatera Barat dari tahun 1945 sampai 1949, ia pindah ke Jakarta dan diangkat sebagai pejabat tinggi Depag, Hamka memanfaatkan sebagaian besar waktunya untuk mengajar, menulis dan menyunting serta menerbitkan jurnal Panji Masyarakat. Pada tahun 1955, Hamka terpilih menjadi anggota konstituante mewakili partai politik modern Islam, Masyumi.Karir politik berakhir dengan dibubarkannya majelis ini oleh presiden Sukarno.

Di saat Hamka menjadi pejabat tinggi dan penasehat Depag, kedudukan yang memberikan peluang baginya untuk mengikuti konferensi di luar negeri. Pada tahun 1952, pemerintah Amerika Serikat mengundangnya untuk tetap menetap selama empat bulan. Selama kunjungan itu, Hamka mempunyai pandangan yang lebih terbuka terhadap

22

negara-negara non-Islam. Sekembalinya dari Amerika Serikat, Hamka menerbitkan buku perjalanannya Empat Bulan Di Amerika sebanyak dua jilid. Sesudah itu, secara berturut-turut, Hamka menjadi anggota misi kebudayaan ke Muangthai (1953), mewakili Depag untuk menghadiri peringatan mangkatnya Budha di Birma (1954), menghadiri Konferensi Islam di Lahore (1958) dan menghadiri undangan Universitas Al-Azhar Kairo untuk memberikan ceramah tentang pengaruh Muhammad Abduh di Indonesia. Beberapa hari setelah mengadakan kunjungan tersebut, Hamka melanjutkan perjalanannya ke Saudi Arabia untuk memenuhi undangan raja Saud. Ia melanjutkannya ke Makkah, Jeddah dan ziarah ke makam Rasulullah saw. di Madinah. Setelah itu datanglah berita dari Riyadh yang menyatakan bahwa raja Saud berkenan menerimanya di istananya sebagai tamu. Pada waktu itu pula, datanglah kabar berita dari Mesir di Indonesia, Sayyid Ali Fahmi al-Amrouzi, yang menyatakan bahwa Al-Azhar University telah mengambil keputusan hendak memberinya gelar ilmiah tertinggi dari Al-Azhar University, yaitu Ustadziyah Fakhriyyah, yang sama artinya dengan Doctor Honoris Causa. Kemudian raja Saud meminta Hamka untuk kembali ke Mesir guna menghadiri upacara penyerahan gelar mulia itu, sebab dari ceramahnya tersebut ketika di Al-Azhar University sebelumnya.

Pada tahun 1960 beliau terpilih menjadi imam besar masjid Al-Azhar. Hamka mendapat tuduhan palsu terlibat percobaan pembunuhan terhadap presiden Sukarno-sebagaimana isu yang berkembang Indonesia

23

pada akhir tahun 2002, bahwa Syeikh Ba‟asyir diisukan merencanakan

pembunuhan terhadap presiden Megawati Sukarno Putri- Hamka di tahan pada tahun 1964 (Ahmad Hakim, M. Thalhah, 2005: 26-28). Dari tahun 1964 hingga tahun 1966, Hamka dipenjarakan oleh Presiden Sukarno karena dituduh pro-Malaysia.

Namun dalam statusnya sebagai tahanan justru Hamka berhasil membuktikan keyakinannya, manusia membutuhkan kemerdekan jiwa dan pikiran, bahwa jeruji penjara tidak mampu mengekang jiwa dan pikiran Hamka yang merdeka, sehingga beliau berhasil menyelesaikan karya

monumentalnya tafsir Al Qur‟an yang diberi nama Tafsir Al Azhar yang

tersebar hingga mancanegara (Hamka, 2016a: 88). Setelah keluar dari penjara, Hamka dilantik sebagai ahli Badan Musyawarah Kebajikan Nasional, Indonesia, anggota Majelis Perjalanan Haji Indonesia dan anggota Lembaga Kebudayaan Nasional, Indonesia.

Dua bulan sebelum wafatnya, Hamka yang sejak tahun 1975 menjadi ketua MUI mengundurkan diri dari jabatan tersebut. Hal ini disebabkan oleh masalah perayaan Natal yang dilakukan bersama dengan penganut agama lainnya, termasuk umat Islam. MUI yang diketahui Hamka telah mengeluarkan fatwa bahwa haram hukumnya bagi mereka seorang Muslim untuk mengikuti perayaan Natal, di mana fatwa tersebut mendapat kecaman dari Menteri Agama Alamsyah Ratu Perwira dan meminta untuk mencabutnya (Ahmad Hakim, M. Thalhah, 2005 : 28-29).

24

Siti Raham, istri tercinta Hamka, mendahuluinya pulang ke rahmatullah, tanggal 1 Januari 1972 (Yudi Pramuko, 2001: 44). Sembilan tahun kemudian, Hamka meninggal dunia pada 24 Juli 1981 dalam usia 73 tahun dan dikebumikan di Tanah Kusir Jakarta Selatan, namun jasa dan pengaruhnya masih terasa sampai sekarang ini. Beliau bukan saja diterima sebagai tokoh ulama dan sastrawan di negara kelahirannya, namun sampai keluar negeri termasuk Malaysia dan Singapura.

Dari sejarah di atas dapat dipahami bahwa Hamka tidak suka terhadap sikap sebagaian ummat Islam yang mengejar kehormatan dan meninggalkan moral Islam, umat Islam hendaknya tetap pada jati dirinya berani membela kebenaran, menimbang segala keputusan penuh dengan pertimbangan maka dengan sikap ini manusia akan menjadi mulia dan berharga diri baik di sisi Allah maupun pandangan manusia, kepribadian Hamka termasuk orang yang memiliki sikap tegas dan lugas. Konsistensi sikapnya yang tegas terlihat dalam upaya mempertahankan idealisme

hidupnya “sekali berbakti, sampai mati” dan kemerdekaan berfikirnya

yang lugas, karena kelugasannya sering kali ia berhadapan dengan berbagai rintangan, baik terhadap pemerintah ia sering mengkritik kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh pemerintah, keteguhan sikapnya ini sampai-sampai menghantarkan ia ke penjara (1964-1966).

Dari uraian di atas dapat dilihat bagaimana peranan dan ide-ide pembaharuan modern yang dilakukannya telah ikut andil secara langsung dalam pengembangan pendidikan Islam baik di Minangkabau, Sulawesi

25

Selatan maupun bagi ummat Islam di Indonesia, dengan model pendidikan yang ditawarkannya menempatkannya sebagai seorang yang termasuk reformis muslim Indonesia bahkan melalui ide-ide pembaharuannya ia telah membuka wawasan intelektual muslim dan mensejajarkan pendidikan Islam dengan pendidikan yang dikelola oleh Kolonial Belanda.

Dokumen terkait