• Tidak ada hasil yang ditemukan

Relevansi Pemikiran Hamka tentang Pendidikan Integral dengan Pendidikan

BAB IV PEMBAHASAN

B. Relevansi Pemikiran Hamka tentang Pendidikan Integral dengan Pendidikan

Pendidikan Sekarang

Melalui data dan analisis terhadap pemikiran Hamka tentang pendidikan Islam, memberikan isyarat bahwa pada zamannya ia telah cukup berhasil melaksanakan tugasnya sebagai seorang intelektual muslim.

Hamka telah memberikan pemikiran kritisnya sebagai alat analisis yang tajam dan berperan secara efektif terhadap masyarakat untuk menata kehidupan sosialnya. Pemikirannya tentang pendidikan Islam, memiliki keterkaitan dengan norma agama, potensi peserta didik, dan dinamika aspirasi masyarakat. Norma-norma tersebut mengacu pada landasan sistem nilai yang universal dan kemudian dijabarkan ke dalam kaidah-kaidah pendidikan Islam, yaitu tanggung jawab manusia kepada Tuhan, perkembangan kekuatan kekuatan potensial dan riil manusiawi, perkembangan masyarakat dan pendayagunaan potensi peserta didik

82

secara maksimal. Kesemua itu ditujukan bagi kemaslahatan umat manusia (Samsul Nizar, 2008: 212).

Substansi pemikiran pendidikan yang dibangunnya, merupakan pendekatan menuju pada pola pendidikan yang sangat ideal, terutama dalam upaya membentuk generasi muda sekarang dan akan datang yang berilmu pengetahuan dan berakhlak mulia. Pendekatan yang dilakukan merupakan pemikirannya di era 1940-1950-an, akan tetapi substansi ide-idenya masih sangat relevan untuk dikembangkan pada sistem pendidikan Islam era modern. Pendekatan ini sangat beralasan, bila diteliti secara seksama pemikirannya tentang kerangka pendidikan (Islam) masih belum terealisasi secara maksimal dan utuh dalam sistem pendidikan nasional sampai saat ini. Hal ini dapat dilihat, terutama dari aspek keterkaitan antara guru orang tua, dan lingkungan (sosial) yang kurang harmonis dan integral, pola kurikulum masih banyak yang belum menyentuh totalitas potensi peserta didik, dikotomi materi pendidikan yang menyebabkan terjadi kesenjangan wawasan keilmuan, baik pendidik maupun peserta didik, antara ilmu keislaman dan umum, serta berbagai gejala dekedensi moral yang semakin memprihatinkan.

Latar belakang di atas menyebabkan pendidikan kontemporer bila dilihat secara kontekstual saat ini mengalami krisis moral, adanya hukuman di dalam sekolah tidak membuat jera peserta didik, tawuran di mana-mana dikarenakan perbedaan pendapat, bahkan muncul seorang guru yang melakukan pelecehan seksual terhadap peserta didiknya. Dalam

83

konteks ini dibutuhkan pemikiran yang bisa mengayomi semua dimensi kehidupan. Penghargaan dan sikap toleran atas perbedaan jauh lebih penting dikemukakan untuk menciptakan tata kehidupan yang damai.

Pemikiran Buya Hamka sebagai intelektual yang mencintai keadilan dan memandang perbedaan sebagai suatu kenyataan hidup merupakan pemikiran yang sangat dibutuhkan di dalam kehidupan saat ini. Pribadi tangguh yang dilahirkan di tanah Minangkabau ini memberikan teladan untuk bersikap dewasa dan menghargai pluralism serta mengakui perbedaan.

Perbedaan keyakinan bukan jalan untuk melakukan permusuhan. Hemat penulis, melihat dari jejak Hamka, apabila beliau memiliki perbedan prinsip keagamaan ia malah melakukan hubungan baik, namun kalau sudah menyangkut masalah kebangasaan beliau justru menentang kekuasaan pemerintahan yang zalim. Hingga dia masuk kedalam jeruji penjara. Namun jeruji penjara tidak membuatnya menjadi seorang yang lemah, justru karena kemerdekaan jiwa dan pikirannya beliau mampu melahirkan mahakarya berupa Tafsir Al Azhar.

Apa yang dilakukan Hamka dalam penokohan di atas, menurut penulis merupakan salah satu cara dakwah beliau yang menunjukkan kepada pembaca bahwa betapa mulia orang yang berilmu dan ahli ibadat. Dakwah yang dilakukan beliau sangat halus. Cara dakwah seperti ini, jika melihat karya-karya sastra pada zaman itu yang rata-rata penuh tendensi, tentunya adalah suatu hal yang bisa kita nilai pula sebagai kelebihan

84

Hamka. Keterbukannya terhadap perbedaan sekaligus meletakkan sikap dasar toleransi adalah jalan yang paling baik daripada menutup semua peluang dialog dan hidup berdampingan. Indonesia adalah bangsa yang dibangun atas dasar kesamaan nasib, bukan semata-mata kesamaan berkeimanan. Sudah selayaknya bangsa ini diolah dan dibangun dengan cara pandang yang terbuka pula.

Menurut A. Mustofa Bisri (2017), beliau menyatakan bahwa pesantren-pesantren titik beratnya pada pendidikan, namun yang membuat kacau selama ini adalah pada pengajaran dan pendidikan. Pengajaran dan pendidikan adalah dua hal yang saling keterkaitan. Pengajaran dalam bahasa arab, ta‟lim, artinya untuk menyampaikan informasi saja. Sedangkan pendidikan dalam bahasa arab adalah tarbiyah, di mana

tarbiyah di dalam pendidikan pesantren lebih ditekankan, meskipun sekarang banyak yang menggunakan dua-duanya. Pendidikan saat ini tidak cukup hanya menciptakan orang-orang pintar saja, karena bukti menunjukkan banyak orang pintar tidak terdidik, tidak berakhlakul karimah, justru akibat buruknya merata di mana-mana.

Sehubungan dengan itu, bertolak pada pemikiran Hamka dalam jurnal karya Dartim (2016: 15) hakikat pendidikan menurut Hamka sangat menekankan pada penguatan pribadi yang meliputi akal, budi, cita-cita dan bentuk fisik. Pemikiran pendidikan Hamka berorientasi pada penguatan pribadi individu, karena kondisi kontemporer pendidikan Indonesia dapat diindikasikan lebih berorientasi pada hal-hal yang materialistis daripada

85

penyempurnaan pribadi individu. Penguatan pribadi itu ditunjukkan kepada pendidik, peserta didik, dan semua orang yang terlibat dalam dunia pendidikan.

Titik sentral pemikiran Hamka dalam pendidikan Islam adalah fitrah pendidikan tidak sajapada penalaran semata, tetapi juga akhlakul karimah. Salah satu bukti gagalnya pendidikan formal dalam menata moral dan etika terlihat dari munculnya kenakalan remaja seperti tawuran. Pendidikmesti menjaga sikap dan memiliki syarat; objektif, menjaga akhlak, menyampaikan seluruh ilmu,menghormati keberadaan peserta didik, memberi pengetahuan sesuai dengan kemampuan penerimadan perkembangan jiwa peserta didik dalam menerima pendidikan. Hamka dalam memaparkan persoalan pendidikan, selalu mencakup peran keluarga, pendidik dan lingkungan sosial. Peran inidituntut harmonis dan tidak ada yang longgar antara satu dengan yang lain. Sebagai bentuk pemikiran yang bersentuhan dengan persoalan politik, Hamka melihat hubungan ideal antara pemerintah dalam pendidikan. Dikatakannya, pemerintah tidak bisa mengintervensi pendidikan dalam segi material maupun kebijakan.

Manusia ideal merupakan cita-cita semua proses pendidikan. Menurut Al-Ghazali manusia terdiri dari unsur jasad dan roh atau jiwa yang keduanya mempunyai sifat berbeda tapi saling mengikat. Oleh karenanya tujuan pendidikan secara umum menyempurnakan manusia, yakni manusia yang mampu mendekatkan diri kepada Allah, manusia yang

86

mampu hidup bahagia-selamat dunia akhirat (Abd. Rahman Abdullah, 2001: 248). Oleh karena itu, pendidikan Islam mempunyai arah tujuan yang integratif dan menyeluruh, bukan mengutamakan dunia meninggalkan akhirat dan sebaliknya bukan mengutamakan akhirat meninggalkan persoalan dunia melainkan seimbang, utuh dan proporsional dalam membangun manusia dan masyarakat seutuhnya.

Sejalan dengan pemikiran Al-Ghazali, pemikiran Hamka tentang pendidikan integral dengan dunia pendidikan saat ini yaitu dalam rangka menumbuhkan dan menguatkan pribadi individu sebagai solusi alternatif di tengah-tengah berbagai masalah ketimpangan pendidikan yang terjadi di mana akar masalahnya disebabkan dari lemahnya pribadi. Selain itu, relevansi tersebut dapat dilihat dari upaya praktis untuk menumbuhkan perubahan paradigma pendidikan dalam merumuskan visi, misi dan tujuan pendidikan Islam yang seimbang dengan ranah ta‟lim, tarbiyah, danta‟dib

secara menyeluruh dan terintegrasi dengan satu kata pribadi.

Pribadi menurut Hamka memiliki makna lebih luas dan lebih menyeluruh secara terintegrasi, karena meliputi akal, budi, cita-cita dan bentuk fisik, sehingga mampu mewujudkan manusia yang mandiri serta manusia yang merdeka. Hal itu juga yang menyebabkan harga kemanusiaan seseorang berbeda dari yang lain (Hamka, 2014: 4).

Dalam hubungan itu, Hasan Langgulung (1991: 39) menyatakan bahwa pendidikan yang baik adalah pendidikan yang dapat membawa kepada pertumbuhan individu dan masyarakat yang menyeluruh.

87

Sedangkan pendidikan Islam lebih diorientasikan kepada akhlak dan sopan santun serta penghayatan nilai-nilai Islam dalam kehidupan keseharian (Muhammad Abdurrahman, 2003: 64). Hal ini berarti bahwa masalah moral dianggap sesuatu yang masih dipertahankan dan siapa saja yang mencoba mengesampingkan masalah moral atau akhlak ini dianggap kering dari pendidikan Islam atau pendidikan agama. Pendidikan Islam bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah dan menciptakan keadaan yang kondusif dalam masyarakat.

Sehubungan dengan di atas, Dawam Raharjo menyatakan bahwa pendidikan Umum sebagai ikhiar pendidikan nilai dan kepribadian (pembentukan jati diri sebagai makhluk individu, sosial sekaligus hamba Allah SWT). Pada saat dilahirkan, manusia dibekali seperangkat potensi yang meliputi keasadaran indrawi, akal dan kesadaran rohani.Potensi tersebut diwujudkan dalam taksonomi kognitif, afektif dan psikomotorik yang harus untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi sebagai Insan Kamil

(kaffah, paripurna). Menurut Hamka, kaffah dijadikan „hal‟ dari as-Silmi (Islam) janganlah masuk separuh-separuh, sebagian-sebagian, tapi masukilah keseluruhannya. Jika mengaku beriman telah menerima Islam sebagai agama, hendaklah seluruh isi Al-Qur‟an dan tuntunan Nabi SAW,

diakui dan diikuti (http://repository.upi.edu/7475/43/d_pu_0601208_ chapter2.pdf: Model pendidikan nilai berbasis zikir dan doa dalam mengembangkan kepribadian kaffah, hlm. 10).

88

Pendidikan nilai yang lazimnya disebut pula dengan pendidikan akhlak. Pendidikan nilai berbeda dengan pendidikan pada umumnya karena bertujuan mengemas pengembangan pribadi utuh bagi peserta didik. Tujuan yang ingin dicapai pendidikan nilai bukan saja kecerdasan nilai-nilai intelektual (kognitif), tapi lebih ditekankan pada pencapaian kecerdasan emosional, spiritual (akhlakul karimah). Karena itu hakikat pendidikan akhlak karimah (mahmudah), pendidikan moral, budi pekerti, karakter, pendidikan bagaimana berperilaku santun. Pendidikan akhlak ini bersumber dari Ad Din (Al-Qur‟an dan As Sunnah) (http://repository.upi.

edu/7475/43/d_pu_0601208_chapter2.pdf: Model pendidikan nilai

berbasis zikir dan doa dalam mengembangkan kepribadian kaffah, hlm. 19). Pendidikan akhlak karimah ini bertujuan agar peserta didik memiliki kepribadian utuh dan insan kamil yang selalu berusaha untuk mencapai derajar kaffah (paripurna) seperti yang difirmankan Allah SWT dalam surat Al-Baqarah ayat 208.

ِخٲَُ٘طُخ ْاُ٘ؼِثَّتَت َلََٗ ً۬ حَّفٰٓاَڪ ٌِۡيِّسىٱ ِٚف ْاُ٘يُخ ۡدٱ ْاٍَُْ٘اَء َِيِزَّىٱ اَُّٖيَأٰٓ ـَي

ِِ ـَطۡيَّشىٱ

َُِّّٔإ

( ًٌِ۬يِثٍُّ ً۬ ُٗذَػ ٌُۡڪَى ۥ

١٠٢

)

Artinya:

Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu. (QS. Al-Baqarah (1): 208) (Depag RI, 2005: 40).

Sebab itu, salah satu indikator keberhasilan pendidikan nilai diukur dengan perilaku dan akhlak peserta didik dalam pengamalannya, baik

89

sebagai individu; anggota keluarga, lingkungan sekolah maupun di lingkungan masyarakatnya.

Dengan pendidikan, kepribadian manusia itu seharusnya kaffah, utuh, total, paripurna, komprehen. Jika manusia itu tidak memiliki pertahanan atau lemah, maka kepribadian tersebut menjadi retak (split) dan terjadilah degrasi moral. Untuk itu dilakukan berbagai upaya antara lain pendidikan yang terkait dengan pengalaman ibadah, diantaranya melalui dzikir dan doa (http://repository.upi.edu/7475/43/d_pu_0601208_ chapter2.pdf: Model pendidikan nilai berbasis zikir dan doa dalam mengembangkan kepribadian kaffah, hlm. 20).

Menurut Hamka, dalam mengatasi degresi moral maka di dalam pendidikan Islam lebih menekankan pada pentingnya pendidikan sosial bagi peserta didik. Eksistensinya, mengharuskan manusia untuk hidup dalam komunitasnya, saling memerlukan bantuan antara satu dengan yang lain, dan membangun rasa kebersamaan (Hamka, 1950: 133). Oleh karena itu, manusia dituntut untuk saling menghargai antar satu dengan yang lain. Aspek ini akan terwujud tatkala dalam kehidupannya diatur oleh tata kesopanan (adab). Dalam hal ini, ia memberikan berbagai contoh yang bisa dicermati sebagai bagian adab yang mampu menjadi perekat hubungan antara manusia yang satu dengan manusia yang lain. Di antaranya duduk bersila dihadapan orang yang lebih tua, berkata yang sopan, jika sedang makan dilarang antara piring dan garpu saling beradu, terutama bagi perempuan dilarang tertawa terlalu nyaring dan lain

90

sebagainya. Melalui ikatan norma adab yang demikian, maka manusia akan terpuji dan terpelihara dari kehinaan sebagaimana kehidupan binatang (Hamka, 1950: 100-101). Hal ini sesuai dengan pendapat Quraish Shihab (2017), bahwa degresi moral terjadi karena hatinya tidak bersih.Maka, harus sering-sering merasa kehidupan ini dipikul bersama, hati harus bersih, agar hati manusia tidak dikuasai hal-hal yang hanya bersifat materialistik. Pendapat ini didasarkan pada kutipan beliau, yaitu,

Mahkota ilmu adalalah rendah hati.

Pandangannya adalah keterbebasan dari iri hati. Akalnya adalah pengetahuan tentang sebab akibat. Buahnya adalah takwa.

Persahabatan, mendengar dari cerdik cendikia, ucapan yang benar, serta keterhindaran dari kelengahan dan perbuatan yang membuahkan penyesalan.

Hati memang berperan penting dalam segala hal, termasuk dalam mencapai tujuan pendidikan integral ini. Hati yang bersih terlihat pada perilaku yang teraktualisasi pada kehidupan sehari-hari. Berdasar pada tujuan hidup manusia adalah hanya untuk Tuhan semata, maka apagunanya hidup apabila tidak dilandasi dengan agama. Agama sangat berperan penting dalam mengatur kehidupan manusia, dari bangun tidur hingga tidur kembali, hingga berperan penting untuk memperoleh keselamatan di dunia dan di akhirat.

Islam adalah sebuah pandangan hidup yang ajarannya mencakup seluruh aspek kehidupan manusia. Di dalamnya membentuk cara hidup yang didasarkan kepada nilai-nilai yang agung dan universal. Nilai-nilai yang dibawa oleh Islam dapat diterima oleh pemikiran manusia secara

91

global sebagai nilai yang sanggup membangun peradaban manusia. Nilai-nilai tersebut bahkan dapat diterima oleh orang-orang yang berlainan keyakinan (agama) (Muhammad Abdurrahman, 2003: 76). Maka, untuk memperoleh ilmu agama yang bermanfaat dan sesuai dengan tujuan pendidikan Islam, adab dalam mencari ilmu harus diperhatikan.

Dalam mencapai tujuan pendidikan integral, materi, pendidik, peserta didik, lingkungan, kurikulum, hingga metodenya harus saling berkesinambungan antara satu dengan yang lain.

Menurut Hamka, ada dua orientasi pemikiran tentang pembagian materi pendidikan. Pada satu sisi, materi pendidikan hendaknya berorientasi pada pengembangan akal (filsafat), sementara di sisi lain pada pengembangan rasa (agama). Kedua orientasi materi tersebut penting dan saling mengisi antara satu dengan yang lain. Pendidikan yang hanya menekankan aspek akal akan menggiring peserta didik bersikap materialistik dan acapkali tidak bermoral. Adapun pendidikan yang hanya menekankan pada aspek keagamaan akan menggiring hidup yang melalaikan dinamika peradaban dunia kekinian. Materi pendidikan hendaknya memadu kedua aspek tersebut secara serasi dan seimbang. Pendidikan yang didasarkan agama akan menumbuhkan keyakinan kepada ketentuan Allah dan menjadi nilai control perilakunya. Sementara pendidikan akal (filsafat) akan membantu peserta didik membangun peradaban umat secara dinamis, sesuai dengan nilai-nilai ajaran agama yang diyakininya (Hamka, 2015: 303-304). Materi ini bersesuaian dengan

92

pendapat Ahmad bin Mohd Sholeh dalam buku Pendidikan di Alaf Baru: Rekonstruksi atas Moralitas Pendidikan, beliau menyatakan bahwa suatu bangsa akan sejahtera hidup dan harmonis jika warga negaranya terdiri dari orang-orang yang bermoral atau berbudi luhur. Sebaliknya, jika warga negara tersebut berbudi pekerti buruk maka hancurlah bangsa dan negara tersebut. Akhlak/ moral/ budi pekerti akanbaik jika pembinaannya dimulai dari rumah tangga kemudian mengarah kepada masyarakat luas (Muhammad Abdurrahman, 2003: 76).

Semua agama yang di dunia ini mengandung ajaran moral, baik agama Islam, Nasrani, Budha, Hindu, dan sebagainya. Dalam istilah sosiologi, hal ini sering disebut agama yang berbentuk vertikal dan horizontal. Hanya saja para penganut kepercayaan atau agama yang tidak mau mengamalkan ajaran-ajaran moral lebih disebabkan oleh pengaruh lingkungan di mana mereka tinggal.Dalam ajaran Islam, akhlak adalah iman seseorang.Keimanan seseorang sangat ditentukan oleh akhlak yang dimilikinya. Sebagaiman Nabi Saw bersabda (Muhammad Abdurrahman, 2003: 76-77),

ُوََْمَأ

ا قُيُخ ٌَُُْْٖسْحَأ ا ّاََْيِإ َِْيٍِِْْؤَُْىا

Artinya:

“Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah orang yang paling baik akhlaknya.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, Ibnu

Hibban dan Hakim, Shahihul Jaami‟ no. 1230)

Muhammad Abdullah Darraz mengklasifikasikan akhlak atau moral ke dalam lima kategori, yaitu: pertama, akhlak fardhiyyah

93

(individu); ke-dua, akhlak usariyah (kekeluargaan); ke-tiga, akhlak

ijtimaiyah (kemasyarakatan); ke-empat, akhlak daulah (negara); ke-lima,

akhlak diniyah (agama). Semua kategori ini menjadi bidang dan runang lingkup akhlak Islam yang dimulai dari keluarga, masyarakat, sampai pada pembentukan sebuah negara, peradaban dan sebagainya.

Pendapat di atas dikuatkan dengan pendapat Ismail Ibrahim yang dikutip dalam buku Pendidikan di Alaf Baru: Rekonstruksi atas Moralitas Pendidikan. Beliau berpendapat bahwa kalau manusia tidak pernah dibekali dengan pendidikan moral sejak kecil, maka tidak berlebihan kalau dikatakan bahwa manusia tersebut lebih ganas dari serigala dan singa yang tidak pernah mempelajari human rights(hak asasi manusia). Krisis moral yang melanda alam manusia pada kurun waktu ini telah mancapai puncaknya. Hal ini terjadi secara menyeluruh, akibatnya terjadilah pelanggaran-pelanggaran terhadap nilai-nilai kemanusiaan dan pembantaian terhadap manusia yang tidak bersalah karena kerakusan yang menyerupai binatang ((Muhammad Abdurrahman, 2003: 77).

Kemajuan suatu bangsa sangat tergantung pada kesempurnaan sistem pendidikan dan pengajaran yang ditawarkan (Hamka, 2015: 7). Menurut Hamka, pendidik adalah sosok yang bertanggung jawab dalam mempersiapkan dan mengantarkan peserta didik untuk memliki ilmu pengetahuan yang luas, berakhlak mulia, dan bermanfaat bagi kehidupan masyarakat secara luas. Namun kewajiban mendidik anak jangan diserahkan kepada gurunya saja. Karena tempo yang dipakainya di

94

sekolah, tidaklah sepanjang tempo yang dipakai di rumah. Tiap-tiap anak harus mendapat didikan dan pengajaran, kebanyakan di sekolah hanyalah ajaran, sedang didikan sebagian besar didapat di rumah.Oleh karena itu, Hamka memiliki pemikiran bahwa pada dasarnya, sosok pendidik menurut Hamka yang ikut bertanggung jawab dalam melaksanakan pendidikan Islam adalah orang tua, guru, dan masyarakat.

Adapun kriteria pendidik yang baik dikutip dari jurnal Siti Lestari (2010: 111), menurut Hamka karakteristik pendidik harus memenuhi kriteria sebagai berikut: berlaku adil dan obyektif pada setiap peserta didiknya, memelihara martabatnya dengan akhlak al-karimah, berpenampilan menarik, berpakaian rapi, dan menjauhkan diri dari perbuatan yang tercela, menyampaikan seluruh ilmu yang dimiliki, tanpa ada yang ditutup-tutupi, memberikan ilmu pengetahuan sesuai dengan tempat dan waktu, sesuai dengan kemampuan intelektual dan perkembangan jiwa mereka, tidak menjadikan upah atau gaji sebagai alasan utama dalam mengajar peserta didik, di samping mentransfer ilmu (pengajaran), seorang pendidik juga dituntut untuk memperbaiki akhlak peserta didiknya (pendidikan) dengan bijaksana (ihsan), menanamkan keberanian mempunyai cita-cita dalam hidup, menanamkan keberanian budi dalam diri peserta didik.

Menurut Hamka, untuk dapat mencari ilmu pengetahuan dan membentuk sikap dengan akhlak al-karimah, maka peserta didik dituntut untuk bersikap baik kepada guru. Sikap tersebut meliputi:

95

1. Jangan cepat putus asa dalam menuntut ilmu.

2. Jangan lalai dalam menuntut ilmu dan cepat merasa puas terhadap ilmu yang sudah diperoleh.

3. Jangan merasa terhalang karena faktor usia.

4. Hendaklah diperbagus tulisannya supaya orang bisa menikmati hasil karyanya dan membiasakan diri membuat catatan kecil terhadap ide yang dipikirkan. Hal ini disebabkan, karena pemikiran yang muncul belum tentu akan lahir pada saat yang akan datang. Dengan adanya catatan tersebut, seluruh ide akan tertampung dan hidup akan menjadi lebih sestematis.

5. Sabar, perteguh hati, dan jangan cepat bosan dalam menuntut ilmu. (QS. Al-Kahfi (18):69).

( ا ً۬ ش ٍَۡأ َلَى ِٚص ۡػَأ ٰٓ َلََٗ ا ً۬ شِتاَص ُ َّللَّٱ َءٰٓاَش ُِإ ُِّٰٓٚذِجَتَس َهاَق

٩٦

)

Artinya:

Musa berkata: “Insyaallah kamu akan mendapati aku sebagai seorang yang sabar, dan aku tidak akan menentangmu dalam suatu urusan pun”. (QS. Al-Kahfi: 69) (Depag RI, 2005: 412). Menurutnya, ayat ini merujuk pada sikap nabi Musa as. Yang senantiasa taat dan patuh kepada perintah Allah dan berjanji untuk senantiasa sabar terhadap berbagai cobaan. Janji yang demikian, merupakan perumpamaan ketaatan seorang murid dihadapan seorang guru. Sebuah kata kunci teladan murid dalam melakukan kepatuhan dan kesabarannya pada guru yang patut ditiru.

6. Ikuti instruksi guru dalam setiap proses belajar mengajar dengan khusyuk dan tekun (Hamka, 2015: 288-289).

96

7. Berbuat baik terhadap guru dan kedua orang tua, serta amalkan ilmu yang diberikannya bagi kemaslahatan seluruh umat.

8. Jangan menjawab sesuatu yang tidak berfaedah, biasakan berkata sesuatu yang bermanfaat. Hal tersebut merupakan ciri orang yang benar-benar berilmu dan berpikiran luas (Hamka, 2015: 287). 9. Ciptakan suasana pendidikan yang merespon dinamika fitrah yang

dimiliki. Suasana tersebut hendaknya didukung dengan tersedianya sarana dan suasana pendidikan yang mendukung seperti suasana yang gembira, dan lain sebagainya.

10.Biasakan diri untuk melihat, memikirkan, dan melakukan analisis secara seksama terhadap fenomena alam semesta. Pendekatan ini dilakukan dengan cara bertafakkur terhadap fenomena alam sebagai ayat-ayat Allah dan menjadikannya sebagai sarana pendidikan Islam. Melalui pendekatan ini, peserta didik akan dapat menyelammi kebesaran Tuhannya dan berbuat kebajikan terhadap alam semesta (Hamka, 1950: 154-156).

Dalam mengikuti proses belajar mengajar, seorang peserta didik tidak lepas dari melakukan interaksi dengan sesamanya. Agar interaksi tersebut berjalan secara harmonis dan mendukung proses pendidikan, maka setidaknya ada dua kewajiban yang mesti dilakukan antara sesama peserta didik, yaitu:

1. Merasakan keberadaan mereka (peserta didik yang lain) bagaikan sebuah keluarga dengan ikatan persaudaraan.

97

2. Jadikan teman untuk menambah ilmu. Bersama mereka, lakukanlah diskusi dan berbagai latihan sebagai sarana untuk menambah kemampuan intelektual sesama peserta didik (Hamka, 2015: 288).

Pemikiran Hamka mengenai kriteria peserta didik di atas sesuai dengan pendapat A. Mustofa Bisri (2017), bahwa orang yang merasa bodoh dan belajar, bisa menjadi pintar, dan orang yang merasa pintar, tidak akan pernah menjadi pintar. Jadi, orang yang masih terus belajar akan menjadi pintar. Sedangkan orang yang sudah berhenti belajar karena merasa pandai, mulailah dia menjadi bodoh.Belajar itu tidak hanya di sekolah, di rumah, di masyarakat itu juga termasuk belajar. Dalam hal ini, untuk memperoleh ilmu yang bermanfaat maka harus mengetahui kriteria seorang peserta didik seperti yang diungkapkan Hamka di atas.

Menurut Hamka, lingkungan pendidikan terbagi menjadi 4 yaitu keluarga, masyarakat, sekolah, dan pemerintah. Lingkungan keluarga

Dokumen terkait